Minggu, 13 Maret 2011

MENUJU GERAKAN MAHASISWA YANG LEBIH BERMARTABAT...

MENUJU GERAKAN MAHASISWA YANG LEBIH BERMARTABAT...
Wahyu Budi Nugroho, S. Sos

“All we are saying is give ‘peace’ a chance...”
(John Lennon, Give Peace A Chance)


Sebagaimana kita sepakati bersama, penggunaan berbagai instrumen kekerasan dalam pencapaian tujuan tidaklah dibenarkan dengan alasan apapun. Selama lebih dari enam dekade Indonesia merdeka, separuh lebih dari usianya “dihabiskan” oleh berbagai rezim yang tak segan menggunakan instrumen kekerasan guna mencapai tujuan dan memberangus mereka yang berseberangan dengannnya― Orde Lama dan Orde Baru. Disadari atau tidak, pada hakekatnya hal tersebut merupakan representasi atas budaya politik bangsa yang telah mbalung sung-sum dalam kehidupan sehari-hari. Konsepsi power ‘kekuasaan’ sebagai mandate of heaven ‘pemberian syurga’ seolah menyebabkan pemegangnya can do no wrong ‘tak dapat berbuat salah’. Kini, dengan bergulirnya reformasi pada akhir dasawarsa 1990-an seolah terjadi peralihan power pada pihak yang telah menggulingkan pemerintahan terdahulu yakni “mahasiswa”. Melalui mandate of heaven yang dimiliki secara kolektif, semua pihak seakan “diwajibkan” taat, dan bagi mereka yang menentang, sekonyong-konyong dicap sebagai “musuh demokrasi” berikut dikukuhkan sebagai golongan “kontra reformasi”.
            Bilamana kita cermati, berbagai tindakan anarkis dan vandalis mahasiswa dalam serangkaian momen demonstrasi yang kian intens terjadi belakangan ini tak ubahnya dengan politik bumi hangus dan eliminasi berbagai rezim pra-Reformasi yang lebih terfokus pada “hasil” ketimbang “proses” politik. Ironisnya, hal tersebut seolah mengisyaratkan upaya mahasiswa guna mengembalikan budaya politik klasik yang dahulu ditentangnya mati-matian, hanya saja dengan figur sentral dan muara kejadian yang berbeda yakni mahasiswa itu sendiri.
            Tak heran, berbagai hal di atas memicu beragam reaksi sinis terhadap gerakan mahasiswa kontemporer, semisal terjadinya disorientasi pada gerakan mahasiswa itu sendiri, “kebingungan” dalam menempatkan posisi atau peran di era keterbukaan mengingat kontrol dan pengawasan terhadap pemerintahan telah tergantikan oleh LSM serta media massa dewasa ini, kurangnya kematangan serta kemapanan pola pikir, atau gerakan mahasiswa yang sekedar ditempatkan sebagai kerumunan massa semata. Kiranya, serangkaian pertanyaan yang syarat menjadi perenungan kita bersama adalah, apakah mahasiswa atau masyarakat harus selalu ditempatkan sebagai oposisi dari pemerintah? Tidakkah mungkin kedua entitas tersebut berjalan secara beriringan dan harmonis?.
Begitu pula―tanpa meremehkan komitmen nilai dan moral teman-teman mahasiswa―hendaknya kita renungi benar berbagai tendensi halus nan tak kasat mata yang bisa jadi hadir dan bersembunyi di balik setiap gerakan yang muncul ke permukaan. Hal tersebut urgen mengingat eksisnya para “broker politik” yang telah lihai memanipulasi berikut mengalihkan gerakan mahasiswa guna kepentingan pragmatis. Meningkat pesatnya popularitas beberapa politisi yang “tersingkir”―terutama melalui media jejaring sosial dunia maya―sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini dapat menjadi misal mungkinnya gerakan mahasiswa telah ditunggangi sedemikian rupa oleh berbagai pihak dengan muatan kepentingan tersendiri.
Menurut hemat saya, selama kita ajeg menempatkan mahasiswa dan pemerintah sebagai “oposisi biner” yang saling berseberangan satu sama lain berikut tanpa optimisme terwujudnya political entity yang mapan, sebentuk “oto-imunisasi” pun bakal selalu terjadi atasnya. Artinya, konflik seolah menjadi perihal yang niscaya, sedang keharmonisan antarkeduanya merupakan mitos belaka. Konstelasi yang demikian pastilah membawa kita pada satu titik hingga semuanya tersamarkan, tak jelas siapa yang memulai, mana yang menjadi “sebab” dan mana “akibat” ―serba tak berujung dan tak berpangkal.
Bisa jadi, beragam bentuk demonstrasi yang cenderung mengarah pada berbagai tindakan ekstrim pun radikal lebih sesuai diterapkan pada suatu rezim yang secara “empiris-objektif” despostis dan tiranis. Seyogyanya, di era keterbukaan dewasa ini di mana kran berekspresi dan berpendapat terbuka selebar-lebarnya, telah sepatutnya pula dibarengi ikhtiar guna menghasilkan format baru gerakan kemahasiswaan. Bentuk-bentuk aksi massa damai sebagaimana ditunjukkan organisasi Black Panther atau pastur kenamaan Alabama, Martin Luther King di Amerika Serikat tak menutup kemungkinan menjadi salah satu alternatif format baru gerakan mahasiswa yang lebih simpatik dan bermartabat di mata semua pihak.
Saya pribadi, sebagai seseorang yang begitu menaruh perhatian terhadap berbagai pemikiran, proses maupun manifestasi sosial-politik dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, mendambakan terakomodasinya seluruh kepentingan elemen terkait melalui sebuah diskusi yang “elegan” dalam berbagai ruang publik yang telah tersedia. Namun, lagi-lagi, dua hal yang masih saja membuat saya gusar hingga kini, pertama, menyaksikan sentakan ekspresi keterkejutan para mahasiswa ketika dalam beberapa kesempatan saya uraikan bahwa krisis ekonomi yang terjadi pada akhir dekade 1990-an di Indonesia tidaklah disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan Soeharto, melainkan lebih pada fenomena bubble economic ‘gelembung ekonomi’ yang melanda eight of Asian magic. Kedua, nasehat para orang tua kepada anaknya yang kerap saya dengar, “Besok kalau sudah kuliah, tidak usah ikut ‘demo-demo’ yang cuma merusak” ... .

Salam Pergerakan. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar