"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Kamis, 02 Januari 2014

Pengalaman Eksistensial

Pengalaman Eksistensial

Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.

            Tak dapat dipungkiri, masing-masing tokoh eksistensialisme memiliki pengertian atau pemahamannya sendiri mengenai pengalaman eksistensial. Nietzsche misalnya, selaku pencetus embrio pemikiran eksistensialisme-atheistik, memahami pengalaman eksistensial manusia sebagai bentuk kesendiriannya di dunia dikarenakan kematian Tuhan. Begitu pula, pengalaman eksistensial berupa nihilisme (ketidakbermaknaan hidup) disebabkan oleh penemuannya akan kebenaran sejati sebagai will to power ‘kehendak akan kuasa’ (Deleuze, 2002: 214-220). Di sisi lain, Kierkegaard memahami kesendirian berikut keterasingan manusia dikarenakan dosa asali yang dibawanya, yakni mengacu pada riwayat kedurhakaan Adam pada Tuhan sehingga manusia dilempar ke dunia. “Apabila kita menyeru nama Tuhan, kita akan segera disambut dengan kesunyian pekat”, ungkap Kierkegaard (dalam Palmer, 2007: 28). Secara sederhana, pengalaman eksistensial dapat dikatakan sebagai pengalaman subyektif di mana individu seorang dirilah yang mengalaminya: “Bukan pengalaman ‘mereka’ atau ‘kita’, melainkan ‘aku seorang dirilah’ yang mengalami berikut merasakannya”. 

Nihilisme/Ketidakbermaknaan Hidup
Dalam pandangan eksistensialisme Sartre dan tokoh-tokoh filsafat serupa berhalauan atheistik, kehidupan merupakan perihal yang sama sekali tak bermakna. Bagi Sartre, segala sesuatu yang terdapat di dunia ini adalah tanpa tujuan, matahari, bulan, awan, batu, dan lain sebagainya, mengada begitu saja. Begitu pula manusia, dikarenakan tak ada Tuhan yang menciptakan manusia ungkap Sartre, maka tak ada esensi dari manusia, ia mengada begitu saja di dunia, tanpa tujuan. Hal tersebut merupakan implikasi logis dari dalil eksistensialisme berupa “eksistensi mendahului esensi”, segala sesuatu yang beresensi haruslah eksis terlebih dahulu. Adapun segala sesuatu yang eksis tersebut barulah benar-benar eksis kala diperhatikan. Hal ini sejalan dengan prinsip intensionalitas dalam fenomenologi: obyek tampak/ada karena aktor menaruh perhatian padanya. Segera setelah obyek tersebut benar-benar eksis, maka pemaknaan pun dapat dilakukan kemudian.
Namun demikian, dikarenakan setiap pemaknaan tersebut dilakukan oleh manusia, maka aksioma atau kebenaran yang tak terbantahkan tak pernah benar-benar ada. Bagi individu yang menyadarinya—eksistensialis terutama—kesemuanya sekedar berakhir pada relativitas dan skeptisisme semata, yang pada gilirannya, cepat atau lambat, menghantarkan manusia pada lembah nihilisme (ketidakbermaknaan hidup). Terkait hal tersebut, Sartre (dalam Smith & Raeper, 2004: 85) berkata, “Hukum universal tak tertulis di langit sana”.
Sebagaimana telah mafhum dalam masyarakat kita, terdapat beberapa dari mereka, pihak-pihak yang sengaja “ditugaskan” untuk memberi berikut mengisi makna kehidupan anggota masyarakatnya. Umumnya, para pengemban tugas tersebut layaknya pemuka agama, tokoh masyarakat, kaum intelektual, hingga pada unit level terkecil—keluarga—yakni orang tua. Faktual, merekalah yang sesungguhnya memberi seluruh makna atas apa yang kita kerjakan, pengarah dalam perjalanan hidup kita, berikut penentu berkualitas-tidaknya cita-cita kita (Sudiro, 1990: 57). Apabila realitas sosial di atas dibenturkan dengan pemahaman eksistensialisme, maka sudah tentu para eksistensialis bakal bertindak sebagai oposisi dalam meresponnya. Di samping disebabkan oleh keyakinan syaratnya makna hidup diciptakan berikut dibentuk oleh individu seorang, mengamini kehidupan layaknya di atas sekedar menempatkan individu dalam kondisi yang tak otentik—mauvaise foi—bagi kaum eksistensialis. Hal tersebut mengingat, pilihan pada hidup yang demikian hanya akan menempatkan individu sebagai pengejawantah kehidupan orang lain, ia tak menjalani kehidupannya sendiri, melainkan kehidupan orang lain, begitu pula dengan pilihan-pilihannya, serta cita-cita yang diidamkannya.
Akan tetapi, satu hal yang kiranya perlu ditekankan sekali lagi adalah, kewajiban berikut kebebasan kaum eksistensialis “Sartrean” dalam menyusun serta menciptakan makna hidupnya sendiri bukanlah suatu anugerah (baca: hadiah) tersendiri bagi mereka. Pasalnya, dengan tak mengakui keberadaan Tuhan, mereka pun tak memiliki pondasi berikut sandaran yang kuat dalam menyusun nilai dan norma hidupnya. Alhasil, mereka ajeg berada dalam kebingungan yang tak bertepi, dan kondisi yang demikian menurut mereka—berikut segala hal yang mengada tanpa sebab serta tujuan—adalah nausea ‘perihal yang memuakkan’.
Nyaris musykilnya penciptaan nilai dan norma yang bersifat individual serta mapan di atas ditunjukkan melalui pernyataan Sartre (1956: 65, 412, 464; 2002: 91) akan eksistensi manusia sebagai proyek penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang. Pernyataan tersebut berakhir pada sebuah penegasan bahwa tak ada manusia yang konsisten selama hidupnya. Menurut Sartre, proyek di atas barulah rampung pasca manusia tak lagi bernyawa, melalui kematian, seseorang menjadi is ‘adalah’. Ia tak mampu lagi melakukan penciptaan diri yang terus berulang, atau dengan kata lain, proyeknya telah usai. Dalam kondisi yang demikian, esensinya pun kemudian sepenuhnya ditentukan oleh orang lain, ia tak kuasa lagi melawan atau menolak serangkaian penilaian atau pelabelan orang lain dikarenakan dirinya yang telah menjadi is. Ini berarti, proyek penciptaan diri manusia yang terus-menerus dan berulang-ulang selama hidupnya menjadi sama sekali tak berarti mengingat toh pada akhirnya esensinya ditentukan sepenuhnya oleh orang lain pasca dirinya tiada.
Dimensi ketidakbermaknaan hidup selanjutnya dalam eksistensialisme ditunjukkan Sartre melalui eksistensi manusia sebagai kehendak untuk menjadi Tuhan. Secara tegas, ia (1956: 566) berkata, “To be man means to reach toward being God. Or if you prefer, man fundamentally is the desire to be God.” [“Menjadi manusia berarti adalah upaya untuk menjadi Tuhan. Atau jika kau lebih menyukainya, secara mendasar manusia adalah kehendak untuk menjadi Tuhan.”]. Hal tersebut dimungkinkan dikarenakan eksistensi manusia sebagai pour soi yang selalu memiliki celah atau kekurangan berupa ajeg-nya kehendak atau keinginan dalam diri “The existence of desire as a human fact is sufficient to prove that human reality is lack.” [“Keberadaan nafsu/kehendak sebagai kenyataan manusia membuktikan bahwa realitas manusia memiliki celah/kekosongan.”] (Sartre, 1956: 87).
. Oleh karenanya, di samping menjadi pour soi, sesungguhnya manusia juga hendak menjadi en soi (being in itself) ‘berada dalam dirinya’ yang sempurna berikut tanpa celah. Namun eksistensi yang demikian, etre pour soi sekaligus etre en soi, hanyalah menjadi sifat Tuhan semata. Oleh karenanya, Sartre kemudian menyatakan keberadaan manusia di dunia tak lebih sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’.

“Each human reality is at the same time direct project to metamorphose its own For-itself into an In-itself ... Every human reality is a passion in that it projects losing itself so as to found being and by the same stroke to constitute the In-itself which escapes contigency by being its own foundation, the Ens causa sui, which religion call God … But the idea of God is contradictory and we lose ourselves in vain. Man is useless passion.” (Sartre, 1956: 615).

[“Setiap realitas manusia pada waktu yang bersamaan memiliki proyek untuk merubah karakter ‘berada bagi dirinya’ menjadi ‘berada dalam dirinya’ … Setiap realitas manusia merupakan hasrat pada proyek untuk melenyapkan ‘berada bagi dirinya’ namun tetap berkesadaran dan pada waktu bersamaan menemukan dirinya sebagai ‘berada dalam dirinya’ yang tak memiliki pondasi kesadaran, suatu penyebab utama, di mana dalam agama disebut sebagai Tuhan … Namun ide mengenai Tuhan bertentangan—dengan sifat manusia—dan kita akan selalu menemukan diri kita dalam kegagalan. Manusia adalah hasrat kesia-siaan.”]
 
            Perihal lain yang menunjukkan dimensi ketidakbermaknaan hidup dalam pandangan eksistensialisme Sartre adalah tak tabunya tindakan bunuh diri sebagai salah satu bentuk pilihan bebas kehidupan manusia. Meskipun memang, kajian yang lebih seksama atasnya akan lebih banyak ditemui dalam eksistensialisme Albert Camus, di mana melalui eksemplarnya, Mite Sisifus, Camus (1999: 3) didaulat sebagai agitator tindakan bunuh diri rakyat Perancis mengingat dalam eksemplar tersebut ia mencuplik berikut mem-filosofis-kan pernyataan Dostoyevsky yang populer: “Apabila hidup sudah tak bermakna, pantaskah untuk tetap dijalani?”.  
            Dalam Being and Nothingness sendiri, Sartre menunjukkan betapa pilihan untuk mengakhiri hidup tak ubahnya seperti pilihan untuk menjalani hidup. Ia menitikberatkan pada aspek tanggung jawab yang termuat dalam setiap pilihan tersebut. Secara spesifik, Sartre (1956: 554-555) memisalkan dengan situasi hidupnya kala menyaksikan luluh-lantahnya Perancis saat terlibat dalam Perang Dunia II. Ia mengatakan bahwa segala penderitaan yang dialaminya selama Perang Dunia pantas diterimanya. Hal tersebut tak lain dikarenakan pilihan bebasnya untuk tetap terus menjalani hidup, andaikan ia memilih untuk mengakhiri hidup, maka sudah tentu ia takkan mengalami berbagai penderitaan selama perang. Oleh karenanya kemudian, Sartre melontarkan sebuah pernyataan yang menuai kecaman keras banyak pihak, “Tak ada korban yang tak bersalah dalam perang”, ungkapnya.  
            Secara tak langsung, perihal di atas menunjukkan pengakuan eksistensialisme Sartre akan ketidakbermaknaan hidup, atau dalam bahasa yang khas menurut pandangan terkait, hidup sebagai nausea. Dan apabila entitas individu tak mampu lagi menanggung muatan nausea dalam hidupnya, maka mengakhiri hidup merupakan sebentuk tindakan yang tak menjadi persoalan besar: individu mengada begitu saja di dunia, tanpa sebab dan tujuan, dengan demikian tak menjadi soal bila tiada begitu saja. 

Kesendirian
            Umum diketahui bahwa eksistensialisme dikenal sebagai filsafat antisosial berikut filsafat kaum borjuis yang individualis. Secara tak langsung, hal tersebut kian dipertegas melalui sebuah drama besutan Sartre, No Exit, di mana di dalamnya secara vulgar Sartre berkata, “Hell is other people!” [“Orang lain adalah neraka!”]. Penajisan Sartre akan orang lain sebagai neraka menyiratkan musykilnya hubungan sosial yang bersifat emansipatoris terbentuk. Sebagaimana sempat diuraikan sebelumnya, pertemuan antarindividu (pour soi) selalu menemui bentuknya sebagai upaya saling mengobyekkan satu sama lain dalam pandangan eksistensialisme, terlebih dengan keharusan bagi tiap individu untuk menciptakan nilai berikut norma hidupnya sendiri, yang dengan demikian mengeliminasi nilai berikut norma hidup bersama sebagai media pengikat antarindividu serta pembentuk entitas sosial.

“So this is hell. I’d never have believed it. You remember all we were told about torture chambers, the fire and brimstone, the burning marl. Old wives tales! There’s no need for redhot porkers. Hell is other people!” (Sartre, No Exit).

[“Jadi inilah neraka. Aku takkan pernah mempercayainya. Kau ingat apa yang diceritakan kepada kita tentang kamar-kamar siksaan, api dan belerang, tanah napal yang menyala. Dongengan nenek-nenek tua belaka! Kita tak memerlukan besi yang panas-membara. Neraka adalah orang lain!”]

            Lebih jauh, hal di atas turut ditunjukkan pengkajian eksistensialisme-Sartre akan hubungan intim antar dua individu berupa cinta. Menurutnya, cinta merupakan keyakinan yang buruk dikarenakan esensinya sebagai bentuk “penindasan halus” nan tak kasat mata. Di sisi lain, ditemuinya berbagai bentuk tuntutan dalam cinta turut menunjukkan eksistensi hubungan saling mengobyekkan antara satu sama lain. Menilik hal tersebut, Sartre mendaulat cinta sebagai pengalaman “terjebak pada dunia orang lain”, sedang hubungan seksual dinilainya sebagai bentuk pereduksian manusia sebagai “daging” semata. Dapatlah dilihat, hubungan intim antar lawan jenis pun dianggap sebagai sesuatu yang mustahil dalam pandangan eksistensialisme, terlebih hubungan sosial berupa pertemanan, persahabatan, atau dengan banyak orang (masyarakat).[1]   

“It is in this sense that love is a conflict. We have observed that the Other’s freedom is the foundation of my being. But precisely because I exist by means of the Other’s freedom, I have no security; I am in danger in this freedom.” (Sartre, 1956: 366).

[“Di sini cinta menemui bentuknya sebagai konflik. Kita telah mengkaji bahwa kebebasan orang lain menjadi pondasi keberadaanku. Tapi tentunya dikarenakan aku ada dalam kerangka kebebasan orang lain, aku tak memiliki rasa aman; aku berada dalam bahaya dalam kebebasan semacam ini.”]

“…Love the Lover wants to be ‘the whole world’ for the beloved.” (Sartre, 1956: 367).

[“…Cinta dari seorang pecinta menghendaki seluruh dunia seseorang yang dicintainya.”]

“…the woman in love demands that the beloved in his acts should sacrifice traditional morality for her and is anxious to know whether the beloved would betray his friends for her, ‘would steal for her’, ‘would kill for her’, etc.” (Sartre, 1956: 369).

[“…wanita yang tengah jatuh cinta menghendaki seseorang yang dicintainya mengorbankan moralitas tradisional, dan ia ingin sekali mengetahui apakah seseorang yang dicintainya bersedia mengkhianati temannya untuk dirinya, mencuri untuknya, membunuh untuknya, dan lain sebagainya.”] 

Ketakutan/Kecemasan
            Ketakutan atau kecemasan menurut Sartre merupakan pengalaman di mana individu merasa “di luar kemungkinan-kemungkinan dirinya”. Dengan kata lain, individu takkan merasa takut atau cemas bilamana segala sesuatunya, terlebih dirinya sendiri berada di dalam kendalinya (baca: kemungkinannya), dan hal tersebut tentu akan berkebalikan bilamana kondisi yang melingkupinya berlaku pula sebaliknya—segala sesuatu berada dalam kendalinya. Setidaknya, Sartre mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan timbulnya pengalaman eksistensial yang satu ini. Pertama, kebebasan. Menurutnya, manusia lebih cenderung lari dari kebebasannya ketimbang menghadapinya. Kondisi yang demikian tak ubahnya sebagai bentuk penipuan diri atau mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’.     
            Sebagai misal, seseorang yang jenuh dengan rutinitas kerja hariannya, sesungguhnya ketika alarm jam kamarnya berbunyi di pagi hari, ia dapat memilih untuk menghindari rutinitasnya sebagaimana hari-hari sebelumnya, menciptakan hari yang “mengejutkan” dan sama sekali berbeda dengan hari sebelumnya. Namun, dengan memilih kebebasan itu, ia sadar terdapat serangkaian resiko dan konsekuensi yang syarat ditanggungnya nanti, semisal menuai pemotongan gaji atau dipecat dari pekerjaan. Menilik hal tersebut, ia pun kemudian urung melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya individu tersebut takut akan kebebasannya sendiri, dan substansi dari kebebasan dalam bingkai eksistensialisme adalah penyedia berbagai kemungkinan yang jauh tak terbatas bagi diri individu. Tegas dan jelasnya, kerap kali individu takut dengan kebebasannya sendiri dikarenakan terdapat serangkaian resiko dan tanggung jawab yang syarat dipikul di baliknya. “Kesadaran adalah pusaran kemungkinan yang besar sehingga kita dibuat takut olehnya”, pungkas Sartre. Perihal yang kiranya cukup unik adalah, eksistensialisme sebagai filsafat yang demikian mendewakan kebebasan manusia, faktual turut menjadikan kebebasan tersebut sebagai salah satu sumber ketakutan dan kecemasan manusia.

“My fear is free and manifests my freedom; I have put all my freedom into my fear, and I have chosen myself as fearful in this or that circumstance.” (Sartre, 1956: 445).

[“Ketakutanku adalah kebebasan, dan termanifestasikan dalam kebebasanku; Aku syarat meletakkan seluruh kebebasanku dalam ketakutan, dan aku telah memilih diriku untuk takut dalam kondisi ini atau itu.”]  

            Kedua, orang lain. Bagi Sartre, perihal yang menyebabkan individu berada di luar kemungkinan diri tak sekedar kebebasan yang dimilikinya, melainkan pula orang lain. Di samping orang lain menyebabkan individu berada di luar penilaiannya sendiri (…Other is looking at and judging), orang lain sebagai pour soi memiliki kapasitas guna menindak kita melampaui dari sekedar tatapan mata. Hal terkait dikisahkan Sartre melalui pengalamannya kala tertangkap basah oleh petugas hotel saat tengah mengintip kamar orang lain melalui lubang kunci. Segera setelah tindakannya diketahui petugas hotel, Sartre merasa cemas dan ketakutan, dalam benaknya, petugas hotel tersebut dapat melakukan serangkaian tindakan terhadapnya, dari mempermalukannya (Sartre), mengusirnya dari hotel, hingga menangkap dan melaporkan tindakannya pada pihak yang berwenang. Oleh karenanya, Sartre (1956: 263) kemudian berkata, “My original fall is the existence of the Other…” [“Orang lain adalah sebab kejatuhanku…”].
            Ketiga, masa depan. Bagi Sartre, masa depan tak kalah memberikan berbagai kemungkinan yang tak terduga bagi diri individu. Dalam Being and Nothingness, Sartre (1956: 36) menantang setiap kita untuk berjanji pada tahun dan bulan sekian perihal hendak menjadi apa kita kemudian, dan ungkapnya, ketakutan terbesar adalah ketika kita tak mampu memenuhi janji tersebut. Kajian Sartre mengenai masa depan secara khusus terangkum dalam konsepnya mengenai psikoanalisis eksistensial, yakni psikoanalisis dalam ranah eksistensialisme yang diabdikan guna menyadarkan individu akan dimensi kebebasan yang dimilikinya berikut menanggulangi bentuk-bentuk mauvaise foi yang menjangkiti diri individu. Salah satu kesimpulan yang terdapat di dalamnya adalah betapa masa depan lebih menakutkan ketimbang masa lalu, yang dengan demikian konsep terkait berkualifikasi guna menanggulangi individu dari berbagai bentuk trauma masa lalu yang menderanya.
            Pada kesempatan lain, Sartre (1956: 37) memisalkan ketakutan individu akan masa depan melalui kisah seorang penulis. Menurutnya, seorang penulis yang telah jauh-jauh hari berlatih keras merangkai kata bisa jadi tak sempat menuliskan kata pertamanya di kemudian hari dikarenakan ajal terlebih dahulu menjemput. Hal tersebut menunjukkan betapa masa depan dapat menjadi teror tersendiri bagi individu dan menyebabkan usaha kerasnya berakhir dengan kesia-siaan belaka. Sebagai “pengobat” (baca: pereduksi) ketakutan individu akan masa depan, Sartre (2002: 69) pun mengajukan nasehat pada setiap kita untuk berbuat tanpa berharap.       

