IV
KEDUDUKAN KONSEP INTERAKSI SOSIAL EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE
DALAM BERBAGAI PARADIGMA SOSIOLOGI
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
“Oleh karena itu, anda dapat melihat bahwa
ada kemungkinan untuk membangun suatu masyarakat manusia.”
(Sartre)
Sekilas Disiplin Sosiologi: Akar Sejarah dan Perkembangannya
Secara etimologis, terminus “sosiologi” tersusun atas dua kata, socius yang berasal dari bahasa Latin dan berarti companion ‘kawan’ serta ology yang berasal dari bahasa Yunani dan berarti study of ‘belajar mengenai’, sehingga secara umum sosiologi dapat diinterpretasikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya atau “studi mengenai masyarakat”. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pengertian sosiologi telah lama menjadi perdebatan para pakar dan menguat kembali di era 60-an ketika Departemen Sosiologi Inggris dituduh mendalangi sejumlah aksi kerusuhan mahasiswa.[1]
Di satu sisi, penelusuran pada akar sejarah sosiologi tak dapat lepas dari seorang tokoh kenamaan Perancis, Auguste Comte yang untuk pertama kalinya mencetuskan istilah tersebut. Pada mulanya, Comte mengembangkan “fisika sosial” yang kemudian pada 1839 disebutnya sebagai sosiologi. Penggunaan istilah “fisika sosial” secara ekplisit menunjukkan minatnya atas studi masyarakat yang mengacu pada ilmu-ilmu alam (eksakta), hal ini diperkuat dengan objek kajian sosiologi Comte berupa statistik sosial atau struktur sosial serta dinamika sosial atau perubahan sosial dengan tujuan merumuskan hukum-hukum kehidupan sosial. Pandangan Comte yang mengisyaratkan kemungkinan pengukuran dan prediksi atas berbagai fenomena sosial tersebut kemudian dikenal dengan sebutan positivisme atau filsafat positif—sesuai dengan the law of three stages yang dicetuskannya. Pada awal perumusan dan berdirinya disiplin sosiologi tak pelak pandangan Comte—yang kemudian dikenal sebagai “bapak positivisme”—sempat mendominasi pemikir-pemikir sosial setelahnya, antara lain John Stuart Mill, Herbert Spencer dan Emile Durkheim.[2]
Positivisme yang berasal dari kata “positif” dalam hal ini tidaklah diartikan sebagai “positif” yang dimaknai baik, istilah “positif” yang tertuang dalam prakata Cours de Philosophie Positive Comte diartikan sebagai teori yang bertujuan menyusun fakta-fakta yang teramati, dengan kata lain, kata positif disamakan dengan “faktual” atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dengan demikian positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta yang ada.[3]
Di satu sisi, kemunculan positivisme pada abad ke-19 dalam studi ilmu-ilmu sosial tak lepas dari latar belakang sejarah situasi serta kondisi yang mendahuluinya. Renaissance ‘pencerahan’ Eropa pada abad 15-18 yang digawangi Rene Descartes dengan semboyannya cogito ergo sum ‘saya berpikir maka saya ada’ menjadikan akal budi, rasio atau pikiran manusia sebagai yang utama, hal tersebut ditempuh sebagai upaya menemukan sebuah fundamen pasti dan tak tergoyahkan layaknya aksioma dalam ilmu-ilmu eksakta bagi filsafat—inilah yang kemudian melahirkan gerakan besar pemikiran yang dikenal dengan nama rasionalisme. Tak hanya Descartes, Thomas Hobbes dan John Locke memiliki pengaruh besar pula dalam kelahiran positivisme Comte, kedua tokoh ini memperkenalkan pandangan radikalnya terkait penolakan terhadap pengetahuan yang apriori—bertentangan dengan kubu rasionalisme. Hobbes yang dikenal pula sebagai “bapak kemandirian filsafat” beranggapan bahwa segala sesuatu yang menjadi objek filsafat haruslah segala sesuatu yang terindera manusia, melalui pandangannya tersebut dapat dikatakan bahwa Hobbes begitu menolak unsur-unsur metafisika dalam filsafat. Dalam De Homine, Hobbes beranggapan bahwa perasaan-perasaan dalam diri manusia adalah berbagai masukan dari luar melalui pancainderanya. Sama halnya dengan Hobbes, dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan bahwa anggapan filsuf rasionalis mengenai ide-ide atas kenyataan telah dimiliki sejak lahir tidaklah terbukti dalam kenyataan, sebaliknya ia menganggap bahwa pikiran anak yang baru lahir sebagai ‘tabula rasa’ yaitu kertas kosong dan baru dalam pengenalannya terhadap dunia luar, pengalamanlah yang memberikan kesan dalam pikirannya.[4]
Apabila dicermati lebih jauh, maka ditemui perbedaan yang tegas dan mendasar di antara kedua mahzab pemikiran di atas, usaha guna lebih memperjelas perbedaan di antara keduanya melalui penjelasan filsafat tak dipungkiri berpotensi besar menjebak dalam kubangan tautologi[5]. Oleh karenanya, penjelasan mengenai perbedaan antara keduanya lebih mudah dicontohkan melalui perdebatan antara kaum rasionalis dengan kaum empiris mengenai sebuah kursi. Kaum rasionalis beranggapan bahwa seseorang mengetahui kegunaan sebuah kursi karena terlebih dahulu telah mengkonsepnya dalam pikiran, bahwa benda yang demikian dapat digunakan untuk duduk dan sebagainya. Sebaliknya dengan kaum empiris yang beranggapan bahwa seseorang mengetahui kegunaan sebuah kursi karena sebelumnya melihat orang lain menggunakan benda tersebut atau sebelumnya memperoleh informasi mengenai kegunaan benda tersebut (previous information). Dengan demikian, dapatlah ditarik garis damarkasi yang jelas antarkeduanya terkait pengetahuan yang apriori ataukah aposteriori, pengetahuan yang mendahului pengalaman ataukah melalui pengalaman.
Namun demikian, di tangan Comte perbedaan yang jelas dan tegas antara kedua mahzab besar pemikiran di atas mampu teramu dalam positivisme yang dicetuskannya.[6] Comte sepakat dengan Descartes dan Newton terkait ilmu pasti sebagai dasar segala filsafat, hal ini dikarenakan dalil-dalil yang bersifat umum, sederhana dan abstrak yang dimiliki ilmu pasti.[7] Di satu sisi, ia meyakini empirisme melalui upaya serta kemampuan mendapatkan ide dalam kehidupan nyata dan mengujinya pada kehidupan nyata pula. Berpijak melalui hal tersebut, dapatlah ditilik lebih jauh bahwa filsafat positif merupakan sebentuk elaborasi antara riset empiris dan pertimbangan akal dengan model fisika Newton terutama.[8] Pada tahapan ini dimulailah penerapan metode ilmiah guna mencari solusi atas berbagai masalah sosial yang ada, penerapan tersebut diikuti pula dengan keyakinan dan asumsi bahwa alam fisik yang didominasi oleh hukum-hukum alam sehingga demikian halnya dengan dunia sosial yang ditentukan oleh hukum tertentu.[9]
Berbagai sintesis pemikiran yang memiliki andil atas terbentuknya positivisme kemudian melahirkan beberapa karakteristik yang khas bagi pandangan tersebut, antara lain berpangkal pada segala sesuatu yang diketahui atau faktual berupa penampakkan atau gejala, segala uraian dan persoalan yang berada di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan, usaha mengatur berbagai fakta dalam hukum-hukum tertentu, setelah pengaturan atas berbagai hukum dilakukan maka berpangkal pada hukum-hukum tersebut upaya melihat masa depan dilakukan, pada apa yang akan tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum tersebut. Melalui berbagai karakteristik tersebut, positivisme menegaskan bahwa arti segala ilmu pengetahuan ialah “mengetahui untuk melihat masa depan” sehingga tidak begitu penting mengetahui hakekat atau sebab-sebab dari gejala tersebut namun apa yang lebih penting adalah menentukan syarat-syarat di mana fakta-fakta tertentu tampil dan menghubungkannya berdasarkan persamaan dan urutannya.[10]
Pada periode-periode setelahnya, sosiologi pun mengalami perkembangan yang demikian pesat. Disiplin sosiologi tak lagi identik dengan fisika sosial atau positivisme, sebagai misal, beberapa tokoh yang muncul kemudian layaknya Weber dan Berger menolak determinisme ilmu eksakta dalam ilmu sosial. Lebih jauh, George Ritzer, Guru Besar Teori-teori Sosiologi Universitas Maryland, USA merangkum berbagai perkembangan pemikiran yang terjadi dalam sosiologi ke dalam tiga mahzab besar paradigma, antara lain paradigma “fakta sosial”, “paradigma definisi sosial” serta “paradigma perilaku sosial”. Sebagaimana judul yang tersematkan dalam eksemplarnya, Ritzer menganggap bahwa sosiologi merupakan “disiplin dengan multiparadigma”.
Paradigma Sosiologi: Dari Fakta Sosial hingga Perilaku Sosial
Istilah paradigma dapat didefinisikan dalam beberapa bentuk. Pertama, paradigma dalam arti perspektif atau sudut pandang yang holistik tatkala memandang suatu persoalan. Kedua, paradigma sebagai persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi suatu konstruksi ilmu pengetahuan.[11] Dalam pembahasan ini, penggunaan istilah paradigma lebih dititikberatkan pada pengertiannya yang terakhir, yakni paradigma dalam artian berbagai persoalan mendasar yang dihadapi suatu ilmu pengetahuan. Terkait ragam perkembangan dan percabangan disiplin sosiologi yang demikian pesat, berbagai persoalan mendasar yang mana ditempatkan pula sebagai komponen pembeda antara paradigma satu atas paradigma lainnya adalah “objek studi” berikut “metode” yang digunakan dalam disiplin tersebut. Di samping objek studi serta metode yang digunakan, prasyarat lain yang harus dipenuhi dalam terumus dan terbentuknya suatu paradigma adalah eksistensi “tokoh acuan”, “eksemplar” berikut berbagai “teori” yang ditelurkannya.[12]
Paradigma pertama, yakni “fakta sosial”, Emile Durkheim berikut eksemplarnya, The Rules of Sociological Method dan Suicide menjadi model atas paradigma terkait. Di sisi lain, objek studi atau permasalahan pokok yang menjadi perhatian dalam paradigma tersebut adalah “fakta sosial”. Dengan kata lain, objek kajian sosiologi bukanlah sebentuk gagasan, ide atau sesuatu yang abstrak, melainkan barang, sesuatu, fakta yang bersifat konkret. Hal tersebut ditunjukkan melalui berbagai studinya atas lembaga sosial serta struktur sosial, sedangkan kerangka teori yang menjadi acuan atau terlingkup dalam paradigma ini antara lain struktural fungsional, teori konflik serta teori sistem. Hal lain yang patut dicermati dalam paradigma ini adalah Durkheim sebagai penganut realisme sosial dengan keyakinan bahwa perihal yang riil adalah masyarakat sehingga dalam pandangannya fenomena sosial yang berserakan di masyarakat adalah nyata dan dapat dikaji melalui metode empiris layaknya perbandingan sejarah serta metode kuantitatif semisal questioner dan bukannya melalui pendekatan filosofis. Pandangan realisme sosial berikut objek kajian beserta metode sosiologi-Durkheim tersebut faktual tak jauh berbeda dari sosiologi-Comte yang positivistik sehingga tak heran Durkheim kerap disebut sebagai pewaris pemikiran Comte.[13]
Paradigma kedua adalah “definisi sosial”, menempatkan Weber sebagai tokoh utama berikut karyanya, The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism sebagai model dalam paradigma tersebut. Apa yang menjadi objek studi atau kajian dalam paradigma definisi sosial adalah tindakan sosial, hubungan sosial dalam bentuk interaksi antara individu satu dengan individu lain berupa tanggapan kreatif atas berbagai rangsangan yang datang dari luar. Guna mengkaji lebih jauh objek studinya, paradigma ini menggunakan teori tindakan, interaksionisme simbolik, etnometodologi serta fenomenologi sebagai pisau bedah, di satu sisi interview, observasi dan observasi partisipatoris menjadi metode penelitian yang dipilih paradigma definisi sosial.[14]
Paradigma definisi sosial memiliki pandangan yang begitu berseberangan atas paradigma fakta sosial. Apabila paradigma fakta sosial mengakui eksistensi masyarakat, menganggapnya sebagai yang riil serta menolak kenyataan sosial yang lahir melalui motivasi individu, maka sebaliknya dengan paradigma definisi sosial, hal ini dipertegas dengan pernyataan Weber, “There’s no thing such social” (“Tidak ada perihal yang dinamakan masyarakat”). Paradigma definisi sosial justru menganggap individu sebagai yang riil, baginya masyarakat hanyalah kumpulan individu dengan berbagai kepentingannya masing-masing, dengan demikian paradigma ini menganggap konsep struktur sosial yang tidak memperhatikan tindakan individu sebagai abstraksi spekulatif tanpa dasar empiris.
Paradigma ketiga, yakni perilaku sosial, menempatkan psikolog B.F Skinner berikut eksemplarnya, Beyond Freedom and Dignify sebagai acuan paradigma di atas. Objek kajian atau permasalahan pokok yang digeluti paradigma perilaku sosial adalah interaksi individu dengan lingkungannya serta perilaku individu terkait reward and punishment yang saling mempengaruhi. Oleh karenanya, teori behavioral dan teori pertukaran menjadi pisau bedah dalam paradigma ini, sedangkan metode yang digunakannya adalah eksperimen.[15]
Kedudukan Konsep Interaksi Sosial
Eksistensialisme Jean Paul Sartre
dalam Paradigma Definisi Sosial-Sosiologi
Perdebatan mengenai objek studi atau kajian berbagai paradigma sosiologi di atas yang mana faktual salah satunya terkait erat dengan “pengakuan” ada-tidaknya suatu entitas bernama masyarakat atau individu secara ekplisit menunjukkan “probabilitas” eksistensialisme tertaut di dalamnya. Dalam hal ini, paradigma definisi sosial Weber menyatakan bahwa empati, simpati, intuisi serta intensionalitas merupakan hal yang esensial bagi suatu kepastian serta keakuratan wawasan yang dapat dipahami secara jelas. Oleh karenanya, Weber memperkenalkan metode verstehen dalam studi sosiologi yang dapat dipostulatkan sebagai arahan untuk tidak mengabaikan tujuan-tujuan atau sadar akan tujuan akhir dalam pikiran aktor, tidak gagal dalam mengetahui bagaimana aktor “mendefinisikan situasi” serta menempatkan berbagai tujuan dan penilaian aktor sebagai relevan secara sebab-akibat atau sebagai variabel-variabel kunci dalam menjelaskan tindakan aktor itu sendiri.[16]
Disadari dan diakui atau tidak, berbagai pemahaman Weber terkait realitas di atas yang mana secara tegas dan jelas menyatakan bahwa individu sebagai yang riil dan bukannya masyarakat menjadi entry point ‘jalan masuk’ bagi eksistensialisme Jean Paul Sartre atas paradigma terkait. Dengan demikian, tak berlebihan kiranya bilamana dikatakan bahwa pada tahapan ini sosiologi telah bertemu dengan eksistensialisme Jean Paul Sartre sehingga “penempatan” salah satu cabang besar filsafat Eropa tersebut dalam salah satu paradigma yang ada dalam sosiologi begitu mungkin dilakukan.
Namun demikian, harus diakui memang apabila penempatan eksistensialisme Jean Paul Sartre ke dalam salah satu paradigma yang ada dalam sosiologi—definisi sosial—menyiratkan terjadinya pe-reduksi-an dan penyederhanaan atasnya. Hal tersebut mengingat perkembangan eksistensialisme Sartre kemudian atas fakta sosial dengan memperhatikan eksistensi individu di dalamnya yang terangkum dalam konsep “eksistensialisme marxis” (marxisme eksistensial). Berbagai landas-dasar pemikiran Sartre mengenai marxisme eksistensial tertuang dalam eksemplar Critique of Dialectical Reason—meskipun memang, pada akhirnya kandas di tengah jalan.[17]
Melalui marxisme eksistensial, Sartre melancarkan kritik keras terhadap penerapan marxisme dalam rezim Soviet-Stalin yang dinilainya mendistorsi dan menindas kedudukan individu. Dengan kata lain, ia berupaya menyelamatkan individu dan kebebasan dari ancaman gaya marxisme monolitik sebagaimana ditunjukkan stalinisme. Terkait mesin pembunuh Soviet tersebut Sartre berkomentar, “Stalin tak seperti Trotsky, ia kurang menghargai aspek-sapek teoretis dari marxisme ... apakah Stalin sungguh-sungguh dibutuhkan sejarah kala itu?”. Seiring dengan mandegnya The Critique of Dialectical Reason, Sartre pun menyatakan sebuah kesimpulan tragis, “Mesin itu (Komunisme-Stalin) tidak dapat diperbaiki; masyarakat Eropa Timur harus menyita dan menghancurkannya”.[18]
Melalui berbagai pemaparan dan penjelasan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa konsep interaksi sosial yang termuat dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre dapat diklasifikasikan ke dalam paradigma definisi sosial sebagai salah satu ragam perkembangan dan percabangan disiplin sosiologi yang demikian pesat.
[1] Gordon Marshall, A Dictionary of Sociology, Oxford University Press, New York, 1998, h. 628-629.
[2] George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 16-20 dan Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1995, h. 109-116.
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, h. 204.
[4] Ibid., h. 34-38 & 65-76.
[5] Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, h. 742 dan Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 6. Tautologi dalam hal ini diartikan dengan mengukang beberapa kali sepatah kata dalam sebuah kalimat penegas makna atau dapat pula diartikan sebagai upaya melakukan penjelasan ulang atas suatu makna yang justru mengaburkan makna tersebut.
[6] Terkait bertemunya rasionalisme dan empirisme dalam positivisme Comte lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 23.
[7] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 112.
[8] Penggunaan fisika Newton sebagai model ilmu sosial untuk pertama kali dipelopori oleh Claude-Henri de Saint Simon (1760-1825) yang juga merupakan guru Comte, lihat F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 201-202.
[9] George Ritzer & Douglas J. Goodman, op. cit., h. 12-13.
[10] Harun Hadiwijono, op. cit., h. 109-110.
[11] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Pers, Jakarta , 2009, h. 6-7.
[12] Ibid., h. 7-9.
[13] Ibid., h. 13-33.
[14] Ibid., h. 37-63.
[15] Ibid., h. 69-81.
[16] Dennis Wrong (ed.), Max Weber Sebuah Khazanah, Ikon, Yogyakarta, 2003, h. 28-29.
[17] Donald D. Palmer, Sartre Untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 123 & 142.
[18] Ibid., h. 140-142.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar