Bangku Kelas: Sebuah Penindasan?
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Menjaring Muatan Ideologi melalui Sosiologi Interpretatif
“Ideologi tersebar di sekitar kita!”, demikian sekiranya pungkas para pemikir Mahzab Frankfurt semisal Marcuse, Adorno dan kawan-kawan. Pasca kejayaan fasisme Eropa, bersamaan dengan menguatnya rezim komunisme Soviet, para pemikir Frankfurt Schule ‘Mahzab Frankfurt’ mampu mendudukkan ideologi sebagai suatu “kepalsuan”, pembodohan massal, atau tegasnya, “ sebentuk tipuan picik”.
Menurut mereka, ideologi sengaja diciptakan penguasa dengan sederet kepentingan yang menyertainya: cita-cita fuhrer akan Third Reich mencirikan bentuknya sebagai positivisme, dengan demikian, ia adalah bualan belaka mengingat musykil-nya empirisme-prediktif dalam pandangan pemikir Frankfurt. Oleh karenanya, begitu pula dengan berbagai pidato Hitler di saentaro Jerman—bualan belaka.
Dalam perspektif antropologi politik, kebudayaan ajeg mengalami ketegangan dengan dimensi kemanusiaan. Diskursus yang berlangsung di dalamnya adalah, apakah kebudayaan diciptakan oleh manusia, ataukah sebaliknya?. Faktual, dalam ranah politik, kerap kali berbagai upacara besar yang digelar (eksibisi pasukan dan persenjataan) ditujukan guna meyakinkan (baca: menghipnotis) massa akan kekuatan pemerintahnya yang “tak terkalahkan”.
Guna menelanjangi berbagai selubung kepalsuan di atas, para pemikir Frankfurt menelurkan sebentuk konsep bernama “sosiologi interpretatif” yang tergabung dalam tataran pemahaman kritis. Menurut mereka, sosiologi interpretatif berfungsi menafsirkan pola-pola komunikasi antara pihak dominan dengan dormant yang tentunya tak luput dari muatan ideologi-ideologi. Dalam hal ini, dapatlah ditilik bahwa selebaran jalanan berikut informasi yang dirilis pemerintah melalui berbagai media yang ada sekedar menemui bentuknya sebagai ideologi semata, yakni ideologi pelanggengan kekuasaan.
Dalam perkembangannya, sosiologi interpretatif Mahzab Frankfurt tak sekedar ditujukan bagi penelisikan berbagai muatan ideologi dalam konstelasi sosial-politik penguasa dengan rakyatnya, melainkan pula dalam ranah kebudayaan (materi maupun imateri), tentunya tetap dengan mempertahankan aspek emansipatoris (pembebasan) yang selalu diusungnya. Dalam hal ini, kajian Walter Benjamin mengenai ideologi yang mewujud dalam benda-benda kebudayaan kiranya dapat merepresentasikan hal terkait.
Ideologi dalam Benda-benda Budaya
Sebagaimana untaian kalimat yang telah diutarakan di atas, “Ideologi tersebar di sekitar kita!”, apakah kita sadar bahwa jalanan yang kerap kita lalui tak lagi netral dan penuh dengan pretensi-pretensi? Hadirnya beragam baliho dan banner di pinggiran jalan faktual mengandung ideologi: ideologi candu dan konsumerisme (iklan rokok, produk-produk konsumtif, dsb.).
Begitu pula, sering kali kita tak sadar bahwa bangku kelas pun memuat ideologi. Apabila kita tilik, umumnya bangku kelas—khususnya bangku kuliah—memiliki papan menulis di bagian kanan. Hal tersebut faktual memuat ideologi, yakni “ideologi normal” dan “tak normal/abnormal”. Seakan, mereka yang menulis dengan tangan kanan adalah normal, sedangkan mereka yang “kidal” (menulis dengan tangan kiri) adalah tak normal. Eksistensi bangku kelas dengan papan menulis di bagian kanan jelas menyulitkan mereka—mahasiswa—yang menulis dengan tangan kiri. Melalui hemat perspektif kritis, kondisi emansipatoris kelas dapat diwujudkan dengan ketersediaan beberapa bangku kelas dengan papan menulis di bagian kiri guna mengakomodasi mereka yang kidal.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar