Kamis, 17 Maret 2011

“KAPITALISME RELIGIUS” SEBAGAI ALTERNATIF PENGENTASAN KEMISKINAN

“KAPITALISME RELIGIUS” 
SEBAGAI ALTERNATIF PENGENTASAN KEMISKINAN
MENINJAU KEMBALI TESIS ETIKA PROTESTAN 
DAN SPIRIT KAPITALISME-WEBER
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


“…bahwa kerja dalam aspek panggilan merupakan suatu tugas yang digariskan tuhan.”     (Weber) 
Pendahuluan
            Terminus kapitalisme sebagaimana kita kenal, kerap menuai streotipe masyarakat luas. Kapitalisme kerap diidentikkan dengan penindasan, eksploitasi semena-mena berikut segala bentuk ketidakadilan lainnya. Beberapa versi mengenai asal-mula kelahiran kapitalisme pun muncul, sebagian berpendapat bahwa era bercocok tanam manusia primitif menjadi tonggak awal kemunculannya, beberapa pihak menyangkal, terutama kaum marxis ortodoks yang keukuh dengan pendiriannya bahwa kapitalisme lahir pasca abad 15 di mana kala itu terjadi pergeseran antara produksi untuk kegunaan menjadi produksi untuk pertukaran.[1] Dalam ranah berlainan, sebagian pemikir berpendapat bahwa kapitalisme berakar dari kelahiran sekularisme Eropa, sebagian yang lain menganggap eksemplar Adam Smith, The Wealth of Nations sebagai “bidan” kelahirannya, begitu pula pihak-pihak yang menegaskan bahwa revolusi industri menjadi “ibu” kapitalisme. Dalam diskursus intelektual ini, kita dapat melihat betapa The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism karya Weber tak mendapat tempat yang semestinya—begitu kontras dengan predikat Genius Universal yang disandang pencetusnya.[2]  
            Dalam paper yang singkat ini, penulis tidak akan melakukan justifikasi terkait kebenaran versi-versi tertentu kelahiran kapitalisme atau senada dengan Friedmann, Samuelson serta Solow yang “mengagungkan” kapitalisme sebagai “jembatan emas” menuju kesejahteraan masyarakat. Dalam keterbatasan kapasitas yang penulis miliki, setidaknya penulis berupaya melakukan peninjauan ulang terhadap karya Weber, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism ‘Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme’ yang agaknya terlupakan dalam penelisikan embrio-embrio kapitalisme. Bisa jadi, ketidakrampungan karya ini karena wafatnya Weber yang tiba-tiba menjadi salah satu penyebab semakin kecilnya animo ilmuwan-ilmuwan sosial mengangkat karya ini,[3] atau dalam keadaan tesis yang belum “khatam” tersebut telah kita jumpai dekonstruksi-dekonstruksi terhadapnya, seperti yang salah satunya hadir melalui sosiolog kenamaan Bryan S. Turner dengan karyanya, Sosiologi Islam.[4]  
            Namun demikian, terlepas dari itu semua, kita perlu memberikan aplaus pada Anthony Giddens yang dengan teliti melakukan pengkajian ulang terhadap karya “bapak-bapak” Sosiologi peletak dasar teori sosiologi modern—Marx, Weber dan Durkheim—yang terangkum dalam buku apiknya, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern[5]  sehingga memungkinkannya menjadi ‘batu loncatan’ bagi pelajar ilmu-ilmu sosial awam yang hendak melangkah lebih lanjut pada karya-karya original ketiga tokoh di atas karena memang tulisan-tulisan tokoh tersebut— terutama Marx dan Weber—bersentuhan dengan tradisi penulisan Hegelian Jerman yang “angkuh” dan sulit dimengerti.  
            Hal ini menarik bagi penulis mengingat luasnya konstruksi pemikiran yang mempertentangkan kapitalisme dengan berbagai ajaran agama, bahkan dalam bentuknya yang ekstrem di Amerika Latin, kita menjumpai bentuk pergerakkan yang dikenal dengan nama Teologi Pembebasan, atau upaya intelektual-intelektual muda Indonesia kontemporer sendiri dengan Sosialisme Religius-nya,[6] kesemuanya merupakan isyarat dikotomi antara agama atau religiusitas dengan kapitalisme. Di tengah meluasnya anggapan ini, penulis mencoba melakukan peninjauan ulang terkait relevan-tidaknya pemikiran-pemikiran tersebut, dalam hal ini, kiranya penulis mengingatkan kembali muatan-muatan religius perspektif Weber dalam kapitalisme yang kemudian mengalami pendistorsian yang sedemikian hebatnya.
Kemenangan Kapitalisme?
Pada akhir 1980-an muncul “buku besar” karya tokoh kenamaan Amerika, Francis Fukuyama berjudul The End of History and The Last Man. Buku ini pada intinya menjelaskan kemenangan Demokrasi Liberal yang berada dalam tatanan sistem Kapitalisme.[7] Dengan kata lain, Fukuyama hendak menegaskan bahwa Kapitalisme merupakan satu-satunya ideologi yang mampu bertahan serta lolos dalam “seleksi alam” atau sejarah. Kapitalisme yang melewati kekakuan feodalisme, kapitalisme yang menembus kebekuan gereja abad pertengahan serta kapitalisme yang menjawab problem ekonomi sosialisme, kesemuanya menurut Fukuyama, menjadi penegas sekali lagi atas “kemenangan besar” kapitalisme sekaligus penutup ideologi-ideologi lain yang ada di dunia. Di satu sisi, momen kemunculan buku Fukuyama—akhir dekade 1980-an—dengan demikian dapat dianggap sebagai “perayaan” kapitalisme atas kebangkrutan rezim Komunis Soviet.[8]   
Ada Apa dengan Kapitalisme?
            Ekonom-ekonom Barat seperti Friedmann, Rostow, Samuelson dan Solow yang jelas “mengamini” kapitalisme sebagai jalan mewujudkan kesejahteraan masyarakat memiliki alasan tersendiri mengapa hal tersebut dapat terwujud. Satu kata kunci yang tampaknya tak dapat lepas dari analisis kita mengenai hal tersebut adalah trickle down effect ‘efek rambatan’, konsep terkait menjelaskan bahwa kesejahteraan dengan sendirinya akan terwujud apabila terjadi pembangunan skala besar (baca: industrialisasi skala masif), tegasnya melalui sebuah ilustrasi: semakin besar roti yang dibuat, maka semakin besar pula bagian-bagian roti tersebut yang dapat diberikan. Namun kemudian, terbukti bahwa konsep ini tak berjalan dengan semestinya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, namun sebelum menyentuh ranah terkait, menjadi praktis bagi kita untuk terlebih dulu memahami bagaimana kapitalis mendapatkan kekayaannya, mengingat aspek ini sekaligus menjelaskan penyebab gagalnya mekanisme trickle down effect.  
            Setidaknya, terdapat beberapa kata kunci dalam upaya menelisik akumulasi modal kapitalis, antara lain; alienasi nilai guna, nilai lebih serta sirkuit modal. Ketiga hal tersebut senyatanya telah menyimpang sedari etika awal protestan. Seorang pendeta protestan, John Calvin sempat berkata pada jamaahnya bahwa untuk beribadah kepada Tuhan kita harus melakukan tiga hal: Pertama, bekerja keras; Kedua, melakukan penghematan total, dan ketiga, mengutamakan rasionalitas, dalam artian menimbang untung-rugi terkait konsekuensi tindakan yang diambil.[9] Namun, tak hanya itu saja, lanjut Calvin, perilaku hidup asketik juga menjadi syarat mutlak menjadi seorang protestan, prilaku hidup asketik dalam hal ini berarti hidup secara alim, sederhana dan ‘rajin’ bersedekah.[10]    
            Suatu fakta yang cukup mengejutkan kita temui, Weber dalam tesis Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme mengangkat seorang tokoh bernama John Wesley yang secara gamblang berkata bahwa sikap hidup asketik akan memunculkan kekayaan bila dilakukan oleh siapa saja, ketakutan Wesley pula dalam hal ini apabila kekayaan seseorang meningkat maka dikhawatirkan esensi agama akan merosot pada proporsi yang sama.[11] Dapat kita cermati bahwa apa yang ditakutkan Wesley tampaknya menjadi kenyataan tak lama kemudian, bahkan tetap berlanjut hingga kini. Dalam melihat realitas ini, Weber memunculkan istilah auri sacra fames ‘rakus untuk mendapatkan emas’,[12] yakni suatu istilah guna menggambarkan pergeseran nilai-nilai asketik pada nilai-nilai hedonis penganut protestanisme. Berdasarkan hal tersebut, tampaklah jelas bahwa sistem ekonomi kapitalis yang saat ini eksis telah melenceng jauh dari pakem awalnya. Bentuk-bentuk tradisi asketik yang mulai meredup seiring tergantikannya dengan nilai-nilai hedonis hingga hari ini kiranya, kian membenarkan anggapan kaum agamis, marxis maupun marxian bahwa sistem tersebut benar-benar menjelma menjadi “monster” yang tak kenal lelah melakukan eksploitasi dan penindasan pada kaum marginal.
            Dengan demikian, dalam paper yang singkat ini penulis berupaya menawarkan sebuah paradigma baru di mana “penghancuran” terhadap sistem kapitalisme atau perombakan terhadapnya dengan menambahkan muatan ide-ide lain seperti sosialisme maupun religius pada dasarnya tidak diperlukan, apa yang seharusnya kita lakukan cukup mengembalikan kapitalisme pada pakem awal yang mendasari kemunculannya, yakni semangat asketik religius protestan itu sendiri.[13] Suatu istilah baru kemudian yang penulis kira cukup menjadi pembeda dengan bentuk kapitalisme sebelumnya yakni Kapitalisme Religius—kapitalisme yang berupaya melakukan oto-Pembaharuan dalam dirinya dalam bentuk “pemurnian” atau “pengembalian” etika protestan yang pada mula mendasarinya.     
Relevansi Kapitalisme Religius
            Pada penghujung abad 20 terbit buku karya Anthony Giddens berjudul The Third Way ‘Jalan Ketiga’, buku ‘pamflet’ ini memuat sebuah ide penggabungan antara kapitalisme dengan sosialisme. Giddens dengan jelas memaparkan kegagalan beruntun kapitalisme dengan krisis ekonomi berkalanya, di satu sisi ia juga menegaskan bahwa sosialisme akan tetap eksis bila kemiskinan tetap eksis pula di dunia ini. Pemikiran Giddens menemui wujudnya yang konkret dalam konsepnya mengenai strukturasi-agensi, di mana agen-agen sosialis harus dimasukkan dalam struktur-struktur kapitalis guna mempengaruhi berbagai kebijakan publik yang tercetus kemudian. Jika kita mengenal istilah “kiri” yang identik dengan kaum sosialis serta kontrol negara, sedangkan “kanan” identik dengan pasar bebas-kapitalis, maka konsepsi yang tercetus dari pemikiran Giddens dikenal dengan istilah center-left ‘kiri-tengah’.[14]
            Namun demikian, Jalan Ketiga Giddens—pada dasarnya merupakan  revitalisasi konsep Jalan Ketiga yang telah muncul sebelumnya—sejak “digodoknya” konsep tersebut hingga hari ini belum jua menemui hasilnya yang signifikan, apa yang selalu kita temui di lapangan adalah ketimpangan yang terjadi antara dua konsepsi “besar” tersebut. Di lain pihak, muncul pula begitu banyak prasangka terhadap Giddens sebagai “komprador” kapitalis karena pujian atas konsep Green Capitalism Thatcer yang dilayangkan Giddens.[15] Berbagai fakta tersebutlah yang kemudian tampaknya “mengecilkan” konsepsi Jalan Ketiga yang diusung Giddens sendiri.
            Dapatlah kita analisis, berbagai keterangan yang telah disajikan di atas agaknya kian memperkuat kapitalisme religius sebagai alternatif baru pengentasan kemiskinan dalam tingkat ekonomi mikro, makro maupun global. Seperti kita ketahui, sosialisme sebagai jalan pertama telah mengalami kebangkrutannya yang mengenaskan di akhir dekade 80-an, jalan kedua yang terejawantahkan dalam kapitalisme tak pelak memberikan masyarakat krisis ekonomi periodik, sedangkan jalan ketiga, gabungan sosialisme dan kapitalisme, masih saja dirundung ketimpangan dalam aspek praksis. Di samping itu, konsepsi kreatif sosialisme religius (jalan keempat) intelektual muda kontemporer Indonesia hingga saat ini belum juga menemukan wujudnya yang konkret.[16] Oleh karena itu, menjadi urgen bagi kita melihat peluang-peluang yang muncul seiringan dengan mencuatnya ide kapitalisme religius—boleh jadi kita namakan sebagai Jalan Kelima—sebuah konsep dengan bangunan religius yang memenuhi berbagai sendi kebutuhan manusia baik dalam aspek jasmani maupun rohani hingga kemudian mengalami pendistorsiannya yang begitu hebat, saat ini tinggal menunggu usaha bagi revitalisasinya dalam konteks pemurnian serta penemuan kembali sendi-sendi dasar etika protestan hingga terwujudnya kembali perilaku hidup asketik.   
             



*****



[1] Lihat Karl Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821 & Anthony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, Teplok, Jakarta, 1999, h. 121-123 & David Smith-Phil Evans, Das Kapital Untuk Pemula, Resist Book, Yogyakarta, 2004, h. 34, 89-112.  
[2] Baca Dennis Wrong (Ed.), Max Weber: Sebuah Khazanah, Ikon, Yogyakarta, 2003, h. 191.  
[3] Baca Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, h. xxiv.  
[4] Lihat Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi Sekuler, Suluh Press, Yogyakarta, 2005.
[5] Lihat Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta, 1986.
[6] Baca Muhidin M. Dahlan (Editor), Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, h. vii-xxix & 186.  
[7] Demokrasi dalam tatanan Sosialisme-Komunis adalah “sosial-demokrasi”.
[8] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Qalam, Yogyakarta, 2004, h. 1-17.
[9] Baca Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, teori dan Metodologi, Cired, Yogyaklarta, 2004, h. 43-44.  
[10] Max Weber, op. cit., h. 159-198.  
[11] Ibid., h. 186-187.  
[12] Ibid., h. 31.  
[13] Dengan demikian kita tidak perlu menyertakan muatan transendensi dalam kapitalisme karena pada awalnya inti kapitalisme adalah nilai-nilai religiusitas itu sendiri.  
[14] Lihat Anthony Giddens, The Third Way, Gramedia, Jakarta, 1999.
[15] Ibid., h. 16 & Muhidin M. Dahlan (Editor), op. cit., h. xv & 41.
[16] Ibid., h. xxiii.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar