“HIJAB”: ANTARA
RITUAL DAN KONSUMERISME
~ Tulisan Terpilih Mahasiswa ~
Ilustrasi hijab: aquila-style.com |
Oleh: Elisa Linda Yulia
Ketua Ikatan Mahasiswa Sosiologi (IMSOS) UDAYANA 2014/2015
Editor: Wahyu Budi Nugroho
Abstrak
Tulisan ini berupaya memaparkan pergeseran makna “hijab”
(jilbab) di era kontemporer. Tema terkait dirasa menarik mengingat dewasa ini praktek
komodifikasi agama (jual-beli agama) menjadi fenomena yang tengah menggejala
secara luas dalam masyarakat tanah air. Hubungan yang tampak akrab antara hijab
dengan dunia fashion kiranya menimbulkan pertanyaan yang cukup mengusik, apakah
hijab mampu mempertahankan “makna awalnya” setelah bersentuhan dengan dunia
fashion. Begitu pula, bagaimana motivasi para pengguna hijab setelah ditemui
banyaknya komunitas hijab yang menawarkan hijab dengan beragam bentuk dan model,
masihkah penggunaannya didasarkan pada motivasi agamis, ataukah sekedar fashion
semata. Lebih jauh, tulisan ini berupaya mengkaji berbagai persoalan tersebut.
Kata
kunci; hijab, fashion, konsumerisme.
Pendahuluan :
Mendefinisikan “Hijab”
Secara etimologis, kata “hijab” (Al-Hijab) berasal dari bahasa Arab yang
artinya “menutupi”. Istilah ini juga sering dijelaskan sebagai, “segala sesuatu
yang menghalangi kedua belah pihak”, atau dengan kata lain, “suatu benda yang
menghalangi penglihatan terhadap orang lain”. Sebagai misal, ditemuinya tembok
atau tirai penghalang bagi kedua belah pihak yang tengah berinteraksi sehingga
antarsatu sama lain tidak dapat saling berpandangan (Ramadhan, 2012).
Berdasarkan pendefinisian tersebut, setidaknya terdapat dua pengertian tersurat
mengenai hijab: Pertama, hijab
sebagai instrumen yang menutupi sesuatu; dan Kedua, hijab sebagai instrumen yang memisahkan sesuatu. Dalam
pembahasan ini, istilah hijab yang dimaksud lebih pada pengertiannya yang
pertama, yakni hijab sebagai penutup aurat, atau yang selama ini lebih dikenal
sebagai “jilbab” atau “kerudung”.[1]
Tidak dapat dipungkiri, selama ini jilbab begitu
lekat dengan simbol agama Islam. Mereka—wanita—yang berjilbab seolah meneguhkan
identitasnya sebagai muslimah[2] yang taat.
Memang, secara doktriner, agama Islam mewajibkan setiap wanita yang telah
dewasa untuk mengenakan jilbab dengan alasan-alasan tertentu, salah satunya
untuk “menjaga kehormatan” mengingat rambut wanita ditempatkan sebagai “perhiasan”
dalam agama Islam. Meskipun memang, dewasa ini turut ditemui berbagai upaya
untuk menafsirkan kembali kewajiban penggunaan jilbab, terutama wacana-wacana
yang dilancarkan oleh kelompok Islam moderat maupun Islam liberal, namun demikian,
terlepas dari diskursus seputar wajib-tidaknya penggunaan jilbab, kiranya jilbab
tetap ditempatkan sebagai instrumen yang memiliki “makna khusus” dalam agama
Islam, bahkan telah menyentuh dimensi ritual[3] dari agama
terkait.
Lebih jauh, muatan ritual yang terkandung
dalam jilbab dapat dilihat melalui tata cara berpenampilan yang telah
ditentukan agama ini. Dalam hal ini, selain wanita tidak diperkenankan
menggunakan pakaian yang menunjukkan lekuk tubuh (ketat) dari pundak hingga
kaki, ia juga diharuskan (baca: direkomendasikan) menggunakan penutup kepala,
yakni hijab. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hijab memiliki dimensi
“kesakralan” tertentu, ia tidak bisa ditempatkan secara profan seperti
instrumen atau benda-benda lainnya dalam Islam mengingat telah menjadi bagian
dari aturan atau rekomendasi agama. Akan tetapi patut disayangkan, dewasa ini hijab
mengalami pergeseran makna, dari instrumen yang bersifat sakral menuju pada keberadaannya
yang bersifat profan di mana dimensi agamis darinya lambat-laun mulai tergerus.
Kiranya, persoalan pergeseran makna hijab ini menjadi menarik mengingat
merepresentasikan berbagai persoalan serupa yang tengah dihadapi, yakni
bagaimana hal-hal yang seyogyanya bersifat sakral lambat-laun menjadi profan
dikarenakan faktor-faktor eskternal yang melingkupinya. Lebih jauh, pembahasan
ini tidak berada dalam kerangka kajian agamis, melainkan sosiologi budaya. Meminjam argumen Max Weber bahwa jika segala
sesuatunya telah mengalami “desakralisasi”[4], maka tidak ada
lagi yang menarik sekaligus menyentuh di dunia ini.
Dari Ritual ke Fashion
Telah
disinggung sebelumnya bagaimana jilbab menjadi bagian dari dimensi ritual
agamis yang memiliki kualitas-kualitas metafisik. Pada ranah berlainan, derasnya
laju rasionalisasi dan kapitalisasi seakan tidak bisa tidak turut mencaplok
hal-hal yang bersifat sakral ke dalamnya, tak terkecuali hijab. Beralaskan
argumen-argumen agamis, hijab kemudian dikomodifikasi atau diperjual-belikan untuk
memperoleh profit. Hal ini tampak melalui keberadaan hijab sebagai tren atau fashion dewasa ini. Sebagaimana
diketahui bersama, fashion bukanlah fenomena yang hadir begitu saja, melainkan suatu
bentuk arus kebudayaan yang sengaja diciptakan dan memuat
kepentingan-kepentingan tertentu, terutama dalam menggiring dan mengarahkan khalayak
untuk “menggunakan” atau “tidak menggunakan” suatu produk kebudayaan.
Berdasarkan penelisikan
yang dilakukan, tercatat bahwa merebaknya penggunaan hijab di kalangan wanita
muslim[5] tanah air
dimulai sekitar tahun 2009, yakni ketika sosok Dian Pelangi, desainer muda tanah
air, mampu mencuri perhatian lewat busana muslim rancangannya dalam perhelatan Jakarta Fashion Week. Tingginya animo
publik terhadap berbagai hasil karyanya mendorong Dian mendirikan Hijabers Community pada tahun 2011. Melalui
Hijabers Community inilah tren
penggunaan hijab (jilbab) menjadi kian luas dan masif. Hijabers Community sendiri digadang-gadang memiliki misi
memperkenalkan “hijab modis” bagi para remaja putri tanah air, sekaligus
mengikis anggapan bahwa wanita pengguna hijab adalah kuno (Sartika, 2014).
Pasca berdirinya Hijabers Community, bermunculan banyak komunitas serupa di tanah
air seolah hendak mengulang sukses Dian Pelangi. Harus diakui, menjamurnya komunitas
hijab secara tidak langsung turut melipatganda “promosi” penggunaan hijab di
kalangan remaja putri muslim tanah air. Namun pertanyaannya, sejauh mana berbagai
komunitas ini memotivasi penggunaan hijab sebagai dimensi ritual yang sarat
nilai-nilai agamis, dan bukannya demi orientasi profit semata?.
Hijab sebagai Fashion
dan Berbagai Implikasi Negatifnya
Kemunculan
hijab modis seakan mampu “mendamaikan” antara dimensi ritual dengan penampilan.
Dalam arti, terkikisnya anggapan “kuno” atau “tak gaul” bagi mereka remaja
putri yang mengenakan hijab. Di satu sisi, motivasi pewacanaan penggunaan hijab
oleh komunitas-komunitas hijabers pun
masih dipertanyakan, apakah murni dakwah (motivasi agamis), ataukah orientasi
profit (keuntungan ekonomi). Namun, apabila pemikiran kritis didayagunakan,
maka agaknya dimensi profit berbagai komunitas hijabers lebih kentara ketimbang dimensi dakwah yang dibawanya.
Lebih jauh,
hal di atas disebabkan oleh beberapa hal; Pertama,
eksistensi fashion sebagai perihal yang memang “sengaja” dimunculkan. Kedua, munculnya berbagai konstruksi
yang sengaja diciptakan oleh berbagai komunitas hijabers, seperti “hijab modis”, “hijab gaul”, “hijab yang tak
kuno”, dan lain sejenisnya. Ketiga, beragam
konstruksi tersebut seakan menggiring publik untuk menggunakan model jilbab
tertentu, dalam hal ini, jilbab yang diproduksi oleh komunitas hijabers. Keempat, digunakannya media sosial (internet) secara masif sebagai
sarana promosi hijab ala komunitas hijabers. Penggunaan media sosial secara
masif ini kian menunjukkan secara jelas kuatnya muatan kepentingan ekonomi komunitas
hijabers untuk mengarahkan opini
publik terhadap produk yang dihasilkannya. Melaluinya, komunitas hijabers seolah membuat dikotomi antara “jilbab
modern dengan jilbab kuno”, “jilbab bagus dengan jilbab jelek”, serta “jilbab
layak-pakai dengan jilbab tak layak-pakai”.
Kekhawatiran
banyak pihak akan implikasi negatif dari tren hijab ini pun terbukti. Beberapa waktu
lalu, publik dunia maya dihebohkan oleh perbincangan seputar munculnya fenomena
jilboobs. “Jilboobs” adalah julukan
bagi mereka yang berhijab namun turut menunjukkan lekuk (baca: kemolekan)
tubuh. Fenomena jilboobs menyirat
penampilan “setengah agamis dan setengah non-agamis”. Hal ini tentu berdampak
pada kacaunya simbol-simbol agamis mengingat “yang sakral” telah bercampur
dengan “yang profan”. Bahkan, apabila ditilik secara seksama, dapatlah
dikatakan bahwa sesungguhnya gaya berpenampilan jilboobs sama sekali telah kehilangan dimensi agamisnya. Hal
tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya satu persyaratan dalam berbusana agamis
yang baik dan benar, sehingga dapat menggugurkan keseluruhannya. Perlu
ditegaskan sekali lagi kiranya, kemunculan fenomena jilboobs ini berkaitan erat dengan pengonstruksian hijab sebagai
fashion sehingga memungkinkan munculnya modifikasi-modifikasi jilbab yang
justru menjauh serta menyalahi dari aturan (pakem) semula.
Implikasi
negatif hijab sebagai fashion berikutnya adalah munculnya jiwa konsumtif pada
remaja putri muslim tanah air. Sebagaimana diketahui, tren atau fashion adalah sesuatu
yang bersifat dinamis, selalu berubah, dan memiliki daya persuasif bagi mereka
yang menyaksikannya. Dengan ditempatkannya hijab sebagai fashion, maka dapatlah
dikatakan bahwa mode (bentuk-bentuk) hijab pun akan selalu berubah, mengalami
modifikasi, serta mengalami perkembangan model dan rupa yang tidak terkira.
Pada akhirnya, pemakaian hijab pun akan sebatas pada tren/fashion, bukannya
sebagai kewajiban agamis yang memang telah digariskan. Apabila telah demikian,
maka konsumsi (pemakaian) hijab pun akan lebih terpaku pada “simbol”, antara
lain simbol kemodisan, simbol kemodernan, simbol melek fashion, dan berbagai simbol keduniawian lainnya. Dengan kata
lain, hijab yang digunakan bukanlah hijab yang berasal dari “dalam” (hati),
melainkan sekedar tampilan luar yang kosong dan telah kehilangan makna. Dengan
demikian, tidak ada lagi yang tersisa kecuali konsumerisme, hasrat untuk
membeli dan terus membeli.
Di sisi lain, persoalan di atas pernah pula
dibahas oleh Jean Baudrillard dalam Masyarakat
Konsumsi (2009), yakni bagaimana manusia sekarang lebih terpacu mencari
ketenangan batin dari luar dan bukannya dari dalam. Sebagai misal, bagaimana individu
saat ini merasa menjadi penganut agama yang taat apabila menggunakan pakaian
serba baru dalam upacara atau perayaan-perayaan keagamaan. Begitu pula, bagaimana
individu merasa menjadi penganut agama yang baik apabila telah menggunakan
produk-produk berbau agamis, seperti minuman dan makanan berlabel agamis, handphone dengan aplikasi-aplikasi
agamis, bahkan hingga layanan “paket pesan singkat” para pemuka agama yang
berisi nasehat-nasehat agamis di mana sesungguhnya semua itu menunjukkan bentuknya sebagai upaya komodifikasi agama atau “jual-beli agama”.
Kesimpulan
Berbagai
uraian singkat di atas kiranya telah menunjukkan secara jelas terjadinya
pergeseran makna hijab di era kontemporer, yakni, dari instrumen atau atribut
yang awalnya bersifat sakral (agamis), menjadi atribut yang bersifat profan (sekedar
duniawi), yakni menemui bentuknya sebagai fashion semata. Lebih jauh, penempatan
hijab sebagai fashion pun memunculkan beberapa implikasi negatif, antara lain: Pertama, ditemuinya bentuk-bentuk hijab
yang justru menjauh dan menyalahi dari aturan hijab semula; Kedua, tergenjotnya jiwa konsumerisme wanita
muslim tanah air akibat terjebak pada “pengonsumsian simbol-simbol” penggunaan
hijab yang selalu berkembang dan mengalami inovasi. Fakta sosial tersebut
menunjukkan betapa tipisnya benang pemisah antara praktek atau ritual keagamaan
dengan konsumerisme. Dalam konteks ini, dapatlah disimpulkan bahwa “hati yang
behijab” kiranya lebih baik daripada fisik yang berhijab namun tanpa makna.
*****
Daftar Pustaka
Buku;
Baudrillard, Jean, 2009, Masyarakat
Konsumsi, Kreasi Wacana.
Internet;
Ramadhan,
Haifa, 2012, Meluruskan Kembali Makna
Hijab, http://www.suara-islam.com/read/index/5194/Meluruskan-Kembali-Makna-Hijab (diakses pada 03
Maret 2015).
Sartika,
2014, Indonesia Moslem Fashion Week, http://www.tabloidbintang.com/articles/gaya-hidup/Fashion/9978-indonesia-moslem-fashion-week-2014-digelar-1820-juli-2014
(diakes pada 03 Maret 2015).
[1] Selanjutnya akan digunakan kata “hijab” atau “jilbab” untuk
menyederhanakan uraian.
[2] Julukan bagi wanita Islam, sedangkan bagi pria Islam: muslim.
[3] Tata cara keagamaan atau tata laku beragama.
[4] Hilangnya kesakralan sesuatu secara berangsur-angsur.
[5] Terutama remaja putri atau pemudi Islam tanah air.
4 komentar:
Dalam kajian etnologi, jilbab itu merupakan budaya persia, diasimilasi oleh agama islam menjadi suatu kewajiban bagi muslimah.
Tidak hanya jilbab yg menjadi atribut agama yg dikomersilkan, peci, sarung, tasbih, dsb. Bahkan batu akik pun mengalami desakralisasi. Sebelum booming, yg pake batu akik distereotipekan memiliki kekuatan mistis, aura dsb, sekarang orng pake batu akik berorientasi pada fungsi estetis. Demikian halnya jilbab.
Sejalan dengan apa yg dikatakan popper bahwa beragama itu mahal, tdk gratis. Hrs cukup kaya utk bisa menjalankan fungsi sosial di dalam agama.
tengs buat komentarnya, ciamik. apalagi bagian "beragama itu tidak murah". siiiip
menurut saya tanda konsumerisme hijab yg meroket ditandai juga hadirnya toko-toko fashion hijab online (ecommerce) baru sejak 2011. bisnis-bisnis skala UMKM yang dijalankan oleh generasi millenial.
Luar biasa sekali pencerahannya ya Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru - Jilbab Pashmina Terbaru - Jilbab Instan Terbaru - Jasa Pembuatan Website Penjualan Online - Jasa Pembuatan Online Shop - Jasa Pembuatan Website Murah - Jasa Pembuatan Website Toko Online
Posting Komentar