Rasa Malu
            Rasa malu yang umum dialami banyak orang faktual memiliki tempat tersendiri dalam kajian eksistensialisme Sartre. Bahkan menurut Sartre (2002: 36), cukup dengan seseorang mengalami rasa malu, maka ia telah menjadi seorang eksistensialis—baik disadarinya ataupun tidak. Bagi Sartre, hal tersebut dikarenakan ditemukannya keintiman seseorang dengan dirinya sendiri akibat rasa malu. Dengan kata lain, perasaan malu hanyalah dapat dirasakan individu semata, bukan beserta orang lain (…shame is shame of oneself before the Other). Dalam eksistensialisme, timbulnya rasa malu pada individu berkaitan erat dengan pengkajian akan fenomena le regard ‘tatapan mata’. Sebagai misal, ketika kita tengah berbicara sendiri dan mendapati tatapan mata seorang tengah mengarah pada diri kita, maka seketika rasa malu pun muncul, guna menghindarinya kita pun berpura-pura tengah menyanyi dan lain sebagainya. Begitu pula, tatapan mata melotot yang tengah mengarah pada diri kita misalkan, hal tersebut sesungguhnya menyiratkan pada kita guna melakukan penilaian atas diri sendiri.
            Bagi Sartre, hal di atas disebabkan oleh ­ajeg-nya kita tampil di hadapan orang lain sebagai obyek (benda/being in itself). Orang lain muskyil menyelami diri kita hingga tataran esensi yang kita buat sendiri. Dengan kata lain, orang lain memisahkan diri kita dengan esensi kita sendiri dikarenakan dirinya yang membangun esensi bagi diri kita—hal tersebut (membangun esensi) seyogyanya menjadi tanggung jawab diri kita sendiri.

“I see myself because somebody sees me … in so far as the person is an object for the Other … Other is looking at and judging.” (Sartre, 1956: 260-261).

[“Aku melihat diriku karena orang lain melihatku … sejauh ini sebagai obyek dari orang lain … Orang lain melihat dan menilai.”]

“…I am guilty first when beneath the Other’s look, I experience my alienation and my nakedness…” (Sartre, 1956: 410).

[“…Aku merasa bersalah ketika berada dalam tatapan mata orang lain. Aku mengalami pengalaman keterasinganku dan ketelanjanganku…”]

            Terkait dengan diri yang diobyekkan dan rasa malu, Sartre (1956: 254-256) mengkisahkan dengan pengalamannya kala tengah berada seorang diri di sebuah taman. Kala ia tengah sendiri, bangku taman, tanaman, pepohonan, air mancur, berikut berbagai benda yang terdapat di taman tersebut menjadi obyek penglihatannya. Kemudian tiba-tiba seseorang hadir, kini berganti diri Sartre lah yang diobyekkan, ia tersipu malu, orang tersebut telah merenggut dunianya. Sartre mengandaikan tatapan mata orang lain ibarat sebuah lubang kecil yang menyedot dunia seisinya ke dalamnya. Lebih jauh ia berkata, “Ada pendarahan internal ketika duniaku disedot oleh dunia orang lain”. Istilah “dunia orang lain” di sini ter-repesentasi-kan melalui tatapan mata yang dimilikinya.





[1] Sebagai implikasi lanjutan dari pemikiran Sartre di atas, ia pun menolak eksistensi institusi pernikahan/keluarga. Menurutnya, di samping serangkaian alasan filosofis yang diungkapkannya, institusi pernikahan sekedar melanggengkan lembaga borjuasi. 

4 komentar:

Unknown mengatakan...

ya, kerika saya bangun tidur, saya bertanya, siapakah saya, dan harus berbuat apa saya ? lalu bagaimana cara mengetahui siapa diri saya tanpa adanya orang lain ?

Unknown mengatakan...

ya, ketika saya bangun tidur, ada sebuah pertanyaan besar yang selalu ada di kepala saya, siapakah saya, apa yang seharusnya saya perbuat ? lalu bagaimanakah saya mengetahui diri saya tanpa adanya orang lain ?

Wbn mengatakan...

anda bertanya pada diri saja sudah membuktikan eksistensi anda :)

blog review mengatakan...

artikelnya panjang..
#pusing
ane makhluk nocturnal, jam sgini baru bangun trus baca artikel ini.
overall,, bagus artikelnya...

@KataAwank

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger