Teori Konflik:
Dari Coser, Dahrendorf hingga Mills
By Wahyu BN, S.Sos
“Di dalam komunisme, manusia menindas manusia. Di dalam kapitalisme, sebaliknya.”
(Pepatah Polandia)
Akar Pemikiran
Teori konflik merupakan perkembangan pemikiran Marx dan Simmel dalam ranah sosiologi modern. Dalam Das Kapital (Matrealisme Historis), Marx menegaskan bahwa sejarah umat manusia terbentuk melalui pertumpahan darah. Ia menekankan arti penting perjuangan kelas sebagai bentuk pertentangan antara kelas-kelas yang ada dalam masyarakat (borjuis-proletar/lumpen borjuis-lumpen proletar). Di sisi lain, Simmel menjelaskan bahwa apabila setiap interaksi antarindividu dapat ditempatkan sebagai “asosiasi” (kerja sama), maka begitu pula seharusnya dengan konflik, “Berupaya mengeliminasi satu sama lain merupakan bentuk kerja sama”, tegasnya. Dimensi penting konflik lainnya adalah ditemuinya kesadaran berikut kejenuhan akan ketiadaan manfaat dari konflik itu sendiri pada suatu momen. Ketika kesadaran tersebut tercapai, masyarakat pun bakal terhenyak dengan pertumbuhan konstruktif sejarah yang secara tak langsung dihasilkan oleh rentetan konflik sebelumnya. Sebagai misal, suksesnya Obama menaiki tampuk kekuasaan di Amerika Serikat secara tak langsung merupakan buah dari pidato Martin Luther King berjudul I Have A Dream lima puluh tahun silam.
Petikan Anekdot dalam Das Kapital;
Proletar: “Saya akan menggarap lahan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”
Borjuis: “Tanah ini milikku, dulu leluhurku berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan untuk mendapatkan lahan ini!”
Proletar: “Jika demikian, mengapa sekarang juga kita tidak berperang lagi saja untuk memperebutkan lahan ini...”
Borjuis: “...” (diam)
Tokoh dan Asumsi Pemikiran
Beberapa tokoh menonjol yang berdiri di balik pemahaman konflik antara lain Lewis Coser, Ralf Dahrendorf serta Charles Wright Mills. Apabila struktural fungsional berasumsi bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi harmonis, maka Coser dan kawan-kawan sebaliknya, menganggap masyarakat selalu berada dalam kondisi “konflik”. Menurutnya, suatu struktur sosial yang tampak tenang di permukaan faktual dipenuhi beragam pergolakan serta upaya saling jegal guna menggoyahkan berikut memperebutkan kekuasaan di dalamnya. “Hakekat dari masyarakat adalah perebutan kekuasaan tanpa henti”, tegas konsepsi konflik.
Contoh:
- Ditemui pergulatan dan upaya menjatuhkan pemerintahan SBY yang tampak stabil di permukaan.
- Upaya depolitisasi dan pelucutan bupati terpilih yang marak terjadi akhir-akhir ini.
Strukturalisme Konflik-Lewis Coser
The Function of Social Conflict
Menurut Coser, terdapat dimensi positif (konstruktif) dari konflik, yakni memperkuat struktur atau identitas sosial. Logika tersebut laiknya metafora Janus Face Duverger bahwa suatu pemikiran, proses berikut tindakan politik niscaya menghasilkan persetujuan maupun penolakan di mana berbagai kubu yang berseteru saling melakukan konsolidasi (penguatan diri). Hal terkait dapat dimisalkan sebagai berikut,
- Pada masa kolonial Belanda, identitas yang tertanam dalam diri rakyat guna melawan penjajah dengan beragam ideologi yang dianutnya (Islam, nasionalisme, marxisme) adalah “keindonesiaan”.
- Semasa kisruh G30S-PKI, identitas Muhammadiyah dan NU yang lebih tampak ke permukaan guna memberantas komunisme adalah kesamaan “Islam” ketimbang perbedaan organisasi.
Namun demikian, Coser menegaskan bahwa suatu konflik dapat dikatakan positif sejauh ia tak menyinggung tema inti. Tema inti, sebagaimana diutarakan Coser merupakan perihal mendasar yang melandasi suatu hubungan. Sebagai misal, suatu hubungan suami-istri takkan berbuah perceraian apabila meributkan tempat mana yang bakal dituju untuk rekreasi keluarga. Namun, hal tersebut akan jauh berbeda bilamana ditemui salah seorang pasangan suami-istri tertangkap basah berselingkuh dengan pihak lain, maka besar kemungkinan bakal membuahkan perceraian keluarga. Dengan demikian, dapat ditilik bahwa “kesetiaan” atau loyalitas merupakan “tema inti” dalam hubungan suami-istri.
