"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Sabtu, 24 November 2012

FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL SEBAGAI INSTRUMEN PEREDUKSI RADIKALISME BERAGAMA

FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI INSTRUMEN PEREDUKSI RADIKALISME BERAGAMA
PENDEKATAN INDIVIDUAL-FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI ALTERNATIF PEREDAM TINDAK TERORISME
BERWAJAH AGAMIS DI ERA KONTEMPORER

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


“Iman baru ada setelah akal mulai berhenti…”
(Soren A. Kierkegaard)
Pendahuluan
            Layaknya metafora Giddens (2009: 183-184) akan laju dunia dewasa ini sebagai juggernaut, sebuah panzer besar yang berlari kencang tanpa arah dan sewaktu-waktu dapat terguling berikut pecah berkeping-keping. Kiranya, sulit untuk dielakkan bahwa saat ini juga kita hidup dalam dunia-juggernaut sebagaimana ungkap Giddens. Secara denotatif, konotasi tersebut menunjuk pada dunia dengan beragam muatan kepentingan yang berbeda-beda tanpa ditemui titik temu di dalamnya. Masing-masing pihak saling berupaya memaksakan kehendaknya tanpa menghiraukan keberadaan pihak lain, berbagai bentuk batasan—koridor—yang ada pun diterjang begitu saja tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin hadir kemudian. Giddens memastikan bahwa dunia yang demikian cepat atau lambat bakal menemui kehancurannya.

            Dalam ranah kontemporer, bentuk-bentuk persinggungan keras di atas salah satunya dapat dimisalkan melalui vis-à-vis antara demokratisasi dengan “teokratisasi” yang kian intens terjadi pasca berakhirnya Perang Dingin, atau apabila hendak dikatakan secara lebih gamblang, pertentangan antara kubu (golongan) sekular dengan pro-Agamis. Hal tersebut, seakan mengamini tesis Arnold Toynbee, antropolog kenamaan Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa pasca perang melawan komunisme usai, Barat akan menghadapi perang yang jauh lebih besar lagi, yakni perang melawan Islam, terkait kembalinya sentimen “Perang Salib”. Senada dengan Toynbee, Guru Besar Ilmu Politik Hardvard, Samuel P. Huntington (2006: 381-382) menegaskan bahwa pasca-Perang Dingin masyarakat Barat syarat menerima kenyataan bahwa mereka akan hidup dalam konstelasi “benturan antarperadaban”, yakni sebuah tata dunia yang dijejali dengan tarik-ulur kepentingan perebutan hagemoni antara Barat—kapitalisme—dengan Islam.                

            Satu hal yang kiranya menjadi persoalan urgen dan tengah “panas” dibicarakan akhir-akhir ini terkait konstelasi dunia dalam era benturan antarperadaban adalah meningkat signifikannya tindak terorisme di berbagai belahan negeri muslim dunia. Bahkan, implikasi yang ditimbulkannya telah dirasakan langsung oleh negara-negara Barat, peristiwa September Kelabu (9/11) misalnya, yang sontak memicu ditabuhnya genderang perang melawan terorisme global. Terkait hal tersebut,  Grant Wardlaw (dalam Abimanyu, 2005: 15) berkomentar, “Terrorism is now an export industry” [“Saat ini terorisme telah menjadi komoditas ekspor”]. Kiranya, persoalan takkan menjadi sepelik ini bilamana status hukum suatu negara memang berada dalam “kondisi perang”—bukannya damai—sehingga aksi-aksi terorisme yang dilancarkan pada lawan dapat dimaklumi, dan memang, jika suatu negara berada dalam kondisi demikian, maka aksi perlawanan yang dilakukan tak dapat disebut sebagai tindak terorisme. Oleh karenanya, persoalan akan menjadi jauh berbeda jika status hukum suatu negara berada dalam kondisi damai, aksi-aksi terorisme akan menemui bentuknya sebagai perihal yang absurd mengingat ketiadaan sasaran yang jelas berikut jatuhnya korban sipil tak berdosa yang tak sedikit. Tragedi Bom Bali I dan II di tanah air kiranya dapat dijadikan misal konkret akan hal tersebut.     

            Sejauh ini, pendekatan yang dilakukan guna mencegah bersemai dan tumbuh-kembangnya bibit terorisme cenderung bias ekonomi, pun lebih berfokus pada unit sosial berupa kelompok, komunitas, organisasi ataupun masyarakat. Kajian Esping Anderson, seorang sosiolog asal Denmark mengenai terorisme misalnya, menitikberatkan pada aspek kesejahteraan guna menanggulangi permasalahan terkait. Menilik hal tersebut, kiranya diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif guna menangani problem terorisme yang kadung menjadi persoalan dunia internasional ini, yakni sebentuk pendekatan yang tak sekedar berfokus pada unit kolektif, tetapi juga menyentuh unit individu (person entity), dan kebutuhan tersebut kiranya dapat dijawab melalui konsep “fenomenologi-eksistensial” cetusan Soren Aebey Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis asal Denmark. Secara ringkas, konsep terkait tak hanya menyentuh dimensi kedirian individu—unit individu, tetapi juga menitikberatkan pada level pengalaman eksistensial individu, yang dengan demikian jauh dari simplifikasi penghitungan matematis-ekonomi yang diyakini besar mempengaruhi tindakan aktor. Hal ini dirasa penting mengingat pengalaman beragama merupakan pengalaman yang bersifat eksistensial, dan oleh karenanya diperlukan pendekatan yang bersifat eksistensial pula guna memahaminya.   

Eksistensialisme Theistik dan Fenomenologi Eksistensial-Soren Kierkegaard
Sekilas mengenai Eksistensialisme Theistik
Eksistensialisme merupakan salah satu arus besar filsafat Eropa yang agaknya mulai terlupakan dewasa ini. Adalah Jean Paul Sartre (1905-1980), selaku tokoh sentral filsafat terkait mengingat dalam eksemplarnya, Being and Nothingness serta Existentialism is Humanism, ia secara eksplisit mencetuskan istilah “eksistensialisme” dengan segenap batasan-batasannya, berikut menguraikan dengan cukup mendetail perihal bagaimana seharusnya menjalani hidup sebagai seorang eksistensialis. Tema-tema yang diulas dalam filsafat eksistensialisme berkutat pada seputar permasalahan keterasingan (kesendirian) manusia, otentitas manusia, pemaknaan individu, absurditas berikut kebebasan individu (Martin, 2003: 1-2; Lathief, 2010: 5). Perkembangan terakhir dari filsafat terkait dapat kita lacak melalui keberadaan aliran psikoanalisis eksistensial usungan Victor Frankl serta psikologi eksistensial besutan Carl Rogers berikut Abraham Maslow, ditilik melalui karya-karya yang telah dihasilkan oleh kedua percabangan eksistensialisme di atas, kiranya psikologi eksistensial merupakan percabangan konsep eksistensialisme yang paling jauh meninggalkan induknya (Lathief, 2010: 7).

Akar dari filsafat eksistensialisme dapat dilacak kembali melalui pemikiran filsuf melankolis asal Denmark, Soren Kierkegaard, serta filsuf anti-Fondasionalisme Jerman, Nietzsche. Pada gilirannya, Kierkegaard melahirkan pemikiran eksistensialisme bercorak theistik (agamis) dengan pengikut setia layaknya Karl Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel Marcel, Nicolai Berdyaef serta Martin Buber. Sebaliknya, Nietzsche kemudian melahirkan filsafat eksistensialisme bercorak atheistik dengan para pengikutnya seperti Martin Heidegger, Fyodor Dostoyevsky, Maurice Ponty, Albert Camus dan terutama Jean Paul Sartre. Perbedaan mendasar antar keduanya adalah, apabila eksistensialisme theistik meyakini keterasingan manusia disebabkan oleh “dosa asali”, dan karenanya Tuhan meninggalkan manusia dalam kesendirian di dunia, maka eksistensialisme atheistik beranggapan bahwa keterasingan atau absurditas kehidupan manusia disebabkan oleh ketiadaan tujuan manusia “mengada” di dunia—manusia ada begitu saja di dunia, ia terhempas, terbuang, tanpa sebab dan tanpa tujuan (Palmer, 2007: 19-20 & 27-28).       

Lebih jauh, satu proyek besar yang berupaya digarap oleh eksistensialisme theistik-Soren Kierkegaard adalah menjawab pertanyaan: “Bagaimana menjadi seorang kristiani di dalam umat Kristen?”. Kierkegaard menganggap, dewasa ini nama Tuhan sedemikian mudah diucapkan, setiap orang menyebut nama Tuhan dengan gampangnya. Tegas dan jelasnya, Kierkegaard menganggap bahwa nama Tuhan telah menjadi sedemikian sepele, murah dan tanpa kesakralan sama sekali—kiranya tak jauh berbeda dengan kondisi yang kita hadapi saat ini.[1] Ia kemudian menganggap bahwa upaya guna men-sakral-kan kembali nama Tuhan hanya dapat ditempuh dengan memahami-Nya kembali secara subyektif, bukannya secara kolektif; larut dalam keanggotaan suatu jamaah, organisasi keagamaan, sekte dan lain sejenisnya. Guna mewujudkannya, diperlukan sebentuk metode yang sekiranya mampu memikul beban di atas, yakni sebentuk metode yang mampu mencapai pemahaman subyektif akan berbagai bentuk gejala yang ditimbulkan-Nya, dan satu-satunya metode tersebut bagi Kierkegaard adalah “fenomenologi eksistensial” (Martin, 2003: 3-6).

Sekilas mengenai Fenomenologi Eksistensial
            Layaknya fenomenologi cetusan sang mahaguru, Edmund Husserl, fenomenologi eksistensial besutan Kierkegaard tak kehilangan kekhasan karakteristik dari fenomenologi-Husserl, yakni penggunaan epoche atau “tanda kurung” [(…)] dalam memandang atau menafsirkan setiap fenomena. Epoche tersebut pada gilirannya berfungsi sebagai bentuk “penangguhan sementara” agar subyek tak seketika melakukan justifikasi atau penilaian-penilaian terhadap gejala yang menampakkan diri di hadapannya. Dengan kata lain, epoche dalam fenomenologi berfungsi sebagai “pengosong pikiran” agar gejala tersebut menampakkan diri sebagaimana adanya, tak tercemar oleh asumsi atau pemikiran subyek sebelumnya. Hanya saja, apabila Husserl menekankan tiga tahapan fenomenologi guna mencapai pemahaman subyektif berupa; reduksi fenomenologis, reduksi eiditis serta reduksi transendental, Kierkegaard menggantinya dengan tahapan-tahapan “lompatan iman” berupa; tahapan estetis, tahapan etis, serta tahapan religius (Hadiwijono, 1995: 143; Palmer, 2005: 76-77; Vardy, 2005: 46).

            Menurut Kierkegaard, tahapan estetis ditandai dengan kehidupan seseorang yang penuh dengan penipuan diri, yakni ditunjukkan melalui aktivitas seseorang yang sekedar mengejar kesenangan duniawi. Seorang pemabuk misalkan, ia memahami benar bahwa setelah kesadarannya kembali, maka hilanglah sudah kenikmatannya, untuk kembali mendapatkan kesenangannya, ia pun syarat menenggak minumannya kembali, dan demikian seterusnya. Apabila sang pemabuk di atas menyadari bahwa yang dikejarnya sekedar ke-fana-an dan menginsyafinya, maka ia pun segera melompat pada tahapan etis. Tahapan etis, menurut Kierkegaard, ditandai dengan pola pikir dan perilaku seseorang yang selaras dengan masyarakat. Tegas dan jelasnya, keadaan di mana seseorang menyesuaikan diri dengan nilai dan norma masyarakatnya. Lebih jauh, apabila kemudian ia merasakan kehampaan dalam tahapan tersebut, dalam arti, menemui serangkaian “ketidakberesan” dalam masyarakat, semisal kejenuhan dalam bekerja dikarenakan pola kerja yang terlampau mekanistis, ketidakbermaknaan dalam bersosialisasi, budaya hipokrit dan lain sejenisnya, maka dengan segera individu tersebut pun bakal mengalami lompatan terpenting dalam hidupnya, yakni “lompatan iman” menuju pada tahapan religius. Dalam tahapan religius, individu mulai menyadari keunikan dan ke-spesifik-kan dirinya di hadapan Tuhan, ia pun menginsyafi bahwa dirinya tak dapat demikian saja dileburkan ke dalam masyarakat—disamakan begitu saja. Bagi Kierkegaard, pada tahapan ini entitas individu sekedar tunduk pada perintah dan larangan Tuhan, bukannya masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga, organisasi, jamaah, sekte atau lain sejenisnya (Palmer, 2005: 79-108; Vardy, 2005: 46-76).

                Hal di atas dimisalkan Kierkegaard dengan peristiwa agung Abraham—bapak segala umat—yang dengan rela hati lagi ikhlas menyembelih putera kesayangannya, Ishak,[2] dikarenakan perintah Tuhan melalui mimpi. Bagi pandangan masyarakat kebanyakan, tentu tindakan yang dilakukan Abraham merupakan sebentuk “kegilaan”, bagaimana mungkin seorang ayah menyembelih putera kesayangannya sendiri, hal tersebut tentunya di luar akal sehat. Namun, tanpa menghiraukan nilai dan norma sosialnya, Abraham tetap bersikukuh untuk menyembelih puteranya. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa Abraham telah melakukan lompatan iman, di mana perihal yang diperbuatnya semata-mata dikarenakan oleh perintah Tuhan. Namun demikian, Kierkegaard menyayangkan, sesungguhnya dalam peristiwa di atas Abraham masih berkesempatan untuk melakukan “penangguhan fenomenologis”, yakni dengan mendayagunakan epoche (tanda kurung), ia dapat mempertanyakannya terlebih dahulu, apakah perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan ataukah iblis. Namun, meskipun pada akhirnya Abraham tetap bersikukuh menyembelih Ishak, Kierkegaard tetap menganggapnya telah berada pada tataran religius mengingat ia—Abraham—menganggap perintah tersebut berasal dari Tuhan, dan siapa jua yang mengetahui jika sebelumnya ia telah melakukan penangguhan fenomenologis (Palmer, 2005: 109-114). Inilah esensi utama dari konsep fenomenologi eksistensial-Kierkegaard, bahwa untuk “berkomunikasi” dan memahami kehendak Tuhan, maka individu syarat berada pada tahapan religius, terlepas dari ikatan sosial manapun serta menyadari sepenuhnya keunikan berikut ke-spesifik-kan dirinya di hadapan Tuhan.

Radikalisme, Fundamentalisme dan Terorisme di Era Kontemporer[3]
            Terminus “radikal” yang membentuk istilah “radikalisme” berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti “akar”. Dengan demikian, “berpikir secara radikal” sama artinya dengan berpikir hingga ke akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21). Lebih jauh, radikalisme kerap dikaitkan dengan istilah “fundamentalisme”. Fundamentalisme sendiri dapat diterjemahkan sebagai asas, dasar, fondasi atau hakikat. Adapun istilah “fundamentalis” dapat dimaknai sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner berikut selalu berupaya mengembalikan ajaran agama layaknya yang termaktub dalam kitab suci (Azhar, 2001: 119).

            Dalam Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism, Roxanne L. Euben (1999: 16-17) menjelaskan bahwa pada mulanya istilah fundamentalisme digunakan untuk menandai gerakan Kristen Protestan-Amerika Serikat pada awal abad ke-20 yang berupaya menyuarakan kembali penafsiran bibel secara harafiah (literally). Dalam Islam sendiri pungkasnya lebih jauh, istilah fundamentalisme tak ditemui di dalamnya, istilah terdekat guna me-representasi-kan perihal terkait dalam Islam adalah usuli yang kurang-lebih berarti “akar” atau “dasar”. Tak pelak, dewasa ini istilah tersebut kerap diasosiasikan dengan gerakan Islam-ideologis atau Islam-politik. John L. Eposito misalnya, menyamakan istilah Islam-politik dengan fundamentalisme Islam, begitu pula dengan Oliver Roy yang menafsirkan Islam-politik sebagai kelompok yang meyakini Islam baik sebagai agama maupun ideologi politik, lebih jauh, ia menyebutnya secara spesifik sebagai “neofundamentalisme” (Huntington, 2006: 179; Turmudi & Sinbudi, 2005: v). Kiranya, peran media tak dapat dikesampingkan pula dalam andil mempopulerkan istilah di atas.       

            Jalaluddin Rakhmat (dalam Azhar, 2001: 122) menguraikan adanya empat pengertian mengenai fundamentalisme Islam. Pertama, fundamentalisme sebagai gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah. Kedua, menunjuk pada gerakan penolakan keras terhadap modernisme Islam yang dibawa kelompok Wahabiyah dan Salafiyah—disebut pula sebagai fundamentalisme klasik. Ketiga, sebagai gerakan yang menentang weternisasi dalam Islam akibat arus globalisasi. Keempat, sebuah keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi alternatif.       

            Terkait dengan fundamentalisme dalam pengertian terakhir, yakni sebagai bentuk keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi alternatif, ditemui dua kubu Islam yang mengamininya namun memiliki metode (cara) yang berbeda untuk mewujudkannya. Kubu pertama adalah mereka yang berupaya mewujudkan hal di atas dengan menghalalkan segala cara, bahkan dengan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, kubu kedua lebih bersikap hati-hati, mereka menegaskan bahwa cara-cara kekerasan sekedar dapat dilakukan bilamana syarat dan rukunnya terpenuhi, yang utama dan esensial adalah apabila suatu negara (wilayah) berada pada status hukum perang, sedang negara-negara layaknya Indonesia, Malaysia atau Filipina, tidaklah berada dalam status demikian—dalam status damai—oleh karenanya, cara-cara yang seyogyanya digunakan untuk menegakkan ideologi Islam ialah melalui jalur dakwah nir-Kekerasan. Kiranya, pertentangan argumen di atas dapat dimisalkan dengan terpecahnya suara Jamaah Islamiyah (JI) kala merespon fatwa Osama bin Laden untuk memerangi simbol-simbol Amerika Serikat dimanapun mereka berada. Kelompok Hambali yang terdiri dari Ali Ghufron alias Muchlas, Abdul Aziz alias Imam Samudera serta Amrozi, mengamini fatwa tersebut, sedang Thoriqudin dan Ahmad Roihan menolaknya (Solahudin, 2011: 228).

            Lebih jauh, formulasi antara fundamentalisme dengan peng-halal-an segala cara guna merealisasikan orientasi tersebutlah yang nantinya melahirkan tindak terorisme. Istilah terorisme sendiri menurut Perpu RI No.1 Tahun 2003, ialah: Tindakan dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara luas. Di sisi lain, menurut Ayatollah Shaykh Muhammad Al-Taskhiri, Presiden World Moslem Cleric Organization, terorisme adalah “…an act carried out to achieve on in human and corrupt objective and involving threat to security of mankind, and violation of rights acknowledge by religion and mankind” (Abimanyu, 2005: 130-131). Dalam pembahasan terkait, tindak terorisme sebagaimana yang dimaksudkan adalah aksi bom bunuh diri maupun non-Bunuh diri dengan target sasaran yang tak jelas sehingga memakan banyak korban yang tak berdosa—wilayah dengan status hukum nonperang.

Kiranya, persoalan terorisme berwajah agamis—Islam—dewasa ini syarat ditempatkan sebagai sebuah jejaring besar, ia merupakan pintalan jejaring yang tak hanya sebatas pada ranah nasional, tetapi juga dunia internasional. Fakta mengenai banyaknya pelaku tindak terorisme di tanah air yang juga sekaligus merupakan “veteran” jihad Afghanistan agaknya kian mempertegas pernyataan tersebut. Ditambah lagi, penggunaan berbagai instrumen canggih dari para pelaku aksi terorisme kiranya menunjukkan bahwa aksi tersebut nyaris tak mungkin dilakukan secara perseorangan atau oleh kelompok kecil yang tak memiliki akses (hubungan) terhadap kelompok lebih besar dan tak memiliki kapasitas finansial yang mumpuni. Hal tersebut pun terbukti melalui serangkaian persidangan tindak terorisme yang digelar akhir-akhir ini dengan terungkapnya sejumlah aliran dana guna menyokong dibentuknya kamp-kamp pelatihan terorisme berikut aksi terorisme itu sendiri. Aksi terorisme Bom Bali I pada tahun 2002 misalnya, faktual sebagian besar pendanaannya berasal dari Osama bin Laden (Wahono, 2012).        

Fenomenologi Eksistensial sebagai Peredam Tindak Terorisme Berwajah Agamis
            Peranan fenomenologi eksistensial-Kierkegaard guna meredam tindak terorisme berwajah agamis termanifestasikan dalam dua bentuk: bagi “calon” pelaku tindak terorisme itu sendiri,[4] serta upayanya guna menarik persoalan agamis (ketuhanan) sedari ranah publik pada ranah privat. Sebagaimana penelaahan Kierkegaard atas kisah bapak segala umat, Abraham, yang rela mengorbankan puteranya, Ishak, faktual tersedia ruang guna melakukan penangguhan fenonemologis (epoche) di dalamnya, meskipun memang, tak diketahui dengan pasti apakah Abraham telah menggunakannya atau tidak. Begitu pula, dalam kasus calon pelaku tindak terorisme misalnya, selalu tersedia ruang baginya guna melakukan penangguhan fenomenologis: Apakah ini—melakukan pemboman/bom bunuh diri—benar-benar merupakan perihal yang diinginkan Tuhan?. Kenyataannya, banyak dari pelaku pemboman/bom bunuh diri merupakan buah dari indoktrinasi individu-individu yang berada pada tingkat atas organisasi—penggerak sentral atau para pemimpin organisasi. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa mantan pelaku tindak terorisme dan organisasi terkait secara vulgar, umumnya mereka yang direkrut untuk melakukan aksi terorisme adalah para pemuda yang sebelumnya telah diamati tindak-tanduk dan kepribadiannya, atau dengan kata lain, mereka yang terseleksi adalah individu-individu dengan jaminan kepribadian Islami. Dengan demikian asumsinya, apabila nantinya mereka mati kala melaksanakan “tugas suci”, maka insyaAllah bakal “syahid” (Kusaeni, 2009).

            Hal di atas kiranya menunjukkan secara eksplisit betapa ide atau inspirasi akan aksi terorisme besar dipengaruhi oleh kolektif di luar individu itu sendiri, pada saat yang demikianlah fenomenologi eksistensial berperan untuk mengambil jarak dari “kepungan” pemahaman kolektif. Dalam hal ini, fenomenologi eksistensial berkualifikasi guna merubah struktur dunia obyektif pada subyektif, atau dengan kata lain, merubah sedari “apa yang mereka/kita rasakan” menjadi “apa yang aku rasakan”. Melalui kondisi yang demikian, individu secara otonom dapat menimbang berulang kali apakah aksi peledakan bom merupakan perihal yang benar-benar diinginkan Tuhan ataukah tidak. Secara tak langsung, hal tersebut menyiratkan pencerabutan ide dan pemikiran individu dari kelompok atau organisasi yang menaunginya, dan memang, apabila individu tersebut sekedar menuruti arahan berikut perkataan orang-orang di sekitarnya, maka ia telah kehilangan keunikan atau otentitas dirinya di hadapan Tuhan, dan itu sama halnya dengan melecehkan Tuhan. Hal tersebut mengingat, lewat kebesaran-Nya, Tuhan menciptakan setiap manusia dengan keunikan dan otentitasnya masing-masing.

            Secara tak langsung, pemahaman subyektif atas Tuhan di atas menghantarkan pada transformasi kehidupan agamis sedari ranah publik pada ranah privat. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, dewasa ini nama Tuhan diucapkan dengan demikian gampangnya, nama-Nya dilegitimasi bagi berbagai kepentingan, Ia menjadi sedemikian murah, sepele, atau lebih tepatnya, mengalami desakralisasi. Dan, dalam pandangan eksistensialisme theistik-Kierkegaard, bentuk-bentuk kelompok, organisasi, jamaah berikut sekte keagamaan secara jelas me-representasi-kan hal terkait. Guna menghindarinya, individu syarat melampaui tahapan estetis dan etis melalui lompatan iman sehingga mencapai tahapan religius. Terkait dengan bentuk-bentuk perkumpulan keagamaan, kiranya hal tersebut terklasifikasi dalam tahapan etis sebagaimana ungkap Kierkegaard, mengingat terafiliasinya individu pada suatu bentuk ikatan sosial berikut upayanya untuk menyamakan pola pikir dan tindakannya dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam kondisi yang demikian, ia berpikir dan berperilaku layaknya anggota organisasi atau sekte, dan bukannya sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.

            Melalui eksistensialisme theistik-Kierkegaard serta “gaya berpikir” fenomenologi yang dibawanya, jangankan aksi terorisme, jaringan terorisme pun takkan pernah terbentuk. Sekali lagi, hal tersebut disebabkan oleh diterapkannya pemahaman subyektif atas Tuhan. Gaya berpikir tersebut akan “menghubungkan” individu secara langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara individu lain, alih-alih organisasi atau sekte keagamaan, dan sebagaimana dapat kita pastikan, pemahaman keagamaan yang bertumpu pada suatu otoritas—pihak lain—besar kemungkinan melahirkan distorsi, penyimpangan atau penafsiran-penafsiran tunggal yang syarat kepentingan. Hal di atas faktual turut menunjukkan betapa fenomenologi eksistensial-Kierkegaard sejalan dengan ide penarikan kehidupan agamis pada ranah privat, dan apabila hal tersebut benar-benar dapat diwujudkan, maka aksi-aksi terorisme pun tak akan terjadi. Mengapa? Apabila kita amati, berbagai instrumen yang digunakan dalam perakitan sebuah bom tak hanya bersifat spesifik, tetapi juga berbiaya tinggi, dan hal tersebut kiranya takkan dapat terwujud tanpa adanya jaringan yang luas serta dukungan finansial yang mumpuni. Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, serangkaian aksi terorisme terbukti melibatkan jaringan yang tak hanya mencakup ranah nasional, tetapi juga internasional (dunia).
             
            Bisa jadi, pertanyaan yang hadir kemudian adalah, mungkinkah fenomenologi eksistensial dapat benar-benar menjadi salah satu alternatif guna meredam tindak terorisme berwajah agamis—Islam—di era kontemporer? Apakah konsep eksistensialisme, khususnya fenomenologi eksistensial turut ditemui dalam Islam? Dan, bilamana tidak, bagaimanakah upaya yang dapat ditempuh guna mengintegrasikannya dalam Islam tanpa menerjang berbagai koridor yang ada?

Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam
            Disadari atau tidak, faktual dimensi eksistensialisme dapat kita temui dalam Islam. Beberapa dari karakteristik filsafat eksistensialisme sebagaimana diungkapkan Vincent Martin seperti subyektivitas, otentitas, kesendirian dan keterasingan, dapat pula ditemui dalam Quran, Sunnah serta kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Terkait dengan subyektivitas, terdapat firman-Nya dalam Hadist Qudsi yang menyatakan, “Aku (Allah) sebagaimana yang disangkakan hamba-Ku”. Sedang, dimensi otentitas dalam Islam dapat kita temui dalam Q.S Al-Mukmin: 60, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu”. Secara tak langsung, dimensi ke-otentik-an individu dalam ayat tersebut ditunjukkan melalui kebutuhan berikut permasalahan seorang hamba yang tentunya demikian berbeda (spesifik) dengan hamba lainnya, dan Allah memahaminya dengan meminta hamba-hamba-Nya untuk mengadu (baca: berdoa) kepada-Nya.

            Ihwal kesendirian yang juga sedikit banyak berkaitan erat dengan dimensi ke-otentik-an individu adalah berulang kalinya ditegaskan dalam Quran dan Hadist bahwa tanggung jawab atas segala tindakan berikut amalan individu selama di dunia menjadi tanggungannya seorang di akhirat kelak. Dalam hal ini, Islam tak mengenal pertanggungjawaban dosa secara kolektif atau turun-temurun, segala tindakan yang dilakukan individu murni dipikulnya seorang diri nanti. Begitu pula dengan beberapa Hadist yang ajeg mengingatkan kesendirian manusia kala dirinya berada di alam kubur, tanpa sanak saudara, sahabat, alih-alih masyarakat. Serangkaian hal tersebut kiranya menunjukkan dimensi eksistensial berupa kesendirian dalam Islam. Lebih jauh, dimensi keterasingan dalam Islam ditunjukkan melalui perkataan berikut sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Beliau pernah berkata bahwa Islam pada mulanya lahir dari keterasingan dan pada akhirnya akan kembali lagi pada keterasingan. Kiranya, saat inilah era sebagaimana yang dimaksudkan nabi tiba, yakni era di mana setiap pihak mengatasnamakan Allah namun saling berselisih satu sama lain. Tentunya hal tersebut bakal menimbulkan kebingungan berikut sebentuk pengalaman eksistensial tersendiri bagi individu yang benar-benar berupaya menemukan Tuhannya, dan kebingungan tersebut barulah dapat dipecahkan ketika ia melakukan pemahaman subyektif terhadap Tuhan.

            Selanjutnya, upaya guna mengintegrasikan filsafat eksistensialisme dengan Islam secara utuh dapat dilakukan dengan “mengoperasikan” konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana digagas oleh Ismail Raj’i Al-Faruqi (dalam Kuntowijoyo 2006: 7-8, 53-54). Konsep Islamisasi pengetahuan, berbeda halnya dengan pengilmuan Islam, apabila pengilmuan Islam beranjak sedari teks pada konteks, maka Islamisasi pengetahuan beranjak sedari konteks menuju teks. Ini berarti, berbagai konsep di luar Islam layaknya filsafat Barat, faktual dapat “di-Islam-kan” sejauh melalui serangkaian tahapan penyaringan sehingga tak lagi mengancam akidah, dan perihal urgen yang terdapat dalam proses tersebut adalah melakukan “pemaknaan kembali” ide-ide di luar Islam agar sesuai dengan ajaran Islam sehingga perbenturan antar keduanya pun tak ditemui kemudian.

Kesimpulan dan Penutup
            Melalui serangkaian penjabaran dan uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditilik bahwa fenomenologi eksistensial memiliki potensi guna menjadi salah satu alternatif peredam berikut pencegah tindak terorisme berwajah agamis—Islam—di era kontemporer. Di samping itu, konsep terkait dapat pula ditempatkan sebagai “metode pelengkap” dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme yang sebelumnya begitu bias dengan pendekatan ekonomi berikut kolektif. Lebih jauh, penggunaan konsep fenomenologi eksistensial dalam Islam kiranya menjadi mungkin mengingat ditemuinya pula dimensi eksistensialisme dalam Islam, dan upaya guna mengintegrasikannya secara utuh untuk menghindarkan terjadinya oposisi biner di dalamnya dapat ditempuh dengan menggunakan konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana ditawarkan oleh Ismail Raj’i Al-Faruqi.

*****

Referensi:

Buku;
  • Abimayu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia. Bandung: Grafindo.
  • Azhar, Muhammad. 2001. Fiqh Peradaban. Yogyakarta: Ittaqa Press.
  • Euben, Roxanne L. 1999. Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism: A Work of Comparative Political Theory. USA: Princeton University Press.
  • Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 
  • Hadiwijono, Harun. 1995. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
  • Huntington, Samuel. 2006. Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Qalam.
  • Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
  • Lathief, Supaat I. 2010. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Lamongan: Pustaka Pujangga.
  • Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Palmer, Donald D. 2005. Kierkegaard untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
  • Palmer, Donald D. 2007. Sartre untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
  • Solahudin. 2011. NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
  • Taher, Tarmizi [dkk.]. 2004. Meredam Gelombang Radikalisme. Jakarta: Center for Moderate Moslem & CV Karya Rezeki.
  • Vardy, Peter. 2005. Kierkegaard. Yogyakarta: Kanisius.


Internet;





[1] Termasuk bentuk-bentuk perkataan/pernyataan yang mengatasnamakan Tuhan.
[2] Dalam agama Islam, anak Abraham yang dikorbankan adalah Ismail.
[3] Sebagian diambil dari paper penulis—dengan berbagai penyesuaian, Gelombang Radikalisme-Islam di Era Globalisasi: Menilik Sisi Paradoks Globalisasi sebagai Ajang Pertarungan antara Gelombang Radikalisme Islam vis-à-vis Demokratisasi (2012).
[4] Calon pelaku tindak terorisme kerap pula disebut dengan julukan “calon pengantin” di dalam organisasi.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger