“MITOSIFIKASI
KEJAWEN” SEBAGAI STRATEGI ALTERNATIF
PENGEMBANGAN
PARIWISATA DIY BAGI TURIS MANCANEGARA
Wahyu Budi Nugroho*
“There’s
a place where I can go, when I feel low, when I feel blue…”
(The Beatles,
There’s A Place)
(Pintu masuk utara menuju Puri Cepuri, Parangkusumo [Foto: Wahyu B.N, 19/12/12]) |
Pendahuluan: Demitologi versus Mitosifikasi
Demitologi atau “penggerusan mitos”, itulah yang terjadi kala rasionalisasi
menyergap setiap sendi kehidupan manusia modern. Sebagaimana ungkap Weber
(1864-1920) (dalam Wrong [Ed.], 2003: 7; Clegg, 1996: 37), kehidupan modern
kemudian sekedar menemui bentuknya sebagai perihal yang gersang, “kering-kerontang”, dan tak ubahnya seperti “sangkar besi besar-kehidupan”.
Kesemua syarat ditakar melalui logika, hukum sebab-akibat, dan tak membuka
kemungkinan bagi menyeruanya penjelasan-penjelasan kreatif di luar rasio. Hal
ini pulalah yang segera menghantarkan manusia pada era “posmodern”, era di mana
manusia mengalami kehampaan spiritual berikut ketidakbermaknaan hidup akibat
terlampau mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi guna mengatasi segala
persoalan hidup (Robinson, 2002: 44; Giddens, 2009: 64). Seolah, harapan tak
terhingga umat manusia akan modernitas runtuh bersamaan dengan nihilisme yang terkandung
dalam rahimnya. Kiranya, serangkaian fenomena di ataslah yang tengah luas-menjangkiti
masyarakat Barat kontemporer.
Implikasi
yang ditimbulkannya kemudian pun jelas, masyarakat Barat mulai berbondong-bondong mencari akar
spiritualitas dari dunia Timur. Hal ini salah satunya tempak dengan menjamurnya
“klinik-klinik yoga” di dunia Barat (Amerika Serikat dan Eropa) (Raub, 2002: 797).
Tak pelak, bebarengan dengan mengeringnya
dimensi spritualitas masyarakat Barat, yoga pun turut mendunia. Pertanyaanya,
mengapa bukan meditasi ala kejawen—misalnya?
Kerap kali, kegandrungan masyarakat Barat pada yoga tak sekedar terhenti pada
kegandrungan semata, tetapi juga diikuti dengan upaya untuk menziarahi maupun
mempelajari yoga secara langsung dari tempat asalnya: negeri India. Sudah
tentu, hal tersebut memiliki andil dalam mengembangkan dunia pariwisata India, khususnya
pariwisata yang bernuansakan religius (wisata religius) (Liberman, 2009: 5).
Apabila
kita menginsyafi dengan seksama, sesungguhnya kegaringan spiritual yang tengah melanda
masyarakat Barat merupakan peluang bagi pemerintah DIY untuk menawarkan wisata-wisata
berbalutkan religius, terlebih mengingat DIY kaya akan kronik “kepercayaan”
berikut sejarah yang menyertainya. Kedua hal inilah yang kiranya dapat diramu
kembali sehingga melahirkan narasi utuh dan berjiwa sehingga menjadi magnet
bagi siapa saja yang tengah dirundung kegersangan spiritual. Rangkaian narasi utuh nan berjiwa tersebutlah yang diistilahkan sebagai “mitosifikasi”
dalam pengkajian ini: penguatan kembali mitos-mitos lokal yang mulai tergerus
oleh laju modernisasi dan rasionalisasi. Namun perlu dicatat, kronik
kepercayaan sebagaimana dimaksudkan di sini bukanlah agama-agama besar yang
menemui bentuknya sebagai general
institution atau dapat ditemui di hampir setiap belahan dunia, melainkan
bentuk-bentuk kepercayaan lokal yang bersifat spesifik (restricted institution) (Soekanto, 2006: 212), dan dalam pengkajian
ini adalah kejawen. Lebih jauh, uraian
dalam pengkajian terkait berfokus pada proyek mistosifikasi Pantai Parangkusumo
yang terletak di kawasan Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul-DIY.
Mengapa Kejawen?
Secara
ringkas, “kejawen” adalah kepercayaan—atau tepatnya agama—yang dianut oleh masyarakat
Jawa Kuno (Jawa pra-Islam) (Damami, 2002: 100-101). Fungsi strategis kejawen
dalam pengembangan pariwisata DIY terletak pada dimensi lokalitas dan spesifikasinya.
Dengan kata lain, kejawen sekedar ada dan berakar di tanah Jawa. Ini artinya, mereka
yang hendak mempelajari atau mengetahuinya secara langsung lagi serius, mau tak mau syarat menyinggahi Pulau Jawa. Begitu
pula, berbeda halnya dengan “agama-agama besar” layaknya Islam, Kristen,
Katolik, Hindu ataupun Budha ditinjau melalui segi magnetik sosial-nya: Pelancong
mancanegara dengan dahaga spiritualitas-Islam misalnya, tak perlu repot-repot
pergi ke Jawa guna menziarahi Masjid Agung Demak atau Masjid Agung Kauman,
telah tersedia Makkah al-Mukarramah
yang dinilai lebih afdol sebagai tempat pelepas dahaga; begitu pula dengan para
pelancong mancanegara dengan dahaga spiritual bernafaskan Kristen, Katolik,
Hindu maupun Budha, baik dari kelima agama besar di atas memiliki tempat-pusat
spiritualitasnya masing-masing—agak berbeda pada Budha dengan Borobudur yang
juga terdapat di tanah Jawa.
Di sisi
lain, keberadaan Keraton Kesultanan Yogyakarta turut menjadi bingkai yang tepat
bagi kepercayaan kejawen mengingat sedari dulu Keraton Yogyakarta ditempatkan sebagai
pusat spiritualitas tanah Jawa. Pun, keberadaannya
sebagai muara berikut penjaga denyut nadi kebudayaan Jawa, termasuk di dalamnya
kepercayaan kejawen (Damami, 2002: 101). Meskipun memang, pengikut kejawen
nyaris tak tersisa di era sekarang, juga kepercayaan terkait yang tak diakui
(baca: belum diakui) sebagai salah satu kepercayaan (agama) di Indonesia, namun
faktual ritual-ritual yang lekat dengannya masih saja ajeg ditemui dalam keseharian hidup masyarakat Jawa hingga kini,
khususnya Yogyakarta—meskipun jumlahnya sangat sedikit. Umumnya, serangkaian
ritual tersebut layaknya semedi (bertapa) serta pemberian kemenyan (sesaji) di tempat-tempat yang dianggap sakral atau
kramat, ruwatan atau menghilangkan
bala (baca: tolak-bala), kenduri atau
selamatan, labuhan, dan lain
sebagainya. Bahkan, pola-pola ritual di atas tetap ditemui pasca masuknya pengaruh
Islam di tanah Jawa ratusan tahun silam (Damami, 2002: 101-102). Serangkaian
hal di ataslah yang kiranya berpotensi besar menjadi materi mitosifikasi guna
menarik turis mancanegara yang tengah dilingkupi kabut tebal nihilisme dan
absurditas kehidupan (pandangan bahwa hidup adalah sesuatu yang "aneh", tak dapat dijelaskan, berikut tanpa tujuan).
Mitosifikasi Pantai Parangkusumo
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, pengkajian terkait berupaya memfokuskan proyek
mitosifikasi pada Pantai Parangkusumo yang terletak di kawasan Pantai
Parangtritis, Kabupaten Bantul-DIY. Pemilihan Pantai Parangkusumo sebagai
lokasi mitosifikasi didasarkan pada serangkaian pertimbangan sebagai berikut: Pertama, kentalnya mitos yang terkandung
di lokasi tersebut, yakni Pantai Parangkusumo yang diyakini sebagai tempat
pertemuan antara setiap generasi raja-raja Keraton (sultan) dengan Nyi Roro
Kidul, penguasa gaib Pantai Selatan, pun
dipercaya sebagai pintu gerbang kerajaan Ratu Pantai Selatan (Nyi Roro Kidul); Kedua, masih kerapnya ritual ala kejawen
dilakukan di lokasi tersebut, malahan
setiap hari, sebagaimana pengamatan penulis. Ketiga, luasnya jejaring-keterkaitan antara Pantai Parangkusumo
dengan lokasi-lokasi sakral lain di tanah Jawa seperti Keraton, Istana Taman
Sari, Pantai Parangtritis, Pantai Ngobaran-Gunung Kidul, bahkan Pelabuhan
Ratu-Jawa Barat; dan Keempat, belum
ditemuinya praktek mitosifikasi secara konkret, yakni penyusunan atau penulisan
secara sistematis serangkaian mitos berkenaan dengan Parangkusumo dan
keterkaitannya dengan lokasi-lokasi sakral lainnya di tanah Jawa.
Mitosifikasi dalam Praktek
Pertanyaan
yang hadir kemudian adalah, bagaimanakah
praktek konkret dari mitosifikasi itu sendiri?. Bisa jadi, sebagian pihak
beranggapan bahwa kentalnya beragam mitos yang menyelimuti Parangkusumo secara
tak langsung menunjukkan telah ter-mitosifikasi-nya (termitoskannya) Parangkusumo.
Anggapan tersebut memang ada benarnya, akan tetapi mitos yang bersifat lisani
berikut tak terangkai secara sistematis ke dalam sebentuk narasi yang mantap,
takkan memiliki daya jamah dan daya gugah yang kuat, terlebih ketiadaan narasi pada
lokasi yang dinarasikannya. Apabila kita mengamati dengan seksama, maka takkan
kita temui satupun narasi terpampang di Parangkusumo yang mengurai kronik
sejarah berikut menjelaskan satu-persatu berbagai tempat sakral di lokasi
tersebut dalam aksara Indonesia, alih-alih
aksara asing—bahasa Inggris.
(Papan keterangan Puri Cepuri, sama sekali tak ditemui penjelasan apapun mengenainya [Foto: Wahyu B.N, 19/12/12]) |
Semisal
Puri Cepuri yang diyakini sebagai tempat bertemunya Panembahan Senopati dengan
Nyi Roro Kidul (Parwito, 2012), faktual tak ditemui satu pun narasi yang
menjelaskan ihwal terkait, yang ada sekedar papan bertuliskan “Cepuri Parangkusumo”—tanpa
pemaparan apapun. Sudah tentu, para wisatawan yang sebelumnya sama sekali tak
mengetahui serba-serbi cerita di
balik Parangkusumo, takkan memperoleh informasi apapun melalui sebuah papan
yang sekedar bertuliskan “Cepuri Parangkusumo”. Begitu pula, bagi para wisatawan yang
sebelumnya sekedar memperoleh selentingan kabar-cerita dari mulut ke mulut
mengenai Parangkusumo atau mendapati kisahnya melalui media cetak maupun
elektronik, tak dapat dipastikan pula terbangun pemahamannya secara utuh akan
lokasi tersebut mengingat ajeg ditemuinya
kesenjangan antara informasi yang diperoleh secara langsung dengan tak langsung:
Apakah benar, ini adalah Puri Cepuri
dengan serangkaian kisahnya yang dahulu pernah kubaca?. Terlebih dengan menyeruanya problem informasi di era posmodern sebagaimana ungkap pakar
komunikasi kenamaan Inggris, Kieron O’Hara (2002: 4): samarnya perbedaan antara
informasi yang benar dengan salah, berikut informasi yang asli dengan palsu.
(Sela Ageng [Foto: Wahyu B.N, 19/12/12]) |
Di
samping hal di atas, faktual kedua buah batu sakral tempat-sentral ziarah Parangkusumo
dilakukan juga tak disertai keterangan barang sedikitpun. Padahal, bongkahan
batu besar di sebelah utara yang disebut Sela
Ageng, berikut bongkahan batu kecil di sebelah utara, Sela Gilang atau Sela Sengker,
merupakan tempat dimana semedi Panembahan Senopati yang “menggegerkan” laut
Pantai Selatan dilakukan—sehingga memaksa Nyi Roro Kidul beranjak dari singgasananya dan menghampiri
Panembahan Senopati (Parwito, 2012). Agaknya, berbagai persoalan keterbatasan
informasi yang bakal mendera wisatawan Parangkusumo di atas barulah teratasi bilamana
mereka membawa-serta guide (pemandu
wisata) dalam lawatannya. Namun, mendapatkan guide yang berpengalaman dan mengetahui persis ihwal seluk-beluk Parangkusumo
pun bukan persoalan mudah, terlebih yang fasih berbahasa asing.
(Sela Gilang atau Sela Sengker [Foto: Wahyu B.N, 19/12/12]) |
Minimnya
narasi penjelas berikut pemapar di kawasan Parangkusumo sudah tentu patut
disayangkan mengingat telah intens-nya
aktivitas budaya (baca: ritual) di kawasan tersebut. Hampir setiap malam—malahan setiap malam—dapat kita temui
para peziarah melakukan ritual layaknya semedi, bakar dupa, ataupun tabur bunga
di atas Batu Gilang-Parangkusumo, baik sebagai bentuk ikhtiar guna ngalab berkah (memperoleh/mencari
berkah), ataupun sekedar bentuk penghormatan pada tempat yang disakralkan oleh
orang-orang Jawa tersebut. Sementara, ruwatan (tolak-bala) yang dilakukan Keraton-Kesultanan
digelar beberapa bulan sekali di setiap malam Selasa Kliwon, dan ruwatan akbar guna
menyegarkan (menguatkan) kembali hubungan antara Keraton dengan Ratu Pantai
Selatan dihelat setiap malam 1 Suro atau di setiap malam pergantian tahun baru
Islam. Dalam setiap perhelatan ruwatan tersebut, kawasan Parangkusumo sekejap
menjadi arena pasar malam yang semarak, dan tentunya berpotensi besar pula menarik wisatawan
domestik maupun mancanegara (Sugiarto, 2006).
Lebih
jauh, dalam rangka menggalakkan proyek mitosifikasi Pantai Parangkusumo yang
berpotensi besar menjadi lokasi ziarah bertaraf internasional, agaknya kita
perlu pula belajar dari Bali. Sejauh ini, mitosifikasi Bali sebagai “Pulau
Dewata”—pulaunya para dewa—berjalan liniear dengan dukungan aktivitas budaya maupun
ritual masyarakat Bali yang masih lestari hingga kini. Dengan demikian, label
Pulau Dewata yang tersemat pun tak sekedar isapan jempol belaka: terdapat
kesinambungan antara mitos dengan praktek keseharian. Terkait dengan
Parangkusumo, ajeg terjaganya aktivitas
budaya dan ritual di lokasi tersebut hingga saat ini kiranya sekedar kurang ditopang
dengan mitosifikasi yang mantap sebagaimana Pulau Bali. Meskipun memang, tak
menutup mata jika terdapat dimensi historisitas yang demikian berbeda antara
Pulau Bali dengan Parangkusumo, yakni Bali yang telah menuai popularitas
internasional semenjak era kolonial-Belanda—warta mengenai eksotisme Pulau Bali
yang disebarluaskan oleh pelaut-pelaut asing di era penjajahan.
Namun
demikian, perbedaan akar historis yang cukup panjang di atas tak sepatutnya
ditempatkan sebagai penghalang kawasan wisata Parangkusumo untuk go-International. Sejauh kita mampu
meramu mitos dan praktek di lokasi tersebut dengan baik lagi menarik, reputasi internasional bukan perkara mustahil dituai
dalam tempo singkat. Hal ini mengingat atmosfer globalisasi yang kian membuat batasan
ruang dan waktu tak lagi relevan, juga didukung konstelasi posmodern di mana
produksi informasi jauh lebih masif ketimbang manufaktur (barang). Dan, perihal yang lebih utama adalah,
dunia yang gersang akibat laju rasionalisasi selalu membutuhkan beragam mitos
berikut irasionalitas-irasionalitas baru guna membuatnya kembali “mempesona”. Sebagaimana
ungkap Ritzer (2006: 45) mengamini
Weber, laju rasionalisasi menyebabkan terjadinya disenhancment of the world atau “hilangnya pesona dunia”.
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, upaya mitosifikasi kawasan Parangkusumo dapat
dilakukan dengan pemasangan papan-papan narasi mengenai kronik sejarah dan mitos
berbagai titik sakral di tempat tersebut. Perlu dicatat kiranya, mengingat turis
mancanegara yang hendak ditempatkan sebagai sasaran utama dalam wisata religius
ini, maka sudah sepatutnya aksara dari narasi di atas dilengkapi pula dengan
bahasa asing (Inggris). Adapun visualisasi berupa spanduk atau pemasangan
gambar-gambar dari berbagai tokoh yang dinarasikan kiranya dapat pula mendukung
proyek mitosifikasi—menambah aura mistis, hal ini sebagaimana dilakukan pada
ruangan kamar 308 Hotel Inna Samudera-Pelabuhan Ratu, yang konon secara khusus
disediakan bagi Nyi Roro Kidul (Winarno, 2012).
Secara
konkret, mitosifikasi kawasan Parangkusumo yang termanifestasikan melalui pengadaan
papan-papan narasi berikut kronik sejarah dapat dimisalkan sebagai berikut.
(Contoh
tulisan yang tertera pada papan narasi)
PURI CEPURI
|
CEPURI CASTLE
|
Ini
adalah tempat di mana Panembahan Senopati dan Ratu Pantai Selatan bertemu
serta membuat kesepakatan. Pada saat itu, Panembahan Senopati melakukan
meditasi di bongkahan batu yang lebih besar di bagian utara, sementara Ratu
Pantai Selatan menghampirinya di bongkahan batu yang lebih kecil di bagian
selatan. Kemudian di hari berikutnya (Sabtu), Panembahan Senopati melakukan
meditasi di bongkahan batu bagian selatan yang lebih kecil. Bongkahan batu
tersebut kini disebut dengan “Batu Cinta”.
|
This is the place where
Panembahan
Senopati and Queen of the South met and made an agreement. In that point,
Senopati was meditating on the larger stone within the north once Queen of
the South approached him and Saturday on the smaller stone within the south.
That stone referred to as the Love Stone.[1]
|
Contoh
di atas merupakan salah satu misal penarasian dari banyaknya tempat-tempat
sakral maupun kejadian bersejarah di kawasan Parangkusumo yang masih perlu dinarasikan.
Baik Sela Ageng, bongkahan batu besar di bagian utara, maupun Sela Gilang,
bongkahan batu yang berukuran jauh lebih kecil di bagian selatan misalnya, memiliki
ceritanya masing-masing berikut dapat menjadi bahan penarasian tersendiri.
Begitu pula, asal-usul tokoh layaknya Panembahan Senopati dan Nyi Roro Kidul, belum
lagi ditambah dengan keterkaitan Parangkusumo dengan tempat-tempat sakral
lainnya seperti; Keraton, Istana Taman Sari, Pantai Parangtritis, Pantai
Ngobaran, bahkan hingga Pelabuhan Ratu-Jawa Barat.
Secara
tak langsung, dapatlah dikatakan pula bahwa proyek mitosifikasi Parangkusumo merupakan
upaya penyatuan antara teks (narasi) dengan konteks (praktek/ritual) sehingga menghasilkan
mitos yang benar-benar memiliki ruh atau berjiwa—“mitos hidup”. Penyatuan
antara teks dengan konteks di atas tak sekedar berpretensi pada tekstualisasi
(konteks yang ditekskan), atau kontekstualisasi (teks yang dikontekskan),
melainkan hubungan respirokal antara keduanya, (teks dan konteks) mengingat penarasian
yang dibarengi langsung dengan pengamatan praktek-praktek ritual di lapangan,
juga praktek-praktek ritual di lapangan yang dibarengi langsung dengan
penarasian. Hal terkait didasarkan pada berbagai kemungkinan tindakan wisatawan
di lokasi layaknya bagan di bawah ini.
I.
|
Datang
ke lokasi wisata
|
=>
|
Melihat
praktek/ritual (konteks)
|
=>
|
Membaca
narasi (teks)
|
=>
|
Dari konteks ke teks
|
II.
|
Datang
ke lokasi wisata
|
=>
|
Membaca
narasi (teks)
|
=>
|
Melihat
praktek/ritual (konteks)
|
=>
|
Dari teks ke konteks
|
Di
sisi lain, proyek mitosifikasi Parangkusumo juga menemui bentuknya sebagai upaya
sistematisasi berikut kronologisasi sejarah dan budaya dalam ranah praksis. Hal
ini mengingat, upaya mitosifikasi Parangkusumo yang berkelindan dengan lokasi-lokasi
sakral lainnya secara tak langsung turut menuntut proyek mitosifikasi di
berbagai lokasi tersebut guna merajut ke-saling-terhubung-an. Apabila
benar-benar dapat terwujud, maka mitosifikasi yang terbentuk pun tak terbatas
pada kawasan Parangkusumo, melainkan seluruh titik aktivitas kejawen di Daerah
Istimewa Yogyakarta, bahkan tak menutup kemungkinan meluas hingga seluruh tanah
Jawa nantinya—membentuk jejaring mitosifikasi yang saling berhubungan.
Namun
demikian, perlu ditekankan kembali kiranya, orientasi utama dari penarasian
berbagai lokasi wisata religius adalah pemberian akses mandiri berikut seluas-luasnya
pada wisatawan mancanegara terhadap informasi ihwal tempatnya melawat. Sedang, dimensi
mitosifikasi yang terkandung di dalamnya berorientasi guna menyentuh aspek afeksi
wisatawan melalui kesatuan antara narasi dengan praktek (kenyataan) di lapangan:
narasi yang berjiwa. Hal ini sebagaimana prinsip kesadaran cetus kaum eksistensialis:
“Mengada tak dapat dipikirkan, tetapi
dialami” (Sartre, 1992: 126-127). Artinya, kesadaran manusia akan suatu
situasi dan kondisi tidaklah dapat sekedar dipikirkan atau dibayangkan semata,
melainkan harus benar-benar dialaminya sendiri (terjadi pada dirinya sendiri). Apabila
kedua hal di atas mampu direalisasikan, maka diharapkan pemahaman serta
penghayatan wisatawan mancanegara terhadap kejawen pun dapat terbentuk sehingga
kian mendekatkan diri mereka terhadapnya, bahkan tak menutup kemungkinan pula
jika menuntun mereka pada tahapan yang lebih jauh: “menjajalnya”.
Kejawen, Turis Mancanegara, dan Manusia sebagai “Homo
Ludens”
Istilah
“homo ludens” untuk pertama kali dipopulerkan oleh Johan Huizinga dalam kuliah
tamunya di Warburg Institute, Inggris pada tahun 1937. Kala itu Huizinga
menyampaikan paper mengenai
keterkaitan antara budaya dengan “permainan”. Istilah homo ludens sendiri menunjuk
pada manusia sebagai makhluk yang “gemar bermain”, di mana menurutnya budaya
sendiri merupakan sebentuk produk dari buah permainan manusia. Lebih jauh,
prinsip “permainan” tersebut bagi Huizinga ditunjukkan dengan kegemaran manusia
dalam mencoba hal-hal baru (Gombrich, 1961: 275). Pada gilirannya, istilah homo
ludens pun dapat diterjemahkan dalam dua arti; (1) Manusia sebagai
makhluk yang gemar bermain, dan (2) Manusia sebagai makhluk yang gemar mencoba (hal
baru).
Pada
ranah kontemporer, konsep homo ludens-Huizinga di atas digunakan oleh Jacques
Attali (1997: 83, 95, 100) guna menjelaskan perilaku konsumtif masyarakat
modern yang ditasbihkannya sebagai “masyarakat pencoba”. Menurut Attali, motif
utama dari konsumsi masyarakat dunia dewasa ini lebih dikarenakan rasa
penasaran berikut keingintahuan untuk mencoba berbagai produk baru. Hal ini
secara tak langsung ditunjukkan dengan hadirnya kultur “masyarakat pembuang”
layaknya Amerika Serikat dan Jepang sebagai dampak-ikutan dari kultur
masyarakat pencoba. Dalam konstelasi yang demikian ungkap Attali, komoditas menjadi
perihal yang “nomaden” atau mudah berpindah tangan. Suatu produk yang
seyogyanya masih dapat digunakan entitas individu sekonyong-konyong tergantikan oleh produk baru yang sesungguhnya
tak memiliki perbedaan signifikan dengan produk sebelumnya—sekedar penambahan minim
fitur-fitur tertentu.
Meminjam
kontekstualisasi Attali terhadap konsep homo ludens-Huizinga: masyarakat
kontemporer sebagai masyarakat pencoba. Agaknya, fenomena terkait turut mendera
lini kehidupan spiritual masyarakat. Sebagaimana telah disinggung di muka, menjamurnya
klinik-klinik yoga di dunia Barat dewasa ini kiranya sulit diluputkan dari analisis
mengenai eksistensi masyarakat pencoba. Pandemi nihilisme dan absurditas
kehidupan yang menjangkiti masyarakat Barat mendorong mereka mencoba berbagai
alternatif guna mengatasinya. Sebagian darinya justru terperosok pada jurang
pengrusakan diri yang lebih dalam seperti menyalahgunakan obat-obatan terlarang,
melarutkan diri dalam seni dan filsafat kontemplatif (kepasifan) guna mengekspresikan perasaan keterasingannya
sebagaimana tutur Dr. Ali Syariati (1985: 96-97). Ada pula yang tetap istiqomah meluluskan syahwat libidonya guna
mengisi kekosongan jiwa dan pada akhirnya justru menimbulkan persoalan-persoalan
baru, hingga mereka yang terfatalis dalam menghadapi kooptasi ketidakbermakanaan
hidupnya: melakukan aksi bunuh diri. Di sisi lain, terdapat pula sebagian
masyarakat Barat yang berupaya merevitalisasi dimensi transendensi dalam
dirinya, pun mencari akar-akar
spiritualitas dari dunia Timur di mana yoga menjadi salah satu alternatifnya.
Menilik
serangkaian fenomena di atas, kiranya tak menutup kemungkinan pula bagi kejawen
untuk andil dalam upaya mengeliminasi atau setidaknya mereduksi pandemi
nihilisme dan absurdisme yang tengah melanda masyarakat dunia, khususnya
masyarakat Barat. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, hal tersebut
pertama-tama dapat dimulai dengan menciptakan pemahaman berikut penghayatan
wisatawan mancanegara terhadap kejawen yang kiranya kemudian bakal berhadapan
dengan dimensi homo ludens pada diri mereka. Dan terakhir, membiarkan mekanisme globalisasi bekerja guna
menyebarkan spiritualitas kejawen ke saentaro dunia.
Kesimpulan dan Penutup
Melalui
berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya mitosifikasi kejawen yang
salah satunya termanifestasikan melalui proyek mitosifikasi kawasan
Parangkusumo sebagai lokasi percontohan, diharapkan mampu membentuk pemahaman berikut
penghayatan wisatawan mancanegara akan ragam spiritualitas tersebut. Pada
gilirannya, hal terkait diharapkan pula mampu mendekatkan serta menginisiasi wisatawan
mancanegara untuk “mencicipi” ragam spiritualitas ala kejawen. Sementara, tahapan
selanjutnya adalah membiarkan mekanisme globalisasi bekerja guna
menyebarluaskan spiritualitas kejawen ke saentaro dunia. Dengan demikian, di
samping kejawen memiliki andil dalam upaya mengobati masyarakat dunia dari nihilisme
dan absurdisme akut yang tengah mewabah, ianya turut berdaya guna secara
ekonomis bagi pemerintah maupun masyarakat lokal-DIY, dan sudah tentu, kesemua
hal tersebut pada akhirnya berimplikasi positif lagi signifikan bagi pengembangan dunia pariwisata DIY.
*****
Referensi:
Buku;
Attali, Jacques, 1997, Milenium Ketiga: Yang Menang, yang Kalah
dalam Tata Dunia Mendatang, Pustaka Pelajar.
Clegg, Stewart R., 1996, Fenomena Posmodernisme dalam Dunia Bisnis,
Tiara Wacana.
Damami,
Muhammad, 2002, Makna Agama dalam
Masyarakat Jawa, LESFI.
Giddens,
Anthony, 2009, Konsekuensi-konsekuensi
Modernitas, Kreasi Wacana.
Gombrich,
Ernst H., 1961, Art and Illusion,
Pantheon.
O’Hara,
Kieron, 2002, Plato dan Internet,
Jendela.
Ritzer,
George, 2006, The Globalization of
Nothing, Universitas Atma Jaya.
Robinson,
Dave, 2002, Nietzsche dan Posmodernisme,
Jendela.
Sartre,
Jean-Paul, 1992, Being and Nothingness,
Washington Square Press.
Soekanto,
Soerjono, 2006, Pengantar Sosiologi,
Rajawali Pers.
Syariati,
Ali, 1985, Peranan Cendekiawan Muslim,
Shalahuddin Press.
Wrong,
Dennis (Ed.)., 2003, Max Weber: Sebuah
Khazanah, Ikon.
Jurnal;
Raub,
James A., 2002, Psychophysiologic Effects of Hatha Yoga on Musculoskeletal and
Cardiopulmonary Function: A Literature Review, The Journal of Alternative and Complementary Medicine, Vol. 8, No.
6, 2002, pp. 797-812.
Working Paper;
Liberman, Kenneth, 2009, Yoga Tourism in India, University of Oregon, USA.
Internet;
Parwito, 2012, Pantai
Parangkusumo, Gerbang Istana Nyi Roro Kidul, http://www.merdeka.com/peristiwa/pantai-parangkusumo-gerbang-istana-nyi-roro-kidul.html (18/12/12).
Sugiarto, 2006, Suran
di Parangkusumo, http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/18/ked07.htm
(18/12/2012).
_______, 2007, Ruwatan
Labuh Sesaji Songgo Buwono di Parangkusumo, http://www.suaramerdeka.com/harian/0707/19/ked05.htm
(18/12/2012).
Winarno, 2012, Mengintip
Kamar Hotel Nyi Roro Kidul, http://www.merdeka.com/peristiwa/mengintip-kamar-hotel-nyai-roro-kidul.html
(18/12/2012).
Tentang Penulis
(Wahyu Budi Nugroho, sosiolog junior Indonesia [Foto: Dedy I.P, 19/12/12]) |
Wahyu Budi Nugroho. Lahir di Yogyakarta pada
tanggal 11 Juni 1988. Saat ini tengah merampungkan tesis pascasarjana pada
Prodi Sosiologi, Fisipol-UGM, guna memperoleh gelar Master (M.A) dalam disiplin sosiologi. Beberapa di antara
tulisannya yang telah dipublikasikan antara lain: Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi (Jurnal Studi Pemuda, Youth
Studies Centre-UGM Vol. 1, No. 1, Mei 2012); Peran Masyarakat dalam Pemberantasan Terorisme (Harian Sriwijaya
Post, 13 September 2012). Bukunya yang baru saja terbit (kumpulan tulisan)
berjudul, Surat-surat Cinta untuk KPK
(IRCiSoD, 2012). Pernah menjadi narasumber untuk Harian Suara Merdeka (30
Oktober 2011) dan Harian Kedaulatan Rakyat (3 April 2012). Belakangan dipercaya
menjadi salah satu panelis dalam Simposium
Nasional Youth Power-UGM 2012 (21 Oktober). [D.I.P]
* Pengamat sosial-budaya, mahasiswa
pascasarjana Prodi Sosiologi, Fisipol-UGM 2011.
[1] Dicuplik dari Indo Travel
Consultant (dengan berbagai penyesuaian), Parangkusumo
Beach, http://indonesiatraveles.net/en/point-of-interest/yogyakarta/beaches/parangkusumo-beach (18/12/2012).
2 komentar:
GURAH BATAM
GUN PAKARE buka Praktek Terapi GURAH di Batam sejak Tahun 2002 dengan tujuan untuk melestarikan GURAH tersebut agar tidak punah...dan hanya fokus pada pelayanan TERAPI GURAH TETES HIDUNG, agar dalam pelayanan Terapi GURAH benar-benar bisa optimal, serta... sudah RIBUAN Pasien yang telah ditanganinya... yang datang dari dalam kota, luar kota, luar pulau, bahkan dari manca Negara.
GURAH adalah...proses pembersihan organ tubuh dari berbagai lendir negatif yang merugikan organ tubuh secara alami...dengan cara meneteskan ramuan Gurah ke dalam hidung.
GURAH merupakan cara terapi tradisional yang diwariskan oleh para leluhur dari tanah JAWA...dan lebih dikenal khususnya oleh kalangan pertapa (ahli Meditasi), Pesilat, Dalang dan Pesinden sebagai upaya untuk membantu meringankan olah nafas (nafas panjang), suaranya nyaring dan kuat, serta...dimanfaatkan oleh sebagian Guru mengaji untuk menggurah para santrinya agar suaranya bagus dan merdu dalam membaca ayat-ayat suci Al-Quran...yang kemudian belakangan ini sangat marak dikenal dan dilakukan oleh para Penyanyi.
Selain bermanfaat untuk perawatan suara dan untuk perawatan kesehatan organ tubuh dari berbagai lendir yang bersifat negatif... Ber-GURAH juga sangat bermanfaat untuk membantu meringankan pengobatan berbagai penyakit, diantaranya...Batuk Menahun, Pilek Menahun, Sinusitis, Pusing Menahun, Perokok berat, dll.
Tetapi hal ini hanya berdasarkan bukti empiris hasil pengalaman praktek yang telah saya lakukan bertahun-tahun sejak Tahun 2002 s/d saat ini.
Bagi anda yang membutuhkan bantuan jasa Terapi GURAH, silahkan Hubungi GUN PAKARE Ahli Gurah Batam di No Hp. 0856 6830 3029
GURAH BATAM (Hp. 0856 6830 3029)
GUN PAKARE buka Praktek Terapi GURAH di Batam sejak Tahun 2002 dengan tujuan untuk melestarikan GURAH tersebut agar tidak punah...dan hanya fokus pada pelayanan TERAPI GURAH TETES HIDUNG, agar dalam pelayanan Terapi GURAH benar-benar bisa optimal, serta... sudah RIBUAN Pasien yang telah ditanganinya... yang datang dari dalam kota, luar kota, luar pulau, bahkan dari manca Negara.
GURAH adalah...proses pembersihan organ tubuh dari berbagai lendir negatif yang merugikan organ tubuh secara alami...dengan cara meneteskan ramuan Gurah ke dalam hidung.
GURAH merupakan cara terapi tradisional yang diwariskan oleh para leluhur dari tanah JAWA...dan lebih dikenal khususnya oleh kalangan pertapa (ahli Meditasi), Pesilat, Dalang dan Pesinden sebagai upaya untuk membantu meringankan olah nafas (nafas panjang), suaranya nyaring dan kuat, serta...dimanfaatkan oleh sebagian Guru mengaji untuk menggurah para santrinya agar suaranya bagus dan merdu dalam membaca ayat-ayat suci Al-Quran...yang kemudian belakangan ini sangat marak dikenal dan dilakukan oleh para Penyanyi.
Selain bermanfaat untuk perawatan suara dan untuk perawatan kesehatan organ tubuh dari berbagai lendir yang bersifat negatif... Ber-GURAH juga sangat bermanfaat untuk membantu meringankan pengobatan berbagai penyakit, diantaranya...Batuk Menahun, Pilek Menahun, Sinusitis, Pusing Menahun, Perokok berat, dll.
Tetapi hal ini hanya berdasarkan bukti empiris hasil pengalaman praktek yang telah saya lakukan bertahun-tahun sejak Tahun 2002 s/d saat ini.
Bagi anda yang membutuhkan bantuan jasa Terapi GURAH,URUT URAT SYARAF, BEKAM DAN SUPRANATURAL silahkan Hubungi GUN PAKARE (Ahli Terapi Tradisional Batam) di No Hp. 0856 6830 3029
Posting Komentar