Sabtu, 09 Juli 2011

Uang: Hasil Kebudayaan Manusia yang Paling Buruk?

Uang: Hasil Kebudayaan Manusia yang Paling Buruk?
By Wahyu Budi Nugroho


“Berbicara masalah uang, setiap orang masuk ke dalam agama yang sama…”
(Voltaire)

“Uang adalah hasil kebudayaan manusia yang paling buruk”. Demikian ungkap Sophocles (496-406 SM), satu di antara banyak penulis drama tragedi Yunani; Homerus, Euripides dan Aeschylus. Setidaknya, terdapat beberapa alasan yang dapat membenarkan pernyataan Sophocles: pertama, uang menciptakan “dehumanisasi”; dan kedua, uang memunculkan perihal yang diistilahkan sebagai “dekulturasi”.

Dehumanisasi
Mengapa uang dapat menciptakan dehumanisasi? Jawabnya singkat: karena uang memiliki kekuatan untuk “meng-kuantitatif-kan” segala sesuatu. Apa yang dimaksudkan di sini adalah, uang dapat menjadi tolak ukur atas segala sesuatu dewasa ini, termasuk “perasaan” manusia.[1] Bisa jadi, ini adalah kekuatan paling hebat sekaligus paling “memuakkan” dari uang. Bayangkan, perasaan manusia yang seyogyanya bersifat abstrak, dapat di-kuantitatif-kan (baca: diukur) dengan uang. Hal tersebut salah satunya tampak melalui beberapa kasus perceraian yang terjadi akhir-akhir ini, salah seorang pasangan bersedia diceraikan pasangannya asalkan dengan kompensasi “sejumlah rupiah”. Begitu pula, uang menjadi tolak ukur dari “cinta” saat ini, mungkin tak asing lagi di telinga kita guyonan seperti, “Ada uang abang kusayang, tak ada uang abang kutendang”, dan faktanya perihal tersebut benar-benar terjadi di tengah masyarakat kita. Di lapangan, ditemui beberapa kasus seperti, istri yang tak mau disenggamai oleh suaminya dikarenakan sang suami pulang tak membawa uang, atau suami yang menjual istrinya untuk melunasi banyak hutang yang dibuatnya. Diakui atau tidak, berbagai hal tersebut sudah out of our senses ‘di luar akal sehat kita’, kini cinta tak dibalas lagi dengan cinta, perasaan tak berbalas perasaan, melainkan dengan uang. Oleh karenanya, bagaimana mungkin kita mengharapkan dimensi kemanusiaan yang utuh pada diri kita apabila uang telah terpenetrasi dalam segenap jiwa dan pikiran kita.


Di sisi lain, terdapat istilah “candu uang”, yakni istilah bagi mereka yang memiliki perasaan bahagia tingkat tinggi (baca: “ektase”) kala memiliki banyak uang, namun seketika “drop”, sedih tak terperi apabila uang yang dimilikinya habis. Dapatlah dilihat, betapa uang mengambil banyak bagian dalam sendi-sendi kemanusiaan kita. Kini, perasaan manusia tak ditentukan lagi oleh perasaan atau kemanusiaan itu sendiri, melainkan banyak-sedikitnya uang yang dimiliki. Kiranya, berbagai hal tersebut secara ekplisit menunjukkan betapa uang berimplikasi pada dehumanisasi manusia: manusia bukan manusia.

“Lebih baik aku menangis di jok belakang BMW,
ketimbang tersenyum bahagia di belakang boncengan sepeda…”
(Pepatah para gadis di Cina saat ini)

Dekulturasi             
Disenhancment of the world! ‘hilangnya pesona dunia!’. Max Weber untuk pertama kali menggunakan istilah tersebut guna menggambarkan implikasi akut dari komodifikasi (peng-uang-an segala sesuatu) yang dibawa modernisasi.[2] Disadari atau tidak, komodifikasi berdampak pula pada “desakralisasi”, yakni berkurangnya—bahkan hilangnya—kesakralan dari suatu budaya (tradisi) dalam masyarakat. Dengan kata lain, kini hal-hal mistis dapat pula “di-uang-kan”. Sebagai misal, tari Bedhaya Ketawang Kraton yang dulunya tak dapat disaksikan sembarang orang, kini dapat disaksikan siapa pun, asal membayarkan sejumlah uang. Tak pelak, sejumlah pengamat kebudayaan lokal pun melontarkan istilah “desakralisasi Kraton” terkait persoalan tersebut. Begitu pula, tempat-tempat mistis yang dikeramatkan masyarakat lokal dan tak sembarang orang dapat mengunjunginya, kini ter-ekspos secara bebas dalam balutan “wisata kebudayaan”. Tegas dan jelasnya, wisata kebudayaan yang kerap digadang sebagai pelestari kebudayaan lokal (baca: local genious) berikut penambah income masyarakat, pastilah berdampak pada desakralisasi kebudayaan yang akhirnya menciptakan “dekulturasi”: pereduksian budaya/hilangnya makna asli dari kebudayaan itu sendiri. Dan, apabila hal tersebut telah terjadi secara masif, maka tak mengherankan jika dampak yang ditimbulkannya kemudian adalah “hilangnya pesona dunia”.    


Referensi:
  •   Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.
  •   Smith, Linda & Raeper, William. 2000. Ide-Ide. Yogyakarta: Kanisius.
  •   Soekanto, Soerjono. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: Rajawali Pers.
  •   Schroeder, Ralph. 2002. Max Weber tentang Hagemoni Sistem Kepercayaan. Yogyakarta: Kanisius.
  • Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.





[1] Lebih jauh, baca analisis George Simmel mengenai “Sosiologi Uang”.
[2] Dalam ranah berlainan, Simmel menggunakan istilah “monetisasi”. 

2 komentar: