PERAN LEBIH MASYARAKAT
DALAM PEMBERANTASAN TERORIS, MUNGKINKAH?
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Dalam beberapa hari belakangan ini,
penggerebekan markas teroris kembali terjadi di berbagai tempat tanah air,
tepatnya di Solo dan Depok. Menanggapi peristiwa tersebut, pemerintah dan
banyak akademisi kembali mengingatkan pentingnya partisipasi aktif masyarakat
dalam upaya pemberantasan sarang teroris di tengah masyarakat. Namun,
pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah hal tersebut benar-benar
dapat terwujud? Bisa jadi, himbauan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pemberantasan
teroris sekedar menjadi ide ideal namun musykil untuk diwujudkan. Apabila kita
menilik berbagai tempat persembunyian teroris sebagaimana diberitakan media
dalam beberapa tahun terakhir, umumnya mereka membaur dalam kerumunan warga, layaknya
di perumahan atau tempat kos. Ditinjau secara sosiologis, sesungguhnya baik
perumahan maupun tempat kos merupakan lingkungan sosial yang sengaja dibuat
guna memenuhi kebutuhan manusia modern, yakni terkait dengan tingginya
mobilitas berikut kepentingan pribadi yang mereka miliki.
Tak jarang pula, kini perumahan
sekedar menjadi tempat hunian sementara sebelum seseorang dipindahtugaskan ke
daerah lain atau menempati hunian lain yang dirasa lebih nyaman. Di satu sisi, tak
sedikit pula saat ini pihak-pihak yang sengaja membeli beberapa unit rumah di perumahan
untuk kepentingan investasi, seperti disewakan atau dijual kembali nantinya. Terkait
dengan keamanan sosial lingkungan perumahan, umumnya warga tak lagi disibukkan
dengan kegiatan ronda malam dikarenakan telah tersedia satpam guna menggantikan
tanggung jawab tersebut. Hal ini disebabkan oleh terlampau sibuk atau lelahnya warga
perumahan menjalani aktivitas keseharian sehingga membutuhkan porsi istirahat lebih
berikut berkualitas di malam hari. Berbagai hal di ataslah yang kiranya cukup
sulit mengandaikan hubungan sosial antarwarga perumahan yang bersifat tatap
muka, hangat dan dari hati ke hati dewasa ini. Hal tersebut tak lain disebabkan
oleh minimnya intensitas pertemuan antarwarga untuk berinteraksi atau sekedar
beramah-tamah.
Layaknya perumahan, persoalan serupa
turut mendera tempat kos, malahan lebih pelik. Saat ini, cukup jarang ditemui
seorang penghuni kos yang mengenal seluruh penghuni lainnya, sementara mereka tinggal
di atap yang sama. Tempat kos, di mana sebagian besar penghuninya adalah anak
muda, baik pelajar, mahasiswa ataupun para pekerja yang umumnya urung menikah,
memiliki kecenderungan berkelompok berdasarkan minat berikut kepentingannya
masing-masing. Kecenderungan ini pulalah yang kiranya “menyelamatkan” para
pemuda yang terafiliasi dengan jaringan teroris dari bentuk-bentuk hubungan
sosial yang bersifat mendalam serta saling mengenal dekat antara satu sama
lain. Di satu sisi, peran induk semang guna mencegah penyalahgunaan kos sebagai
tempat teroris muda bersembunyi pun cukup diragukan. Pasalnya, dewasa ini persaingan
antar kos-kosan yang demikian
kompetitif membuat para induk semang tak demikian memperhatikan asal-usul
berikut latar belakang para calon penyewa kamar, bahkan saat ini cukup banyak
pula ditemui rumah kos yang tak memisahkan antara penghuni pria dengan wanita
dikarenakan alasan ekonomi pemiliknya.
Menilik serangkaian persoalan di
atas, masih mungkinkah masyarakat berperan aktif dalam upaya pemberantasan
teroris sebagaimana santer
didengungkan pemerintah berikut para akademisi? Cukup sulit agaknya. Namun
demikian, satu hal yang kiranya dapat menjadi alternatif guna memecah kebuntuan
persoalan terkait adalah dengan menuntut peran aktif pejabat RT dan RW di
lingkungan setempat. Di samping kedua pemangku jabatan tersebut merupakan bagian
dari aparatur pemerintah di tingkat lokal, mereka turut dipilih secara langsung
oleh warganya. Peran aktif tersebut dapat dimisalkan dengan melakukan kunjungan
rutin terhadap warga baru atau penghuni yang dinilai janggal tindak-tanduknya.
Apabila terdapat berbagai indikasi kejanggalan yang kuat, maka pejabat RT atau
RW pun dapat segera melaporkannya pada pihak berwenang. Begitu pula, kedua
pejabat terkait seyogyanya menghimbau para induk semang untuk lebih
memperhatikan latar belakang para penghuninya. Hal ini dapat dilakukan tak
hanya dengan mewajibkan para penghuni kos untuk menyerahkan fotokopi KTP
sebagaimana telah dilakukan pada umumnya, tetapi juga fotokopi berbagai surat
identitas diri layaknya SIM, kartu mahasiswa, surat keterangan kerja atau
kuliah, sehingga diharapkan data identitas yang diperoleh benar-benar valid.
Namun, yang lebih penting lagi adalah, induk semang syarat tinggal bersama para
penghuni kos, atau setidaknya memiliki orang yang dapat dipercaya untuk mengawasi
mereka, mengingat dewasa ini banyak induk semang yang tak tinggal seatap dengan
para penghuni kos.
Harus diakui memang, satu hambatan
utama yang kiranya bakal ditemui dalam upaya mewujudkan peran aktif pejabat RT
dan RW di atas adalah ketiadaan insentif bagi kedua pemangku jabatan tersebut,
terlebih dikarenakan porsi pekerjaan mereka bertambah akibat peran sertanya
dalam upaya pemberantasan sarang teroris di tengah masyarakat. Agaknya,
pemberian insentif bulanan bagi pejabat RT maupun RW melalui iuran bulanan
warga relevan diwacanakan dewasa ini.
*Pernah dimuat dalam Harian Sriwijaya Post: http://palembang.tribunnews.com/2012/09/13/peran-masyarakat-dalam-pemberantasan-terorisme
0 komentar:
Posting Komentar