The Innocence of Muslims:
Manifestasi
Benturan Antarperadaban via Media
Wahyu
Budi Nugroho
Pendiri
dan fasilitator Islamic Political Fourm
(IPF), Fisipol-UGM
Isu mengenai benturan antarperadaban
antara dunia Barat dengan Islam untuk pertama kalinya mengemuka secara luas pada
medio dekade 1990-an saat Samuel Huntington, Guru Besar Ilmu Politik Universitas
Hardvard menelurkan buku The Clash of
Civilizations and The Remaking of World Order (Benturan Antarperadaban dan Penciptaan Kembali Tata Dunia).
Meskipun memang, jauh sebelumnya, antropolog kenamaan Amerika Serikat, Arnold
Toynbee, telah mengemukakan perihal serupa: “Konflik
antara Barat dengan komunisme hanyalah selingan, setelahnya Barat akan
menghadapi perang yang lebih besar lagi, yakni dengan Islam”, demikian
pungkas Toynbee kurang-lebih. Tak pelak, pernyataan kedua tokoh di atas memicu pro-kontra
dan diskursus berkepanjangan, namun sebagian besar pihak menganggap bahwa
benturan antarperadaban hanyalah mitos belaka mengingat hanya sebagian kecil saja
dari wilayah dunia yang mengalaminya, semisal intervensi pemerintah Perancis
menggagalkan kemenangan partai Islam-konservatif FIS (Front islamique du salut) di Aljazair (1986), serta vis a vis antara Amerika Serikat dengan Taliban
(1994).
Namun demikian, menilik masifnya
massa muslim di berbagai belahan dunia dalam memprotes penyebaran film The Innocence of Muslims melalui situs Youtube sebagaimana tengah terjadi saat
ini, agaknya kian meneguhkan konstelasi benturan antarperadaban layaknya ungkap
Huntington dan Toynbee satu dekade silam. Bisa jadi, konstelasi terkait memang
baru dapat dirasakan secara konkret oleh penduduk dunia pasca terhubung dalam
satu wadah jejaring besar informasi yang tak mengenal batasan ruang dan waktu, dalam
hal ini internet. Disadari atau tidak, sistem informasi yang untuk pertama
kalinya diperkenalkan raksasa komputer Amerika Serikat, IBM pada akhir tahun
1980-an tersebut membuat persinggungan antarmasyarakat dunia kian intens
terjadi. Isu-isu lokal seketika dapat berubah menjadi isu global, dan begitu
pula sebaliknya.
Terkait hal di atas, kita tak dapat
menutup mata bahwa terdapat kultur dan cara pandang yang demikian berbeda
antara dunia Barat dengan Islam. Barat dengan paham liberalisme-nya begitu
menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebaliknya dengan
Islam yang masih memiliki berbagai koridor akan perihal terkait. Sudah tentu
hal ini akan menjadi kian pelik manakala hubungan antarmasyarakat dunia tak
lagi terhindarkan. Apabila dahulu hubungan antarmasyarakat dunia sekedar ditunjukkan
melalui keberadaan duta besar di masing-masing negara, kini masyarakat sipil pun
telah dapat mengambil peran tersebut. Sayangnya, kurangnya kemampuan ber-retorika
berikut minimnya sikap saling pengertian kerap kali membuat informasi yang muncul
ke permukaan terlampau bersifat vulgar, tanpa tedeng aling-aling, serta tanpa sadar melukai pihak-pihak tertentu.
Tercatat, beberapa kejadian serupa
layaknya penyebaran film The Innocence of
Muslims telah terjadi sebelumnya. Di tahun 2005, publik Islam internasional
dikejutkan sekaligus dibuat marah oleh publikasi gambar karikatur Nabi Muhammad
yang dimuat harian Jyllands-Posten, Denmark. Belum reda betul amarah umat Islam
dunia, selang beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 2008, amarah publik
Islam internasional kembali tersulut akibat publikasi film Fitna buatan Geert Wilders, salah seorang anggota partai
konservatif-liberal asal Belanda.
Apabila kita memperhatikan dengan
seksama serangkaian peristiwa di atas, dapatlah ditilik bahwa media berperan
besar dalam menciptakan skala konflik yang berskala besar dan luas tersebut. Dengan
kata lain, agaknya prediksi Huntington dan Toynbee mengenai benturan
antarperadaban bukanlah isapan jempol belaka, hanya saja, hal tersebut tak
sekedar disebabkan oleh perbedaan kultur berikut cara pandang semata, tetapi
juga didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
dewasa ini. Lalu, yang menjadi pertanyaan kemudian, akankah intensitas skala
benturan antarperadaban di atas terus mengalami peningkatan tanpa sesuatupun yang
dapat dilakukan guna mencegahnya? Tak mudah memang menjawab pertanyaan ini.
Namun, apabila kita menilik berbagai
kejadian serupa sebelumnya, hampir dapat dipastikan bahwa geliat massa yang
tersulut emosinya lambat-laun bakal meredam seiring berjalannya waktu. Sementara,
yang menjadi tantangan kemudian adalah, mampukah berbagai pihak mencegah terulangnya
kembali kejadian serupa. Dalam hal ini, baik pengguna akses informasi maupun
pemilik media seyogyanya memiliki pemahaman yang baik terhadap
sensitif-tidaknya suatu isu bilamana terekspos ke ruang publik. Di satu sisi,
sesungguhnya berbagai portal media (berita), khususnya dalam dunia maya, telah
memiliki public vote ‘pemungutan
suara publik’ yang berfungsi untuk menentukkan layak-tidaknya suatu informasi terpublikasikan.
Public vote tersebut terutama
ditujukan untuk menampung aspirasi berbagai pihak yang merasa keberatan atas terpublikasinya
suatu informasi, untuk kemudian ditindaklanjuti sang pemilik media. Diakui atau
tidak, ini adalah langkah yang sangat baik dalam upaya mewujudkan interaksi
antarmasyarakat dunia yang cerdas dan elegan, dan tentunya, sebuah langkah
besar guna mengembalikan benturan antarperadaban sebagai mitos belaka.
*****
0 komentar:
Posting Komentar