The Innocence of Muslims, Bukti Tindak
Radikalisme Buah Provokasi
Wahyu
Budi Nugroho
Pendiri
dan fasilitator Islamic Political Forum
(IPF), Fisipol-UGM.
Hingga
pekan ini, gemuruh protes umat muslim di berbagai penjuru dunia terkait penyebaran
cuplikan film The Innocence of Muslims
melalui situs Youtube masih terjadi. Penyebaran
cuplikan film tersebut memang patut disayangkan mengingat di samping
menampakkan sosok Nabi Muhammad, ia juga menyematkan serangkaian perihal
negatif pada nabi besar junjungan umat Islam. Sudah tentu hal ini mencederai
perasaan umat muslim di saentaro dunia. Implikasi yang timbul kemudian pun
jelas, hubungan antara dunia Barat dengan Islam kembali memanas. Sentimen
anti-Amerika Serikat dan Israel tampak mencuat di berbagai tempat mengingat
film terkait diproduksi oleh warga AS berdarah Yahudi, Sam Bacile, dan didanai
oleh seorang Kristen-Koptik kelahiran Mesir, Morris Sadek. Luasnya skala
konflik yang ditimbulkan The Innocence of
Muslims sesungguhnya telah terprediksi sebelumnya, terdapat kurang-lebih
1,3 milyar muslim di seluruh dunia sehingga sedikit saja isu sensitif mengenai
Islam atau muslim di ranah lokal, seketika dapat berubah menjadi isu global, permasalahan
muslim Rohingya di Myanmar beberapa waktu lalu misalnya.
Namun demikian, penyebaran cuplikan film
yang mencederai perasaan umat muslim di atas setidaknya menunjukkan bahwa tindak
radikalisme tak sekedar disebabkan oleh paham radikalisme itu sendiri,
melainkan terdapat sesuatu yang memicunya (memprovokasi). Salah satu tindak
radikalisme yang paling banyak disorot dalam peristiwa terkait adalah tewasnya
duta besar AS untuk Libya, J. Christopher Stevens, beserta tiga orang anggota stafnya.
Apabila kita menilik ke belakang, sesungguhnya peristiwa serupa telah terjadi berulang
kali. Jauh sebelumnya, yakni di tahun 1989, pemimpin politik dan spiritual asal
Iran, Ayatollah Khoemeini, mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap Salman
Rushdie berkenaan dengan novel The
Satanic Verses karangannya yang dinilai demikian menghina Islam dan Nabi
Muhammad. Segera setelahnya, Rushdie melarikan diri ke Inggris dan memperoleh
kewarganegaraannya di sana. Di tahun 2007, Ratu Elizabeth menganugerahi gelar kebangsawanan
(kesatria) pada Rushdie. Penganugerahan tersebut sontak memicu kecaman publik Islam
internasional, bahkan hubungan diplomatik Inggris dengan berbagai negeri muslim
dunia pun sempat bermasalah kala itu.
Dua
tahun sebelumnya (2005), emosi umat muslim dunia tersulut akibat munculnya
publikasi gambar karikatur Nabi Muhammad yang dimuat oleh surat kabar Jyllands-Posten,
Denmark. Karuan, kejadian yang sangat melecehkan tersebut dibalas Presiden
Iran, Ahmad Dinejad, dengan menggelar lomba menggambar peristiwa Holocaust dan
kemudian memamerkannya dalam sebuah eksebisi khusus di Iran. Apa yang dilakukan
Dinejad pun tak kalah menuai kontroversi bagi dunia Barat, tindakan tersebut
merupakan simbol penolakan kerasnya mengakui kebenaran peristiwa Holocaust.
Belum
redam betul amarah umat muslim dunia, tak lama berselang, tepatnya di tahun 2008,
amarah umat muslim dunia kembali memuncak akibat munculnya film Fitna buatan salah seorang anggota
parlemen Belanda berhalauan konservatif-liberal, Geert Wilders. Dalam film
tersebut, Wilders menyatakan secara eksplisit bahwa Islam adalah agama teroris,
ia pun turut menyoroti meningkat drastisnya jumlah populasi imigran muslim di
Belanda dan berbagai negara Eropa lain yang menurutnya patut diwaspadai. Tak
pelak, film Fitna memicu merebaknya wabah
Islamphobia dan sentimen anti-Islam di
dunia Barat.
Peristiwa
lain yang tak kalah kontroversialnya dalam dunia Islam adalah menyebarnya foto-foto
pelecehan yang dilakukan prajurit AS terhadap para tahanan di penjara Abu
Gharib, Irak (2004) dan Guantanamo, Kuba (2007). Di antara foto-foto tersebut,
tampak prajurit AS menelanjangi para tahanan, menakut-nakuti mereka dengan anjing,
bahkan ada pula yang berpose di hadapan jenazah tahanan. Menyebar luasnya
foto-foto tersebut berdampak pada kian santernya tuntutan publik internasional,
khususnya dunia Islam, terhadap pemerintah AS untuk segera menutup penjara
Guantanamo yang dinilai sangat tak memanusiakan manusia.
Serangkaian peristiwa di atas
seyogyanya menjadi renungan banyak pihak bahwa upaya deradikalisasi yang
dilakukan bakal menjadi sia-sia selama bibit-bibit pemicu radikalisme masih
saja ditemui. Harus diakui memang, perbedaan cara pandang antara dunia Barat
dengan Islam menjadi persoalan utama di sini. Barat dengan pemahaman liberalnya
menganggap kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai sesuatu yang
syarat dijunjung setinggi-tingginya, sebaliknya dengan dunia Islam yang masih
memiliki berbagai batasan akan perihal terkait. Sementara, di era globalisasi saat
ini di mana batasan ruang dan waktu tak lagi relevan, sudah tentu persinggungan
antara dunia Barat dengan Islam bakal kian intens terjadi. Oleh karenanya, setiap
pihak sepatutnya membangun sikap saling pengertian dan saling menghargai satu
sama lain. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan pencegahan berbagai publikasi
yang dapat memicu sentimen masing-masing pihak, pun dapat pula dilakukan dengan menggelar berbagai diskusi elegan yang
terakses publik internasional guna menjembatani beragam perbedaan yang ada.
*****
0 komentar:
Posting Komentar