III
PANDANGAN EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE
ATAS INTERAKSI SOSIAL
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
“Orang lain adalah neraka!”
(Sartre)
Pandangan eksistensialisme Jean Paul Sartre atas interaksi sosial—filsafat sosial eksistensialisme—begitu “orisinal” dan “unik”. Hal tersebut dikarenakan posisinya yang tegas dalam melakukan “penolakan” atas interaksi sosial meskipun faktual berbagai bentuk “keuntungan” dapat diperoleh melaluinya. Secara ringkas dan tegas, filsafat sosial eksistensialisme Sartre “meradikalkan” individualisme Adam Smith terkait konsepnya mengenai invisible hand ‘tangan tak terlihat’, Nicolo Machiavelli atas pragmatisme, pemahaman will to power ‘kehendak akan kuasa’ Nietzsche hingga exchange theory ‘teori pertukaran’ George C. Homans. Namun demikian, sebagaimana telah disinggung sebelumnya pula, konsep interaksi sosial yang termuat dalam eksistensialisme Jean Paul Sartre tidak dapat ujug-ujug dicap sebagai “filsafat kaum borjuis”, faktual banyak pula “pengangguran” dan “gelandangan” dengan penampilannya yang compang-camping di jalanan Perancis melabelkan diri sebagai seorang eksistensialis.[1] Diakui atau tidak, hal tersebut menunjukkan betapa luasnya pengaruh filsafat eksistensialisme, bahkan apabila pertimbangan arus pemikiran tersebut atas marxisme dilakukan, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa eksistensialisme memiliki ranah serta cakupan yang lebih luas mengingat marxisme sekedar ditempatkan sebagai “instrumen” (baca: pegangan) pergerakan kaum proletar.
Lebih jauh, upaya melakukan konseptualisasi atas pengkajian filsafat sosial eksistensialisme Sartre dalam bab terkait akan dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, pengkajian konsep interaksi sosial eksistensialisme Sartre dalam hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Kedua, penelaahan filsafat sosial eksistensialisme Sartre terkait interaksi antara satu individu dengan masyarakat, dan ketiga, analisis filsafat eksistensialisme Sartre atas “cinta” dan “hubungan seksual”.
Setelah ketiga pembahasan di atas dipaparkan, guna membentuk pemahaman yang holistis dan sistematis terhadap konsep interaksi sosial filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, konsep “etika” filsafat terkait pun syarat disertakan.
Hubungan antara Entitas Individu dengan Entitas Individu Lain
Istilah “sosial” yang berasal dari bahasa Latin, socius diartikan dengan “kawan”,[2] di satu sisi, istilah “kawan” atau “teman” menunjuk pada entitas individu lain—“kedua” atau seterusnya—setelah entitas individu itu sendiri. Artinya, hubungan dengan “kawan”, “teman” atau “pertemanan” barulah dapat berlangsung dan berproses apabila setidaknya terdapat dua individu di dalam suatu “wadah”—ruang, waktu, arena dan sebagainya. Dengan demikian, bilamana hubungan antara satu individu dengan individu lain telah berlangsung, maka syarat dimungkinkan sebentuk kajian sosial terhadapnya.
Terkait hal di atas, ditemui buah pemikiran eksistensialisme Sartre yang begitu orisinal menyangkut le regard atau “tatapan mata”. Di satu sisi, melalui le regard pulalah kajian filsafat manusia eksistensialisme Sartre bergeser pada ranah filsafat sosial.[3] Menurut Sartre, hubungan yang terjalin antara satu individu atas individu lain selalu menemui bentuknya sebagai “konflik”—nihil dan mustahil sebagai bentuk “akomodasi” serta “kooperasi”.[4]
Lebih jauh, Sartre menjelaskan bahwa hal di atas disebabkan oleh keberadaan orang lain dengan “ketubuhannya” (raga/jasmani) sebagai bentuk ancaman atas eksistensi diri. Dalam Being and Nothingness, Sartre mendeskripsikan hal tersebut dengan peristiwa yang dialaminya di sebuah taman. Suatu kali, Sartre tengah duduk seorang diri di bangku taman sembari menikmati pemandangan di sekitarnya. Kesendiriannya di sebuah taman membuatnya “serasa” memiliki taman, dan memang itulah saat-saat kegemarannya. Namun tiba-tiba, ia melihat orang lain datang memasuki taman tersebut. Dengan segera pula, terjadi perombakan mendasar atas aspek afektif berikut kognitif Sartre, keseluruhan taman yang tadinya menjadi milik Sartre seorang, tak demikian halnya setelahnya. Kini, ia harus “membagi” taman tersebut dengan orang lain akibat ketubuhannya yang turut “memakan” ruang dan waktu Sartre di taman kala itu.[5] Pemandangan Sartre pun terdistorsi, orang tersebut dinilai telah merusak harinya yang indah.
Tak hanya sampai di situ, pada suatu periode waktu orang tersebut melayangkan pandangnya pada Sartre, ia menatap Sartre. Tiba-tiba, Sartre pun merasakan sebentuk “kecemasan”, “kemuakan” berikut “ketertindasan”. Hal tersebut terjadi mengingat sebelum kedatangan orang tersebut—dalam kesendiriannya—bangku, meja, patung, tanaman, pohon dan berbagai benda lainnya di taman tersebut menjadi objek penglihatannya. Namun demikian, setelah orang tersebut tiba, bergantilah ia yang “mengobjekkan” Sartre. Sartre tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut dunianya, tegas Sartre. Ia memisalkan hal tersebut dengan seolah dunia memiliki semacam lubang saluran air di tengah-tengah keberadaannya, dan lubang tersebut adalah “orang lain”. “Ada pendarahan internal ketika dunia saya dihisap ke dalam dunia orang lain”, ungkap Sartre.[6]
Di samping hal di atas, Sartre memberikan deskripsi pula atas berbagai bentuk penindasan akibat pengobjekkan orang lain melalui beberapa peristiwa berbeda. Peristiwa pertama kerap dikenal dengan sebutan “tragedi lubang kunci”. Pernah suatu kali, terdorong oleh “keingintahuan”, “ketertarikan”, “kecemburuan” atau “nafsu”, Sartre mendapati dirinya tengah “mengintai” kamar di sebuah hotel melalui “lubang kunci”, ia begitu menikmati aktivitas tersebut. Namun, tak lama kemudian Sartre merasa seseorang tengah mendekat dan mendatanginya dari belakang, dan ternyata memang sang detektif hotel. Seketika itu juga, Sartre merasa malu dan cemas atas “sorotan mata” sang detektif yang diarahkan padanya, sorotan mata tersebut begitu “mengobjekkannya” (baca: membendakan).[7]
Beberapa peristiwa lain yang dimisalkan Sartre layaknya ketika seseorang sedang “berbicara sendiri” kemudian ditemui orang lain yang terheran-heran melihatnya, maka dengan segera orang yang tengah berbicara sendiri tersebut berpura-pura bersenandung dan lain sebagainya. Begitu pula dengan semisal seseorang yang tengah “mengorek hidung” dan menemui orang lain tiba-tiba melihat atau mengetahui aktivitas tersebut, pastinya sang pengorek hidung bakal diliputi perasaan malu kemudian. Di samping itu, terdapat semisal lain layaknya dua orang yang menghentikan pembicaraan dan beralih mengamati seseorang tatkala tengah melintas, tindakan dua orang tersebut jelas “mengintimidasi” sang individu yang tengah melintas. Serangkaian peristiwa yang dimisalkan Sartre di atas secara ekplisit menunjukkan betapa eksistensi, kehadiran bahkan tatapan mata orang lain begitu membelenggu kebebasan kita.
Namun demikian, melalui berbagai pemaparan dan penjabaran di atas, pertanyaan yang bisa jadi muncul menyerua kemudian adalah: mengapa eksistensi atau kehadiran orang lain dapat begitu mengancam keberadaan berikut kebebasan diri kita. Menurut Sartre, hal tersebut dikarenakan eksistensi orang lain sebagai etre pour soi ‘berada bagi dirinya sendiri’ dan bukannya etre en soi ‘berada dalam dirinya sendiri’. Sebagaimana telah dijabarkan dalam bab Epistemologi Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre sebelumnya, etre pour soi merupakan “ada yang berkesadaran”, sedangkan etre en soi merupakan “ada yang tak berkesadaran”. Mengingat entitasnya sebagai etre pour soi yang berkesadaran, maka orang lain tidaklah layaknya sebuah benda yang diam dan pasrah, ia dengan bebas dapat “mengobjekkan” dan “memberikan penilaian-penilaiannya” pada kita.[8]
Di satu sisi, tak dapat dipungkiri bahwa eksistensi diri kita pun menemui bentuknya sebagai etre pour soi sebagaimana orang lain, oleh karenanya tegas Sartre, selalu terdapat dua kemungkinan atas pertemuan yang terjadi antara “sesama” etre pour soi: “diobjekkan” atau “mengobjekkan”. Situasi “diobjekkan” adalah posisi berikut kondisi ketika tatapan mata orang lain diarahkan pada kita dan sepenuhnya menguasai diri kita. Hal tersebutlah yang kemudian memunculkan perasaan malu, nervous, gelisah, takut serta muak di mana kesemuanya merupakan suatu bentuk “latensi penindasan” pada diri. Lebih jauh, Sartre menjelaskan berbagai perasaan yang muncul akibat kondisi di atas yang menurutnya disebabkan oleh diri kita yang mendapati sebagai “objek yang diciptakan melalui tatapan orang lain”, kita dipaksa memberikan penilaian atas diri sendiri sebagai suatu objek. Terkait tragedi “lubang kunci”, “berbicara sendiri” serta “mengorek hidung” yang pada akhirnya diketahui oleh orang lain, Sartre mengatakan bahwa kita bertanggung jawab atas diri sebagaimana dinyatakan orang lain melalui “tatapannya” pada kita, namun kita dipaksa mengakui diri bukan dalam aspek etre pour soi ‘berada bagi dirinya sendiri’, melainkan etre en soi ‘berada dalam dirinya sendiri’—objek atau benda.[9]
Begitu pula dengan rasa takut, menurut Sartre perasaan tersebut muncul ketika berbagai kemungkinan yang terdapat dalam “berada bagi diri saya sendiri” (di mana saya adalah berbagai kemungkinan saya) ditransformasikan “pada bukan berbagai kemungkinan saya”.[10] Sebagai misal, Sartre yang tertangkap basah tengah mengintai kamar di sebuah hotel, kemudian menghadapi berbagai kemungkinan yang tak diinginkannya semisal ditahan oleh sang detektif atau menemui berbagai bentuk sanksi lainnya. Oleh karenanya, Sartre menyimpulkan, “l’enfer c’est less auters!” (“orang lain adalah neraka!”).[11]
Namun demikian, kita dapat mengambil keputusan untuk melawan dan membalikkan situasi serta kondisi di atas, pungkas Sartre pula, yakni bilamana kesadaran reflektif muncul dan menekankan: apakah kita akan tetap rela untuk dipermalukan, nervous, gelisah, takut serta muak dari kebebasan kita sendiri. Faktual, apabila hal tersebut (perlawanan) berhasil dilakukan maka terjadi proses peralihan di mana kita yang tadinya “diobjekkan”, kini menjadi balik “mengobjekkan”. Dalam proses mengobjekkan tersebutlah kita berganti menarik orang lain dalam kerangka penilaian serta pemaknaan diri kita. Orang lain menjadi etre en soi ‘berada dalam dirinya sendiri’ bak sebuah benda yang “diam” dan “pasrah” berikut “tak berkesadaran”, kitalah yang sepenuhnya menentukan apa dan siapa dirinya.
Di sisi lain, “pengobjekkan” kita terhadap orang lain tak harus menyangkut berbagai hal negatif atasnya hingga ia benar-benar merasa malu, semisal “kekurangan fisik” yang disandangnya, melainkan dapat pula terkait “kelebihan” dan “keindahan” yang dimilikinya. Hal tersebut dapat dimisalkan dengan seorang lelaki yang mengarahkan pandangannya secara terus-menerus kepada seorang gadis cantik dan molek di hadapannya hingga sang gadis merasa “tak nyaman” akan tatapan tersebut. Namun sebaliknya, apabila sang gadis merasa nyaman atas tatapan mata yang diarahkan padanya karena merasa diri cantik dan seksi (baca: lebih) ketimbang para wanita di sekitarnya, maka dapat diartikan secara tak langsung bahwa ia menerima “pujian” tersebut dan dalam pandangan Sartre, ia pun memiliki mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’ karena rela menjadikan dirinya sebagai “objek pujian” orang lain—penilaian orang lain. Dalam hal ini, “pujian” maupun “cercaan” dinilai Sartre sebagai perihal yang sama mengingat syarat penilaian dan berbagai motif penguasaan terhadap orang lain.[12]
Dengan demikian, melalui berbagai penjabaran dan uraian di atas dapatlah dianalisis bahwa pertemuan berikut interaksi sosial yang terjadi antara satu entitas individu dengan entitas individu lain selalu menemui bentuknya sebagai buah “konflik” yang tak berkesudahan—saling menjatuhkan satu sama lain. Mengapa hal tersebut dapat terjadi, menurut Sartre, tak lain dan tak bukan dikarenakan kondisi manusia sebagai etre pour soi ‘berada bagi dirinya’ yang bertentangan total atas alam objektif atau etre en soi ‘berada dalam dirinya sendiri’. Ia “lain daripada yang lain”, merupakan “penyangkalan terhadap realitas”, “menindak segala sesuatu”, “bukan objek”. Oleh karenanya, tambah Sartre, ia mempertahankan diri dengan meniadakan yang lain...
Hubungan antara Entitas Individu dengan Masyarakat
Pernahkah Anda berbicara di depan banyak orang dan tiba-tiba keringat dingin, ketegangan berikut “kemualan” menjangkiti diri, apabila Anda pernah mengalaminya, maka secara tidak langsung Anda telah menjadi “seorang eksistensialis”.[13] Dapatlah dibayangkan, bagaimana hubungan yang sekedar terjalin antara dua individu dimaknai Sartre sebagai “neraka”, maka terlebih hubungan—interaksi—yang terjalin dengan masyarakat (kumpulan individu), pastilah kumpulan dari neraka yang begitu panas membara nan dahsyat.
Kiranya, perlu kita cermati bahwa “society” atau “masyarakat” sebagaimana interpretasi sosiologis, merupakan “kumpulan manusia dengan kebiasaan dan kebudayaan yang sama, menempati tertitori tertentu serta meyakini dirinya sebagai satu kesatuan”.[14] Melalui definisi tersebut, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa kebiasaan, kebudayaan serta keyakinan akan kesatuan merupakan elemen urgen dalam pembentukan masyarakat. Terkait pengkajian interaksi antara entitas individu dengan masyarakat dalam kerangka eksistensialisme Sartre, maka berbagai elemen di atas merupakan suatu “hil yang mustahal”. Eksistensialisme Sartre tak mengakui keberadaan nilai dan norma yang lahir melalui kebiasaan serta kebudayaan, ia menunjukkan pula betapa keberadaan manusia di dunia benar-benar absurd sehingga tak mungkin demikian saja diintegrasikan dengan masyarakat.
Terkait hal di atas, Sartre mengatakan, “Karena tak ada hakekat atau esensi dari manusia sebab tak ada Tuhan yang menciptakannya, maka keberadaan manusia di dunia ini adalah bebas sebebas-bebasnya”, “Hukum universal tak tertulis di langit sana”, tambahnya. Sebagaimana telah disinggung pula sebelumnya, pemahaman tersebut merupakan konsekuensi logis atas dalil eksistensialisme yang berbunyi, “eksistensi mendahului esensi” yang membuktikan ketiadaan Tuhan.[15]
Mengingat kondisinya sebagai makhluk yang bebas dan ketiadaan satu hukum pun yang mengatur kehidupannya, maka manusia diharuskan menyusun berikut menciptakan hukum, nilai dan norma bagi dirinya sendiri. Keharusan tersebut merupakan suatu kewajiban atau konsekuensi yang dibebankan padanya akibat kebebasan mutlak yang dimilikinya, ia tak memiliki kuasa untuk lari darinya.[16] Bagi mereka yang menghindar atau tak mengakui kebebasannya, maka ia tak hidup secara otentik, melainkan dalam mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’. Di sisi lain, karena Tuhan tidaklah eksis dalam pandangan eksistensialisme Sartre, maka manusia tidak memiliki patokan guna menyusun nilai dan norma bagi dirinya. Kondisi tersebutlah yang diistilahkan Sartre dengan nausea, yakni sesuatu yang “memuakkan”, sejenis “muntah-muntahan”. Manusia tiba-tiba “mengada” di dunia ini, terbuang dan terasing berikut dibebankan untuk menciptakan nilai, norma dan tujuan bagi hidupnya sendiri tanpa patokan dan pegangan apapun. Oleh karenanya bagi Sartre, kehidupan manusia merupakan perihal yang absurd: aneh, tak dapat dijelaskan.[17]
Menurutnya, pilihan-pilihan bebas yang dimiliki dan ditentukan manusia membuatnya bebas memaknai dirinya sendiri, melalui hal tersebut pula ia berada pada proses penciptaan diri yang terus-menerus, berulang-ulang dan tak berkesudahan. Di setiap momen dan setiap detik, ia bebas menjadi apa yang dikehendakinya. Secara konkret, hal tersebut dimisalkan oleh seorang filsuf kenamaan Spanyol, Miguel Unamono di mana “apa” dan “siapa” dirinya tergantung pada hari dan jam berapa ia berada. Sebagai misal, pada hari Minggu ia dapat menjadi seorang Katolik yang taat, sedangkan pada hari Senin ia menjadi seorang atheis militan, Rabu menjadi seorang konservatif dan demikian seterusnya.[18]
Dengan demikian, Sartre menganggap bahwa bagi manusia yang sadar akan eksistensinya, maka tidak ditemui hukum, nilai berikut norma yang mapan layaknya berbagai hukum dan aturan yang disepakati dan diyakini masyarakat. Oleh karenanya, hubungan antara individu dengan masyarakat merupakan suatu hal yang mustahil dan tak mungkin. Di satu sisi, pandangan Sartre mengenai berbagai instrumen penyatu masyarakat di atas meradikalkan pemikiran intelektual marxis Italia, Antonio Gramsci yang kerap mengangkat tema-tema sekitar “hagemoni” dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Menurut Gramsci, hukum, nilai dan norma yang kala ini eksis dalam masyarakat faktual tidaklah berlaku. Hal tersebut dikarenakan bentuknya sebagai “konsensus” golongan tua dan “intelektual organik” masa lampau, sehingga apabila kesepakatan tersebut tetap diberlakukan hingga kini maka ia menemui bentuknya sebagai “pemaksaan dan latensi penindasan”. Di sisi lain, bagi mereka yang tetap meyakini dan menggunakan kesepakatan tersebut, maka Gramsci menganggapnya telah “terhagemoni” sedemikian rupa.[19] Namun demikian, perbedaan mendasar antara Gramsci dan Sartre terkait hal di atas adalah upaya Gramsci dalam merumuskan dan membentuk masyarakat baru yang kontekstual (sesuai zaman), sedangkan Sartre “masyarakat manusia” yang bebas memilih dan meyakini aturannya sendiri.[20]
Dengan demikian, berpijak pada pandangan eksistensialisme Sartre, masyarakat dapat diandaikan sebagai “kumpulan ada yang memuakkan”, terlebih mereka yang menjalani hidupnya dengan mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’. Tak hanya sampai di situ, kesimpulan yang ditarik eksistensialisme Sartre pun begitu tragis, interaksi sosial yang terjalin antara entitas individu dengan masyarakat adalah perihal yang nihil, mustahil, bahkan tak mungkin.
Cinta dan Hubungan Seksual
Disamping pesimisme dan skeptisisme radikalnya atas interaksi yang terjalin antara entitas individu dengan individu lain berikut masyarakat, faktual Sartre pun melayangkan pandangan serupa atas hubungan dua entitas individu pada ranah yang lebih intim, yakni dalam keterkaitannya dengan “cinta dan hubungan seksual”.
Menurut Sartre, cinta merupakan bentuk lain pengobjekkan terhadap orang lain maupun diri sendiri secara “pasrah” (dalam bahasa Gramsci: hagemoni). Ia mendaulat cinta sebagai tanda “kegagalan” seseorang untuk mempertahankan dirinya sebagai “subyek”. Pada perkembangannya, cinta akan menstranformasi dirinya sebagai entitas yang penuh dengan motif “memiliki”. Hal tersebut tampak melalui berbagai harapan yang dimiliki seorang pecinta atas kekasihnya dan demikian pula sebaliknya. Dengan misal lain, seseorang akan berharap dirinya untuk terus dicintai dan begitu pula pada pasangannya dengan harapan serupa, sehingga yang terjadi kemudian adalah pengekangan atas kebebasan, orang yang saling mencintai pada hakekatnya “terpenjara”, hanya saja penjara tersebut sedemikian halusnya hingga tak kasat mata.
Dalam ranah yang lebih filosofis, Sartre menjelaskan bahwa orang yang mencintai pada hakekatnya hendak memiliki dunia orang yang dicintai, mengobjekkan berikut meminta menyerahkan dunia serta dirinya secara “bulat-bulat”. Menurut Sartre, kondisi demikian dapat diandaikan sebagai, “terjebak pada dunia orang lain”, atau “berada bagi orang lain”, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang nausea ‘memuakkan’ baginya.[21] Secara konkret, Sartre menjelaskan hal tersebut melalui “hasrat seksual” serta “hubungan seksual” yang lahir kemudian melalui cinta. Menurutnya, hasrat seksual merupakan upaya “mereduksi” orang lain sebagai “tubuh” atau “daging” semata. Namun demikian, pada akhirnya hasrat selalu gagal mengingat yang diubahnya menjadi daging bukanlah orang lain semata, melainkan pula “diri sendiri”. Hal tersebut tampak melalui tenggelamnya seseorang dalam kenikmatan hubungan seks sehingga melupakan motif dan tujuan semula: menguasai pihak lain. Oleh karenanya simpul Sartre, “Hasrat pun gagal untuk memulihkan diri saya yang hilang akibat orang lain”. [22]
Dalam ranah psikologi, pandangan Sartre mengenai hasrat seksual mengembalikan keberadaan manusia sebagai entitas ketidaksadaran laiknya psikologi freudian. Hal tersebut, sebagaimana sempat diulas sebelumnya, berseberangan dengan penolakan Sartre atas konsep libidinal Freud yang mereduksi dimensi kesadaran manusia. Dengan demikian, tak menutup kemungkinan apabila pandangan Sartre mengenai hasrat seksual meluluhlantahkan keyakinannya akan kedudukan manusia sebagai etre pour soi yang selalu “menindak” segala sesuatu. Di sisi lain, perihal tersebut justru mengamini pemahaman Kinsey yang secara tegas mengatakan bahwa puncak kenikmatan yang terjadi dalam setiap pertemuan antarlawan jenis adalah hubungan seksual—bukannya “menaklukkan”.
Melalui berbagai pemaparan dan penjabaran di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa dalam pandangan Sartre, cinta antara dua individu merupakan perihal yang “tak mungkin” dan menemui bentuknya sebagai “instrumen pengobjekkan” terhadap orang lain. Hal tersebut setidaknya tampak melalui penilaian Sartre akan cinta sebagai media penguasaan atas seseorang secara halus. Dengan demikian, cinta pun dapat ditasbihkan sebagai bentuk sengketa atau konflik secara halus. Oleh karenanya kemudian, secara tegas Sartre menolak pula keberadaan institusi pernikahan dan keluarga. Di samping argumen filosofis sebagaimana diajukannya di atas, institusi keluarga dianggapnya sebagai “pelanggeng borjuisme”. Hal tersebut mengingat sekedar ditemuinya dua kemungkinan yang terjadi pada keturunan yang dimiliki suatu keluarga: apabila ia menjadi pribadi yang “kurang” secara ekonomi, maka di kemudian hari ia akan menjadi proletar, sedang apabila menjadi pribadi yang “berlebih” secara ekonomi, maka lingkungan “borjuis” bakal dicecapinya, dan keduanya merupakan pelanggeng lembaga borjuisme.
Namun demikian, telaah Sartre mengenai hasrat seksual menghasilkan suatu simpulan yang mencengangkan atas konsep eksistensialisme yang dikonstruksinya sendiri. Ia mengakui keberadaannya sebagai “pelucut” naluriah etre pour soi—mengobjekkan. Sedang, apa yang dapat dilakukan Sartre atasnya sekedar pasrah tanpa melawan, kembali mengidentifikasi dirinya sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’, “Manusia hanya dapat berbuat tanpa berharap”, pungkasnya.
Etika Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre
Sebagaimana dijelaskan Franz Magnis Suseno bahwa etika merupakan “ilmu tentang bagaimana seharusnya manusia berperilaku”,[23] maka etika eksistensialisme dapat diinterpretasikan dengan, “bagaimana seseorang seharusnya berperilaku dengan menempatkan dirinya sebagai eksistensi yang mendahului esensi”. Tak dapat dipungkiri bahwa Being and Nothingness merupakan mahakarya Sartre yang tak tuntas mengingat keberlanjutan yang dijanjikan Sartre pada eksemplar menyangkut “etika” dalam eksistensialisme tak kunjung hadir. Hal tersebut faktual disebabkan oleh pergeseran Sartre pada ide-ide marxisme kemudian. Dengan demikian, dapat dimaklumi kiranya bilamana pembahasan terkait terkesan begitu “samar” dan “meraba-raba”. Dalam hal ini, “amunisi” atau “modal” yang dimiliki atas tema terkait setidaknya tersirat melalui beberapa penjelasan mengenai konsep interaksi sosial eksistensialisme Sartre sebelumnya.
Melalui berbagai pemaparan dan penjabaran filsafat sosial eksistensialisme Sartre terkait interaksi antara entitas individu dengan individu lain serta masyarakat, berikut interaksinya yang intim dalam bentuk cinta dan hubungan seksual, ditemui beberapa karakter khas yang menandai proses hubungan yang tengah berlangsung di dalamnya. Pertama, patokan atau pegangan bertindak (berperilaku) semisal hukum, nilai dan norma sosial faktual tak mapan (baca: tidaklah ada) keberadaannya dalam eksistensialisme, melainkan selalu mengalami revisi dan penciptaannya yang berulang-ulang serta terus-menerus. Kedua, hakekat setiap interaksi antarmanusia yang ajeg menemui bentuknya sebagai sengketa atau konflik.
Karakter pertama, yakni patokan berperilaku yang tak mapan mengindikasikan tiap-tiap individu bebas untuk menyusun nilai, norma berikut tujuan hidupnya masing-masing. Dengan demikian, kesatuan yang diandaikan di dalamnya menjadi sesuatu yang “tak mungkin” mengingat setiap individu memiliki pemikiran dan perasaan yang berbeda satu sama lain. Di satu sisi, pemahaman tersebut berseberangan dengan konsepsi etika Immanuel Kant yang menegaskan, “Bertindaklah sehingga maksim tindakanmu menjadi model bagi seluruh umat manusia”. Pernyataan tersebut menyiratkan kewajiban kita guna memberi teladan bagi pihak lain,[24] sebaliknya dengan etika eksistensialisme Sartre yang memberi kebebasan setiap manusia untuk bertindak tanpa harus memberikan teladan mengingat eksistensinya sebagai proses penciptaan yang “berulang dan terus-menerus”.
Namun demikian, baik Kant maupun Sartre menemui “kegagalan” dalam upaya merumuskan konsep etika bagi “seluruh umat manusia”. Hal tersebut dapat dimisalkan dengan sebuah silogisme berikut. Si A memiliki tubuh yang lebih besar ketimbang Si B, Si A “menindih” Si B, kemudian Si B merasa kesakitan. Apabila mencermati silogisme tersebut, maka baik konsepsi etika Kant maupun Sartre hanya mampu berhenti pada pernyataan terakhir, “Si B merasa kesakitan”, baik keduanya “tak kuasa” merumuskan konklusi bahwa tindakan Si A adalah salah, kecuali terdapat premis moral yang mengatakan bahwa “menyakiti seseorang tanpa alasan yang jelas merupakan suatu kesalahan”. Hal tersebut terjadi mengingat arti kata “baik” dalam ranah konstruksi keilmuan—filsafat—Barat sendiri yang hingga kini belum menemui definisinya yang mapan sebagaimana diutarakan filsuf Amerika, James William Moore. Semasa hidup, James William berupaya melakukan penyelidikan atas arti kata “baik” dalam ranah keilmuan Barat dan hingga akhir hayat urung menemuinya.[25] Sebagaimana diketahui, “baik” bagi kaum darwinis ketika yang kuat adalah pemenang, “baik” untuk kaum agamis ketika hukum Tuhan diterapkan, “baik” bagi kapitalis ketika modal berkuasa, sedangkan “baik” untuk pengikut komunis ketika pemerintahan diktator proletariat diwujudkan, dan lain sebagainya.
Karakter kedua, yakni sengketa atau konflik yang selalu menjadi hakekat setiap pertemuan atau interaksi antarindividu. Terkait hal tersebut, Sartre menegaskan dua kemungkinan: “diobjekkan” atau “mengobjekkan”. Pemenang adalah mereka yang mampu mengobjekkan individu di sekelilingnya terlebih dahulu. Di satu sisi, hal tersebut mencirikan keunikan humanisme filsafat eksistensialisme Sartre di mana “penghargaan atas diri sendiri sebagai manusia harus dilakukan dengan cara mengenyahkan eksistensi manusia yang lain”. Dengan demikian, konsepsi Sartre tersebut lebih mencirikan “kemiripannya” dengan pemikiran Thomas Hobbes di mana yang berlaku kemudian adalah homo homini lupus ‘manusia makan manusia’.[26]
Melalui berbagai pemaparan dan penjabaran di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa konsep etika eksistensialisme Sartre berpijak pada sengketa dan konflik yang “selalu” terjadi antarmanusia di mana “kebebasan mutlak” melingkupinya. Dengan demikian, kiranya tak berlebihan apabila etika eksistensialisme Sartre yang menekankan keberadaan manusia sebagai etre pour soi untuk “menindak segala sesuatu” dan “meniadakan” pour soi-pour soi yang lain demi eksistensinya sebagai hakekat “etika” filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre.
Radikalisasi Konsep Interaksi Sosial-Eksistensialisme Sartre
dalam Perspektif Mikrososiologi[27]
Konsep Interaksi Sosial-Eksistensialisme Sartre vis a vis Makrososiologi
Konsep interaksi sosial—filsafat sosial—eksistensialisme Sartre terlampau mustahil dielaborasi atau dileburkan ke dalam perspektif makrososiologi layaknya marxisme, organisme sosial-Durkheim, struktural fungsionalisme, neofungsionalisme, teori konflik, bahkan kajian kontemporer dalam disiplin sosiologi menyangkut fenomena embadedness ‘kemelekatan’ dimensi sosial-kultural dalam setiap tindakan/perilaku individu sebagaimana dicetuskan Granovetter, Swedeberg, Mauss, Clegg dan Redding. Hal tersebut mengingat kesemuanya meleburkan otentitas individu ke dalam suatu kelompok, komunitas, organisasi, masyarakat, bahkan hingga taraf institusi negara.[28]
Dalam sosiologi dan antropologi ekonomi-kontemporer misalnya, analisis Granovetter dan Redding menunjukkan bagaimana local genious China berupa confusionisme melahirkan bentuk-bentuk bisnis “korporasi keluarga”. Rasionalitas yang berperan di dalamnya berdimensi “nilai”, “tradisional”, pun “afektif” yang semisal terejawantahkan melalui pilihan rekan kerja atau karyawan dengan kesamaan latar belakang kultural guna mencapai efisiensi dan efektifitas tingkat tinggi—kemudahan beradaptasi dengan nilai-nilai kultural (ritual, fengshui, simbol-simbol keberuntungan, dsb.).[29] Sedang Marcel Mauss, antropolog kenamaan Perancis yang juga merupakan kemenakan Emile Durkheim mencetuskan istilah potlatch guna menunjukkan kerelaan individu berbagi dengan sesamanya tanpa mengharap kontrapretasi atasnya yang didasari oleh kontruksi sosial-kultural tertentu.[30] Hal tersebut secara tegas menggugurkan konsep exchange theory-George C. Homans di mana, “Pertukaran tidaklah terjadi jika keuntungan tidak diperoleh di dalamnya”, berikut konsep homo economicus-Frederick von Hayek yang mana, “Segala tindakan manusia diukur berdasarkan kalkuasi untung-rugi”.
Dalam hal ini, meskipun perilaku aktor atau subyek menempati kedudukan urgen dalam kajian embadedness, namun eksistensinya terlingkupi oleh struktur sosial-kultural yang lebih luas, yakni bagaimana tindakan dan perilaku aktor ter-determinasi oleh konstruksi dan “kearifan lokal” di sekitarnya—dalam bahasa Berger: ter-internalisasi. Serangkaian hal di atas kiranya menunjukkan vis a vis yang begitu keras dan kentara dengan pemahaman eksistensialisme Sartre yang “menafikkan” kontruksi sosial-kultural tertentu terhadap individu, “Hukum universal tak tertulis di langit sana”, tegas Sartre.
Radikalisasi Konsep Interaksi Sosial-Eksistensialisme Sartre
dalam Perspektif Mikrososiologi “Klasik” dan “Modern”
Dalam ranah Sosiologi Klasik, kita dapat menempatkan epistemologi verstehen-Max Weber dan konsep interaksi sosial dyad-triad cetusan George Simmel ke dalam perspektif mikrososiologi. Sedang, fenomenologi-Berger dan interaksionisme simbolik-George Herbert Mead dapat diklasifikasikan ke dalam perspektif mikrososiologi modern—dalam lingkup Sosiologi Modern.
Bagi George Ritzer, Weber didaulat sebagai perintis paradigma “definisi sosial” dalam disiplin sosiologi. Secara singkat, paradigma tersebut menempatkan individu sebagai tema sentral kajiannya. Oleh karenanya, Weber menelurkan metode verstehen guna menangkap berbagai motif di balik tindakan aktor—nomena sosial. Lebih jauh, ia menyusun berbagai bentuk dimensi rasionalitas guna memetakannya; rasionalitas formal, instrumental, nilai, tradisional serta afektif. Berbagai pemahaman Weber di atas kerap diistilahkan dengan nominalisme, yakni pemahaman yang menempatkan individu, subyek atau aktor sebagai satu-satunya fakta sosial.
Terkait hal di atas, Weber mengatakan, “Tidak ada perihal/sesuatu yang dinamakan sebagai sosial/masyarakat, melainkan kumpulan individu dengan kepentingannya masing-masing”.[31] Ia meyakini kuasa individu dalam membentuk masyarakat, motif-motif individu adalah perihal yang konkret, bukannya masyarakat. Melalui hal inilah titik tolak pengkajian kita terhadap konsep interaksi sosial Weber dilakukan—mikrososiologi Weber.
Weber menguraikan kuasa aktor atas realitas sosial melalui telaahnya dalam eksemplar Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme serta kajiannya mengenai dimensi “kharismatik” seseorang. Dalam literatur tersebut, Weber menjelaskan lahirnya kultur industrial masyarakat Eropa (modernisasi) yang disebabkan oleh konsepsi etika agama Kristen Protestan usungan seorang pendeta kharismatik bernama John Calvin. Menurut Calvin, untuk beribadah kepada Tuhan, seorang umat syarat melakukan tiga hal; bekerja keras, melakukan penghematan total dan mengutamakan rasionalitas—dalam arti, menimbang “untung-rugi” sebagai konsekuensi tindakan yang diambil. Rentetan hal tersebutlah yang kemudian menurut Weber men-transformasi struktur sosial-ekonomi masyarakat Eropa. Dalam hal ini, terjadi proses internalisasi calvinisme dalam tiap-tiap masyarakat Eropa, kemudian ianya menjadi sebentuk “tenaga pembangun” tersendiri bagi tiap-tiap penganutnya. Kumpulan dari berbagai tenaga pembangun tersebutlah yang nantinya menyebabkan transformasi masyarakat agraris (tradisional) Eropa ke dalam masyarakat industrial (modern).[32]
Sebagaimana diketahui bersama, berlangsungnya proses di atas dijelaskan pula oleh Jurgen Habermas melalui keterpaduan antara “ruang publik” dengan “ruang privat” di era feodalisme Eropa. Bentuk-bentuk kerja sosial yang terjadi kala itu terintegrasi dalam satu “ketuanan”—seorang pemilik usaha dengan para pekerjanya. Pemilik usaha kerap ditempatkan sebagai “penguasa atas segalanya”, sedang pekerja sebagai pihak yang terdzalimi dan tertindas, namun sesungguhnya tak demikian. Melalui kerja “ketuanan” para pekerja pun dapat meningkatkan taraf hidup, menjadikan tuannya sebagai sauri teladan, bahkan mengumpulkan modal guna membuat usahanya sendiri—self actualization.[33]
Dalam hal ini, Habermas memang membedakan secara tegas bentuk-bentuk feodalisme Eropa, di Inggris misalnya, suatu usaha yang dimiliki feodalis dapat ditempatkan sebagai “ruang privat” sekaligus “ruang publik” karena memberikan berbagai kebaikan pula pada pekerjanya. Namun, hal tersebut akan jauh berbeda dengan periode-periode feodalisme Eropa setelahnya yang tiranis sebagaimana ditemui pada feodalisme George V, Victor Emmanuel III, Franz Ferdinand, Friedrich Wilhelm serta Tsar Nicholas.
Perihal feodalisme yang “konstruktif” dimisalkan Habermas dengan suatu bangunan pemerintahan yang berfungsi melayani kepentingan masyarakat (res-Publica)—ruang publik—namun, individu atau anggota masyarakat faktual tak dapat serta-merta bertindak bebas atasnya; keluar-masuk tanpa tujuan, tidur, menjadikannya tempat tinggal, dsb. Dengan demikian, di sisi lain ia juga menjadi “ruang privat” bagi penguasa (baca: pemerintah).[34]
Pemahaman motif individu Weber yang kemudian secara tak langsung membawa kemajuan pada masyarakat, tak pelak menemui bentuknya sebagai invisible hand-Adam Smith—“Semakin individualis seseorang, semakin ia berguna bagi masyarakatnya”. Namun, istilah “individualis” di sini tidaklah bijak jika diterjemahkan sebagai perilaku “egois” atau “anti sosial”. Istilah tersebut lebih dimaksudkan pada dimensi “kemandirian” yang melekat pada seseorang sehingga ia dapat menjadi tempat bergantung bagi banyak pihak.
Apabila mikrososiologi Weber berupaya dibenturkan dengan filsafat sosial-eksistensialisme Sartre, maka konsepsi individu sebagai perihal yang konkret (fakta) sejalan dengannya. Namun, pemahaman Weber mengenai motif pribadi individu yang kemudian membawa kemajuan pada masyarakatnya begitu bertentangan dengan idealisme Sartre. Dalam pandangan Weber, individu sekedar sesaat saja mengisolasi diri dalam rangka membuat dirinya “berdaya”; bekerja keras, melakukan penghematan total dan mengutamakan rasionalitas yang kesemuanya dilakukan guna “mengakumulasi modal”—dalam rangka membuat dirinya berdaya—dan setelahnya, individu tersebut bakal kembali pada masyarakat dalam rangka menciptakan kemajuan bersama—kemajuan dalam koridor etika Protestan.[35] Sedang, Sartre tetap memilih ajeg dalam isolasi diri berikut antisosial: berawal tanpa masyarakat, berakhir tanpa masyarakat. Itulah mengapa filsafat sosial-eksistensialisme Sartre disebut pula sebagai “filsafat kaum borjuis”.
Masih dalam ranah yang sama, yakni Sosiologi Klasik, kiranya perspektif mikrososiologi George Simmel mengalami revisi dan “radikalisasi” oleh filsafat sosial-eksistensialisme Sartre, terutama perihal sekitar keintiman antarindividu yang dalam pengkajian Sartre memasuki ranah “cinta dan hubungan seksual”.
Bagi Simmel, hubungan intim yang terjalin hanya dimungkinkan bagi dua entitas individu saja, dan bukannya tiga entitas individu. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa ketika ditemui kehadiran pihak ketiga dalam hubungan dua individu maka terjadi “pergeseran” atas dyad kepada triad—yang awalnya berbentuk jalinan dua individu, kemudian menjadi jalinan tiga individu. Hal tersebut sebagaimana dijelaskannya lebih lanjut, bakal berdampak pada “kerenggangan” dyad semula.[36] Hal tersebut dikarenakan terlampau mustahilnya seorang individu membagi pikiran dan perasaannya pada lebih dari satu individu—dua atau lebih dari tiga individu. Konsep interaksi sosial-eksistensialisme Sartre jelas meradikalkannya, jangankan hubungan triad, hubungan dyad pun tak mungkin terjalin dalam pandangannya. Hal tersebut bilamana kita menilik sekali lagi atas konsep “cinta dan hubungan seksual” Sartre sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Melangkah lebih jauh, yakni memasuki ranah mikrososiologi modern, fenomenologi usungan Berger mencetuskan istilah internalisasi, eksternalisasi berikut objektivasi individu dalam hubungannya dengan masyarakat—realitas sosial. Menurutnya, internalisasi adalah posisi di mana individu inferior ketimbang masyarakat, individu mencerap dan mengadopsi berbagai nilai berikut norma sosial, taat dan tunduk pada keteraturan sosial. Berseberangan dengannya, eksternalisasi adalah posisi dimana individu superior ketimbang masyarakat, dalam kondisi demikian, individu aktif mencetuskan nilai dan norma yang kemudian dicerap dan diadopsi masyarakat.[37]
Namun demikian, tegas Berger, kondisi di atas tidaklah berlangsung secara ajeg. Ada kalanya kondisi internalisasi dominan pada individu dan sebaliknya. Oleh karenanya, kemudian Berger mencetuskan istilah objektivasi, yakni sebentuk premis bahwa ada kalanya individu dapat dipisahkan dari masyarakat, dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut mengingat, “Sebelum individu ada, masyarakat telah ada; ketika individu ada, masyarakat ada; ketika individu tiada, masyarakat tak serta-merta tiada”. Melalui rangkaian pemaparan fenomenologi Berger di atas, dapatlah dilihat bahwa lagi-lagi kita menemui perspektif mikrososiologi yang mengalami ambiguitas dalam menentukan posisi individu dalam masyarakat, dan sebaliknya. Tak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa pemahaman Berger cenderung “mendua”, dan hal tersebut jelas bertentangan dengan oposisi biner “individu-masyarakat” ala Sartre.
Interaksionisme simbolik sebagai ragam lain perspektif mikrososiologi modern bertitik tolak melalui dialektika George Herbet Mead yang menyatakan, “Individu bukanlah budak dari masyarakat, individu dapat menciptakan masyarakat sebagaimana masyarakat menciptakannya”.[38] Harus diakui memang, interaksionisme simbolik lebih menemui bentuknya sebagai penerapan psikologi dalam ranah sosial—sosio-psikologi—mengingat pemetaannya akan interaksi antarindividu yang berpijak melalui hukum “stimulus-interpretasi-respon”—sebagaimana metode “eksperimen” dalam psikologi atau psikiatri.
Interaksionisme simbolik berargumen bahwa komunikasi yang terjalin antara satu individu dengan lainnya pada hakekatnya berlangsung melalui “simbol-simbol”, dalam hal ini adalah “bahasa” dan “gestur tubuh”. Melalui ragam bahasa yang dilontarkan berikut gestur tubuh yang disajikan, seorang individu dapat mengetahui kedudukannya di masyarakat: diagungkan ataukah dihinakan. Sebagai misal, bilamana orang lain berkomunikasi pada kita dengan bahasa kasar dan gestur tubuh yang “menindak”, maka besar kemungkinan kita tak mendapatkan “tempat” dalam lingkungan tersebut, dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebutlah yang diistilahkan dengan looking glass self dalam pemahaman interaksionisme simbolik, yakni sebentuk teori sekaligus metode guna memetakan (mengetahui) kedudukan individu dalam masyarakatnya.[39]
Namun, tak selamanya individu sekedar pasrah oleh pelabelan dan penyisihan masyarakat, ia pun memiliki kuasa guna balik melabelkan berikut menyisihkan masyarakat. Sebagai misal, kita dapat dengan mudah melabelkan suatu masyarakat primitif dan menolak untuk tinggal bahkan berkomunikasi dengan mereka melalui bahasa sarkastis serta gestur tubuh “tak antusias”.
Apabila penelisikan seksama atas interaksionisme simbolik dilakukan, maka konsep interaksi sosial yang dibawanya selangkah lebih maju mendekati filsafat sosial-eksistensialisme Sartre ketimbang fenomenologi-Berger. Hal tersebut mengingat “keberanian” individu dalam “menindak” masyarakat, namun muatan “mengalami” yang dibawanya, yakni pengakuan bahwa masyarakat dapat “menindaknya”, memaksa filsafat sosial-eksistensialisme Sartre turun tangan guna meradikalkan-nya; menarik tegas garis pemisah antara individu dengan masyarakat, mencapai harga mati bahwa tak satu pun pihak memiliki kuasa melabelkannya, terkecuali dirinya sendiri.
Radikalisasi Konsep Interaksi Sosial-Eksistensialisme Sartre
dalam Sosiologi Kritis dan Sosiologi Postmodern
Harus diakui memang, begitu rancu memasukkan Sosiologi Kritis berikut Sosiologi Postmodern ke dalam kapling makro ataupun mikrososiologi. Hal tersebut mengingat ditemuinya dimensi kajian sosial maupun individu dalam keduanya. Sebagai misal, kajian Marcuse mengenai one dimensional society yang di satu sisi berkaitan erat dengan perihal “keunikan” individu—dalam ranah Sosiologi Kritis. Begitu pula, kajian Derrida mengenai kuasa aktor menerjemahkan teks secara otonom yang di sisi lain ditemui pula kajiannya mengenai forgiveness and hospitality yang merambah aspek sosial, bahkan negara—Sosiologi Postmodern. Dengan demikian, penelaahan kita atas radikalisasi konsep interaksi sosial-eksistensialisme Sartre dalam ranah Sosiologi Kritis maupun Postmodern memenuhi bentuknya sebagai kajian terhadap dimensi makro maupun mikrososiologi. Hanya saja, telaah pada dimensi mikrososiologi memiliki penekanan lebih mengingat telah terbantahkannya makrososiologi dalam filsafat sosial-eksistensialisme Sartre.
Terkait Sosiologi Kritis, faktual pemahaman Sartre mengenai “cinta dan hubungan seksual” me-radikal-kan pandangan Erich Fromm—generasi pertama Mahzab Frankfurt—atas cinta—sebagaimana ditemui pada konsep dyad-triad George Simmel. Dalam hal ini, Erich Fromm berupaya memberikan solusi atas cinta dengan modus (motif) “memiliki”. Dalam To Have and To Be ‘Memiliki dan Menjadi’, Fromm mengemukakan adanya dua jenis cinta, yakni cinta dengan modus “memiliki” serta cinta dengan modus “menjadi”. Menurutnya, seseorang yang mencintai dengan modus “memiliki” (atas dasar ingin memiliki) akan menutupi segala aib dan keburukan dalam dirinya, namun setelah ia mendapatkan orang yang dikasihinya, sedikit demi sedikit, waktu demi waktu, tabir kegelapan dan keburukan dalam dirinya akan terungkap, bagi Fromm cinta yang demikian tidaklah langgeng. Lebih jauh, cinta dengan modus “memiliki” hanya akan menghasilkan pemaksaan, kediktatoran dan kesewenang-wenangan.
Sebaliknya dengan modus “memiliki”, orang yang mencintai dengan modus “menjadi” adalah langgeng dan abadi menurut Fromm. Hal tersebut dikarenakan, sebagai misal saya adalah seorang yang “kaku” dan pendiam, namun sesungguhnya bagian dari diri saya yang lain ingin menjadi seseorang yang “luwes” dan “komunikatif”, suatu hari saya menemui wanita yang demikian dan jatuh cinta padanya. Saya akan merasa bahwa wanita tersebut adalah “pengejawantahan” diri saya yang lain, atau di satu sisi menjadi bagian dari diri saya, “saya” merasa sebagai “dia”, dan ketika ia mengatakan bahwa dirinya lebih bahagia bersama orang lain maka saya pun akan turut merasa bahagia, karena saya memang telah menjadi dia, inilah cinta yang “menjadi”. Oleh karenanya, menurut Fromm cinta bukanlah “memiliki” tetapi “menjadi”, bukanlah “to have” melainkan “to be”, bukanlah “having” namun “becoming”.
Bagi Sartre, hubungan cinta dengan—ataupun tanpa—modus “memiliki” berikut “menjadi” mustahil untuk terjadi. Hal tersebut mengingat entitas cinta secara netral (tanpa berbagai bentuk modus di atas) pun telah menemui bentuknya sebagai mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’, yakni sebentuk pembendaan dan pengobjekkan atas diri. Dengan demikian, jangankan cinta dengan modus “menjadi”, cinta dengan modus “memiliki” pun mustahil dicapai oleh pemahaman eksistensialisme Sartre.
Pada ranah yang berlainan, filsafat sosial-eksistensialisme Sartre menggugurkan pula konsepsi public sphere ‘ruang publik’ usungan Jurgen Habermas—generasi revisi/pembaharu Mahzab Frankfurt. Dalam The Structural Transformation of Public Sphere, Habermas mengatakan bahwa ruang publik adalah suatu ruang yang bebas dari distorsi, tekanan berikut penindasan, suatu ruang di mana tak ada pihak dominan maupun dormant, atasan-bawahan, borjuis-proletar, “pakar” dan “bukan pakar”. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa public sphere adalah suatu ruang di mana setiap orang dapat membudalkan keluh-kesah berikut ampas-ampas kotoran dalam pikirannya. Melalui public sphere tersebut pulalah “paradigma komunikasi” yang bersifat emansipatoris dalam interaksi sosial bakal tercipta, sebentuk antitesis atas interaksi sosial bercorak “paradigma kerja” yang bersifat satu arah, “subyek dan objek”, terdapat pihak dominan dan dormant di dalamnya, atasan-bawahan dan berbagai bentuk struktur hierarkis lainnya.[40]
“Ketiadaan ruang publik”, itulah buah kesimpulan yang bakal diperoleh bila pemahaman filsafat sosial-eksistensialisme Sartre ditelisik kembali. Dalam hal ini, mari kita asumsikan ruang publik sebagai misal sebuah taman atau alun-alun kota di mana setiap orang—publik—dapat melepas segala lelah dan penat di dalamnya. Di satu sisi, kita telah mengetahui buah pengalaman Sartre yang dituangkannya dalam Being and Nothingness di mana kedatangan orang lain di sebuah taman mengusik kesendirian dan kepenuhannya sebagai “subyek”. Dalam peristiwa tersebut, Ia menjelaskan pula proses pergeseran eksistensi dirinya sedari subyek menjadi objek, “Ada pendarahan internal ketika dunia saya dihisap ke dalam dunia orang lain”, pungkasnya.
Dengan demikian, muatan egalitarianisme (persamaan derajat) sebagai hakekat keberadaan public sphere tidaklah mungkin tercapai dalam pemahaman filsafat sosial-eksistensialisme Sartre. Eksistensi dasar setiap manusia sebagai etre pour soi yang selalu menindak segala sesuatu kian meneguhkannya, jangankan melakukan komunikasi satu atau dua arah dengan entitas individu lain, kontak mata yang terjadi antar keduanya pun telah didaulat sebagai “konflik” oleh Sartre. Melalui berbagai pemaparan berikut analisis di atas, dapatlah ditelisik bahwa setidaknya suatu ruang sebagaimana mencirikan bentuknya sebagai public sphere bagi kaum eksistensialis haruslah berbentuk private sphere ‘ruang privat’, bukannya ruang publik. Dalam pandangan Sartre, transformasi/perombakan ruang publik kepada ruang privat setidaknya hanya dapat terjadi secara optimal bilamana tak ditemui ketubuhan (baca: keberadaan) orang lain selain “diri” dalam public sphere, namun satu hal yang patut digarisbawahi: perihal tersebut pun bersifat temporer hingga ketubuhan orang lain hadir-menyerua dan mengobjekkannya.
Dalam ranah sosiologi postmodern, beberapa pemikiran Mitchel Foucault mengenai manusia (individu) sedikit-banyak bersinggungan dengan filsafat sosial-eksistensialisme Sartre. Kajian Foucault dalam Kegilaan dan Peradaban mengenai dimensi “normal-abnormal” manusia yang tak dapat didefinisikan mengamini pernyataan Sartre, “Ia (manusia) tidak akan menjadi ‘apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’ … manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri, itulah prinsip pertama Eksistensialisme”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pihak lain (baca: orang lain) tak memiliki kuasa guna melabelkan apa dan siapa individu—kongruensi filsafat sosial Foucault dan Sartre.
Apabila Sartre menggunakan dalil eksistensialisme (“eksistensi mendahului esensi”) sebagai titik tolak pemahamannya di atas, maka Foucault menggunakan metode “genealogi historis”, yakni sebentuk metode komparasi sejarah guna menunjukkan keberadaan episteme (total set relasi pengetahuan, nilai, norma, kebudayaan dan hukum yang berlaku pada suatu periode waktu tertentu). Apa yang berupa ditunjukkannya adalah ketiadaan nilai dan norma yang mapan dalam masyarakat, oleh karenanya kemudian Foucault mendiktumkan, “Pengetahuan adalah kekuasaan”, artinya, konstruksi akan perihal yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, bergantung pada rezim yang berkuasa kala itu—dalam bahasa Mahzab Frankfurt: regime of significant ‘rezim penafsir’.
Guna memperkuat argumennya, Foucault mendeskripsikan berbagai fakta sejarah sebagai berikut; kini, dalam masyarakat kita seseorang yang “dipasung” dapatlah dikatakan mengalami gangguan jiwa (baca: gila), sedang dahulu kala, Yesus dipasung, justru disembah-sembah; di era Revolusi Perancis, tokoh-tokoh seperti Mirebau dan Marquis de Sade memiliki kedudukan yang ambigu, mereka mendapati cap “abnormal” oleh penguasa, namun didaulat sebagai pahlawan revolusi oleh rakyat.[41]
Begitu pula, telaah Foucault dalam Lahirnya Klinik yang berbicara perihal pengobjekkan yang dilakukan orang lain melalui perilaku berikut tatapan mata. Foucault memisalkannya dengan interaksi yang terjalin antara dokter dengan pasien di mana kerap kali pasien sekedar menjadi “benda” sang dokter. Pertama, pasien tak diperkenankan berbicara sebelum dokter memulainya; kedua, kerap kali dokter membawa para pelajarnya mendatangi pasien, namun kedatangannya beserta rombongan tersebut tidaklah didasarkan pada motif kemanusiaan, melainkan sekedar tertarik pada penyakit yang diderita pasien guna dipelajari lebih lanjut; dan ketiga, tatapan mata sinis dokter yang kerap dilayangkan pada pasien menunjukkan eksistensi “pakar” dan “bukan pakar”, seseorang yang “tahu” dan “tidak tahu”.[42]
Di samping Foucault, dalam ranah Sosiologi Postmodern ditemui pula Jacques Derrida yang menekankan kuasa subyek (individu) atas realitas. Ia mencetuskan sebuah metode terkenal bernama “dekonstruksi”. Secara ringkas dan sederhana, dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai sebuah metode yang berupaya “mengalihkan pusat pemikiran pada pinggiran”. Hal tersebut dapat dimisalkan dengan sebuah pengandaian berikut, “Tuhan Maha Kuasa dan Abadi, namun apakah Tuhan memiliki ‘kuasa’ untuk ‘membunuh’ diri-Nya sendiri?”. Pusat pemikiran—perihal yang diterima dan diakui banyak orang—dari untaian kalimat tersebut adalah, “Tuhan Maha Kuasa dan Abadi”, sedang “pinggiran” dari pemikiran tersebut adalah, “...namun, apakah Tuhan memiliki kuasa untuk membunuh diri-Nya sendiri?”.
Melalui semisal di atas, dapatlah ditilik bahwa dekonstruksi memberi peluang bagi setiap subyek menerjemahkan realitas dan suatu konstruksi sebagaimana yang diinginkannya, ia tak harus terpaku dan mengiyakan perspektif banyak orang, melainkan memiliki keleluasaan guna menafsirkannya secara otonom, dan memang, inilah karakter utama dari dekonstruksi: selalu berupaya mencari celah atas berbagai perihal dominan yang telah mapan dan diterima oleh banyak pihak—dalam istilah Kuhnian: Normal Science.
Apabila penelaahan lebih jauh atas metode dekonstruksi Derrida dilakukan, maka hal tersebut bakal menghantarkan pada konsep interaksi sosial yang didasarkan pula padanya—dekonstruksi. Derrida menolak konsepsi potlatch yang dicetuskan Marcel Mauss, pakar Antropologi Ekonomi Kontemporer asal Perancis. Potlatch adalah tindakan “memberi” tanpa mengharap kontrapretasi (balasan) atasnya. Dengan kata lain, potlatch adalah sebentuk tindakan yang “ikhlas”, bebas dari berbagai bentuk motif berikut kepentingan apapun. Namun demikian tambah Mauss, potlatch pastilah bakal menghasilkan “sesuatu” pula kelak—suatu hari nanti.[43] Potlatch melampaui rasionalitas ekonomi Barat yang tereduksikan pada permintaan dan penawaran, kalkulasi untung-rugi, pola pikir dan tindakan “instrumental” serta monetisasi. Lebih jauh, potlatch menolak exchange theory cetusan George C. Homans dan Peter M. Blau. Bagi potlatch, hasil dari suatu tindakan tak harus diterima seketika itu juga, tanpa mengharapkannya pula tentunya—sebagaimana ungkap Sartre, “Berbuat tanpa berharap”. Tegas dan jelasnya, potlatch ala Mauss menolak konsepsi homo economicus sebagaimana menjadi karakter utama individu-individu dalam kungkungan kapitalisme.
Secara mudah, potlatch dapat dimisalkan dengan orang tua yang menjaga berikut merawat anaknya, dan ketika sang orang tua telah memasuki masa senja, berganti anak tersebutlah yang menjaga berikut merawat orang tuanya. Dapatlah ditilik secara ekplisit bahwa hubungan antarindividu yang demikian bebas dari kepentingan ekonomi serta keuntungan-keuntungan praktis jangka pendek, ia lebih menemui bentuknya sebagai sejenis tuntutan moral atau dorongan naluriah yang terdapat dalam diri manusia.
Namun demikian, Derrida begitu menyangsikan pemikiran Mauss di atas, menurutnya, dengan sekedar mendengar atau menerima ucapan “terima kasih” saja, pemberian yang dilakukan tak lagi menjadi sesuatu yang tulus dan ikhlas, dengan demikian, potlatch dapat digugurkan. Bagi Derrida, suatu pemberian yang tulus dan ikhlas haruslah dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi tanpa diketahui siapapun jua, atau, bilamana tindakan memberi tersebut tak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dengan sepengetahuan pihak lain, maka guna mempertahankan kemurniannya sebagai tindakan yang tulus dan ikhlas, sang pemberi harus segera—benar-benar—melupakannya, jika ia teringatnya kembali, maka lagi-lagi potlatch digugurkan.[44] Berbagai argumen tersebut dilayangkan Derrida sebagai prasyarat mencapai kemurnian pemberian total tanpa tendensi apapun.
Layaknya potlatch, Derrida memberikan prasyarat ketat dan mutlak pula pada forgiveness and hospitality ‘pengampunan dan kerelaan’. Konsepsi tersebut memenuhi bentuknya dalam kajian makro maupun mikrososiologi, tergolong dalam makrososiologi karena berbicara mengenai hubungan timbal-balik yang begitu luas; antarkelompok, komunitas, masyarakat, bahkan antarnegara; sedang, berdimensikan mikrososiologi karena turut mengkaji interaksi yang terjalin antarindividu. Menurut Derrida, “pengampunan dan kerelaan” sejatinya tak bersyarat. Ia memisalkannya dengan kerelaan suatu negara menerima para pencari suaka politik asal negara lain tanpa berbagai prasyarat berikut tendensi diskriminatif apapun. Apabila kemudian ditemui sekecil pun prasyarat berikut tendensi diskriminatif oleh negara terhadap warga pendatang (pencari suaka), maka “kerelaan” negara tersebut dalam menerima para pencari suaka politik dapat digugurkan. Hal tersebut, sebagaimana mestinya diterapkan pula dalam hubungan yang terjalin antarindividu guna mencapai “pengampunan dan kerelaan” yang sesungguhnya.[45]
Apabila kita mencermati pemahaman filsafat sosial Foucault dan Derrida secara seksama, maka ditemui bahwa baik keduanya secara ekplisit memisahkan eksistensi individu dari masyarakat. Kajian Foucault mengenai dimensi normal dan abnormal manusia serta perilaku dan tatapan mata yang membendakan menunjukkan perihal tersebut, begitu pula kritik Derrida atas potlatch serta forgiveness and hospitality melalui metode dekonstruksi yang mengisyaratkan kesangsiannya atas hubungan interaksi sosial yang benar-benar murni dan sejati. Dengan kata lain, dekonstruksi Derrida menghasilkan sebuah kesimpulan taktis bahwa setiap hubungan yang terjalin antarindividu—interaksi sosial—selalu diliputi oleh motif-motif kepentingan praktis, berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan adalah nonsense.
Dalam hal ini, kiranya filsafat sosial-eksistensialisme Sartre dapatlah tetap didaulat meradikalkan pemikiran kedua tokoh Sosiologi Postmodern di atas—Foucault dan Derrida. Hal tersebut mengingat; pertama, meskipun Foucault menarik garis pemisah yang jelas antara individu dan masyarakat serta mengungkap kerapnya “pembendaan” yang terjadi pada manusia melalui tatapan mata, namun ia tak memiliki respon yang tegas atasnya kemudian. Sebagai misal, dalam menanggapi berbagai hal tersebut Sartre menegaskan bahwa, “Other is hell!” (“Orang lain adalah neraka!”), dan sama sekali menolak hubungan interaksi sosial. Sedang, Foucault tak memberikan respon apapun atasnya, seolah, “masyarakat memang menindas individu, namun memang demikianlah adanya...”. Lebih jauh, buah pemikiran Foucault sekedar berakhir pada relativisme dan skeptisisme yang telah jauh-jauh hari ditemui pula pada konstruksi filsafat Barat.
Kedua, argumen radikalisasi filsafat sosial-eksistensialisme Sartre terhadap filsafat sosial Foucault dapat pula diterapkan pada Derrida. Dalam hal ini, Derrida tak memberikan respon yang tegas pula terkait kedudukan individu dalam masyarakat meskipun berbagai persoalan pelik ditemui di dalamnya. Kuasa subyek atas realitas serta kritik terhadap potlatch berikut forgiveness and hospitality hanya berakhir pada sebuah kesangsian total akan segala hal. Namun, kesangsian tersebut tak menghasilkan “tindak lanjut” sebagaimana ditemui pula pada relativisme dan skeptisisme Foucault. Hal tersebut, jauh berbeda dengan pandangan Sartre yang menyatakan, “Kesadaran merupakan spontanitas impersonal yang lahir melalui ex-nihillo”. Artinya, justru melalui kekosongan-kekosongan tersebutlah kemudian manusia bertindak; menempatkan orang lain sebagai “neraka”; memilih kesendirian, keterasingan dan keterkucilan sebagai jalan hidup; bahkan melegalkan tindakan “bunuh diri”.
Kiranya, ke-sinis-an pemahaman postmodern terhadap konsep “kesadaran”—menurutnya adalah warisan “usang” modernitas—membuatnya tak berdaya pada level praksis, sedang sintesis pemikiran Foucault dan Derrida akan marxisme membuatnya tak mampu bertindak tegas dan radikal terhadap masyarakat. Oleh karenanya, tak mengherankan jika Jurgen Habermas “melecehkan” teori-teori sosial postmodern sebagai naratif kosong tanpa arti, “pisau tumpul” yang tak mampu merambah aspek praksis (praktek lapangan)—opini-opini tanpa makna.[46]
Namun demikian, lebih dari semuanya, kiranya dapatlah ditelisik secara tegas dan jelas sekali lagi bahwa konsep interaksi sosial-eksistensialisme Sartre meradikalkan perspektif mikrososiologi usungan Sosiologi Kritis-Erich Fromm dan Jurgen Habermas berikut Sosiologi Postmodern-Mitchel Foucault dan Jacques Derrida. Filsafat sosial-eksistensialisme Sartre mampu merespon serta memberikan penegasan yang “setegas-tegasnya” akan oposisi biner yang terjadi antara individu dengan masyarakat. Lebih dari itu, ia pun mampu mengkonstruksi jalan hidup bagi dirinya sendiri.
[1] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Kanisius, h. 73 & Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2003, h. 2.
[2] Gordon Marshall, A Dictionary of Sociology, Oxford University Press, New York, 1998, h. 628.
[3] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, Rosda, Bandung, 2003, h. 195.
[4] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, h. 264.
[5] Ibid., h. 256.
[6] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, New York, 1992, h. 345.
[7] Ibid., h. 353.
[8] Ibid., h. 344.
[9] Ibid., h. 349.
[10] Ibid., h. 353.
[11] Ibid., h. 344.
[12] Ibid., h. 475.
[13] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 36.
[14] Gordon Marshall, op. cit., h. 625.
[15] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 440-442.
[16] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, h. 44-45.
[17] Jean Paul Sartre, Nausea, New Directions, New York, 1964, h. 180.
[18] Donald D. Palmer, op. cit., h. 20.
[19] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hagemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, h. 123-125.
[20] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, h. 102.
[21] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 367.
[22] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, h. 475.
[23] Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1993, h. 14.
[24] Donald D. Palmer, op. cit., h. 117.
[25] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Kanisius, h.
[26] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 71.
[27] Penggunaan istilah “mikrososiologi” serta “makrososiologi” di sini tidaklah sebagaimana penggunaannya secara umum. Bilamana “mikrososiologi” kerap ditujukan bagi teori sekaligus metode dalam Sosiologi Modern layaknya fenomenologi dan interaksionisme simbolik, sedang “makrososiologi” pada struktural fungsionalisme serta teori konflik, maka dalam pembahasan ini “mikrososiologi” ditujukan pada berbagai konsep berikut teori sosiologi yang menekankan eksistensi subyek atas realitas sosial tanpa terpaku pada periodesasi disiplin sosiologi (klasik, modern, postmodern hingga kritik), dan demikian pula halnya dengan “makrososiologi”: menekankan kuasa sosial atas individu tanpa terpaku pada periodesasi disiplin sosiologi.
[28] Selengkapnya lihat Mark Granovetter-Richard Swedberg, The Sociology of Economic Life, Westview Press, San Francisco, 1992 & Stewart R. Clegg, Roti Perancis, Fashion Italia dan Bisnis Asia (Fenomena Posmodernisme dalam Dunia Bisnis), Tiara Wacana, Yogyakarta, 1996.
[29] Selengkapnya lihat S. Gordon Redding, Jiwa Kapitalisme Cina, Abdi Tandur, Jakarta, 1994.
[30] Haryatmoko, “Kutukan Logika Ekonomi: Tak Mungkin Memberi Tanpa Mengharap Kembali”, Basis No. 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005, h. 9-10.
[31] Sunyoto Usman, Sosiologi: Sejarah, teori dan Metodologi, Cired, Yogyaklarta, 2004, h.
[32] Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, h. xiii, 14 & 192.
[33] Jurgen Habermas, Ruang Publik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2010, h. 5 & 7-9.
[34] Ibid., h. 2.
[35] Ibid., h. 189-190 & 195
[36] Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, h. 321-322.
[37] Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1994, h. 4.
[38] Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 338.
[39] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2008, h. 66 & 76
[40] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 59-61.
[41] Lydia Alix Fillingham, Foucault Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2001, h. 48.
[42] Ibid., h. 61.
[43] Haryatmoko, op.cit., h. 9-10.
[44] Loc. cit.
[45] Jacques Derrida, Kosmopolitanisme dan Forgiveness, Alenia, Yogyakarta, 2005, h. 7 & 14.
[46] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar