Struktural Fungsional:
Akar Pemikiran, Tokoh, Sumbangsih Konseptual hingga Kritik atasnya
By Wahyu BN, S.Sos
Akar Pemikiran
Struktural fungsional atau fungsionalisme struktural merupakan salah satu cabang pengkajian makrososiologi yang berada pada tataran disiplin sosiologi “modern”[1]. Teori terkait merupakan perkembangan sosiologi klasik Durkheim yang menempatkan masyarakat sebagai organisme sosial, yakni suatu entitas (kesatuan) yang tersusun atas berbagai elemen dengan peran berikut fungsinya masing-masing. Menurutnya, kerusakan atau disfungsional pada salah satu elemen akan menganggu atau merusak keseluruhan elemen. Hal tersebut didasarkan pula pada konsep division of labour 'pembagian kerja' Durkheim. Perhatikan skema berikut,
Skema di atas menunjukkan keterkaitan antara satu elemen dengan elemen lainnya, kerusakan elemen satu akan mempengaruhi elemen dua, tiga dan empat. Begitu pula, kerusakan pada elemen tiga akan mempengaruhi berbagai elemen lainnya.
Tokoh dan Asumsi Pemikiran
Beberapa sosiolog yang berdiri di balik pemahaman struktural fungsional antara lain Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kingsley Davis, Marion J. Levy dan FX. Sutton. Setidaknya, terdapat beberapa asumsi pemikiran yang mereka kembangkan mengenai struktural fungsional, antara lain:
1. Masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai subsistem dengan beragam peran berikut fungsinya masing-masing, kerusakan pada salah satu subsistem akan merusak seluruh keseimbangan sistem.
Contoh:
Beberapa tempo lalu, kebijakan rektor UGM yang menaikkan gaji jabatannya nyaris tiga kali lipat menuai protes banyak dosen, bahkan mereka sempat mengancam bakal melakukan aksi mogok mengajar. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka mesin akademik pun akan mengalami stagnasi atau kelumpuhan.
2. Segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat akan eksis dengan sendirinya, dan begitu pula sebaliknya.
Contoh:
Kehidupan masyarakat modern yang begitu efisien mensyaratkan pula hadirnya media hiburan yang bersifat instan. Kiranya, hal tersebut dapat menjelaskan tergerusnya pagelaran wayang semalam suntuk yang segera tergantikan dengan masifnya kehadiran bioskop di kota-kota besar.
3. Perubahan sosial atau pergolakan dalam masyarakat ditempatkan sebagai upaya mencapai keseimbangan baru.
Contoh:
· Gelas berisi air yang dimasuki kerikil akan beriak untuk sementara waktu, kemudian kembali tenang. Selisih antara volum awal air dalam gelas dengan sesudahnya dapat diandaikan sebagai perubahan sosial.
· Ketika seorang anak tengah terjun dalam kolam bola (baca: mandi bola), bola yang terdapat di dalamnya berserakan tak karuan (chaos), namun setelah ia keluar dari kolam tersebut, maka bola akan kembali rapi dengan sendirinya.
· Periode-periode tenang di antara Perang Dunia I dan II, Perang Dunia II dan Perang Dingin, serta periode tenang antara Perang Dingin dengan perang melawan terorisme.
Bagan Struktural Fungsional-Parsons
Sistem Metafisika
Latency Subsis. Kebudayaan Kalor
Integration Subsis. Sosial
Goal Attaintment Subsis. Kepribadian
Adaptation Subsis. Biologis Informasi
Sistem Fisika
Bagan struktural fungsional susunan Parsons di atas menunjukkan bahwa adaptation 'adaptasi' merupakan fungsi subsistem biologis, sedang goal attaintment 'pencapaian tujuan' merupakan fungsi subsistem kepribadian, integration 'integrasi' fungsi dari subsistem sosial, serta latency 'latensi' fungsi dari subsistem kebudayaan. Lebih jauh, bagan terkait menunjukkan bahwa semakin ke atas maka membawa arus informasi dan menuju “sistem metafisika”, sedang semakin ke bawah membawa kalor berikut menuju “sistem fisika”. Rangkaian konsep struktural fungsional Parsons tersebut dapat dimisalkan dengan contoh konkret sebagai berikut.
Seseorang yang merasa haus kemudian menyahut begitu saja air minum milik orang lain dapat dikatakan lebih condong pada pemenuhan biologis (subsistem biologis) dan sistem fisika. Sebaliknya, seseorang yang menahan dahaganya dan tak begitu saja menyahut air minum milik orang lain, lebih pada kerangka pemikiran metafisika. Oleh karenanya, dijelaskan bahwa semakin ke atas (metafisika) membawa arus informasi, “informasi” sebagaimana dimaksudkan di sini adalah nilai serta norma sosial, kebudayaan atau agama, sedang semakin ke bawah (fisika) membawa kalor. Dalam hal ini, “kalor” bukanlah suatu energi akodrati atau transenden sebagaimana dimensi informasi yang mengarah pada metafisika, melainkan energi dalam bentuknya yang konkret, seberapa banyak seseorang melakukan pembakaran energi guna melakukan aktivitasnya—satuan kalor.
Lebih jauh, fungsionalisme struktural Parsons tidaklah berdimensi praksis, melainkan sekedar ditempatkan guna menjelaskan fenomena sosial di mana salah satunya: terdapat masyarakat di suatu belahan dunia yang lebih condong pada sistem metafisika, sedang belahan lainnya lebih pada sistem fisika. Namun, kedua entitas masyarakat tersebut bukannya tak mungkin ber-kooperasi satu sama lain, sebagaimana asumsi dasar struktural fungsional—masyarakat sebagai organisme sosial—masyarakat fisika yang dapat diidentikkan dengan masyarakat Barat memberikan sumbangsih modernisme pada masyarakat Timur (metafisika), sedang masyarakat Timur memberikan akar-akar spiritualitas semisal yoga guna mengisi kehampaan spiritual masyarakat Barat.[2]
Sumbangsih Konseptual Struktural Fungsionalisme
Pada perkembangannya, struktural fungsional berjasa bagi beberapa arus pemikiran yang lahir setelahnya, antara lain feminisme liberal dan strukturalisme. Asumsi dasar yang dibangun feminisme liberal adalah, pada hakekatnya pria dan wanita saling membutuhkan serta memiliki peran berikut fungsinya masing-masing, dengan demikian arogansi kaum Adam terhadap Hawa sesungguhnya sama sekali tak beralasan. Mereka (kaum feminisme liberal) berupaya menyebarkan berbagai idenya melalui jalur edukasi (pendidikan).
Di sisi lain, sumbangsih struktural fungsional atas strukturalisme dapat ditilik melalui penjelasan Parsons mengenai determinisme budaya. Menurutnya, pola pikir dan perilaku individu tak dapat lepas dari nilai berikut norma sosial-budaya yang melingkupinya. Lebih jauh, hal tersebutlah yang menjadi pengikat antara satu sama lain sehingga suatu kesatuan masyarakat dapat terbentuk, yakni eksisnya hak dan kewajiban antar sesama individu.
Kritik atas Struktural Fungsional
Di samping tak dapat menjelaskan fenomena perubahan/pergolakan sosial karena sekedar menempatkannya sebagai upaya guna mencapai keseimbangan baru, struktural fungsional menuai kritikan keras pula karena dinilai pro status-quo dan melegitimasi kesewenang-wenangan pihak dominan atas dormant. Kritikan tersebut hadir melalui Pitrim Sorokin dengan menilik catatan sejarah penderitaan para buruh di bawah kekuasaan feodalisme Eropa. Pungkasnya, “Apakah para buruh membutuhkan eksploitasi kaum feodal?”.
Begitu pula, apabila kita menilik sistem kasta dalam masyarakat India, kacamata struktural fungsionalis akan melihatnya sebagai perihal yang wajar dan dapat dimaklumi, bahkan menganggapnya sebagai kondisi masyarakat yang “harmonis”. Hal tersebut akan berkebalikan jauh bilamana kita menggunakan perspektif konflik Dahrendorf, Coser atau Mill.
Referensi
· Ritzer, George-Goodman, Douglas J. 2006. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
· Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta: Cired.
· Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
∞
[1] Apabila sosiologi klasik dicirikan sebagai peletak dasar konstruksi disiplin sosiologi serta bersifat “historis”, maka sosiologi modern dicirikan dengan bentuknya yang rasional, universal dan ahistoris.
[2] Terkait semisal di atas, struktural fungsional tak pernah mendefinisikan terminus “masyarakat” secara konkret, apabila masyarakat diartikan sebagai entitas yang “mandiri” dan mampu me-reproduksi dirinya sendiri, maka masyarakat desa pun bergantung pada kota, sedang masyarakat kota bergantung pada negara, dan negara bergantung pada negara lain (masyarakat internasional).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar