ILMU SOSIAL PROFETIK:
ANTARA “ISLAMISASI PENGETAHUAN” & “PENGILMUAN ISLAM”
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
Skema Islamisasi Pengetahuan & Pengilmuan Islam,
§ Islamisasi Pengetahuan: Filsafat à Antroposentris à Defrensiasi à Ilmu Sekuler
ð Islamisasi?
§ Pengilmuan Islam : Agama à Teo-Antroposentris à De-Defrensiasi à Ilmu Integralistik
ð Ilmu Profetik
Wacana “ilmu-ilmu profetik” tak asing lagi di telinga publik akademik, terutama bagi mereka yang menempatkan diri sebagai “filsuf ilmu”. Istilah “profetik” yang berasal dari kata “prophet (s)” yang berarti “nabi” atau “kenabian” mulai populer ketika pada paruh kedua abad 20 para cendekiawan muslim dunia layaknya Ziauddin Sardar, Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi “mempropagandakan” pengembalian ilmu pada asalnya yakni “agama”-dalam hal ini Islam. Berbagai konstruksi keilmuan “agamis” tersebutlah yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu-ilmu profetik, yakni konstruksi keilmuan yang dilandaskan pada nilai-nilai transendensi ‘ketuhanan’. Namun demikian, satu hal yang patut kita ingat faktual kata “profetik” tidaklah melulu dapat “dilabelkan” pada segala sesuatu yang berbau “agamis” atau “Islam”. Apabila penelusuran lebih jauh dilakukan, maka ditemui bahwa istilah “profetik” turut eksis dalam ranah keilmuan Barat (Eropa) yakni julukan bagi mereka-para pemikir Eropa-yang berbagai ide dan buah pemikirannya menjadi titik pijak berikut pengembangan banyak pemikir setelahnya, dalam hal ini beberapa di antara mereka yang kerap dijuluki sebagai prophet ‘nabi’ semisal Marx dan Nietzsche.
Terlepas dari beragam definisi, interpretasi dan penggunaan istilah profetik, ilmu-ilmu profetik terutama “ilmu sosial profetik”-tema sentral pembahasan ini-berupaya meletakkan Islam sebagai bangun dasar (infrastruktur yang menopang superstruktur) ilmu sosial yang diharapkan mampu membawa misi-misi kenabian yakni “pembebasan” bagi masyarakat dengan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai landasan epistemologi, metodologi dan etika. Muatan emansipatoris yang hadir bersamaan ilmu sosial profetik dimotivasi kuat oleh “kebuntuan” ilmu-ilmu sosial ala Barat yang ajeg berbenturan dengan “dikotomi paradigma” atau lebih tepatnya mengalami oposisi biner epistemologis. Dengan bertitik tolak melalui renaissance ‘pencerahan’ abad 15-18 hingga era kontemporer, hal tersebut setidaknya tampak melalui vis a vis kubu rasionalisme dengan empirisme, idealisme dengan matrealisme, disusul pertentangan mahzab positivisme atas kritis kemudian berikut “kebingungan” posisi struktur dan agensi di dalamnya. Pada ranah yang berlainan, diakui atau tidak track record sosial sains Barat yang demikian praktis menggugurkan anggapan bahwa ilmu sosial profetik sekedar percabangan studi postkolonial atau cibirannya sebagai bentuk “kegenitan” intelektual semata.
Namun demikian, ilmu sosial profetik yang dalam beberapa dekade terakhir ini telah “digodog” para intelektual muslim dunia faktual belumlah menjadi instrumen intelektual emansipatoris “yang siap pakai”. Satu kendala utama yang belum ditemui jalan tengahnya berkutat sekitar masalah “islamisasi pengetahuan” dan “pengilmuan islam”. Islamisasi pengetahuan memberi arahan pada “kontekstual” yang “ditekstualkan”, sedangkan pengilmuan islam menyiratkan “tekstual” yang “dikontekstualkan”. Melalui perbedaan dua perspektif di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa opsi pertama-islamisasi pengetahuan-tak begitu memberi batasan yang jelas dan tegas terkait sejauh mana ranah keilmuan Barat “diizinkan” mempengaruhi kontsruksi keilmuan Islam. Lebih jauh, kerangka pikir yang demikian memberi jalan berbagai kemiripan pemikiran Barat atas Islam yang dapat dengan mudah “ditauhidkan” begitu saja.
Hal di atas setidaknya tampak melalui pola pikir Syariati yang menaruh curiga pada Marx terkait kemiripan beberapa konsep Capital dengan Quran sehingga beberapa bagian darinya (Quran) dapat “diislamkan”, atau pernyataan Cokroaminoto, “Kita ini muslim, jadi kita ini sosialis”. Disadari atau tidak, berbagai pernyataan tersebut dapat dicap sebagai produk pemikiran islamisasi pengetahuan. Tak hanya itu saja, jika islamisasi pengetahuan diletakkan sebagai bangun dasar kerangka berpikir maka empirisme Hume, konsep kematian Foucault yang gay dan eksistensialisme Sartre yang atheis dapat diislamkan pula.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah hal di atas dapat dibenarkan. Terkait hal ini, tercatat Baginda Muhammad s.a.w sempat mengadopsi kendaraan perang dan sistem mata uang Romawi, begitu juga dengan banyaknya ilmuwan asing yang justru mengungkap rahasia Al-Quran di kemudian hari. Dalam hal ini, “islamisasi iptek” menjadi bukti nyata, namun begaimana dengan islamisasi pengetahuan sosial-humnaiora Barat yang bahkan sekedar digunakan sebagai media ekplanasi Islam lebih jauh, semisal filsafat idea Plato yang memiliki kapabilitas menjelaskan fenomena akherat (lebih jauh lihat “Rahasia Di Balik Materi” karya Harun Yahya).
Berbeda halnya dengan islamisasi pengetahuan, “pengilmuan islam” memberi batasan yang jelas dan tegas antara ranah keilmuan Islam dengan konstruksi keilmuan lainnya. Dalam hal ini, segala konstruksi keilmuan meskipun berbau Islam-terutama sosial dan humaniora-tidaklah dapat serta-merta diislamkan begitu saja. Konstruksi ilmu sosial dan humaniora haruslah benar-benar diturunkan melalui Islam itu sendiri (Al-Quran dan As-Sunnah). Dengan demikian, secanggih apapun konsep invisible hand Adam Smith dengan “kebolehannya” menjelaskan objektivasi fenomena infak, sedekah dan zakat dalam Islam, faktual TETAP tak dapat demikian saja diislamkan. Bagi sebagian pihak hal tersebut dapat dimaklumi mengingat riskannya beragam interpretasi berikut justifikasi dan legitimasi kepentingan tertentu yang dapat muncul kemudian, begitu juga ditimbang melalui aspek etika dan moral dalam Islam. Kesemua hal tersebut faktual diperkuat dengan munculnya pengakuan berbagai ilmuwan Barat sendiri semisal Popper, Walter Wallace dan Thomas Kuhn yang menunjukkan betapa lemahnya bangun dasar keilmuan Barat.
Melalui uraian dan penjabaran singkat di atas, dijumpai bahwa satu kendala akut yang dihadapi ilmu sosial profetik dewasa ini berkutat pada masalah sekitar “metode” yakni terkait “islamisasi pengetahuan” ataukah “pengilmuan islam”. Namun demikian, dengan melihat konstelasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat yang berakhir pada nihilisme (semisal eksistensialisme dan postmodernisme) agaknya memberi secercah harapan bagi ilmu sosial profetik guna tampil ke permukaan mengatasi dikotomi, oposisi biner berikut nihilisme epistemologi keilmuan Barat. Kiranya berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas akan penulis tutup dengan pernyataan Ziauddin Sardar, salah seorang pakar cultural studies yang kurang-lebih berbunyi,
“Anda ilmuwan-ilmuwan sosial yang terhormat dari negara dunia ketiga, jauh-jauh pergi ke Barat, mempelajari dan membela sampah-sampah mereka dengan melupakan warisan anda yang tak ternilai harganya”.
2 komentar:
Kampanye "pengilmuan Islam" sepertinya mandek pasca meninggalnya Prof. Kunto, kira2 itu betul ga, yu?
Sedangkan pejuang2 Islamisasi Ilmu murid2 dari Prof. Naquib, begitu banyak bertebaran...
Dialektika harus terus digalakkan nih.
saya kira tidak juga bung, tergantung ranahnya dimana dulu juga. kalau nasional, gaung pak kunto tetap lebih terdengar ketimbang al-attas, maklum supported by the biggest islamic organization in the world, hehe.
tapi memang, apa yang dirumuskan pak kunto belum sepenuhnya rampung juga, banyak ambiguitas di sana-sini. dia pun mengakui kalau 'islam sebagai ilmu' merupakan eksemplar pioner yang belum matang.
Posting Komentar