SIMULAKRA
DAN HIPERREALITAS DALAM FILM SIMONE
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Sekilas
mengenai Simulakra dan Hiperrealitas
Konsep
mengenai simulakra dan hiperrealitas untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh
Jean P. Baudrillard, seorang pemikir posmodern asal Perancis.[1]
Menurutnya, berbicara mengenai kedua konsep di atas tak dapat lepas dari pengkajian
seputar spat-kapitalismus. Istilah spat-kapitalismus ‘kapitalisme lanjut’ digunakan
untuk membedakan corak kapitalisme yang hadir pasca diterapkannya ekonomi
Keynesian dalam Depresi Ekonomi tahun 1930-an. Setelahnya, kapitalisme yang
tampak di permukaan adalah “kapitalisme dengan wajah humanis”, cara-cara
eksploitatif pada pekerja telah ditinggalkan, sebagai gantinya kapitalisme
menyuntikkan pop culture ‘budaya pop’
guna menyamarkan kontradiksi yang terjadi antara kelas pekerja dengan majikan.
Akibatnya, kini kelas pekerja dapat berpenampilan layaknya majikan, menyambangi
bioskop yang sama dengan majikan, berikut rentetan perihal lainnya yang semakin
mengaburkan perbedaan antar keduanya. Tak hanya itu saja, kapitalisme-humanis
turut memberikan serangkaian bonus berikut tunjangan pada para pekerjanya
(Adian, 2006: 193-194). Tak pelak, hal tersebut secara otomatis menggugurkan
tesis Marx yang menyatakan bahwa nasib buruh bakal kian sengsara di kemudian
hari.
Lebih
jauh, upaya kapitalisme lanjut dalam menyuntikkan budaya pop pada masyarakat
tak lepas dari peran simulacrum ‘simulakra’
di dalamnya. Simulakra merupakan istilah yang dicetuskan Baudrillard guna
menunjuk “pencitraan” atau sesuatu yang tak tampak sebagaimana adanya (Agger,
2006: 103)—dalam bahasa fenomenologi eksistensial: it is what it is not. Di sisi lain, simulakra dapat pula dijelaskan
sebagai ruang konversi perihal konkret ke abstrak, dan demikian pula
sebaliknya: abstrak ke konkret. Semisal konversi perihal konkret ke abstrak
adalah sinetron, dalam hal ini, manusia yang seyogyanya bersifat konkret,
memiliki massa dan memakan ruang, dapat termampatkan sedemikian rupa dalam
layar kaca—menjadi abstrak. Sedang, contoh konversi perihal abstrak ke konkret
dapat kita temui dalam berbagai film kartun kegemaran anak-anak. SpongeBob misalkan, dalam kehidupan
sehari-hari mustahil kita temukan “spon” yang dapat berbicara, namun dalam
layar kaca hal tersebut menjadi mungkin—menjadi konkret. Ini membuktikan bahwa
televisi merupakan salah satu bentuk simulakra. Beberapa hal lain yang kiranya
dapat terklasifikasi sebagai simulakra antara lain internet, aplikasi avatar, bahkan lukisan.
Pada
gilirannya, simulakra inilah yang kemudian memiliki andil dalam melahirkan
perihal yang diistilahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas, yakni segala
sesuatu yang dinilai “melampaui kenyataan”—irasional, di luar akal sehat
(Agger, 2006: 284). Kita dapat menemui banyak contoh hiperrealitas melalui
beragam iklan yang terdapat dalam media massa baik cetak maupun elektronik.
Sebagai misal, iklan sebuah produk parfum di televisi yang apabila seorang pria
menggunakannya, maka wanita seisi kota akan mengejarnya. Begitu pula, tak asing
diri kita dengan iklan kendaraan bermotor yang apabila seseorang
mengendarainya, maka seluruh pakaian yang dikenakannya bakal tercabik-cabik
akibat saking kencangnya laju kendaraan
tersebut. Tak khayal, serangkaian misal di atas sekedar menemui bentuknya
sebagai hiperrealitas, yakni perihal yang melampaui kenyataan, bahkan secara
kasar dapat pula dikatakan sebagai sebentuk “kebohongan” semata.
Sekilas
mengenai Film Simone
Film
Simone (2002, New Line Cinema) yang disutradarai oleh Andrew Niccol dan
dibintangi oleh Al Pacino bercerita mengenai kecanggihan instrumen komputer
yang dapat menciptakan sosok wanita cantik bernama Simone guna memainkan sejumlah
film. Nama Simone sendiri diambil dari singkatan Simulation One. Dalam film
tersebut diceritakan seorang sutradara film bernama Viktor Taransky (Al Pacino)
yang begitu kesal dikarenakan tak ada satu pun aktris yang mampu memenuhi tuntutan
aktingnya, berulang kali ia selalu mengatakan perihal perlunya totalitas dalam
berakting, dan ia tak kunjung menemui aktris yang demikian.
Dilatarbelakangi
oleh peristiwa di atas, Taransky pun bereksperimen dengan sebuah program komputer
terbaru dan berhasil menciptakan simulasi seorang wanita cantik (aktris) yang
dinamainya Simone. Segera setelahnya, Simone bermain dalam berbagai film buatan
Taransky dan menuai respon yang sangat baik dari publik. Tak lama kemudian, Simone
pun menjadi aktris yang digemari khalayak luas. Taransky dibuat kelimpungan olehnya dikarenakan tak mampu
menghadirkan sosok Simone secara nyata dan langsung di hadapan publik.
Bagaimana tidak, Simone hanyalah hasil dari rekaaan program komputer. Dengan
kata lain, sesungguhnya apa yang dicintai dan digemari publik—Simone—tidaklah
ada, ia hanyalah sosok artifisial (buatan) belaka.
Taransky,
dikarenakan tak mampu menanggung beban kepopuleran Simone, ia pun berusaha keras
untuk menenggelamkan nama Simone di mata publik. Ia sengaja membuat film
berjudul I Am Pig bagi Simone yang
demikian vulgar dan menjijikkan, yakni menampilkan Simone dalam sosok babi,
namun faktual publik justru semakin dibuat terpesona olehnya, publik menilai
Simone sebagai aktris yang luar biasa karena di balik kepopulerannya selama ini
tak sungkan untuk berperan menjadi seekor babi. Kemudian Taransky pun mencoba
untuk membuang seluruh program aplikasi Simone ke laut guna mengenyahkannya,
namun sayang, hal tersebut justru menimbulkan persoalan yang jauh lebih pelik,
ia dituduh telah membunuh dan memutilasi Simone. Pada akhirnya, berbagai
ketegangan yang terdapat dalam film tersebut ditutup dengan penampilan Taransky
bersama Simone dalam sebuah acara live
stasiun televisi di mana Simone mengutarakan niatnya untuk menghilang dari
hadapan publik.
Simone,
Simulakra dan Hiperrealitas
Muatan
simulakra dan hiperrealitas yang terdapat dalam film Simone kiranya cukup
jelas. Simulakra dalam film tersebut ditunjukkan melalui kecanggihan sebuah
program komputer terbaru yang mampu menciptakan sosok artifisial berupa Simone.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara sederhana, simulakra adalah penampakkan
sesuatu yang tak sebagaimana adanya: it
is what it is not. Atau dengan kata lain, ia adalah pengkonversi hal-hal
yang bersifat abstrak pada konkret, dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal
ini, Simone yang sesungguhnya tak ada (abstrak), dapat diwujudkan
(di-konkret-kan) melalui sebuah program komputer, dan memang, instrumen
tersebut terklasifikasi dalam salah satu bentuk media simulakra.
Secara
tak langsung, hal di atas pun menunjukkan perihal yang diistilahkan Baudrillard
sebagai hiperrealitas atau sesuatu yang melampaui kenyataan. Kiranya, muatan
hiperrealitas yang terkandung di dalamnya menyangkut dua hal. Pertama, sebuah program komputer yang
mampu mewujudkan keinginan seorang sutradara untuk memperoleh aktris yang
sempurna, atau dengan kata lain, sebuah program komputer yang mampu merealisasikan
angan-angan terliar seorang sutradara. Kedua,
muatan hiperrealitas yang terdapat dalam film Simone itu sendiri ditilik
melalui sudut pandang audiens (penonton). Sebagaimana kita ketahui, hingga
detik ini program komputer yang demikian canggih layaknya di atas belumlah ditemui
dalam kehidupan kita, perihal yang paling mendekatinya adalah animasi komputer,
itu pun belum mampu mewujudkan sosok manusia yang seolah-olah demikian tampak nyata.
Namun, dalam sebuah film kesemua hal tersebut menjadi mungkin untuk diwujudkan,
secara tak langsung hal tersebut pun turut menunjukkan muatan hiperrealitas di
dalamnya.
*****
Referensi:
Film;
§ Simone, 2002, New Line Cinema.
Buku;
§ Adian,
Donny Gahral, 2006, Percik Pemikiran
Kontemporer, Kreasi Wacana.
§ Agger,
Ben, 2006, Teori Sosial Kritis,
Kreasi Wacana.
0 komentar:
Posting Komentar