Katarsis.
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
…dengan lesu menyaksikan
buruk wajahnya di muka cermin. Tak kuning-langsat, alih-alih putih-bersih.
Hitam-pekat, sialnya tak juga manis.
Tebo. Sudah sejak lama dirasakannya hidup sebagai tragedi, tepatnya ketika duduk
di bangku kelas 2 SD. Teman-teman mulai memanggilnya dengan julukan itu: “Tebo”—anak
genderuwo dalam bahasa Jawa. Hitam-pekat
wajah dan kulitnya berpadu dengan rambutnya yang keriting, matanya yang coklat,
juga tubuhnya yang pendek. Terbersit dalam benaknya, Tuhan terlampau lama
menempatkannya di panggangan. Tragedi!
Wulan sekedar
menghiasi angan kosongnya. Era SMP tak jauh berbeda dengan SD: julukan Tebo
tetap tersemat. Ini semua gara-gara Koen, teman sekampung yang juga nyasar di
SMP yang sama. Dibawanya-serta julukan “Tebo” sedari kampung. Apes nian nasib “Raja Akbar”, nama asli
si Tebo.
Wulan. Gadis manis-kuning
langsat ini primadona SMP Tebo. Wajahnya mirip-mirip Asmirandah, sekilas orang
memandang bakal mendaulatnya “blesteran”. Padahal bukan, ia asli putri daerah—Klaten
Bersinar. Nama Facebook-nya pun oke punya: “Woeland’hIngiend’hDichintha’hTag’hIngiend’hDicakithie’h”,
gambaran remaja-remaji labil masa kini. Wulan bak pesona yang tak pernah redup.
Semua siswa di SMP Tebo memujanya, tak terkecuali guru-guru pria, bapak kepala
sekolah, hingga pakbon. Bahkan, ada
juga salah seorang siswi bermimpi menjadi pacarnya, Sri namanya. Sri memang
mengalami disorientasi seksual. Oalah
Sri, Sri…
Layaknya
teman-teman pria lainnya, Tebo memuja Wulan habis-habisan: siang dan malam,
pagi dan sore, rasio dan rasa-nya dijejali W-u-l-a-n semata. Namun, semakin intens
Tebo menghayatinya, semakin jelas pula bisik batinnya: “Kamu mau sama dia. Dia mau muntah”. Tabir kebenaran pun
tersingkap. Cahyanya demikian terang-benderang, silaunya melampaui senyum Close Up. “Lelaki sepertiku tak mungkin mendapatkan Wulan!”, teriak batinnya.
Tebo menyerah.
Sejak saat itu tak pernah lagi Wulan yang aduhai terselip di kepalanya (baca:
rambut keritingnya).
Tereliminasinya
Wulan sudah tentu kian melonggarkan pikir-nya. Tebo insyaf. Dalam keinsyafan itu,
terpikir strategi tuk menjadi manusia mulia, bertengger di puncak puja-puji
dunia. “Belajar giat! Berprestasi! Sukses!
Menuai keseganan banyak orang!”, itulah yang kemudian tercetus-keras di
bawah permukaan rambut keritingnya.
Segera,
era SMP menjadi tabularasa baginya. “Tak ada lagi yang boleh menghinaku!”,
tegas Tebo di hatinya sekali lagi. Wah,
wah, Tebo benar-benar siap menjadi manusia baru. Manusia mulia. Ubermensch, “manusia super”.
Siang-malam, pagi-sore, dan rasio-rasa Tebo kini berganti dengan syahwat tak
terbendungkan menjadi yang terunggul di setiap mata pelajaran, entah eksakta
ataupun ilmu-ilmu sosial. Inilah momen katarsis Tebo yang pertama.
Upaya
Tebo tak sia-sia. Yang Maha Welas Asih mengganjar kesungguhannya. Dan memang,
sejak dulu, DIA selalu begitu adanya. Tak peduli baik atau jahat, theis maupun
atheis, Barat juga Timur, asal sedia sungguh-sungguh, hamba sahaya bakal menuai
hasil setimpal, tinggal tempo singkat atau lama saja yang jadi perkara.
Pasca
larut dalam kesungguhan, Tebo pun menjadi mercusuar. Sudah tentu,
teman-temannya berpikir ulang tuk kembali menghina-merendahkannya. Bagaimana
tidak, nasib nilai ulangan matematika yang meledakkan kepala, pun bahasa Inggris yang me-rebonding rambut atas, tengah, juga
bawah, berada di kepalan Tebo kini. Sekali saja Tuan Tebo ogah memberikan
contekan, nilai mereka bakal hancur-berserak bak habis terhantam mortir.
Dunia
akademik SMP dilaluinya dengan mulus. Tebo pun menjebol-masuk SMA terfavorit di
kotanya. Tak tanggung-tanggung, ia duduk di singgasana akselerasi. Era SMA
menjadi lebih baik ketimbang SMP. Maklum, di era ini wajah atau kebagusan fisik
menjadi ukuran yang mulai tereduksi, keenceran otak sedikit-banyak mulai
memperoleh tempat.
Selulus
dari atap percepatan otak, Tebo semakin menggila. Ia kembali “menjebol-masuk”,
kali ini Departemen Kedokteran Umum-UGM yang menjadi korbannya. Dengan
mengambil sekursi dari departemen itu, Tebo bertanggung jawab terhadap frustasi
ratusan, bahkan ribuan anak-anak mayoritas seusianya yang berangan-besar
menjadi “pemenjara nyawa”—dokter. Meskipun memang, Tebo masih jauh berbeda
dengan kolega-kolega se-Departemennya. Masih dengan wajahnya yang “seperti itu”,
kulit hitam-pekatnya, rambut keriting, mata coklat, berikut pawakannya yang
pendek. Namun, jas putih-bersih kiranya cukup menjadi kompensasinya atas
kesemua itu.
Selaksa
tempo berlalu demikian cepat. Kini Tebo telah menjadi seorang dokter. “DR. Raja
Akbar”, itulah papan identitas kecil yang tertanam di satu belahan dadanya kala
mengenakan jas putih-putih. DR. Raja Akbar alias “DR. Tebo” tinggal menikmati
buah kesungguhannya saja di masa lalu. Ia telah berdikari, tak lagi memelas rupiah
pada orang tua. Mobil-motor-sepeda kayuh pun dimilikinya sendiri. Begitu juga,
kebutuhannya akan lawan jenis ajeg
terpenuhi. Berbekal label “DR.”, setiap betina digebetnya dengan sepele. Di era
sekarang, tak kuasalah para Hawa abad 21 menolak jas-jas putih pemenjara nyawa.
Di
tengah kegarangannya mencicip satu per
satu kenikmatan dunia yang bertebar, terngianglah DR. Tebo akan gadis ayu yang
dahulu dipujanya mati-matian: W-u-l-a-n, tak lupa dengan identitas Facebook-nya: “Woeland’hIngiend’hDichintha’hTag’hIngiend’hDicakithie’h”. Dilacaknya
kembali Wulan, namun kini nama FB-nya
telah berganti: “Wulan Kurniawati”. Wulan tak lagi labil.
Tebo,
dengan senjata pamungkasnya, status kemasyarakatannya yang baru, bergegas
menghubungi dan bersikeras menemui Wulan. Bak dua cambuk kusir yang bersambut, Wulan
mengiyakan pintanya. Bahkan Wulan bertindak terlampau jauh. Diluluskannya genter
pendek Tebo hingga “menggopek” hatinya. Wulan tak menyadari ketololannya. Tak
ubahnya Hawa-hawa lain yang diperboneka Tebo. Asa Wulan betul-betul keterlaluan
tingginya, Kilimanjaro pun dilampauinya tanpa sungkan, juga without permisi.
Hitungan
bulan cukup jadi bukti. Kasih yang mati. Tersimpan rapat peti. Hancur hati.
Tebo
pun muksa dari alam Wulan. Hilang.
Begitu saja. Tak hiraukan kasih murni-suci yang telah berkobar dalam hati. Baginya,
kekobaran itu tak ubahnya bara kompor di setiap dapur. Tebo puas tak terperi. Terlengkapilah
masa lalunya. Inilah momen kedua katarsisnya. Lima tahun derita, beranak-pinak
katarsis seumur-umur. Raja Akbar benar-benar telah menjadi “akbar”.
Tebo
menyeringai kecil. Menatap ke depan. Pun
berlalu. Begitu saja.
Katarsis. Selayang
Peringatan.
WBN, 25.12.12.
0 komentar:
Posting Komentar