Kamis, 14 Juli 2011

Tubuh Sosial: Melacak “Diskriminasi” di Sekitar Kita

Tubuh Sosial: Melacak “Diskriminasi” di Sekitar Kita
Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Apakah teman sekolah Anda yang lebih cantik/tampan mendapatkan perhatian lebih dari guru?
Apakah kolega Anda yang lebih cantik/tampan lebih mudah mendapatkan pekerjaan?
Kajian mengenai “tubuh sosial” memiliki kualifikasi guna menjawabnya.

…adalah Anthony Synnott, sosiolog asal Montreal, Kanada pelopor kajian mengenai “tubuh sosial”. Ia menghabiskan bertahun-tahun waktu produktifnya untuk mengkaji keterkaitan antara keberadaan (baca: penampakan) body ‘tubuh’ dengan tanggapan/respon masyarakat. Dalam kajiannya, ditemui bahwa pendapat masyarakat luas akan tubuh individu telah terkonstruksi sedemikian rupa dari masa ke masa. Kesemua hal tersebut tak lepas dari konstelasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupinya.

Sebagai misal, tubuh “gemuk” menjadi tren perempuan di era 1950-an, hal tersebut disebabkan oleh konstelasi pasca-Perang Dunia II di mana para pria kembali bekerja setelah berperang-angkat senjata, serta para wanita kembali ke rumah dan disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan rumah tangga; mengurus anak, suami, rumah, dsb. Alhasil, para wanita kala itu tak perlu “berpusing-pusing” mengatur diet. Satu dekade setelahnya, yakni di era 1960-an tubuh “kurus-kerempeng” menjadi tren tubuh wanita. Hal tersebut disebabkan oleh tren “rok mini” yang menunjukkan bentuk kaki panjang dan “ceking” wanita.

Mitos” dan “Katarsis” dalam Tubuh Sosial
Sebagaimana telah disinggung melalui beberapa pertanyaan di atas, apakah Anda pernah mengalaminya? Di mana teman-teman kita yang lebih cantik/tampan mendapatkan perhatian lebih dari guru ketimbang teman-teman lainnya di kelas? Pun, kolega-kolega kita yang lebih cantik/tampan lebih mudah mendapatkan pekerjaan/proyek ketimbang mereka yang tidak? Apabila Anda mengalaminya, maka ada baiknya untuk membaca ulasan singkat mengenai “tubuh sosial” ini.

Serangkaian hal di atas kiranya dapat terjadi dikarenakan beberapa hal, antara lain disebabkan oleh perihal yang dinamakan “mitos” dan “katarsis”. Mitos. Agaknya, telah berkembang luas dalam masyarakat kita kepercayaan bahwa mereka yang cantik/tampan, sekaligus memiliki karakter (baca: sifat) yang baik, pandai dan “lurus” di dalam. Sedangkan, mereka yang jelek/buruk rupa terlabelkan dengan karakter bodoh, “jahat” dan sejenisnya. Penokohan dalam film kiranya dapat pula menunjukkan perihal terkait. Dalam kacamata sosiologis, mitos tersebut sengaja diciptakan dan dipelihara demi “kepentingan” pihak-pihak tertentu. Sebagai misal, mereka yang “kurang beruntung” secara fisik kemudian berbondong-bondong menyambangi klinik-klinik kecantikan atau perawatan tubuh diakibatkan berkembangnya mitos tersebut. Dapat ditebak, siapakah yang paling diuntungkan dengan keadaan di atas. Dalam hal ini, baik media film, sinetron maupun iklan menjadi penjaga gawang utama pelestarian mitos tersebut.

“Semakin mereka menangis, semakin mereka membeli…”
(Slogan terselubung salah satu produk kecantikan kenamaan dunia)

Masih terkait dengan mitos, harus diakui memang keindahan memiliki efek positif pada setiap kita, begitu pula individu-individu dengan kecantikan dan ketampanannya. Memandang mereka—lawan jenis—yang cantik atau tampan seakan membangkitkan selera (baca: semangat) tersendiri. Dengan demikian, tak heran para guru di kelas atau atasan di kantor lebih menaruh perhatian pada mereka, tak mengejutkan pula bila terkadang mereka (si cantik/si tampan) mendapatkan berbagai bentuk “kelapangan” dan “kemudahan” (dispensasi). Dengan kata lain, memandang mereka dapatlah dikatakan sebagai bentuk “keasyikan kecil” atau penyegaran pikiran (baca: refreshing) tersendiri. Namun demikian, perlu diingat bahwa sekejap hal tersebut dapat sirna bilamana ditemui bahwa keindahan si cantik atau si tampan tak berbanding lurus dengan kepribadiannya. Ujung-ujungnya, hal tersebut hanya akan berakhir sebagai “sampah visual”, dibarengi berbagai komentar negatif semisal; “Dia cantik, tapi sayang….”, “Dia tampan, namun sayang…”, dsj.       

Katarsis. Istilah “katarsis” di sini sebagaimana pengertiannya secara umum dalam ranah psikologi, yakni “sebentuk pengimpasan kekalutan atau ketegangan pada orang lain”.[1] Pengkajian terkait berhubungan erat dengan konsep/fenomena “idola” atau “fans”. Lebih jauh, mereka dengan fisik yang kurang menarik berkecenderungan bermimpi (berandai-andai) memiliki fisik yang lebih baik atau sempurna, namun karena hal tersebut tak kunjung jua terwujud, segenap ritual dan pemujaan pun tak dapat mereka tujukan pada diri sendiri, beralihlah ritual dan pemujaan tersebut pada “orang lain”. Di sinilah katarsis bermain, dan di sini pula lah fenomena “mengidolakan” atau menjadi “fans” tokoh tertentu menjadi maklum adanya. Dengan kata lain, mereka menyerahkan pemujaan atas diri kepada orang lain, mengingat secara psikologis individu selalu menganggap dirinya “baik”, sedang individu lain “buruk”.  



Di kelas, bisa jadi mereka para guru mendambakan memiliki anak-anak yang cantik atau tampan di rumah, namun kenyataan berkata lain. Beralihlah segenap kasih sayang dan perhatiannya pada anak-anak yang mampu mewujudkan impiannya, atau para guru dengan tampang “pas-pasan” berandai-andai memiliki wajah cantik/tampan semasa kecil layaknya sang murid di kelas. Banyak argumen guna menjelaskan katarsis terkait… Begitu pula, di kantor, bisa jadi sang atasan mengalami kekecewaan fisik atas pasangan hidupnya sehingga kemudian ia menempatkan “tipe ideal pasangan” bukan lagi pada suami atau istrinya di rumah, melainkan pada bawahan lawan jenisnya di kantor. Atau, apabila sesama jenis, sang atasan memiliki impian untuk dapat tampil secantik atau setampan mereka, namun karena hal tersebut musykil mengingat faktor “usia”, maka beralihlah pada sebentuk katarsis: pemujaan secara sadar maupun tak sadar.    
   
Solusi: Melawan Hagemoni
Hagemoni adalah ruang kekuasaan di mana semua dari kita terlingkup (baca: berada) di dalamnya. Ia dapat menemui bentuknya sebagai perihal yang konkret maupun abstrak. Pada age of fashion ‘era penampilan’ dewasa ini di mana hagemoni yang berlangsung bersifat konkret, terbersit sebuah tanya: “Lalu, bagaimana dengan mereka yang tak berpenampilan menarik dan memiliki ‘serba’ kekurangan fisik?” Apakah mereka disyaratkan pasrah begitu saja, hanyut dalam kubangan ke-minder-an berikut ketidakpercayaan diri akut? Jawabnya simpel: melawan. Dimana ada hagemoni, di situ ada ruang untuk melawan hagemoni.


Bagi mereka, siswa atau pelajar yang tak mendapat perhatian semestinya dari guru, disarankan untuk belajar dan berlatih lebih giat guna mendongkrak prestasi akademik maupun nonakademik. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya guna mendudukkan “tolak ukur penilaian” sebagaimana mestinya, di mana dalam ruang kelas, kepandaian dan kecerdasan lah yang menjadi tolak ukur, bukannya kecantikan dan ketampanan.[2] Di sisi lain, mereka para bawahan yang tak mendapat perhatian semestinya dari atasan, seyogyanya meningkatkan profesionalitas kerja guna menunjukkan betapa sesungguhnya mereka “lebih berguna” serta deserve ‘layak’ untuk dihargai (baca: diperhatikan). Masih dengan alasan yang sama, hal tersebut dilakukan guna mendudukkan tolak ukur penilaian pada tempatnya, presetasi kerjalah yang bermain di kantor, bukannya kecantikan atau ketampanan.

Tegas dan jelasnya, kesemua hal di atas tidaklah dilakukan sebagai upaya untuk “cari muka” atau sejenisnya, melainkan sebagai upaya perlawanan terhadap “diskriminasi” yang dibawa “tubuh sosial”. Dan harus diakui memang, kedekatan berikut perhatian yang diberikan pihak lain kerap memberikan kemudahan (baca: akses) tersendiri agaknya, tentunya hal tersebut sangat berguna di era persaingan antarmanusia yang kian ketat dan “beringas” dewasa ini.           



*****


Referensi:

  • Synnott, Anthony. 2007. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra.
  • Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara.



[1] Dapat berbentuk perhatian, pemujaan, pelampiasan, fitnah dan lain sejenisnya.
[2] Pun demikian, telah menjadi hal yang wajar apabila siswa/siswi dengan penampilan fisik yang kurang menarik menjadikan prestasi sebagai kompensasi atasnya—mereka kemudian lebih terfokus pada studinya, bukan penampilan fisik.

2 komentar:

  1. Sebetulnya, belakangan ini para Dokter Gigi Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofacial (bedah wajah) dan para Psikolog Evolusioner menemukan bahwa kecantikan dan ketampanan manusia tidaklah subyektif / relatif atau masalah selera. "Vitruvian Man" adalah panduan untuk menilai proporsi dan simetri tubuh manusia dan seorang Drg Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial berhasil memetakan bentuk wajah manusia yang cantik dan tampan dengan menggunakan Topeng Kecantikannya yang disebut "The Golden Facial Mask" / "Golden Decagon Mask".
    Anda bisa lihat Film Dokumentasi dari BBC The Human Face (4 Episode), Discovery Channel: Science of Sex Appeal, National Geographic Channel: Brain Games season 3: Law of Attraction yang bahkan dalam situs web nya The Brain Games Anda bisa mencoba mengambil tes kecil untuk menilai rupa fisik dan wajah manusia. Juga lewat situs web Drg Stephen Marquardt: Marquardt Beauty Analisis. Semoga bisa membantu anda. 😃😃

    BalasHapus