"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Kamis, 20 September 2012

SIMULAKRA DAN HIPERREALITAS DALAM FILM SIMONE

SIMULAKRA DAN HIPERREALITAS DALAM FILM SIMONE

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Sekilas mengenai Simulakra dan Hiperrealitas
            Konsep mengenai simulakra dan hiperrealitas untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Jean P. Baudrillard, seorang pemikir posmodern asal Perancis.[1] Menurutnya, berbicara mengenai kedua konsep di atas tak dapat lepas dari pengkajian seputar spat-kapitalismus. Istilah spat-kapitalismus ‘kapitalisme lanjut’ digunakan untuk membedakan corak kapitalisme yang hadir pasca diterapkannya ekonomi Keynesian dalam Depresi Ekonomi tahun 1930-an. Setelahnya, kapitalisme yang tampak di permukaan adalah “kapitalisme dengan wajah humanis”, cara-cara eksploitatif pada pekerja telah ditinggalkan, sebagai gantinya kapitalisme menyuntikkan pop culture ‘budaya pop’ guna menyamarkan kontradiksi yang terjadi antara kelas pekerja dengan majikan. Akibatnya, kini kelas pekerja dapat berpenampilan layaknya majikan, menyambangi bioskop yang sama dengan majikan, berikut rentetan perihal lainnya yang semakin mengaburkan perbedaan antar keduanya. Tak hanya itu saja, kapitalisme-humanis turut memberikan serangkaian bonus berikut tunjangan pada para pekerjanya (Adian, 2006: 193-194). Tak pelak, hal tersebut secara otomatis menggugurkan tesis Marx yang menyatakan bahwa nasib buruh bakal kian sengsara di kemudian hari.     

            Lebih jauh, upaya kapitalisme lanjut dalam menyuntikkan budaya pop pada masyarakat tak lepas dari peran simulacrum ‘simulakra’ di dalamnya. Simulakra merupakan istilah yang dicetuskan Baudrillard guna menunjuk “pencitraan” atau sesuatu yang tak tampak sebagaimana adanya (Agger, 2006: 103)—dalam bahasa fenomenologi eksistensial: it is what it is not. Di sisi lain, simulakra dapat pula dijelaskan sebagai ruang konversi perihal konkret ke abstrak, dan demikian pula sebaliknya: abstrak ke konkret. Semisal konversi perihal konkret ke abstrak adalah sinetron, dalam hal ini, manusia yang seyogyanya bersifat konkret, memiliki massa dan memakan ruang, dapat termampatkan sedemikian rupa dalam layar kaca—menjadi abstrak. Sedang, contoh konversi perihal abstrak ke konkret dapat kita temui dalam berbagai film kartun kegemaran anak-anak. SpongeBob misalkan, dalam kehidupan sehari-hari mustahil kita temukan “spon” yang dapat berbicara, namun dalam layar kaca hal tersebut menjadi mungkin—menjadi konkret. Ini membuktikan bahwa televisi merupakan salah satu bentuk simulakra. Beberapa hal lain yang kiranya dapat terklasifikasi sebagai simulakra antara lain internet, aplikasi avatar, bahkan lukisan.

            Pada gilirannya, simulakra inilah yang kemudian memiliki andil dalam melahirkan perihal yang diistilahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas, yakni segala sesuatu yang dinilai “melampaui kenyataan”—irasional, di luar akal sehat (Agger, 2006: 284). Kita dapat menemui banyak contoh hiperrealitas melalui beragam iklan yang terdapat dalam media massa baik cetak maupun elektronik. Sebagai misal, iklan sebuah produk parfum di televisi yang apabila seorang pria menggunakannya, maka wanita seisi kota akan mengejarnya. Begitu pula, tak asing diri kita dengan iklan kendaraan bermotor yang apabila seseorang mengendarainya, maka seluruh pakaian yang dikenakannya bakal tercabik-cabik akibat saking kencangnya laju kendaraan tersebut. Tak khayal, serangkaian misal di atas sekedar menemui bentuknya sebagai hiperrealitas, yakni perihal yang melampaui kenyataan, bahkan secara kasar dapat pula dikatakan sebagai sebentuk “kebohongan” semata.

Sekilas mengenai Film Simone
            Film Simone (2002, New Line Cinema) yang disutradarai oleh Andrew Niccol dan dibintangi oleh Al Pacino bercerita mengenai kecanggihan instrumen komputer yang dapat menciptakan sosok wanita cantik bernama Simone guna memainkan sejumlah film. Nama Simone sendiri diambil dari singkatan Simulation  One. Dalam film tersebut diceritakan seorang sutradara film bernama Viktor Taransky (Al Pacino) yang begitu kesal dikarenakan tak ada satu pun aktris yang mampu memenuhi tuntutan aktingnya, berulang kali ia selalu mengatakan perihal perlunya totalitas dalam berakting, dan ia tak kunjung menemui aktris yang demikian.

            Dilatarbelakangi oleh peristiwa di atas, Taransky pun bereksperimen dengan sebuah program komputer terbaru dan berhasil menciptakan simulasi seorang wanita cantik (aktris) yang dinamainya Simone. Segera setelahnya, Simone bermain dalam berbagai film buatan Taransky dan menuai respon yang sangat baik dari publik. Tak lama kemudian, Simone pun menjadi aktris yang digemari khalayak luas. Taransky dibuat kelimpungan olehnya dikarenakan tak mampu menghadirkan sosok Simone secara nyata dan langsung di hadapan publik. Bagaimana tidak, Simone hanyalah hasil dari rekaaan program komputer. Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang dicintai dan digemari publik—Simone—tidaklah ada, ia hanyalah sosok artifisial (buatan) belaka.

            Taransky, dikarenakan tak mampu menanggung beban kepopuleran Simone, ia pun berusaha keras untuk menenggelamkan nama Simone di mata publik. Ia sengaja membuat film berjudul I Am Pig bagi Simone yang demikian vulgar dan menjijikkan, yakni menampilkan Simone dalam sosok babi, namun faktual publik justru semakin dibuat terpesona olehnya, publik menilai Simone sebagai aktris yang luar biasa karena di balik kepopulerannya selama ini tak sungkan untuk berperan menjadi seekor babi. Kemudian Taransky pun mencoba untuk membuang seluruh program aplikasi Simone ke laut guna mengenyahkannya, namun sayang, hal tersebut justru menimbulkan persoalan yang jauh lebih pelik, ia dituduh telah membunuh dan memutilasi Simone. Pada akhirnya, berbagai ketegangan yang terdapat dalam film tersebut ditutup dengan penampilan Taransky bersama Simone dalam sebuah acara live stasiun televisi di mana Simone mengutarakan niatnya untuk menghilang dari hadapan publik.

Simone, Simulakra dan Hiperrealitas
            Muatan simulakra dan hiperrealitas yang terdapat dalam film Simone kiranya cukup jelas. Simulakra dalam film tersebut ditunjukkan melalui kecanggihan sebuah program komputer terbaru yang mampu menciptakan sosok artifisial berupa Simone. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara sederhana, simulakra adalah penampakkan sesuatu yang tak sebagaimana adanya: it is what it is not. Atau dengan kata lain, ia adalah pengkonversi hal-hal yang bersifat abstrak pada konkret, dan demikian pula sebaliknya. Dalam hal ini, Simone yang sesungguhnya tak ada (abstrak), dapat diwujudkan (di-konkret-kan) melalui sebuah program komputer, dan memang, instrumen tersebut terklasifikasi dalam salah satu bentuk media simulakra.

            Secara tak langsung, hal di atas pun menunjukkan perihal yang diistilahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas atau sesuatu yang melampaui kenyataan. Kiranya, muatan hiperrealitas yang terkandung di dalamnya menyangkut dua hal. Pertama, sebuah program komputer yang mampu mewujudkan keinginan seorang sutradara untuk memperoleh aktris yang sempurna, atau dengan kata lain, sebuah program komputer yang mampu merealisasikan angan-angan terliar seorang sutradara. Kedua, muatan hiperrealitas yang terdapat dalam film Simone itu sendiri ditilik melalui sudut pandang audiens (penonton). Sebagaimana kita ketahui, hingga detik ini program komputer yang demikian canggih layaknya di atas belumlah ditemui dalam kehidupan kita, perihal yang paling mendekatinya adalah animasi komputer, itu pun belum mampu mewujudkan sosok manusia yang seolah-olah demikian tampak nyata. Namun, dalam sebuah film kesemua hal tersebut menjadi mungkin untuk diwujudkan, secara tak langsung hal tersebut pun turut menunjukkan muatan hiperrealitas di dalamnya.           



*****



Referensi:

Film;
      §  Simone, 2002, New Line Cinema.
Buku;
      §  Adian, Donny Gahral, 2006, Percik Pemikiran Kontemporer, Kreasi Wacana.
      §  Agger, Ben, 2006, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana.




[1] Meskipun ia sendiri kerap menolak dikategorikan sebagai pemikir berhalauan posmodern.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger