Sabtu, 12 Maret 2011

Multi-Critical Review: Sosiologi Perkotaan-Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang

CRITICAL REVIEW
SOSIOLOGI PERKOTAAN                                                     Karya Drs. Rahardjo, M.Sc.
SOSIOLOGI PEDESAAN & PERTANIAN                                Karya Drs. Rahardjo, M.Sc.
SOSIOLOGI MASYARAKAT KOTA & DESA                           Karya Drs. Sapari I. Asy’ari
SOSIOLOGI MASYARAKAT SEDANG BERKEMBANG           Karya Ankie M.M Hoogvelt

MENILIK “KRISTALISASI” KONSEPTUAL
DALAM PEMBELAJARAN MASYARAKAT KOTA DAN DESA
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho


Pendahuluan
            Harus diakui memang, judul critical review dalam tulisan ini terkesan begitu “berani”. Bisa jadi, dengan melihat penyusun atau penulis selaku sosiolog junior yang bahkan tak memiliki kualifikasi apapun, begitu memungkinkan mengundang “cibiran” dan “ketidakacuhan” sidang pembaca. Hal tersebut wajar dan dapat dimaklumi mengingat kapasitas intelektual dan kualifikasi para penulis buku yang telah teruji ketimbang diri penulis sebagai pengupasnya. Namun demikian, dengan kehati-hatian yang teramat sangat berikut segala kapasitas intelektual yang dimiliki, kiranya penulis tetap keukeuh melanjutkan upaya penulisan critical review ini dikarenakan beberapa alasan mendasar.
            Dalam hal ini, di samping sebagai motivasi dalam penulisannya, agaknya penulis melihat berbagai hal yang cenderung mengarah pada bentuk-bentuk “kristalisasi” atau katakanlah “ideologisasi” dalam pembelajaran masyarakat kota dan desa. Bentuk-bentuk kristalisasi atau ideologisasi atas ilmu pengetahuan, sebagaimana kita ketahui mengakibatkan terpasungnya daya kreasi dan intelektualitas pembelajar. Terkait hal tersebut, beberapa misal yang kiranya menunjukkan terjadinya kristalisasi konseptual dalam pembelajaran masyarakat kota dan desa semisal konsep evolusi kota sebagaimana ditegaskan Lewis Mumford, konsep kapitalisasi desa yang dicetuskan H.J. Boeke berikut pen-dikotomi-an antara kota dan desa yang dikemukakan banyak ilmuwan sosial lainnya. Berbagai kristalisasi di atas, sebagaimana diyakini penulis dan “kritikus” ilmuwan sosial pada umumnya, disebabkan oleh kungkungan konstruksi teori sosial modern yang bersifat rasional, ahistoris dan general atau universal-positivistik.
            Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kiranya berbagai permasalahan dalam pembelajaran masyarakat kota dan desa setidaknya penulis temui dalam beberapa buku referensi bagi pembelajar yang antara lain,
1.       Sosiologi Perkotaan karya Drs. Rahardjo, M.Sc. (dosen Jurusan Sosiologi UGM)
2.       Sosiologi Pedesaan dan Pertanian karya Drs. Rahardjo, M.Sc.
3.       Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa karya Drs. Sapari I. Asy’ari, dan
4.       Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang karya Ankie M.M Hoogvelt
Terlepas dari berbagai hal di atas, sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan sosial berkembang sedemikian rupa hingga dewasa ini. Tercatat, teori kritis, teori postmodern, teori poststruktural berikut cultural studies hadir belakangan setelah teori sosial modern yang menjiwai berbagai pembelajaran mengenai masyarakat kota dan desa di atas. Kiranya, berbagai alasan tersebutlah yang menyebabkan penulis tertarik lebih dalam menyusun critical review ini, yakni sebentuk upaya yang dilakukan penulis guna menjelaskan fenomena masyarakat kota dan desa melalui pisau bedah berbagai teori dan konsep sosial kontemporer.
Dinamika Pemikiran:
Teori Sosial Klasik, Teori Sosial Modern Hingga Teori Sosial Postmodern
            Berbicara mengenai teori sosial klasik, tak dapat lepas dari beberapa tokoh yang begitu berperan di dalamnya, antara lain Heinrich Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Bahkan, buah pemikiran ketiga tokoh di atas “dikukuhkan” sebagai peletak dasar tiga paradigma besar dalam kajian sosial: paradigma definisi sosial, paradigma fakta sosial dan paradigma prilaku sosial. Secara singkat, teori sosial klasik memiliki karakter historis dan terbuka bagi revisi di kemudian hari. Historis artinya tak lepas atau turut mempertimbangkan aspek-aspek sejarah (baca: masa lalu), sedangkan terbuka bagi revisi di kemudian hari mengindikasikan bahwa ia merupakan ilmu pengetahuan yang diharapkan mampu kian berkembang, atau menyediakan landas-dasar bagi berbagai generasi yang hadir setelahnya. Dengan demikian, teori sosial klasik bukanlah suatu “ideologi” yang doktriner dan “tak dapat diganggu-gugat”-mutlak kebenarannya.
            Pada perkembangannya, muncul berbagai ilmuwan sosial yang mewarisi dan berupaya mengembangkan pemikiran berbagai tokoh klasik di atas, sebut saja Ralf Dahrendorf melalui teori konflik-nya yang mewarisi tradisi konflik Marx, Peter L. Berger dengan fenomenologi-nya sebagai kelanjutan tradisi pemahaman subyektif Weber serta Talcott Parson dan struktural fungsionalisme-nya sebagai perkembangan dari konsep fakta sosial atau organisme sosial Durkheim.
Di satu sisi, teori sosial modern telah demikian jauh melangkan dan menyatakan dirinya sebagai “penyempurna” berbagai konsep teori sosial klasik. Tegas dan jelasnya, teori ini memiliki berbagai karakter yang antara lain ahistoris, rasional dan universal. Ahistoris mengindikasikan bahwa teori sosial modern tak terkungkung oleh waktu, ianya tak lekang oleh zaman dan selalu berlaku di masa apa pun, rasional menandai bahwa teori ini meyakini akal manusia mampu memecahkan setiap persoalan yang ada, mampu memprediksi masa depan secara pasti dan mampu mengukur segala fenomena sosial, sedangkan karakter universal berarti bahwa teori sosial modern tak terbatas oleh ruang atau tempat, ia berlaku dan dapat menjelaskan fenomena sosial di saentaro belahan dunia. Dengan demikian, dapatlah dianalisis bahwa teori sosial modern secara garis besar berkarakter positivistik dan merupakan grand theory ‘teori/narasi besar’.
Teori sosial postmodern hadir belakangan sebagai perkembangan, atau lebih tepatnya sebagai “penolakan” atas teori sosial modern. Beberapa tokoh terkenal yang berdiri di atas pemahaman ini semisal Michael Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Jean Baudrillard Lyotard, George Ritzer dan Anthony Giddens. Adapun teori sosial postmodern memiliki karakter yang jauh berbeda dengan teori sosial modern yang antara lain irasional, relativistik dan nihilistik. Irasional berarti bahwa hal-hal berbau mistik, mitos dan transendensi mempengaruhi konstruksi keilmuan ini, relativistik menandai teori sosial postmodern yang spesifik, tak universal, ia hanya berlaku berdasarkan lingkung ruang dan waktu tertentu, sedangkan nihilistik mengindikasikan bahwa teori ini anti-Fondasionalisme, bersikap skeptis terhadap segala sesuatu dan menyuratkan “ketidakpastian” kehidupan sosial.
Adapun ranah perkembangan teori sosial kontemporer yang hadir hampir-bahkan-bersamaan dengan konsep postmodern semisal teori kritis (mahzab frankfurt) dan cultural studies.
Beberapa Peninjauan Kembali
Atas Kristalisasi Konseptual Pembelajaran Masyarakat Kota dan Desa   
Konsep Evolusi Kota
            Dalam kajian mengenai perkembangan kota, konsep evolusi kota sebagaimana kita ketahui dicetuskan oleh Lewis Mumford. Menurutnya, kota-kota yang ada bergerak secara liniear dan evolutif melalui berbagai tahapan berikut,
1.       Eopolis (Kota Baru)
§  Peradaban kota merupakan “penghalusan” berbagai bentuk pedesaan
2.       Polis (Kota)
§  Munculnya industrialisasi, mekanisasi dan division of labour
§  Masyarakat telah terdifrensiasi namun masih relatif homogen
3.       Metropolis (Kota Induk)
§  Memiliki akumulasi penduduk yang besar
§  Ekspansi jaringan perdagangan ke luar daerah
§  Awal individualisme yang merusak berbagai bentuk ikatan sosial
4.       Megapolis (Kota Besar)
§  Awal keruntuhan kota
§  Kota di bawah kooptasi kapitalisme, segala sesuatu bersifat “besar” dan “kuat”
5.       Tyrannopolis (Kota Kejam)
§  Parasitisme merasuk pada aspek sosial dan ekonomi, eksploitasi skala besar dan secara ekplisit, diikuti pula oleh perluasan industri
§  Muncul berbagai perang imperialis yang berakibat pada kelaparan, epidemi dan demoralisasi
6.       Nekropolis (Kota Bangkai)
§  Kota telah mati atau punah
Apabila penelaahan lebih mendalam atas konsep evolusi kota Mumford dilakukan, maka ditemui bahwa konsep tersebut begitu bias atau cenderung kental dengan aspek-aspek ranah teori sosial modern yang positivistik. Hal tersebut mengingat prediksi-prediksi yang dilakukan Mumford atas perkembangan kota di masa depan yang syarat dengan rasionalisme yakni keyakinan bahwa fenomena sosial dapat diukur berikut diarahkan. Kedua, Mumford tak memberikan batasan relevansi teoretis sehingga menyiratkan ahistorisisme dan universalisme di dalamnya, artinya konsep perkembangan kota sebagaimana yang diutarakannya berlaku bagi seluruh perkembangan kota di dunia.
Diakui atau tidak, pemahaman Mumford yang demikian memperoleh tantangan dan penolakan keras melalui berbagai pemikir yang tergabung dalam mahzab postmodern dan kritis. Dalam ranah teori sosial postmodern, sosiolog kenamaan Inggris, Anthony Giddens berbicara mengenai “ketidakpastian” hidup yang membayangi umat manusia. Ia menggunakan istilah runaway world guna merepresentasikan konstelasi makro dunia dewasa ini. Menurutnya runaway world adalah dunia yang telah jauh berlari melampaui batas-batas yang ada, bahkan melampaui nilai-nilai transendensi ‘ketuhanan’ dan sekedar mengikuti libido atau hawa nafsu manusia. Konkretnya, ia mengibaratkan dunia dewasa ini sebagai juggernaut ‘truk/panzer besar’ yang berlari kencang tanpa arah dan sewaktu-waktu dapat pecah berkeping-keping akibat terguling atau menabrak sesuatu. Tegas dan jelasnya, menurut Giddens dunia yang demikian cepat-lambat akan mengalami kehancuran mengingat perbenturan kepentingan yang bakal terjadi satu sama lain. Singkatnya, Giddens menegaskan bahwa apabila abad 19 adalah abad “kapastian”, maka di abad 20 manusia memasuki abad “ketidakpastian”.
Lebih jauh, berbagai ketidakpastian tersebut menurut Giddens diakibatkan oleh pola hidup modern yang kental dengan mekanisasi dan pola pikir efisien berikut efektifitas yang pada akhirnya memunculkan high risk ‘resiko tinggi’ dan berujung pada ketidakpastian hidup. Beberapa misal dari hal tersebut seperti kemajuan teknologi persenjataan layaknya nuklir yang dapat memicu perang besar dan memunahkan umat manusia, industrialisasi yang menghasilkan toxic karbondioksida, merusak atmosfer dan sewaktu-waktu sinar UV dalam skala besar dapat menerjang bumi serta membinaskan kehidupan, begitu pula dengan penggunaan pestisida yang faktual memunculkan berbagai hama atau virus yang lebih kejam sebagai hasil “mutasi” dan mengancam panen pangan seluruh dunia.
Berbagai uraian singkat Giddens di atas menunjukkan bahwa polah hidup modern justru manghantarkan pada konstruksi kehidupan postmodern yang dilingkupi ketidakpastian dan nihilisme masyarakat. Dengan demikian, melalui pisau bedah high risk Giddens, bentuk-bentuk konsep pentahapan perkembangan kota sebagaimana dicetuskan oleh Lewis Mumford menemui invaliditas-nya. Dalam hal ini mengingat mungkin terjadinya kehancuran kota sebelum memasuki tahapan megapolis, tyrannopolis atau nekropolis akibat deretan ketidakpastian hidup sebagaimana ditegaskan Giddens dewasa ini-kepunahan umat manusia sewaktu-waktu akibat perang nuklir, sinar UV atau berbagai mutasi virus. Di sisi lain, sejalan dengan pemikiran Giddens, Lyotard mengatakan, “Permasalahan umat manusia yang sesungguhnya adalah matahari sebagai sumber energi vital kehidupan dapat meledak sewaktu-sewaktu”. Pernyataan Lyotard tersebut jelas mengindikasian penolakannya atas prediksi jalannya sejarah yang dilakukan manusia.
Di satu sisi, sependapat atas penolakan yang dilakukan teoretisi postmodern atas teori sosial modern hanya saja berpijak pada ranah yang lebih abstrak, teori kritis atau mahzab frankfurt menolak segala bentuk ilmu pengetahuan yang bersifat positivis. Menurut mereka, individu memiliki karakter yang terlalu unik dan spesifik untuk direduksi pada suatu komunitas atau masyarakat tertentu. Kedua, mahzab kritis menyatakan penolakannya atas historisisme yakni berbagai pemahaman yang berupaya menetapkan jalannya sejarah mengingat kegagalan marxisme-komunisme dan fasisme dalam meramalkan jalannya sejarah perkembangan masyarakat. Di sisi lain, berbagai rezim yang berpijak pada historisisme sekedar melahirkan pola pemerintahan militeristik, kekejaman berikut penindasan mengingat besarnya kehendak rezim guna mewujudkan jalannya sejarah yang telah ditetapkannya.
Sebagaimana secara singkat telah dijabarkan dan diuraikan, berbagai konsep di atas diakui atau tidak secara otomatis dapat digunakan sebagai basis penolakan atas bentuk-bentuk ilmu pengetahuan sejenis yang positivistik layaknya tahapan pembangunan masyarakat Walt Whitman Rostow sebagai berikut,
  1. Masyarakat tradisional
  2. Masyarakat prakondisi tinggal landas
  3. Tinggal landas
  4. Pematangan
  5. Konsumsi massa yang berlebihan
W.W Rostow menyatakan bahwa konsep pembangunan neoklasik melalui industrialisasi besar-besaran dan mengharapkan apa yang disebut dengan mekanisme trickle down effect ‘efek rambatan’ bakal menghantarkan masyarakat negara dunia ketiga (negara berkembang) sebagaimana pentahapan perkembangan masyarakat di atas. Namun demikian, faktual kenyataan berkata lain, perkembangan masyarakat negara berkembang tak sejalan dengan “sabda agung” Rostow. Sebelum mencapai masyarakat tinggal landas, konsep neoklasik terbukti “gagal” diterapkan pada masyarakat negara berkembang. Konsep neoklasik sebagaimana ditegaskan Rostow justru menghantarkan masyarakat negara berkembang mengahadapi persoalan pelik berupa tingginya angka pengangguran akibat mekanisasi industri berikut ketergantungan dan dampak negatif berkepanjangan lainnya. Hal tersebutlah yang kemudian memunculkan konsep “pemberdayaan masyarakat” sebagai jawaban atas kegagalan mekanisme pembangunan top-down.
H.J Boeke: Transformasi Masyarakat Subsisten
Pada Masyarakat Kapitalis
            H.J. Boeke mengakui arti penting kolonialisme dan imperialisme dalam perkembangan sejarah masyarakat berbagai negara dunia ketiga sebagai korban penjajahan masyarakat Barat. Menurutnya, kolonialisme memiliki andil besar dalam “men-cangkok-kan” sistem ekonomi kapitalis yang bercirikan monetisasi, privatisasi alat produksi dan motif akumulasi profit. Di satu sisi, ia tak menafikkan eksistensi pola kehidupan ekonomi subsisten-produksi untuk kegunaan atau produksi untuk konsumsi sendiri-pada masyarakat negara dunia ketiga prakolonial. Sebagaimana dijelaskan Boeke kemudian bahwa benturan antara sistem ekonomi kapitalis dan subsisten di ataslah yang pada akhirnya memunculkan dual economic system atau dualisme ekonomi di mana kapitalisme berhadapan langsung dengan subsistensi. Kedua sistem tersebut tak “ber-dialektik” atau bersintesis melainkan “ber-oposisi biner”, satu sama lain tak bersatu melainkan berseberangan sebagaimana pernyataannya sebagai berikut,
           
Garis demarkasi antara perdagangan raksasa dan perekonomian desa sedemikian tajamnya sehingga perusahaan Barat muncul sebagai “kantong” (enclave) kapitalis di tengah-tengah bumi yang asing. Usaha pertambangan atau perkebunan karet berlangsung tanpa menyentuh kehidupan pribumi dalam bidang apa pun. Modal yang diinvestasikan dan buruh yang dipekerjakan datang dari luar. Tanah yang digarap adalah tanah kosong atau belukar. Hasil seluruhnya diekspor. Kebutuhan tenaga kerja didatangkan dari tempat lain. Seluruh perhatian dilepaskan dari lingkungan di sekitarnya, walaupun secara tak langsung berpengaruh juga terhadap lingkungan sekitar yang dimasukinya.
(H.J Boeke, dikutip dalam terjemahan bahasa Indonesia pada Ankie M.M Hoogvelt 1985 : 171)

            Namun demikian, Boeke begitu optimis bahwa sistem ekonomi subsisten lambat laun bakal tercerap dalam kapitalisme-“kapitalisasi”. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan muatan modernisasi dan mekanisasi alat produksi yang bersifat efisien dalam kapitalisme. Terkait hal tersebut, sebagaimana dijelaskan Marx bahwa “kemajuan” negara-negara “terbelakang” bakal terjadi melalui “sentuhan ajaib” negara-negara kapitalis. Namun faktual, hal tersebut tak kunjung terjadi di kemudian hari disebabkan beberapa alasan yang antara lain tak diterapkannya industrialisasi secara total, problem budaya masyarakat lokal terkait motivasi kerja dan struktur kapitalis yang menghambat transformasi tersebut yakni keluar-masuknya modal asing secara bebas di mana Kunio menyebut kesemua hal di atas sebagai erzazt capitalism ‘kapitalisme semu’.
            Pada ranah yang berlainan, mahzab ekonomi-politik yang digawangi Raul Presbich, Dos Santos, Andre Gunder Frank dan kawan-kawan memberikan penjelasan logis mengenai terjadinya fenomena di atas. pertama, pada perkembangannya kemudian, negara-negara maju ditempatkan sebagai produsen komoditas industri, sedangkan negara terbelakang produsen komoditas pangan. Kedua, pertukaran yang terjadi antara keduanya tidaklah proporsional. Berbagai barang industri memiliki nilai tukar yang jauh lebih tinggi ketimbang komoditas pangan. Hal inilah yang menurut Frank menyebabkan surplus value ‘nilai lebih’ negara-negara terbelakang terserap pada berbagai negara maju. Terkait hal tersebut, perlu dijelaskan pula kiranya bahwa “nilai lebih” tidaklah serta-merta berbentuk modal finansial semata, melainkan pula waktu produksi, energi yang keluar berikut berbagai faktor-faktor penunjang produksi lainnya. Di sisi lain, Frank mengamati peran penting lumpen borjuis ‘kapitalis pribumi/kapitalis tanggung’-umumnya para pejabat atau birokrat-negara dunia ketiga yang menjadi fasilitator kepentingann para “tuannya” di negara-negara maju sehingga menjerumuskan masyarakatnya pada jurang penderitaan tak berujung.

Dikotomi Antara Kota & Desa
   Berbagai ilmuwan sosial layaknya P.J.M Nas, Hoekveld, Ferdinand Tonnies, Robert Redfield dan lain sebagainya kerap melakukan dikotomi perbedaan antara kota dengan desa. Nas misalnya, melakukan klasifikasi dengan menonjolkan sistem mata pencaharian, sedangkan Tonnies pada pola interaksi gemeinschaft dan gesellschaft berikut Redfield dengan klasifikasi folk dan urban-nya.   
Namun demikian, dengan munculnya fenomena globalisasi yang kini tengah hangat dibicarakan agaknya bentuk-bentuk pendikotomian antara kota dengan desa tak lagi menemui relevansinya. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Arjun Appadurai bahwa modernisasi yang dibawa arus globalisasi memiliki kekuatan menjangkau tempat-tempat terpencil sekalipun di dunia. Senada dengan Appadurai, Giddens menyatakan bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena yang “aneh” di mana kebijakan yang tercetus dalam satu sudut ruangan kecil di Eropa atau Amerika Serikat dapat berdampak besar pada kondisi sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan Asia dan Afrika. Di sisi lain, George Ritzer menggunakan istilah “Mc Donaldisasi” guna menjelaskan fenomena penyeragaman (homogenisasi) yang dibawa globalisasi. Munculnya berbagai pusat perbelanjaan modern di kawasan pedesaan, butik atau distro, internet, handphone, televisi dan berbagai instrumen budaya globalisasi lainnya menjadi bukti akan terjadinya penyeragaman masyarakat kota dengan desa.
 Di samping itu, faktual transformasi yang terjadi pada masyarakat pedesaan tak sekedar bersifat fisik (materi) melainkan pula nonfisik (imateri) yakni menyangkut gaya hidup dan pola pikir. Munculnya komunitas pemuda-pemudi yang mengikuti perkembangan dunia fashion atau desakralisasi mitos berikut nilai-nilai transendensi menjadi bukti atas transformasi tersebut. Menurut Ritzer, kesemua hal di atas memunculkan apa yang disebutnya sebagai disenhancment of the world atau “hilangnya pesona dunia”. Tegas dan jelasnya, hilangnya pesona dunia disebabkan oleh ter-komodifikasi-nya segala sesuatu yang bersifat sakral dan suci berikut ber-transformasi-nya dunia menjadi satu entitas tanpa keanekaragaman.

Kesimpulan & Penutup   
            Melalui berbagai penjabaran dan uraian singkat di atas, kiranya dapat ditelaah secara jelas bahwa upaya penelisikan penulis atas beberapa bahan ajar atau referensi dalam pembelajaran masyarakat kota dan desa mengalami “kristalisasi konseptual” dalam beberapa segi, antara lain mencakup konsep evolusi kota yang dicetuskan Lewis Mumford, “kapitalisasi” subsisten H.J Boeke berikut pen-dikotomi-an yang terjadi antara kota dengan desa. Kiranya, dengan segenap kerendahan hati dan kehati-hatian yang teramat sangat, terdapat satu saran yang patut kita perhatikan bersama yakni diperlukannya upaya “rekonstruksi” dalam pembelajaran fenomena masyarakat kota dan desa guna menuju “kontekstualisasi” disiplin yang sejalan dengan perkembangan teori-teori sosial kontemporer.
            Kiranya demikian critical review yang berjudul, “MENILIK ‘KRISTALISASI’ KONSEPTUAL DALAM PEMBELAJARAN MASYARAKAT KOTA DAN DESA” disusun...


Referensi
Utama
§  Rahardjo. 2003. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
§  __________ Sosiologi Perkotaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
§  Imam Asy’ari, Sapari.  1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
§  Hoogvelt, Ankie M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Rajawali Pers.
Tambahan
  • Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
§  Koentjaraningrat. 1971. Rintangan-Rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia. Jakarta: Bhratara. 
§  Djojohadikusumo, Soemitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
§  Baswir, Revrisond. 2002. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta: Elsam.
§  Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
§  Sardar, Ziauddin-Van Loon, Borin. 2001. Cultural Studies for Beginners. Bandung: Mizan.
§  Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing. Yogyakarta: Andi Offset.
§  Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
§  Giddens, Anthony. 2002. The Third Way. Jakarta: Gramedia.
§  Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§  Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§  Clements, Kevin P. 1997. Teori-Teori Pembangunan Dari Kiri ke Kanan. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.  
§  Robinson, Dave. 2002. Nietzsche dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jendela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar