Oleh: Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Berbicara mengenai hakekat dasar “manusia” tak dapat lepas dari perdebatan sekitar kontroversi asumsi “benar-salah” atasnya. Socrates dan Plato misalnya, menekankan eksistensi manusia sebagai “makhluk sosial”. Pada perkembangannya, tak pelak, gagasan tersebut diamini oleh khalayak luas. Dalam realitas keseharian, gagasan tersebut dapat berujung pada dua ekses; sebagai batu loncatan yang mesti dilakukan seseorang, ataukah sebuah istilah “kewajiban” (baca: keharusan) yang sesungguhnya tak sesuai dengan alam pikiran berikut perasaan individu itu sendiri. Hal tersebut agaknya menjadi kontroversi dimensi kebenaran ataukah kesalahan pada diri individu.
Melihat fenomena serta pola interaksi antarmanusia dewasa ini, kiranya menuai sebuah tanya: “Apakah benar manusia adalah makhluk sosial?”. Guna menjawab pertanyaan terkait, agaknya akan lebih mudah dilakukan bila kita terlebih dahulu menilik perkembangan terakhir sosial-kultural masyarakat, hadirnya beragam media jejaring sosial dunia maya seperti Facebook, Twitter, Yahoo Messangger dan lain sebagainya dapat menjadi misal akan hal ini. Beberapa media jejaring sosial dunia maya secara ekplisit menunjukkan betapa teknologi memiliki pengaruh besar dalam pola maupun “cara” interaksi masyarakat.
Secara konkret, hal di atas dapat dimisalkan dengan keseharian hidup mahasiswa. Kerap kali, seorang mahasiswa tak mengenal mahasiswa lain yang setiap hari dijumpainya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketiadaan kepentingan yang kemudian menyebabkan keduanya tak saling mengenal. Selain itu, hal tersebut dapat pula disebabkan oleh kendala-kendala bahasa[2]. Jelaslah tergambarkan di sini bahwa manusia yang seharusnya dapat saling mengenal dan bertegur sapa dengan sesamanya faktual sekedar menatap orang lain yang seolah tak pernah dijumpainya—tatapan kosong-tanpa makna.
Dipandang melalui perspektif ke-tidaktertari-kan maupun nir-Kepentingan dengan orang yang dijumpainya, kiranya wajar jika seseorang tersebut bakal melewatkannya begitu saja. Dengan kata lain, tanpa bertegur sapa berikut tersenyum pada seseorang di lingkungan sekitarnya, ia tak menemui permasalahan berarti, dan begitu pula sebaliknya. Justru, ketika ia menyapa seseorang yang belum dikenalnya, memungkinkan munculnya anggapan seperti, “Kenapa sih orang ini? Sok kenal banget?”. Ini menunjukkan bahwa ketika sebuah sapaan dilontarkan pada seseorang yang tak dikenalnya, justru akan menimbulkan suatu masalah.
Kiranya, hal di atas akan jauh berbeda jika sebelumnya seseorang memiliki media jejaring sosial dunia maya, di dalamnya dapat diperoleh informasi bahwa nyatanya ia “royal” dalam interaksi sosial dunia maya. Bisa jadi, seakan ia menjunjung tinggi nilai sosial yang dimilikinya, ia justru mengenal seseorang yang belum pernah dijumpai sepanjang hidupnya. Ia dapat pula membangun sebuah grup (komunitas) yang sepaham dengannya, entah terkait dengan ketartarikan akan suatu ideologi, budaya, gaya hidup, bahkan hingga afiliasi politik. Ditilik melalui corak komunikasi yang dilakukan, umumnya dipenuhi dengan diskusi seputar tukar pendapat, informasi, hingga “curhat”.
Dalam berinteraksi, tentunya “bahasa” menjadi elemen urgen bahkan substansial di dalamnya. Melalui komunikasi, individu dapat bertukar paham serta mengekpresikan—bahkan mendapatkan—perihal yang diinginkannya. Bagi Habermas, keahlian berkomunikasi memberikan kemampuan untuk saling mengerti antara satu manusia dengan yang lainnya, bahkan memberi harapan guna terwujudnya komunitas moral lintas sosial-budaya.[3] Tak dapat dipungkiri, kekuatan bahasa mampu merubah pola pikir maupun tindakan manusia, berbagai karya sastra dengan varian permainan linguistik di dalamnya telah membuktikan hal tersebut.[4]
Berbicara mengenai kebiasaan manusia (habits), pola aktivitas yang dilakukan seseorang dalam masyarakat adalah relatif. Relatif sebagaimana dimaksudkan di sini ialah penilaian seseorang akan benar-salah aktivitas yang dilakukannya. Dalam menakar kebenaran ataupun kesalahan itu sendiri, kiranya konsep objektivasi individu dan masyarakat dalam dialektika Peter L. Berger memiliki kualifikasi guna menjelaskan lebih jauh. Berikut skemanya,[5]
Sebelum individu ada, masyarakat telah ada,
Ketika Individu ada, masyarakat ada,
Apabila individu tiada, masyarakat tidak serta-merta tiada,
Jadi, antara individu dengan masyarakat dapat dipisahkan,
dan begitu pula sebaliknya.
Konsep dialektika Peter L. Berger di atas kiranya mampu menggambarkan hubungan yang terjalin antara seseorang (individu) dengan masyarakat (sosial). Ia mengutarakan bahwa sesungguhnya individu dapat dipisahkan dari masyarakat, dan begitu pula sebaliknya. Secara tak langsung, perihal terkait menyiratkan kebebasan individu guna mencari jati dirinya berikut hidup di dalam lingkungan lain yang dikehendakinya. Agaknya, ini menunjukkan bahwa terkadang manusia tak perlu melibatkan orang lain dalam memanifestasikan kepentingannya. Sebaliknya, terdapat pula seseorang yang selalu hendak melibatkan orang lain dalam mewujudkan kepentingannya.
Kembali pada gambaran interaksi yang dilakukan mahasiswa dengan lingkungannya sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, perihal tersebut mengindikasikan tindakan yang diulang secara teratur dan menjadi kebiasaan, tidak menjadi persoalan apakah benar atau salah tindakan tersebut. Ia secara sadar melakukan tindakan yang dilakukannya, dan ia percaya bahwa tindakan yang dilakukannya adalah benar.[6] Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan aktor ditentukan oleh kebiasaan atau ke-laziman-nya.[7] Di sisi lain, tindakan yang dilakukan mahasiswa tersebut adalah perihal yang relatif normal dalam keseharian dan tak menjadi soal pada lingkungan sosialnya. Asumsi semacam ini telah ada dan menjadi sebuah keteraturan bersama dalam struktur masyarakat.
Setelah menemukan kesamaan dasar dalam memaknai kebiasaan yang ada pada masyarakat, selama pihak bersangkutan memiliki nilai dan norma yang sama, maka perbedaan-perbedaan semacam ini dapat dimaklumi. Hal yang perlu disadari adalah, pola interaksi antarmanusia dewasa ini telah berkembang “mengekor” perkembangan teknologi. Bisa jadi, di permukaan ia tampak individualis, namun sesungguhnya ia berjiwa sosial.[8] Perkembangan teknologi dengan serangkaian “kemudahan” yang dibawanya, tak menutup kemungkinan lambat-laun bakal memberi “kesegaran” tersendiri dalam pola interaksi manusia ke depannya.
Resiko yang didapatkan seseorang dalam jejaring interaksi sosial dewasa ini faktual merupakan perihal relatif dalam mengambil sudut pandang atas suatu gejala. Ulrich Beck berpendapat, “Cara mana pun yang anda pilih, kita selalu berhadapan dengan manajemen resiko. …resiko-resiko ini, dan dilema yang ada disekitarnya, telah masuk begitu jauh ke dalam kehidupan kita sehari-hari.”[9] Kebenaran ilmiah yang didapatkan dengan menilik pola interaksi manusia dewasa ini adalah, ia tidaklah dapat semerta-merta menjadi makhluk sosial yang seutuhnya. Namun demikian pula sebaliknya, manusia tak dapat menjadi makhluk individual yang seutuhnya. Dapat disimpulkan bahwa hakekat dasar manusia adalah makhluk sosial sekaligus individual dalam berinteraksi dengan sesamanya…
*****.
[1] Ide ini muncul dari Ernest Gellner (1925-95) atas kritiknya terhadap posmodern. Menurutnya, barang kali benar bahwa manusia tidak pernah mampu mengetahui sesuatu yang dikatakan benar-salah serta baik-buruk, kecuali melalui sudut pandang kebudayaan itu sendiri. Namun salah jika dikatakan bahwa manusia tidak mengetahui fakta atas fenomena yang dialaminya. Salah satu cara untuk mengetahui kepastiannya dapat melalui “kebenaran ilmiah”.
[2] Saussure berkata, “Bahasa adalah yang paling penting, karena itu orang dapat membayangkan suatu ilmu yang dipelajarinya, kehidupan, tanda-tanda dalam rangka kehidupan sosial”. Lebih jauh baca Arizal Mutahir, Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011, hlm. 43.
[3] Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 234.
[4] Sebut saja Oliver Twist karya Charles Dickens, Anne Frank’s Diary dan The Silent Spring karya Rachel Carson.
[5] Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1994, hlm. 4.
[6] Baca! Traditional action (Tindakan Tradisional), Max Weber.
[7] George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, KREASI WACANA, Bantul, 2010, hlm. 137.
[8] Baca dramaturgi-Erving Goffman.
[9] Pip Jones, op. cit., hlm. 247 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar