"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Jumat, 05 Oktober 2012

The Innocence of Muslims: Manifestasi Benturan Antarperadaban via Media

The Innocence of Muslims:
Manifestasi Benturan Antarperadaban via Media

Wahyu Budi Nugroho
Pendiri dan fasilitator Islamic Political Fourm (IPF), Fisipol-UGM


            Isu mengenai benturan antarperadaban antara dunia Barat dengan Islam untuk pertama kalinya mengemuka secara luas pada medio dekade 1990-an saat Samuel Huntington, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hardvard menelurkan buku The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (Benturan Antarperadaban dan Penciptaan Kembali Tata Dunia). Meskipun memang, jauh sebelumnya, antropolog kenamaan Amerika Serikat, Arnold Toynbee, telah mengemukakan perihal serupa: “Konflik antara Barat dengan komunisme hanyalah selingan, setelahnya Barat akan menghadapi perang yang lebih besar lagi, yakni dengan Islam”, demikian pungkas Toynbee kurang-lebih. Tak pelak, pernyataan kedua tokoh di atas memicu pro-kontra dan diskursus berkepanjangan, namun sebagian besar pihak menganggap bahwa benturan antarperadaban hanyalah mitos belaka mengingat hanya sebagian kecil saja dari wilayah dunia yang mengalaminya, semisal intervensi pemerintah Perancis menggagalkan kemenangan partai Islam-konservatif FIS (Front islamique du salut) di Aljazair (1986), serta vis a vis antara Amerika Serikat dengan Taliban (1994).

            Namun demikian, menilik masifnya massa muslim di berbagai belahan dunia dalam memprotes penyebaran film The Innocence of Muslims melalui situs Youtube sebagaimana tengah terjadi saat ini, agaknya kian meneguhkan konstelasi benturan antarperadaban layaknya ungkap Huntington dan Toynbee satu dekade silam. Bisa jadi, konstelasi terkait memang baru dapat dirasakan secara konkret oleh penduduk dunia pasca terhubung dalam satu wadah jejaring besar informasi yang tak mengenal batasan ruang dan waktu, dalam hal ini internet. Disadari atau tidak, sistem informasi yang untuk pertama kalinya diperkenalkan raksasa komputer Amerika Serikat, IBM pada akhir tahun 1980-an tersebut membuat persinggungan antarmasyarakat dunia kian intens terjadi. Isu-isu lokal seketika dapat berubah menjadi isu global, dan begitu pula sebaliknya.

            Terkait hal di atas, kita tak dapat menutup mata bahwa terdapat kultur dan cara pandang yang demikian berbeda antara dunia Barat dengan Islam. Barat dengan paham liberalisme-nya begitu menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebaliknya dengan Islam yang masih memiliki berbagai koridor akan perihal terkait. Sudah tentu hal ini akan menjadi kian pelik manakala hubungan antarmasyarakat dunia tak lagi terhindarkan. Apabila dahulu hubungan antarmasyarakat dunia sekedar ditunjukkan melalui keberadaan duta besar di masing-masing negara, kini masyarakat sipil pun telah dapat mengambil peran tersebut. Sayangnya, kurangnya kemampuan ber-retorika berikut minimnya sikap saling pengertian kerap kali membuat informasi yang muncul ke permukaan terlampau bersifat vulgar, tanpa tedeng aling-aling, serta tanpa sadar melukai pihak-pihak tertentu.

            Tercatat, beberapa kejadian serupa layaknya penyebaran film The Innocence of Muslims telah terjadi sebelumnya. Di tahun 2005, publik Islam internasional dikejutkan sekaligus dibuat marah oleh publikasi gambar karikatur Nabi Muhammad yang dimuat harian Jyllands-Posten, Denmark. Belum reda betul amarah umat Islam dunia, selang beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2008, amarah publik Islam internasional kembali tersulut akibat publikasi film Fitna buatan Geert Wilders, salah seorang anggota partai konservatif-liberal asal Belanda.

            Apabila kita memperhatikan dengan seksama serangkaian peristiwa di atas, dapatlah ditilik bahwa media berperan besar dalam menciptakan skala konflik yang berskala besar dan luas tersebut. Dengan kata lain, agaknya prediksi Huntington dan Toynbee mengenai benturan antarperadaban bukanlah isapan jempol belaka, hanya saja, hal tersebut tak sekedar disebabkan oleh perbedaan kultur berikut cara pandang semata, tetapi juga didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan kemudian, akankah intensitas skala benturan antarperadaban di atas terus mengalami peningkatan tanpa sesuatupun yang dapat dilakukan guna mencegahnya? Tak mudah memang menjawab pertanyaan ini.

            Namun, apabila kita menilik berbagai kejadian serupa sebelumnya, hampir dapat dipastikan bahwa geliat massa yang tersulut emosinya lambat-laun bakal meredam seiring berjalannya waktu. Sementara, yang menjadi tantangan kemudian adalah, mampukah berbagai pihak mencegah terulangnya kembali kejadian serupa. Dalam hal ini, baik pengguna akses informasi maupun pemilik media seyogyanya memiliki pemahaman yang baik terhadap sensitif-tidaknya suatu isu bilamana terekspos ke ruang publik. Di satu sisi, sesungguhnya berbagai portal media (berita), khususnya dalam dunia maya, telah memiliki public vote ‘pemungutan suara publik’ yang berfungsi untuk menentukkan layak-tidaknya suatu informasi terpublikasikan. Public vote tersebut terutama ditujukan untuk menampung aspirasi berbagai pihak yang merasa keberatan atas terpublikasinya suatu informasi, untuk kemudian ditindaklanjuti sang pemilik media. Diakui atau tidak, ini adalah langkah yang sangat baik dalam upaya mewujudkan interaksi antarmasyarakat dunia yang cerdas dan elegan, dan tentunya, sebuah langkah besar guna mengembalikan benturan antarperadaban sebagai mitos belaka.

*****

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger