"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Senin, 01 Juli 2013

ORTODOKSI KONSEP PEMBANGUNAN EKONOMI-POLITIK A.F.K ORGANZKY DAN W.W ROSTOW

ORTODOKSI KONSEP PEMBANGUNAN EKONOMI-POLITIK
A.F.K ORGANZKY DAN W.W ROSTOW
MENILIK KEMANDULAN KONSEP PEMBANGUNAN EKONOMI
DAN POLITIK MODERN DI NEGARA DUNIA KETIGA


Oleh: Wahyu Budi Nugroho

“Indonesia akan menjadi korban pertama saya...”
(John Perkins, Confession of Economic Hitman)

Menyoal Definisi Pembangunan
            Sebelum berbicara lebih jauh mengenai berbagai konsep pembangunan yang dicetuskan para pakar, seyogyanya kita memahami terlebih dahulu definisi mengenai istilah “pembangunan. Sebagaimana diutarakan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, terdapat perbedaan mendasar antara istilah perkembangan, pertumbuhan serta pembangunan. Menurutnya, istilah “perkembangan” menunjuk pada dinamika ekonomi dalam perspektif mahzab klasik, sedang “pertumbuhan” menunjuk pada dinamika ekonomi dalam perspektif neoklasik berikut neokeynesian, dan “pembangunan” menunjuk pada berbagai permasalahan ekonomi yang dihadapi negara-negara sedang berkembang.[1]

            Lebih jauh, berbicara mengenai pembangunan masyarakat mustahil lepas dari aspek sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan masyarakat itu sendiri. Dalam pembahasan ini, pengkajian mengenai dimensi pembangunan masyarakat akan dititikberatkan dalam keterkaitannya dengan aspek ekonomi dan politik, yang mana apabila hendak dikatakan lebih spesifik lagi, bermuara pada perbandingan konsep pembangunan ekonomi dan politik antara A.F.K Organzky dengan Walt Whitman Rostow.

Dimensi Ekonomi dan Politik sebagai “Janus Face”
            Pada mulanya, ekonomi didefinisikan sebagai “produksi untuk kegunaan”, sedang “produksi untuk pertukaran” atau “jual-beli” diistilahkan dengan chermatistics. Namun kemudian, terjadi pergeseran makna, ekonomi tak lagi didefinisikan sebagai produksi untuk kegunaan atau subsisten, melainkan produksi untuk pertukaran atau jual-beli, sedang istilah chermatistics lenyap entah kemana.[2] Menilik pada pendefinisian ekonomi di atas yakni sebagai “produksi untuk pertukaran”, maka setidaknya ekonomi dapat dinyatakan sebagai suatu perihal yang berbicara mengenai bagaimana entitas individu atau kumpulan dari entitas individu (baca: masyarakat) dapat melakukan proses produksi atau menghasilkan sesuatu guna mendapatkan income, kemudian menukarnya dengan berbagai hal lain yang dibutuhkannya kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

            Di sisi lain, istilah politik secara etimologis menunjuk pada kata “politea” atau “polis”, yakni sebentuk negara-kota di era Yunani Kuno yang mana setiap penduduk di dalamnya dapat berdiskusi maupun berdebat secara bebas, tanpa tekanan, nir-Represi, bahkan pembicaraan sekitar tema-tema subversif yang mengancam negara dapat berlangsung di dalamnya. Pada perkembangannya, istilah politik secara umum didefinisikan sebagai, “Upaya atau proses alokasi berikut distribusi berbagai ‘sumberdaya’ yang terdapat dalam masyarakat menyangkut apa, siapa dan bagaimana”. “Apa” dalam hal ini, dimaksudkan dengan, “Apa sajakah berbagai sumberdaya yang terdapat dalam masyarakat?” sedang, “siapa” menunjuk pada, “Siapa sajakah yang berdaulat atau menguasai berbagai sumberdaya tersebut?” dan, “bagaimana” merupakan sebentuk persoalan terkait, “Bagaimanakah cara atau upaya guna mengalokasikan berikut mendistribusikan berbagai sumberdaya tersebut secara merata?”.[3]  

            Disadari atau tidak, berpijak melalui definisi “politik” di atas, ditemui keterkaitannya yang erat dengan dimensi ekonomi, yakni menyangkut bagaimana sumberdaya dalam masyarakat dapat diatur guna kemaslahatan bersama, dalam bahasa Aristoteles: bonum publikum 'kebahagiaan bersama'. Adapun, pengertian “sumberdaya” di sini tidaklah dapat direduksi sebagai ekonomi atau goods 'barang' semata, melainkan pula kekuasaan, kedaulatan berikut akses yang dimiliki suatu pihak untuk berpartisipasi atau mempengaruhi proses serta hasil dari suatu kebijakan yang tercetus.

            Dengan demikian, kiranya tak berlebihan bila menjadikan Janus face 'wajah Janus' sebagai metafora antara ekonomi dan politik, dewa perang Romawi Kuno yang memiliki dua wajah saling berlawanan namun terintegrasi satu sama lain.            

Konsep Pembangunan Ekonomi dan Politik
A.F.K Organzky serta W.W Rostow
            Beberapa di antara banyak pakar yang memiliki concern dalam bidang pembangunan masyarakat adalah A.F.K Organzky dan W.W Rostow. Apabila konstruksi pemikiran Organzky bertitik tolak melalui pengkajian politik, maka Rostow lebih “bermain” pada ranah ekonomi. Namun, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, baik ekonomi maupun politik memiliki pertautan yang erat dalam pembangunan masyarakat.

            Sebagaimana kita ketahui, Organzky dikenal sebagai salah satu tokoh teori politik modern di samping Hutington, Almond dan Coleman.[4] Ia dikenal luas melalui pemikirannya mengenai berbagai tahapan perkembangan politik yang antara lain; unifikasi primitif, politik industrialisasi, politik kesejahteraan nasional dan politik berkelimpahan. Unifikasi primitif menunjuk pada penyatuan masyarakat secara paksa (represif), hal tersebut ditujukan guna mencapai stabilitas sosial-politik mengingat kestabilan keduanya merupakan prasyarat utama dilakukannya pembangunan sebagaimana diyakini para pengikut mahzab neoklasik. Setelah integrasi atau stabilitas sosial-politik terbentuk, dilakukanlah pembangunan yang termanifestasikan melalui industrialisasi besar-besaran, dengannya diharapkan kesejahteraan masyarakat terwujud melalui skema trickle down effect 'efek rambatan'. Tahapan terakhir dari serangkaian proses tersebut adalah terwujudnya masyarakat yang berkelimpahan dan tak kurang sesuatu apapun (A.F.K Organzky, 1985).

            Pada ranah yang berlainan, Rostow hadir dengan konsep tahap-tahap pertumbuhan ekonomi di mana menurutnya masyarakat akan melalui serangkaian proses progresifitas ekonomi sebagai berikut; masa tradisional, menuju lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan dan masa konsumsi tinggi. Masa tradisional ditandai dengan keterbatasan ekonomi akibat sifat masyarakat yang masih primitif, irasional dan penguasaan keterampilan yang bersifat warisan. Dalam tahapan ini, struktur sosial terkesan begitu hierarkis dan sentralistik sehingga mobilitas vertikal begitu kecil. Tahapan “menuju lepas landas” dicirikan dengan suatu transisi di mana masyarakat mencapai pertumbuhan dengan kekuatan sendiri. Hal tersebut didorong oleh berkembangnya teknik produksi modern sehingga meningkatkan kapasitas produksi, pembentukan modal yang besar serta meluasnya ekspansi pasar komoditas. Di satu sisi, perkembangan sektor pertanian yang ditunjukkan melalui jaminan ketersediaan pangan sehingga menghemat anggaran pangan negara guna dialihkan pada investasi sektor infrastruktur menjadi ciri lain tahapan menuju lepas landas pula.[5]

            Pada tahapan selanjutnya, yakni “lepas landas”, terjadi peningkatan pesat dalam penanaman modal produktif, industrialisasi (termasuk komodifikasi sektor pertanian) serta perubahan institusi sosial-politik yang memicu terjadinya gelombang demokratisasi dalam masyarakat. Dalam tahapan “menuju kedewasaan”, masyarakat telah memiliki kemampuan dalam menerapkan teknologi modern secara efektif. Tahapan tersebut ditandai dengan terjadinya transformasi sektoral, semisal pergeseran masyarakat agraris pada industri, atau tenaga nonahli pada tenaga ahli. Tahapan terakhir, yakni “masa konsumsi tinggi” ditandai dengan dominannya sektor konsumsi ketimbang produksi dalam masyarakat. Dalam tahapan tersebut, pertumbuhan ekonomi diyakini berjalan dengan sendirinya (self sustainable growth), berikut mendorong terwujudnya welfare state 'negara kesejahteraan'.[6]

Organzky dan Rostow:
Persinggungan serta Oposisi Biner Konsepsi Keduanya
            Melalui berbagai uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditelisik persinggungan atau persamaan berikut oposisi biner (perbedaan) antara konsepsi pembangunan Organzky dengan Rostow dalam keterkaitannya dengan dimensi ekonomi serta politik. Melalui segi latar belakang pemikiran, secara ekplisit Organzky tampak bertitik tolak melalui aspek politik dalam berbicara mengenai pembangunan masyarakat. Hal tersebut setidaknya tampak melalui ekplanasi tahapan awal berupa “unifikasi primitif” yang lebih berbau politis ketimbang ekonomistis. Di sisi lain, ia pun sempat menegaskan, “Pada umumnya, suatu bangsa tumbuh melalui tahap-tahap perkembangan poitik” (A.F.K Organzky, 1985).

            Lebih jauh, Organzky meyakini bahwa bermula dari konstelasi sosial-politik yang mantaplah kesejahteraan masyarakat bakal terwujud kemudian. Pegorganisasian berbagai tahapan perkembangan politiknya ke dalam dua klasifikasi motif yang bergerak secara liniear sedari politik pada ekonomi kiranya menunjukkan hal tersebut. Dalam hal ini, “unifikasi primitif” dapat terklasifikasikan dalam motif politis, sedang politik “industrialisasi”, “kesejahteraan” dan “berkelimpahan” cenderung dalam klasifikasi motif ekonomistis.  

            Lain halnya dengan Organzky, titik tolak konsep pembangunan masyarakat Rostow lebih bertumpu pada aspek ekonomi. Hal tersebut tampak melalui ekplanasi tahapan awal berupa “masa tradisional” yang seketika mengacu pada persoalan ekonomi. Lebih jauh, bermula dari kemantapan atau stabilitas ekonomi, Rostow meyakini bakal tercipta konstelasi sosial-politik yang mumpuni. Hal tersebut tampak melalui penjelasannya akan periode “lepas landas” (tahapan keempat) yang bakal mendorong timbulnya gelombang demokratisasi dalam masyarakat—transformasi institusi sosial-politik yang lebih demokratis.

            Terkait persinggungan konsep pembangunan masyarakat antara keduanya, ditemui persamaan epistemologis berupa “modernitas”. Sebagaimana kita ketahui, berbagai konsep ataupun teori pada tataran modern setidaknya memiliki tiga karakter; rasional, universal dan ahistoris. Karakter rasional kiranya tampak melalui uraian tiap tahap pembangunan keduannya yang logis, yakni memenuhi koridor hukum ilmiah berupa kausalitas sebab-akibat. Muatan universal tampak melalui penegasan Organzky dan Rostow atas berlakunya konsep yang mereka cetuskan di seluruh dunia—masyarakat Barat maupun Timur. Sedang, karakter ahistoris ditunjukkan dengan tak ditemuinya berbagai kemungkinan revisi atas konsep pembangunan tersebut di masa mendatang—seolah merupakan bentuk “jadi” yang sudah tentu benar dan berlaku hingga akhir zaman.        

            Di sisi lain, persamaan konsep antarkeduanya tampak melalui corak pemikiran yang lebih condong pada pemahaman neoklasik. Hal tersebut mengingat industrialisasi yang mereka tempatkan sebagai prasyarat utama guna mewujudkan kesejahteraan sosial. Organzky menyebutnya sebagai “politik industrialisasi”, sedang Rostow mengistilahkannya dengan “menuju lepas landas”. Begitu pula, baik keduanya meyakini akan tibanya masa berkelimpahan pada tahapan akhir pembangunan, yakni suatu kondisi transformasi masyarakat yang tertuju pada pemenuhan kebutuhan konsumtif atau berbagai barang mewah (tersier)kebutuhan primer dan sekunder telah sepenuhnya terpenuhi. Hal tersebut akan jauh berbeda bilamana Organzky dan Rostow mengadopsi konsep siklus Oswald Spangler dan Arnold Toynbee yang berakhir pada kelimpahan dan kejatuhan yang terus-menerus dan tak berujung.

“Dua Model Raksasa” Pembangunan Masyarakat
            Secara garis besar, terdapat “dua model raksasa” pembangunan masyarakat di dunia, yakni “strukturalis” dan “neoklasik”. Model strukturalis menekankan perlunya melakukan pembenahan struktur, sistem serta institusi atau kelembagaan sosial berikut kehidupan demokrasi dalam masyarakat sebelum pembangunan ekonomi (baca: industrialisasi) dilakukan guna meminimalisir pihak-pihak yang dirugikan dalam proses pembangunan nantinya.[7] Pemahaman terkait dipopulerkan oleh para tokoh mahzab ekonomi-politik seperti Raul Prebisch, C. Furtando, Andre Gunder Frank, Paul Baran, Michael P. Todaro dan Dos Santos.[8] Landas-dasar pemikiran mahzab ekonomi-politik adalah konsep surplus value 'nilai lebih' Marx yang tertuang dalam Matrealisme Historis (Das Kapital).   

            Di sisi lain, model pembangunan neoklasik beranggapan bahwa kesejahteraan sosial secara otomatis akan diperoleh melalui pembangunan skala besar dalam bentuk industrialisasi, yakni dengan mengharapkan apa yang diistilahkan sebagai trickle down effect 'efek rambatan'.[9] Konsep tersebut didasarkan pada sebuah analogi: “semakin besar kue yang dibuat, maka semakin banyak pula kue yang dibagikan”. Beberapa tokoh yang berdiri di balik pemahaman ini (neoklasik) antara lain Paul Samuelson, Robert Solow, Hicks, Johnson, Milton Friedmann dan terutama Walt Whitman Rostow.[10]

Implementasi Konsep Pembangunan
Organzky dan Rostow di Indonesia
            Di Indonesia, konsep pembangunan Organzky dan Rostow mulai diimplementasikan secara riil pada masa rezim Orde Baru-Soeharto. Faktual, melalui dua model raksasa pembangunan masyarakat sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, model neoklasik menjadi pilihan Orde Baru guna mewujudkan kesejahteraan sosial di eranya. Keputusan tersebut setidaknya dilatarbelakangi oleh ketertinggalan jauh ekonomi Indonesia ketimbang negara-negara dunia pertama akibat kejatuhan pemerintahan Soekarno, berikut fakta empiris suksesnya program Marshall Plan dalam upaya melakukan rekonstruksi berbagai negara Eropa pasca kehancuran totalnya akibat Perang Dunia II.[11]        

            Segera setelahnya, Orde Baru mencetuskan kebijakan Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada tahun 1967, dan segera disusul dengan pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) setahun kemudian. Pada intinya, dua kebijakan tersebut berupaya memberikan peluang sebesar-besarnya bagi pemodal dalam negeri maupun luar negeri guna melakukan investasi berbagai sektor kehidupan di Indonesia. Hal tersebut sekaligus menandai dimulainya era industrialisasi Orde Baru yang mana secara teoretis, memasuki tahapan “politik industrialisasi” Organzky dan momen “menuju lepas landas” Rostow.

            Bersamaan dengannya, dikukuhkanlah “ekonomi sebagai panglima” dalam kehidupan berbanga, bernegara dan bermasyarakat. Hal terkait berdampak pada kian diperkuatnya UU No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversif, serta lahirnya kebijakan floating mass 'massa mengambang' berdasarkan Pasal-pasal KUHP, UU No. 8/1985 tentang keormasan, berikut Inpres No. 15/1970 tentang Tata Cara Pembentukan UU dan PP. Artinya, mereka pihak-pihak yang berseberangan (tak sepakat) dengan kebijakan pemerintah dapat diganjar dengan berbagai pasal dan UU di atas. Perihal tersebut merupakan konsekuensi dari buah keyakinan atas pembangunan yang sekedar dapat berjalan dengan baik bilamana didasari pada stabilitas sosial-politik, sekalipun syarat diwujudkan dengan instrumen kekerasan fisik maupun simbolis. Disadari atau tidak, hal tersebut merupakan implementasi dari tahapan “unifikasi primitif” Organzky dimana hak sosial dan hak politik rakyat terutama, dikorbankan demi derap laju pembangunan.

            Tak dapat dipungkiri memang, dalam beberapa kurun waktu pasca diterapkannya kedua kebijakan di atas, terjadi pertumbuhan ekonomi yang begitu signifikan. Tercatat, dalam tahun 1970-1977 saham sektor industri GDP meningkat dari 9% menjadi 12%, pengeluaran investasi pun melonjak dari 5% GDP di tahun 1966 menjadi 20% pada tahun 1973. Hal Tersebutlah yang kemudian memicu terjadinya boom dalam pembangunan kota-kota besar di Indonesia. Di samping itu, pembangunan mencakup pula sektor infrastrktur seperti irigasi, pelistrikan, angkutan dan komunikasi.[12]

            Pada periode 1974-1982, Indonesia memasuki periode oil boom, di era tersebut kekayaan negara kian melimpah akibat melonjaknya harga minyak dunia. Pada tahun 1973, produksi minyak Indonesia mencapai 1,3 juta barel per hari, dan pada awal dekade 1980-an produksi tersebut mencapai 1,5 juta barel per hari. Di era tersebut pulalah angka pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% yang segera disusul pemerintah dengan upaya pengembangan industri substitusi impor dengan tujuan melakukan transformasi sektoralagraris pada industri. Tak ketinggalan, pemerintah pun menaikkan gaji pegawai negeri nyaris sebesar tiga kali lipat.[13] Kiranya, rentetan catatan pembangunan Orde Baru di atas dapat terklasifikasikan dalam tahapan “politik kesejahteraan” Organzky, serta tahapan “lepas landas” berikut “menuju kedewasaan” Rostow.

Ortodoksi Konsep Pembangunan Organzky dan Rostow       
            Faktual, berbagai catatan emas pembangunan Orde Baru berakhir pada petaka krisis ekonomi akibat terjadinya buble economic 'gelembung ekonomi' pada akhir dekade 1990-an. Terjadinya fenomena tersebut disebabkan oleh banyaknya investor asing yang menanamkan modal di tanah air, namun dengan orientasi profit jangka pendek, ketika profit telah diperoleh, maka dengan serta-merta mereka pun menarik seluruh modalnya dari Indonesia, pecahlah gelembung tersebut; bank-bank mengalami likuidasi, berbagai perusahaan gulung tikar dan harga-harga kebutuhan melambung tinggi.[14] Secara ringkas, hal tersebut disebabkan oleh terlampau besarnya lapangan investasi yang diberikan pemerintah terhadap para pemodal, dan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perihal terkait disebabkan hasrat libidinal yang tak terkontrol guna melakukan industrialisasi besar-besaran.

            Di samping hal di atas, kehancuran “pembangunan-isme” Orde Baru disebabkan pula oleh tak berjalan liniearnya jumlah angkatan kerja yang ada dengan ketersediaan lapangan kerja. Menurut Revrisond Baswir, tolak ukur keberhasilan dari industrialisasi adalah terjadinya mekanisasi, dengan kata lain, semakin sedikit jumlah tenaga kerja yang digunakan akibat tergantikan oleh mesin-mesin produksi, maka semakin sukseslah industrialisasi yang digalakkan. Dengan demikian, dari waktu ke waktu ketersediaan lapangan kerja pada sektor industri justru mengalami penyusutan, ketidakmampuannya menampung angkatan kerja menyebabkan beban berlebih pada sektor agraris sebagai tempat peralihan (baca: penampung) angkatan kerja, sedang jumlah lahan pastinya kian menyusut pula dari waktu ke waktu.[15]

            Perihal lain yang patut dicermati dalam kegagalan pembangunan Orde Baru adalah besarnya pemasukan negara yang disertai pula dengan perilaku korupsi para elit pemerintahan. Setidaknya, ditemui dua skandal besar korupsi yang mewarnai perjalanan Orde Baru, pertama, bangkrutnya Pertamina di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo pada tahun 1975-1976 dan menyisakan hutang sebesar US$ 10 milyar. Kedua, penyimpangan yang terjadi pada APBN Tahun Anggaran 1988/1989.[16] Faktual, hal tersebut berimplikasi pula pada “macetnya” skema trickle down effect di mana jurang kesenjangan antara si kaya dengan si miskin justru menjadi kian dalam.

            Berbagai paparan di atas kiranya menunjukkan tak sejalannya tahap-tahap pembangunan ekonomi dan politik Organzky berikut Rostow pada negara dunia ketiga, khususnya Indonesia—mengingat Eight Asian Magic lainnya seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dll. didera petaka depresi pembangunan yang sama layaknya tanah air. Faktual, tahapan pembangunan Indonesia sekedar mencapai “politik kesejahteraan” dalam kamus Organzky serta “menuju kedewasaan” dalam terminologi Rostow. Namun demikian, apa yang lebih pahit dan menyakitkan hati lagi adalah berbagai negara dunia ketiga yang syarat membenahi fundamen perekonomiannya sedari awal; membuang jauh-jauh alam pikiran dan asa palsu neoklasik,  berikut menggantinya dengan konsep pembangunan masyarakat yang lebih relevan dan hadap masalah.

            Paul Ormerod dalam Matinya Ilmu Ekonomi menjelaskan bahwa konsep pembangunan ekonomi dan politik cetusan Organzky serta Rostow memenuhi bentuknya sebagai “ilmu pengetahuan ortodoks”. Apa yang dimaksudkannya adalah, ilmu-ilmu yang gemar “meramal”  masa depan, yang meskipun sama sekali tak diketahui kebenarannya nanti, tetap diyakini secara membabi-buta. Bagi Ormerod, ketumpulan ilmu-ilmu ortodoks—ilmu ekonomi terutama—terletak pada keyakinannya yang berlebih akan permainan “angka-angka” tanpa memperhatikan variabel sosial dan budaya suatu masyarakat.[17] Sayangnya, masih cukup banyak pula para pemimpin yang terbuai olehnya dan rela menjadikan masyarakatnya sebagai “kelinci percobaan” ilmu-ilmu ortodoks.

Konsep Pemberdayaan: Solusi ataukah Biang Masalah Baru?
            Semenjak neoklasik menunjukkan kegagalannya pada akhir dekade 1990-an, serentak arah pembangunan masyarakat tertuju pada konsep empowerment 'pemberdayaan'. Secara sederhana, konsep tersebut berupaya mewujudkan masyarakat yang mandiri dan mampu menentukan arah hidupnya sendiri tanpa tekanan pihak manapun—terutama pemerintah. “Mandiri” di sini dalam artian tak mengalami ketergantungan pada sektor formal atau “pemodal”, melainkan dilatih untuk dapat menciptakan lapangan pekerjaan secara otonom—dukungan lebih diberikan pada tumbuh-kembangnya sektor informal. Sedang, “mampu menentukan arah hidupnya sendiri” sebagaimana dimaksudkan di sini adalah bebas dari penindasan berikut intimidasi yang bersifat fisik maupun simbolis layaknya yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.

            Secara ringkas, konsep pemberdayaan berpijak pada pemahaman bottom-up (bawah ke atas), yakni penguatan aras lokal (agensi) guna mempengaruhi proses maupun bentuk-bentuk kebijakan pemerintah (struktur) atas pembangunan. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan kian lebarnya kran partisipasi rakyat dalam ranah politik dan pengambilan kebijakan. Satu hal yang perlu dicatat lagi kiranya, mekanisme bottom-up yang dibawa konsep pemberdayaan faktual merupakan oposisi biner skema trickle down effect yang bersifat top-down (atas ke bawah).

            Namun demikian, semenjak awal diperkenalkannya konsep pemberdayaan pasca kejatuhan neoklasik, hingga kini konsep terkait belum juga menunjukkan signifikasi transformasi masyarakat ke arah yang dicita-citakannya. Skema pemberdayaan berupa pinjaman lunak guna menciptakan berikut meningkatkan kapasitas produksi untuk memperoleh income berlebih dan mengembalikan capital loan 'pinjaman modal', tak dapat dipungkiri masih pula berada pada tataran “awang-awang”. Apabila ditemui stagnasi dalam salah satu rangkaian skema di atas, alih-alih konsep pemberdayaan menjadi dewa penolong masyarakat, ia justru dapat berbalik menjadi “perangkap kemiskinan gaya baru”.

Kesimpulan dan Penutup
            Melalui berbagai paparan dan uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa konsep pembangunan ekonomi dan politik cetusan A.F.K Organzky serta W.W Rostow menemui “in-relevansi-nya” dalam menjelaskan berbagai tahapan pembangunan masyarakat negara dunia ketiga di era kontemporer, khususnya Indonesia. Hal tersebut tampak melalui mandegnya progresifitas pembangunan berbagai negara dunia ketiga pada ranah “politik kesejahteraan” dan “menuju kedewasaan”, malahan stagnasi pada tahapan akhir syarat ditebus dengan harga yang sangat mahal, yakni restrukturasi fundamen ekonomi yang tentunya memakan waktu tak sedikit.

            Terkait kegagalan konsep pembangunan di atas, Paul Ormerod menyebutnya sebagai “ilmu ekonomi ortodoks”, dan sekali lagi mengingatkan kewaspadaan kita akan buaian dan berbagai janjinya yang jelas-jelas belum ditemui kepastian dan kebenarannya di kemudian hari. Di sisi lain, konsep pemberdayaan dengan mekanisme bottom-up yang hadir sebagai alternatif baru pasca kegagalan neoklasik, faktual belum juga menunjukkan hasil yang signifikan bagi pembangunan masyarakat ke arah yang lebih baik dewasa ini, alih-alih jika keliru, justru menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri.

            Dengan demikian, “pengujian lebih” sudah sepatutnya dilakukan terhadap konsep pemberdayaan sebagai alternatif solusi baru pembangunan masyarakat pasca kegagalan neoklasik. Hal tersebut bukannya tanpa alasan sama sekali, melainkan guna menghindarkan dari kesalahan yang sama sebagaimana terjadi pada masa lampau. Di satu sisi, pengkajian berikut penelaahan seksama atas berbagai konsep pembangunan ekonomi dan politik masyakat syarat ajeg dilakukan guna merevisi maupun menyiapkan landas-dasar baru pembangunan masyarakat di masa kini dan mendatang.





Referensi


Buku

Adi, M. Ramdhan. 2005. Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: Al-Azhar Press.
Baldwin, Robert E. 1986. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara Berkembang. Jakarta: Bina Aksara.
Baswir, Revrisond. 2002. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta: Elsam.
Booth, Anne & Mc Cawley, Peter (ed). 1986. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Clements, Kevin P. 1997. Teori-Teori Pembangunan Dari Kiri ke Kanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djojohadikusumo, Soemitro.  1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Haricahyono, Cheppy. 1986. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Marbun, B.N. 2007. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ormerod, Paul. 1998.  Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer.
Schoorl, J.W. 1981. Modernisasi. Jakarta: Gramedia.
Smith, David & Evans, Phil.  2004. Das Kapital Untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.


             
Internet

Anonim, Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia, http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-ketiga/
Dirgo D. Purbo, Efisiensi Energi, http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1104525079&7





[1] Soemitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1994, h. 7-8.
[2] David Smith-Phil Evans, Das Kapital Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2004, h. 34.
[3] B.N Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007, h. 396-397 & Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986, h. 6.
[4] J.W Schoorl, Modernisasi, Gramedia, Jakarta, 1981, h. 138.
[5] Robert E. Baldwin, Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-negara Berkembang, Bina Aksara, Jakarta, 1986, h. 106 & Materi Kuliah “Teori-teori Pembangunan” Strata 1, Jurusan Ilmu Sosiatri, Fisipol-UGM, 2008.
[6] Robert E. Baldwin, op. cit., h. 107-108 & Materi Kuliah “Teori-teori Pembangunan”, loc. Cit.
[7] Revrisond Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam, Jakarta, 2002, h. 26.
[8] Kevin P. Clements, Teori-Teori Pembangunan Dari Kiri ke Kanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, h. 38.
[9] Revrisond Baswir, loc. cit.
[10] Kevin P. Clements, op. cit., h. 22.
[11] Revrisond Baswir, op. cit., h. 27.
[12] Anne Booth-Peter Mc Cawley (ed), Ekonomi Orde Baru, LP3ES, Jakarta, 1986, h. 7.
[13] Dirgo D. Purbo, Efisiensi Energi, http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1104525079&7
[14]  M. Ramdhan Adi, Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme, Al-Azhar Press, Bogor, 2005, h. 70.
[15] Revrisond Baswir, op. cit., h. 25-30.
[16] Anonim, Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia, http://thamrin.wordpress.com/2006/07/14/korupsi-dalam-dimensi-sejarah-indonesia-bagian-ketiga/
[17] Paul Ormerod, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis, Kepustakaan Gramedia Populer, 1998, h. 107-116.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger