"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Jumat, 31 Mei 2013

Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam

Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam


Oleh: Wahyu Budi Nugroho

            ...faktual dimensi eksistensialisme dapat kita temui dalam Islam. Beberapa dari karakteristik filsafat eksistensialisme sebagaimana diungkapkan Vincent Martin seperti subyektivitas, otentitas, kesendirian dan keterasingan, dapat pula ditemui dalam Quran, Sunnah serta kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Terkait dengan subyektivitas, terdapat firman-Nya dalam Hadist Qudsi yang menyatakan, “Aku (Allah) sebagaimana yang disangkakan hamba-Ku”. Sedang, dimensi otentitas dalam Islam dapat kita temui dalam Q.S Al-Mukmin: 60, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu”. Secara tak langsung, dimensi ke-otentik-an individu dalam ayat tersebut ditunjukkan melalui kebutuhan berikut permasalahan seorang hamba yang tentunya demikian berbeda (spesifik) dengan hamba lainnya, dan Allah memahaminya dengan meminta hamba-hamba-Nya untuk mengadu (baca: berdoa) kepada-Nya.

            Ihwal kesendirian yang juga sedikit banyak berkaitan erat dengan dimensi ke-otentik-an individu adalah berulang kalinya ditegaskan dalam Quran dan Hadist bahwa tanggung jawab atas segala tindakan berikut amalan individu selama di dunia menjadi tanggungannya seorang di akhirat kelak. Dalam hal ini, Islam tak mengenal pertanggungjawaban dosa secara kolektif atau turun-temurun, segala tindakan yang dilakukan individu murni dipikulnya seorang diri nanti. Begitu pula dengan beberapa Hadist yang ajeg mengingatkan kesendirian manusia kala dirinya berada di alam kubur, tanpa sanak saudara, sahabat, alih-alih masyarakat. Serangkaian hal tersebut kiranya menunjukkan dimensi eksistensial berupa kesendirian dalam Islam. Lebih jauh, dimensi keterasingan dalam Islam ditunjukkan melalui perkataan berikut sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad. Beliau pernah berkata bahwa Islam pada mulanya lahir dari keterasingan dan pada akhirnya akan kembali lagi pada keterasingan. Kiranya, saat inilah era sebagaimana yang dimaksudkan nabi tiba, yakni era di mana setiap pihak mengatasnamakan Allah namun saling berselisih satu sama lain. Tentunya hal tersebut bakal menimbulkan kebingungan berikut sebentuk pengalaman eksistensial tersendiri bagi individu yang benar-benar berupaya menemukan Tuhannya, dan kebingungan tersebut barulah dapat dipecahkan ketika ia melakukan pemahaman subyektif terhadap Tuhan.

            Selanjutnya, upaya guna mengintegrasikan filsafat eksistensialisme dengan Islam secara utuh dapat dilakukan dengan “mengoperasikan” konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana digagas oleh Ismail Raj’i Al-Faruqi (dalam Kuntowijoyo 2006: 7-8, 53-54). Konsep Islamisasi pengetahuan, berbeda halnya dengan pengilmuan Islam, apabila pengilmuan Islam beranjak sedari teks pada konteks, maka Islamisasi pengetahuan beranjak sedari konteks menuju teks. Ini berarti, berbagai konsep di luar Islam layaknya filsafat Barat, faktual dapat “di-Islam-kan” sejauh melalui serangkaian tahapan penyaringan sehingga tak lagi mengancam akidah, dan perihal urgen yang terdapat dalam proses tersebut adalah melakukan “pemaknaan kembali” ide-ide di luar Islam agar sesuai dengan ajaran Islam sehingga perbenturan antar keduanya pun tak ditemui kemudian. 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Konsep sedari teks ke konteks dan konteks ke teks adalah konsep segar yang baru saya temui..
Thanks infonya prof.Wahyu.. 😉

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger