1 Mei, Agenda Sial
Wahyu Budi Nugroho |
Nana mengirim surel, bunyinya: “Pak Wahyu, maaf, BCA menolak transferan
saya dikarenakan ketidaksesuaian antara nama dengan nomor rekening. Mungkin Pak
Wahyu bisa mengecek kembali scan slip transfer yang kemarin saya kirimkan?”.
Ini si Nana, bagian kerja sama salah satu korporasi kenamaan tanah air, tulisanku
buat korporasinya belum dilunasi. Berurusan lah ia denganku.
“Eh, Na! Bukan aku yang salah. Kau tuh. Coba Kau
cek, sejak kapan namaku berubah jadi Wahyu Adi Nugroho???! WAHYU-BUDI-NUGROHO,
catet!”
“Maaf Pak Wahyu, mohon dimaklumi ya… Hehehe”
“Aduh, Na! Enak kali Kau moaf-maaf, dua hari-dua malem kutunggu kirimanmu! Eh eh
eh, kau malah kirim surel beginian. Jadi Na, aku kudu tunggu 1-2 hari lagi buat
terima kirimanmu???”
“Ini saya sedang jalan ke Bank, Pak. Saya
usahakan hari ini bisa sampai kirimannya. Mungkin Pak Wahyu punya rekening BCA untuk
mempermudah pengiriman?”
“Tak ada aku rekening BCA. Eh, bentar eh, kukontak
temenku yang punya rekening ntu Bank”
---
“Ei Deas, kau dimana?” ku-sms si Deasy, pukul
10.14.
“Di kantorlah”
“Aku nak
pinjam nomor rekeningmu. Jam berapa Kau pulang???”
“Jam 7-an” jam tujuh-an malam maksudnya.
“Oke, nomornya masih yang dulu kan?”
“Ya eyalah…”
“*&^%$#@!”
---
“Eh Na, nih
coba Kau kirim ke nomor rekening ini” perbincanganku dengan Nana beralih ke
pesan singkat (baca: SMS).
“Baik Pak Wahyu, maaf merepotkan, hehehe”
balasnya.
“Ya, ya, ya. Udah, udah, buruan Kau kirim, cepat-cepat
Kau kabari aku kalau udah Kau kirim”
“Baik Pak, hehehe”
30
menit kemudian…
“Pak Wahyu, sudah saya kirim, mohon dicek ya.
Jangan lupa kabari saya juga nanti”
“Oke Na, thanks
ya Na, ntar aku cek, sorry juga
ngrepotin”
Tiba-tiba Deasy mengirim pesan singkat.
“Ei Yu, aku di Diamond Glass, samping furnitur Lawas,
kalau You hendak ambil ATM-nya
sekarang”
“Owh, oke-oke! Kusamperin sekarang juga ya
kesana!”
“Yups!” jawabnya meyakinkan.
Sesampainya di Diamond Glass…
“Permisi, saya mau ketemu Deasy…”
“Deasy??? Nggak ada tuh Pak yang namanya Deasy
di sini” jawab seorang cowok entah bagian apa, yang jelas terdapat monitor di
mejanya”.
Sejurus kemudian, aku pun clingak-clinguk di toko kaca ini: Diamond Glass.
“Owh, Deasy?! Sebentar lagi ia ke sini Pak,
sudah janjian kita…” jawab seorang wanita yang lainnya lagi, entah juga ia
bagian apa, yang jelas, terdapat monitor juga di mejanya.
“Alhamdolillah
… tak jadi menanggung malu aku” ucap halus-lirih batinku.
---
“Ei, Deas! Aku dah di Diamond Glass, kayak orang ilang!” bunyi pesan singkatku.
“Yow, yow, yow, aku dah mau nyampe. Ini dah di
depan Ros-In”
“Oke! Ndang!”
---
“Nih ATM-nya” Deasy menyerahkan kartu bertulis Paspor BCA padaku.
“Pin-nya?” balasku tak kalah garang.
“123456”
“Duitmu di sini berapa???”
“Rp 0,-”
“Mantab! Hehehe” ucapku setengah mengejek.
“Oke, tak bawa dulu ya?!” tambahku.
“Yow, ati-ati”
“Siph!”
---
Segera ku menuju ATM
BCA terdekat: Jl. Prawirotaman. Aku menjadi pengantri ketiga. Sepasang mbak-mbak
tampak di dalam. Di depanku ada ibuk-ibuk berkerudung.
“Aish! Lama nian nih mbak-mbak! Jangan-jangan mereka melakukan
hal-hal yang hendak kutengok”, batinku setengah curiga. “Kok nggak bisa ya,
Pak?”, itulah kalimat pertama yang tercetus dari mulut kecil-menggemaskan salah
satu mbak-mbak. Tentu saja, pertanyaan itu ditujukan bagi bapak juru parkir.
“Owh, nggak bisa ya?”, respon si bapak juru parkir. “Owh, nggak bisa ya?”, ucap
ibuk-ibuk berkerudung menirukan, entah disadarinya atau tidak. Tapi, ibu ini
tetap melangkah masuk box ATM, jelaslah ia niat memastikan. “Iya, nggak bisa”, celetuk
si ibu. Damn! Aku harus ke kantor BCA
terdekat: Brigjend Katamso.
Lampu merah di Jokteng
(Pojok Beteng). Ups, Akyu belum
mandi!. Terbayanglah rambutku yang ikal nan acak-acakan, pun wajahku yang
berkilau minyak. Tak apa, tak apa, kau eksistensialis, pertahankan kondisi
“mengada-mu” di tengah kepungan banyak “kesadaran”. Ea, ea, mvkvcih ea vdah
ingetyin akyu—aku berbicara pada diriku sendiri.
Kuparkir si Cessy (Honda Cs-1), kumasuki ruang ATM, sudah banyak
kesadaran (baca: orang) di sana. Aku mengantri, lagi. Tapi lumayan, kali ini
urutan dua. Segera setelah si Koh beranjak—seorang tua bermata sipit—kumasukkan
Paspor BCA Deasy ke mulut ATM. 1-2-3-4-5-6,
yak, penarikan tunai!. “Maaf, nomor
pin yang Anda masukkan salah”, kotak uang ini mengajakku bercakap lewat
layarnya. Aku belum menyerah, kutekan lagi nomor pin yang sama. Kali ini si
kotak bercakap, “Anda sudah dua kali memasukkan nomor pin yang salah, apabila
untuk ketiga kalinya Anda memasukkan nomor pin yang salah, ATM ini akan
diblokir”, kurang-lebih begitu ucapnya.
“Ei, Deas! Nomor pin
Kau salah!” segera kuhubungi si Deasy.
“Eh, bener tuh! Kau kali yang salah pencet! 1-2-3-4-5-6!” Deasy
tak mau kalah.
Oke, oke, kucoba lagi,
ini untuk yang terakhir, jika masih salah, terblokir!. Sejak dulu, cara Deasy
berkata-kata memang begitu meyakinkan. Yak, yak, siyap Bos, kan’ kucoba sekali
lagi!. Kupilih box ATM yang berbeda, barang kali box yang barusan memang tengah
trouble.
Bismillah…
Yak! Terblokir…!!!
Aku bergegas keluar, menghampiri
Cessy, lalu pulang. 1 Mei, tak hanya agenda sial buat para pengusaha, tetapi
juga buatku. Moga cuma di tahun ini.
Di tengah terik jalanan,
tersembul seuntai kalimat dari otakku yang mendidih: “Mbuh! Ra-urus!”*.
*****
0 komentar:
Posting Komentar