SpongeBob dan Kritik terhadap “Degradasi Cara Makan”
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
“Ketika saya pergi ke suatu daerah terpencil Sumatera, saya terkejut melihat gadis kecil mengenakan tas bergambar SpongeBob”, demikian kurang-lebih ucap Stephen Hillenburg, tokoh di balik terciptanya karakter SpongeBob SquarePants. Kini, siapa tak kenal SpongeBob? Kartun unik dengan karakter “spon kuning” yang dapat berbicara tersebut telah diterjemahkan ke dalam dua puluh lima bahasa berikut menjadi acara televisi anak nomor satu di Jerman dan Cina sejak pertama kalinya diperkenalkan pada tahun 1999. Bahkan, Presiden Obama pun tak malu untuk mengakui SpongeBob sebagai karakter televisi favoritnya.
Namun siapa sangka, di balik keluguan dan tingkah laku kocak karakter utama kartun tersebut—SpongeBob—yang kerap mengundang gelak tawa, tersimpan muatan filosofis di dalamnya, terutama perihal “degradasi cara makan”. Istilah tersebut (degradasi cara makan) untuk pertama kali diperkenalkan George Ritzer dalam The Globalization of Nothing. Secara ekplisit, Ritzer menggunakan istilah tersebut guna mengkritik fenomena konsumerisme masyarakat modern terhadap “makanan cepat saji”. Menurutnya, cara-cara penyajian yang dilakukan rumah makan cepat saji terhadap para pelanggannya tak berbeda halnya dengan cara peternak memberi makan hewan-hewan ternaknya. Hal tersebut dikarenakan dominannya prosedur teknis dalam proses penyajian makanan, segala sesuatu telah ditakar secara pasti; racikan bumbu, lama penggorengan hingga bentuk penyajian dari makanan. Seakan, segala sesuatu yang berkenaan dengannya hanyalah prosedur teknis semata, tak ada yang lain.
Terkait hal di atas, SpongeBob dengan cara memasaknya yang “khas” di Krusty Krab tampak berupaya meminimalisir potensi-potensi degradasi cara makan pada pelanggannya. Sebagaimana kita ketahui, banyak dari scene kartun tersebut yang menunjukkan betapa SpongeBob memasak dengan “hati” (baca: perasaan). Ia menyadari sepenuhnya filosofi dari “memasak”, bahwa apa yang dibuatnya adalah untuk manusia, dan melalui apa yang disajikannya terbersit pula harapan darinya untuk membahagiakan orang lain (baca: pelanggan)—tak sekedar menempatkan mereka dalam kalkulasi untung-rugi, atau objek yang dapat dieksploitasi sekenanya. Dengan demikian, dapatlah ditilik di sini bahwa aspek “perasaan” lebih bermain ketimbang aspek “teknis-prosedural”. Hal tersebutlah yang kiranya dapat menempatkan serial SpongeBob SquarePants sebagai salah satu bentuk kritik terhadap degradasi cara makan di era modern.
“Saya merasa, maka Saya ada.”
(Esensialis)
*****
Referensi:
§ Reuters, SpongeBob SquarePants turns 10, http://www.abc.net.au/news/stories/2009/07/14/2625311.htm (diunduh 1 Juni 2011)
§ Elin Yunita Kristanti, Gadis Cilik Sumatera ‘Selamatkan’ SpongeBob, http://nasional.vivanews.com/news/read/74842-gadis_cilik_di_sumatera__selamatkan__spongbob (diunduh 1 Juni 2011)
§ Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar