TEROR
Wahyu BN
Teror
adalah ketika seorang mahasiswi menelponmu di subuh buta dan mengatakan dirinya
telah berada di depan kontrakanmu.
“Ya???”
aku masih setengah sadar, dan kupikir, nomornya juga tak tercatat di Lenovo-ku.
“Saya
ada di depan rumah kontrakan Bapak, Pak,”
“Hah?”
“Iya,
saya sudah di depan…,”
“Oh….,”
apa dia mau bimbingan skripsi, ya? Tapi kok, pagi-pagi gini, sih? Ini kan’
belum masuk jam kerjaku.
Aku masih belum sadar.
Segera
kubilas muka dan berjalan malas menuju pintu depan. “Maunya apa, sih? Ganggu banget,”
batinku.
Kuusap
mata sekali lagi, dan memang, ada sesosok perempuan tengah berdiri di luar
pagar kontrakanku, itu tampak lewat rambut panjangnya yang sesekali terterpa
sinar putih lampu pinggir jalan.
Kubuka
pagar yang tak pernah tergembok, melainkan sekedar menggeser besi panjang
penguncinya keluar tembok.
Ya,
aku mengetahui mahasiswi ini, tapi tak mengenalnya. Ia bukan mahasiswiku,
melainkan mahasiswi prodi lain. Wajahnya cukup familiar, ia selalu datang di
acara-acaraku; entah seminar yang kuisi, dialog publik, juga seingatku, di
bedah bukuku; ya, wanita ini hadir di acara itu dan duduk di barisan bangku
paling depan.
“Eh,
kamu… Siapa namamu?”
“Emm,
nanti Bapak juga tahu siapa nama saya,” jawabnya sambil tersenyum malu.
Ia
tampak membawa dua bungkusan kantong plastik dengan warna berbeda. Satu
bungkusan teridentifikasi olehku, semacam gelas-cup yang menunjukkan lekuknya tertahan plastik putih, sedang satu bungkusan
plastik berwarna merah muda tak bisa kutebak.
Oke,
aku memang berharap ia langsung memberikan kedua bungkusan itu dan segera pergi
sehingga selesai sudah urusanku dengannya. Tapi, bagaimana kutahu jika
bungkusan itu untukku? Ah, ini kan’ seperti kebiasaan mahasiswa pada umumnya
yang begitu dermawan terhadap dosen. Seyogyanya, aku memang tak boleh
menerimanya; itu gratifikasi, dan itu tergolong korupsi! Tapi, hendak bagaimana
lagi, aku kadung bersumpah baru bakal tak korupsi kalau Ahok jadi presiden. Aku
tak mau melanggar sumpahku karena itu juga dosa.
“Saya
masuk ya, Pak,” itulah yang seketika diucapnya sambil berjalan melewatiku.
Aku
terbengong. “What the… Apa-apaan
ini?! Ia masuk begitu saja tanpa kupersilakan!” teriak batinku. “Ya, aku memang
dekat dengan mahasiswa, tapi bukan begini juga caranya! Dimana-mana tamu baru
masuk kalau sudah dipersilakan tuan rumah!” lanjut teriak batinku.
Sesaat
ku terdiam memandang jalan sambil menahan dongkol yang teramat-sangat, mau tak
mau, harus kuikuti dirinya masuk ke dalam.
Ia
telah berada di ruang tamu dan seakan telah akrab dengan ruangan itu, padahal
ia baru sekali ke sini. Sejurus kurasa; akulah tamunya, dan ia tuan rumahnya. Eh,
apakah aku masih belum sadar benar?
“Ini
Pak, saya bawain kopi sama jajanan pasar,” itu adalah dua bungkusan yang dibawanya
tadi.
“Oh
ya, makasih.” Balasku sekedarnya. Moga ia bisa membaca rautku yang datar dan
menyirat ketidakantusiasanku atas apa yang diperbuatnya; aku tak pernah
sejengkel ini pada mahasiswa. Tapi tampaknya, itu sia-sia. Ia mulai berbicara
dengan kata-kata yang tak ku mengerti.
Segera
kuambil rokok di permukaan meja. Rokokku memang ada dimana-mana; di tempat
tidur, di meja makan, di dapur, di toilet, bahkan juga di ruang kamar yang
kujadikan mushola. Harapku, kusesaki seisi ruang tamu dengan kepulan asap
sehingga dirinya tak tahan dan segera pulang. Tapi tampaknya, itu juga sia-sia.
Agaknya ia sudah “terlatih” dengan asap rokok.
Seketika,
terlintas asa jahat di pikiranku: “Andai sekarang ada gempa besar tuk mengakhiri
pertemuan tak bermutu ini… Eh, tapi kalo ada gempa besar, rumah ini kan’ ikut
roboh. Ya, nggak apa-apa ding’, kan’ bukan rumahku, aku cuma ngontrak di sini.
Besok tinggal pindah ke kosan aja yang lebih murah, hehe”
Tentu,
asaku tak masuk akal, bahkan jauh lebih tak bermutu timbang pertemuan ini.
…hingga
pada akhirnya, kupahami perkataannya; apa yang dibicarakannya. Itu saat dirinya
meletuskan serangkai kata-kata berikut dengan
keras lagi tegas: “Saya cinta bapak! Saya mau dengan bapak! Saya akan lakuin
apa aja buat sama bapak!”
“Emang
aku bapakmu, po?” batinku. Duh, aku masih sempat juga bercanda dengan diriku.
Segera ku berpikir keras tuk meresponnya…
“Heh
… asal kamu tahu ya, aku ini … HOMO.”
“Halah!
Bapak nggak usah cari-cari alasan! Pokoknya saya maunya cuma sama bapak! Kalau
bapak nggak mau sama saya, saya bakal bunuh diri!” dikeraskannya ucapan itu sambil
diambilnya sebilah pisau yang disembunyikan di balik kaos hitam ketatnya.
Sama
sekali tak kusangka mahasiswi ini membawa pisau, oh, sepertinya anggapanku
ihwal betapa amannya lingkungan di sini sarat kurevisi—macam skripsi aja, Jon!
“Kalau
bapak tidak mau … saya bunuh diri sekarang juga di sini…” ucapnya kali ini lirih
sambil mengacungkan pisau itu persis di depan mukanya yang memelas.
“Ya
udah, kamu bunuh diri aja, itung-itung
ngurangin kepadatan penduduk. Toh, bentar lagi kita juga bakal kena bonus
demografi,” balasku tanpa perasaan.
Kalian tentu tahu, aku tak bersungguh-sungguh dengan
ucapan ini. Kugunakan “psikologi terbalik” tuk menyurutkan niatnya, pun kuyakin,
ia tak bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
“Tapi,
sebelum saya bunuh diri … bapak harus mati dulu!”
Aku
terkejut. Ini tak main-main. Ia memang bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
Aku tak boleh lagi bercanda dengannya atau dengan diriku sendiri. Aku benar-betul
dalam kondisi viverepericoloso! Situasi
hidup-mati! Aku betul-betul bisa tinggal nama siang nanti!
Ia beranjak dan segera melangkah mendekat
sambil mengacungkan pisau itu ke arahku. Mata pisau itu benar-benar tertuju
padaku! Aku takut dan gemetar. Aku betul-betul terTEROR.
Tangan kiriku segera bergerilya meraba halus lipatan bantalan
sofa dengan perlahan. Seingatku, kusimpan juga satu revolverku di situ. Asal
kalian tahu, revolerku, sama seperti rokokku, kuletakkan di banyak tempat; ada
yang di kamar tidur, dapur, toilet, juga di mushola. Tapi, untuk apa revolver
sebanyak itu? Hehe, simpel: aku suka menembaki cicak. Menurut ajaran agamaku, membunuh
cicak itu berpahala. Cicaklah yang meniupi api Abraham sehingga kobarnya kian
menggeliat. Ya, itulah sunnah
favoritku: menembaki cicak. Dan, sebagai dosen, kumiliki banyak waktu luang tuk
menambal dinding-dinding yang bolong akibat kebrutalan peluru-peluru yang kutembakkan.
Betul sekali, mencabuti proyektil dan menambal dinding-dinding yang bolong adalah hobiku
di kala senggang. Tak ada lagi lagu “Cicak-cicak di Dinding”. Tak
ada.
Segera kutarik revolver yang telah teraba yakin di
bawah bantalan sofa, kutarik pelatuknya, dan kuarahkan padanya; pada mahasiswi
itu.
“Kalau kamu coba mendekat lagi, kutembak!” ancamku.
Ia sempat tersentak, tapi itu tak lama, ia segera
kembali ke laku semula: terus mencoba mendekatiku sambil mengacungkan pisaunya
ke arahku.
“Heh! Aku nggak main-main!” segera kuarahkan revolver
tepat ke pelipis kiri samping matanya, jaraknya tak sampai satu meter dari
tempatku membidik.
Ia terus saja mendekat pelan, tampaknya ia juga tak
main-main, niatannya membunuhku memang sudah bulat; ngerinya, ia sama sekali
tak berkata-kata saat terus mendekat dan mendekat.
“Dorrr!!!”
Ia ambruk menimpa meja sebelum benar-benar jatuh ke
lantai. Darah segar tertumpah di sekitarannya, meja dan sofaku tak luput
terciprat. “Pasti tengkoraknya pecah,” pikirku saat melihat kondisinya yang tak
lagi bernyawa. Itu tampak jelas lewat mata kirinya yang sedikit menyembul ke
permukaan. Bagusnya, tetanggaku takkan curiga dengan bunyi letupan barusan,
pasti dikiranya aku tengah menembak cicak seperti biasa.
Apakah aku was-was? Tentu. Ini kali pertama kubunuh
manusia, bukan cicak.
Segera kuletakkan revolver di genggaman tangan
kanannya. Itu kulakukan agar seolah ia terlihat bunuh diri karena kutolak
cintanya. Eh, tapi mana mungkin polisi dan orang-orang percaya kalau aku punya
penggemar militan macam ini. Lalu, apa motifku? Membela diri? Lha, ini, pisau
yang digunakannya sudah kupegang, pastilah menipak jelas sidik jariku.
Tanpa pikir panjang, kuambil revolver yang digenggam
pasrah tangannya, kutarik pelatuknya dan kutempatkan tepat moncongnya ke tengah-tengah
jidatku. “Aku juga sudah bosan dengan pekerjaanku; terlalu bebas, terlalu
banyak waktu luang…”
“Dorrr!!!”
Denpasar, 03.03.16
1 komentar:
wow sharing yang keren kak.. kalau ingin tahu tentang cara membuat toko online yukk disini saja. terimakasih
Posting Komentar