Begitu pula, suatu hubungan persahabatan takkan berakhir bilamana sekedar meributkan tempat makan mana yang hendak dituju guna makan siang, hubungan tersebut baru dapat berakhir jika semisal ditemui salah satu pihak yang berkhianat, dengan demikian “kepercayaan” adalah “tema inti” dalam hubungan persahabatan. Di sisi lain, berbagai konflik seperti tak sejalannya menentukan tempat rekreasi atau tempat makan justru mengindikasikan jalinan hubungan yang “hidup” sebab ditemui hukum respirokal (timbal-balik/stimulus-respon) di dalamnya.
Dalam ranah yang lebih luas, katakanlah NKRI, Negara Kesatuan tidak akan terpecah-belah apabila masih ditemui kompromi antara mereka yang pro dengan ideologi Pancasila maupun Piagam Jakarta (Syariat Islam). NKRI barulah akan terpecah-belah bila tak ditemui lagi kompromi antarkeduanya—tak ditemui lagi ketegangan kreatif. Melalui berbagai uraian singkat di atas, dapatlah ditelaah lebih jauh bahwa tema inti bersifat relatif, ukurannya ditentukan oleh jalinan hubungan berikut ranah sosial otonom masing-masing yang berbeda satu sama lain.
Safety Valve alias “Katup Penyelamat”
Konsep penting lain dalam pemahaman konflik Coser adalah safety valve atau “katup penyelamat”. Menurutnya, safety valve (SV) merupakan institusi yang berfungsi sebagai penengah (baca: mediator) atas konflik yang terjadi. SV mencegah terjadinya konflik secara langsung dan frontal guna meminimalisir berbagai kerugian yang dapat timbul. Dengan kata lain, ia berperan sebagai ruang di mana manajemen konflik dilakukan, wakil atau representatif dari pihak-pihak yang berselisih. Contoh konkret dari SV semisal BEM sebagai perantara mahasiswa dengan pihak universitas, organisasi karyawan terhadap pimpinan institusi, atau serikat buruh sebagai mediator para pekerja dengan pemilik pabrik.
Namun demikian, kerap kali SV sekedar dimanfaatkan sebagai “pengabur konflik” oleh pihak yang lebih berkuasa. SV kerap melakukan pengolahan konflik sedemikian rupa yang nyatanya sama sekali tak menghasilkan konsensus atau pemecahan masalah apapun. Kompromi-kompromi yang terjadi di dalamnya kerap diupayakan membuahkan deadlock 'jalan buntu' sehingga terjadi penundaan-penundaaan bekepanjangan yang pada akhirnya sekedar mengaburkan konflik semula.
Contoh:
- Tak ditemuinya kejelasan berikut kelanjutan investigasi kasus pembunuhan Munir.
- Peristiwa Semanggi, Tri Sakti, dsb.
Konflik Realistis dan Nonrealistis
Menurut Coser, konflik realistis adalah adalah konflik yang terjadi secara langsung, sebagai misal konflik antara pedagang kaki lima (PKL) dengan pejabat pemkot yang mencetuskan kebijakan penggusuran. Sedang, apabila PKL menumpahkan kemarahan terhadap Satpol-PP yang faktual sekedar menjalankan perintah atasannya, maka terjadi pergeseran pada konflik yang bersifat tak langsung dan berbentuk “nonrealistis”. Contoh lain adalah seorang anak yang tak lulus UAN akibat standar nilai yang ditetapkan menteri pendidikan nasional terlampau tinggi untuknya, faktual anak tersebut menumpahkan kemarahan pada seorang teman yang tak bersedia memberikan contekan saat ujian, maka bentuk konflik tersebut adalah nonrealistis, untuk menjadi konflik yang realistis anak tersebut syarat menumpahkan kemarahannya secara langsung di hadapan menteri pendidikan.
Dengan demikian, pergeseran konflik realistis pada nonrealistis terjadi bila terdapat keterbatasan atau ketidakmampuan berbagai pihak yang dirugikan atas muara (sumber) konflik yang sesungguhnya (pihak yang lebih berkuasa). Tegas dan jelasnya, konflik nonrealistis adalah konflik yang berupaya “mengkambing-hitamkan” pihak lain sebagai sarana pelampiasan kemarahan.
Konflik Realistis tanpa Antagonisme/Permusuhan
Di samping berbagai bentuk konflik di atas, terdapat pula konflik yang terjadi secara langsung tanpa melibatkan antagonisme atau permusuhan menurut Coser. Hal terkait diistilahkannya dengan “konflik realistis tanpa antagonisme”. Konflik tersebut dapat dimisalkan dengan dua pengacara bersahabat yang saling berdebat sengit dalam pengadilan guna membela kliennya, namun selepas keluar dari ruangan sidang, keduanya saling bertegur sapa dan berbincang dengan mesra. Contoh lain dapat pula ditunjukkan melalui perdebatan alot antardewan dalam merumuskan suatu kebijakan, kompetisi debat antarmahasiswa, dsb.
Ralf Dahrendorf dan Revisi atas Marxisme
Dekomposisi Modal, Tenaga Kerja dan Lahirnya Kelas Menengah
Terdapat tiga ramalan besar Marx yang tak terbukti di kemudian hari, antara lain; nasib buruh bakal kian memprihatinkan di masa mendatang, negara-negara kapitalis akan bertransformasi pada negara komunis, revolusi komunis akan digalakkan para buruh industri. Bagi Dahrendorf, kegagalan berbagai ramalan besar Marx tersebut disebabkan oleh kecanggihan kapitalisme dalam beradaptasi.[1] Kini, kapitalisme yang tampak ke permukaan adalah kapitalisme dengan wajah “humanis”. Buruh yang bakal kian menderita di masa mendatang tak terbukti dengan hadirnya berbagai sistem jaminan sosial bagi pekerja, libur akhir pekan, bonus akhir tahun, dan berbagai tunjangan lainnya.
Lebih jauh, kemandulan prediksi Marx tersebut disebabkan pula oleh apa yang diistilahkan Dahrendorf sebagai “dekomposisi modal”. Apabila di era Marx modal produksi cenderung dimiliki secara tunggal, maka di era sekarang modal cenderung dimiliki secara kolektif, hal tersebut tampak melalui hadirnya dewan direksi atau para pemegang saham dalam suatu perusahaan. Begitu pula, dekomposisi “tenaga kerja” telah menjadi fenomena lazim dewasa ini, buruh tak lagi homogen sebagaimana era Marx, saat ini ditemui istilah untuk buruh terampil dan tak terampil di mana mereka yang terampil memiliki pendapatan lebih ketimbang buruh tak terampil.
Dengan demikian, dapatlah ditilik bahwa segregasi yang terjadi antarkelas masyarakat menemui bentuknya yang kian rumit (baca: ruwet) di era kontemporer. Hal tersebut berdampak pada kian samarnya pertentangan antarkelas yang terjadi, baik kelas borjuis maupun proletar mengalami perpecahan yang spesifik. Hal terkait pulalah yang meyakinkan Dahrendorf bahwa revolusi sosial sebagaimana dicita-citakan kaum marxis menjadi perihal yang musykil di era sekarang. Revolusi hanya akan menghancurkan berikut melumpuhkan jalinan jejaring sistem yang telah tersusun sedemikian rumit, tegasnya. Terkait hubungan antara kaum borjuis dan proletar yang telah mengalami segregasi sedemikian rupa, Dahrendorf tak menutup mata akan berbagai percikan konflik yang syarat terjadi antarkedua kelas tersebut, menurutnya hal terkait merupakan sesuatu yang wajar dan dimaklumi, tarik-menarik kepentingan pasti terjadi dalam pola hubungan sosial yang demikian, perihal terpenting yang syarat dimiliki adalah suatu institusi yang dapat berperan dalam menengahi kedua belah pihak yang bertikai.
Lebih jauh, mengingat kian kaburnya konflik yang terjadi antara kaum pemilik modal atas nirmodal, Dahrendorf mengalihkan analisis konfliknya pada mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan (politik). Menurutnya, titik tembak yang lebih relevan terhadap konflik yang terjadi dewasa ini adalah antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak. Hal tersebut mengingat, pemilik modal pun tak dapat berbuat banyak di luar kebijakan legal-formal pemerintah. Contoh kasus hangat yang terjadi baru-baru ini adalah kebijakan pemerintah Perancis mengenai pengetatan dana tunjangan berikut pensiun bagi para pekerja yang segera menuai kecaman keras khalayak luas.
Pada ranah yang berlainan, lahirnya masyarakat kelas menengah ditengarai Dahrendorf pula sebagai inrelevansi perjuangan kelas marxian. Sebagaimana kita ketahui, kelas menengah lahir melalui digalakkannya industrialisasi secara masif yang kemudian memunculkan berbagai jabatan seperti supervisor 'pengawas', mandor, kepala bagian, dsb. yang segera terintegrasi dengan sistem kapitalisme. Mereka, kelas menengah memiliki pendapatan yang “cukup” guna memenuhi kebutuhan harian—pemasukan yang tak terlalu besar dan tak pula kecil. Veblen menyebutnya sebagai leissure class 'kelas penikmat', pendapatan yang mereka miliki cukup guna menghanyutkan diri dalam ektase konsumsi sehingga beranggapan bahwa kapitalisme merupakan sistem yang “baik” dan tak perlu ditentang.
Sosiologi Imajinasi-C. Wright Mills
Charles Wright Mills menekankan arti penting “imajinasi” dalam sosiologi. Hal tersebut―atau konkretnya “sosiologi imajinasi” sebagai konsep yang dicetuskannya kemudian―merupakan, “suatu kemampuan untuk melihat realitas secara mendalam atas hidup kita dalam konteks struktur sosial secara umum”. Sebagai misal, Mills menguraikan bahwa kemiskinan, kebodohan atau frustasi yang kita alami tidaklah serta-merta (murni) disebabkan oleh diri kita sendiri, melainkan berhubungan dengan kehidupan masyarakat secara luas. Hal tersebut, sebagaimana diuraikannya lebih lanjut, secara pasti menyangkut sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi yang berlaku di suatu masyarakat.
Dalam tataran praksis, sosiologi imajinasi Mills memiliki kualifikasi guna menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Apakah kemiskinan tersebut disebabkan oleh faktor “struktural” sebagaimana ditegaskan Revrisond Baswir, “kultural” layaknya ungkap para pakar modernitas Barat, ataukah disebabkan oleh faktor “natural”, sosiologi imajinasi memiliki kualifikasi guna menganalisis dan memberikan jawaban atasnya.
Contoh:
Sebagaimana kita saksikan, beberapa akhir ini fenomena penggusuran pemukiman penduduk kian marak terjadi. Di tengah ketidakberdayaan kawula alit, faktual pemerintah pun tak mampu menghentikan sepak-terjang para kontraktor pemukiman elit. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Bilamana kita menggunakan perspektif sosiologi imajinasi C. Wright Mills, maka ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi penggusuran di atas dapat diterjemahkan sebagai salah satu implikasi ter-distorsi-nya mekanisme demokrasi. Apa yang dimaksudkan adalah, pemilu sebagai syarat mutlak berlangsungnya pemerintahan demokratis kerap kali mengundang para pemodal (investor) untuk masuk guna menawarkan modal “kampanye” bagi para calon presiden, namun dengan syarat ... apabila kelak mereka terpilih (baca: menang), maka kebijakan yang dicetuskannya pun syarat menguntungkan para pemodal—sebagai bentuk balas jasa. Akibatnya, pemerintahan yang berkuasa kemudian pun tunduk dan tak mampu berbuat apa-apa terhadap sepak-terjang para pemodal.
Sekilas Teori Konflik Ali Syariati: Sepercik Wawasan “Sosiologi Timur”
Di samping berbagai konstruksi pemahaman konflik Coser, Dahrendorf dan Mills di atas, ditemui pula pemikiran konflik yang hadir melalui sosiolog kenamaan Iran, Ali Syariati. Senada dengan berbagai tokoh konflik di atas (termasuk Marx), Syariati berkeyakinan bahwa konflik dalam masyarakat akan selalu terjadi dan tak mungkin dihindari hingga akhir zaman. Namun demikian, apabila para sosiolog Barat menjadikan dimensi ekonomi berikut politik (kekuasaan) sebagai titik tolak terjadinya konflik, maka Syariati menjadikan tragedi pembunuhan Qabil atas Habil[2] sebagai “prototipe” konflik umat manusia sepanjang zaman.
Lebih jauh, Syariati mencurigai berbagai pemikiran Marx dalam Matrealisme Historis yang ditengarai mencuri ide-ide Quran mengingat ditemui cukup banyak kemiripan antarkeduanya. Perhatikan bagan berikut ini.
Marxisme | Islam |
Anti-Kapitalisme | Melarang memakan riba secara berlebihan |
Sama rasa, sama rata | Kewajiban infaq, sedekah dan zakat |
Perjuangan kelas | Jihad |
Referensi:
§ Dahlan, Muhidin M. 2001. Sosialisme Religius. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
§ Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
§ Smith, David-Evans, Phil. 2004. Das Kapital untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book.
§ Soekanto, Soerjono. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers.
§ Susilo, Rachmad K. D. 2008. Dua Puluh Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-ruz Media.
~ La Historia Me Absolvera, Viva La Revolucion! ~
dibuat bingung sama konflik realistis dan non realistis, akhirnya dapat jawabannya disini scr gamblang, thx
BalasHapus