V
PRAKSIS DAN RELEVANSI KONSEP INTERAKSI SOSIAL
EKSISTENSIALISME JEAN PAUL SARTRE DEWASA INI
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
“Ketika anda memilih, berarti anda memilih untuk seluruh umat manusia.”
(Sartre)
Bab terkait menguraikan pemaparan berbagai praksis dan argumen relevansi konsep interaksi sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre di era kontemporer. Dengan kata lain, bab terkait mengulas berbagai deskriptif (penggambaran) atas praktek konsep interaksi sosial-eksistensialisme Sartre dalam “kehidupan sehari-hari” berikut aspek “kemanfaatannya” dalam kerangka sosiologis—hubungan antara individu dengan individu serta masyarakat.
Perlu dijelaskan pula kiranya bahwa eksistensialis (seseorang yang menganut pemahaman eksistensialisme) yang dimaksudkan di sini tidaklah harus dan pasti mereka yang membaca berbagai ide dan pemikiran Sartre yang tertuang dalam ribuan halaman bereksemplar-eksemplar buah karyanya berikut mereka yang meyakini dalil “eksistensi mendahului esensi”, melainkan dapat pula label eksistensialis yang tersematkan dikarenakan kemiripan beberapa sifat dan karakter seseorang atas pemahaman eksistensialisme. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Sartre bahwa ketika seseorang tengah nervous, merasa malu, terasing serta terkucil, maka ia telah menjadi seorang eksistensialis.[1] Artinya, untuk menjadi seorang eksistensialis seseorang tidak harus melahap, memahami dan meyakini berbagai pemikiran para tokoh eksistensialis yang terkerangka dalam berbagai buah karyanya. Bisa jadi, seseorang menjadi eksistensialis tanpa kesemua hal di atas berikut tanpa menyadarinya atau tanpa sepengetahuan dirinya.[2]
Lebih jauh, bab ini dipaparkan dalam tiga bagian pembahasan. Pertama, pembahasan mengenai metode terapi kejiwaan yang diistilahkan Sartre dengan “psikoanalisis eksistensial” sebagai landas-dasar dan pijakan atas praksis serta relevansi konsep interaksi sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre, sekaligus menempatkannya sebagai pra-Ekplanasi sebelum melakukan pengkajian pada ranah yang lebih luas. Kedua, praksis dan relevansi filsafat sosial-eksistensialisme Sartre sebagai solusi mengatasi batasan-batasan mental manusia dalam hubungannya dengan penciptaan para tokoh besar dunia, dan ketiga, praksis serta relevansi filsafat sosial-eksistensialisme Sartre sebagai solusi alternatif mengatasi one dimensional society sebagaimana diistilahkan intelektual kenamaan Mahzab Frankfurt, Herbert Marcuse.
Psikoanalisis Eksistensial sebagai Metode Penemuan Proyek Diri
Sebagaimana kita ketahui, psikoanalisis merupakan sebentuk metode psikologi yang dicetuskan seorang psikolog kenamaan Austria, Sigmund Freud. Psikoanalisis sendiri merupakan suatu metode kejiwaan guna mengatasi neurosis dan psikosa dengan melibatkan permainan id (das es), ego dan super-Ego di dalamnya dengan teknis yang cukup sederhana di mana seorang psikolog atau psikiater cukup mendengarkan berbagai keluhan, trauma dan ketakutan sang pasien dan sesekali memberikannya nasehat.[3]
Tak dapat dipungkiri bahwa Sartre terpengaruh oleh psikoanalisis-Freud dan menempatkannya dalam kerangka eksistensialisme. Meskipun faktual ditemui perbedaan mendasar atas keduanya terkait konsep “kesadaran” pada diri manusia, namun Sartre sependapat dengan Freud mengenai jiwa dan badan sebagai suatu totalitas (kesatuan).[4] Di satu sisi, apabila psikoanalisis-Freud berupaya mencari solusi (baca: jalan) atas berbagai hasrat dalam diri yang terkekang baik secara implisit maupun ekplisit, maka psikoanalisis Sartre sebagaimana dinyatakannya, “...berupaya mengungkapkan totalitas gerak hati terhadap ada, relasi asli dengan dirinya sendiri, dengan dunia, dengan sesamanya dalam kesatuan relasi-relasi internal dan proyek fundamental”.[5] Melalui kalimat ringkas dan lebih sederhana, psikoanalisis-Sartre berupaya menemukan “multirelasi” antara suatu diri dengan dirinya sendiri, suatu diri dengan orang lain serta suatu diri dengan dunianya dalam kerangka proyek awal yang membentuknya. Setelah tahapan tersebut tercapai, maka langkah selanjutnya adalah membentuk proyek diri yang baru dengan tekanan eksistensinya sebagai makhluk yang bebas, tak terikat oleh hukum apapun, bahkan kebebasan itu sendiri sehingga berbagai bentuk trauma dan ketakutan masa lalu pun secara tak langsung teratasi. Metode tersebutlah yang kemudian dinamakan Sartre sebagai psikoanalisis eksistensial.
Metode psikoanalisis eksistensial Sartre begitu kental terkait dengan konsepnya mengenai faktisitas. Sartre mendefinisikan faktisitas sebagai “fakta-fakta” dalam kehidupan manusia yang “tak dapat ditiadakan”. Hal tersebut dapat dimisalkan dengan tempat dan waktu di mana individu dilahirkan, kondisi fisik bawaan individu semenjak lahir, peristiwa-peristiwa yang pernah dialami, berbagai keputusan yang pernah ditentukan dalam kehidupan dan lain sebagainya. Menurut Sartre, karena faktisitas tak dapat ditiadakan maka manusia hanya dapat “melupakan”, “mengolah” berikut “memanipulasinya”, atau secara ringkas dan tegas, “memaknainya” kemudian. Hal tersebut mengingat pemahamannya tentang realitas (berada dalam dirinya sendiri) yang tak bermakna sebelum dimaknai oleh suatu kesadaran (berada bagi dirinya sendiri), yakni manusia. Rentetan pemikiran di atas faktual menghasilkan ekses pemahaman berupa: usaha mencari perihal positif di balik berbagai hal negatif (baca: bencana/malapetaka).
Sebagai misal, Sartre mendeskripsikannya dengan kisah empat orang pendaki gunung yang terhenti akibat bongkahan batu besar menghalangi jalan mereka. Dalam kisah tersebut, ditemui beragam pilihan berbeda yang diambil masing-masing pendaki. Pendaki pertama memilih untuk menyerah dan menganggap batu tersebut sebagai penghalang dan pembunuh kesenangannya, pendaki kedua terkagum-kagum dengan bongkahan batu yang demikian besar tersebut berikut pemandangan yang melatarbelakanginya, ia pun segera mengambil kamera untuk memotretnya. Di sisi lain, pendaki ketiga tertarik dengan komposisi geologis yang menyusun batu besar tersebut, sedangkan pendaki keempat berupaya dengan sekuat tenaga menyingkirkan bongkahan batu besar yang menghalangi pendakiaannya. Melalui serangkaian kisah di atas, dapatlah ditelisik bahwa pendaki pertama menjadikan bongkahan batu besar tersebut sebagai petakanya, pendaki kedua menjadikan batu besar tersebut sebagai objek estetikanya, kemudian pendaki ketiga menjadikannya sebagai objek penelitian ilmiah, sedangkan pendaki terakhir menganggap batu tersebut sebagai suatu tantangan untuk dihadapi. Melalui kisah tersebut, Sartre hendak mengatakan bahwa selalu terdapat pilihan bebas dengan berbagai bobotnya dalam situasi terburuk sekalipun. Dalam hal ini bahkan, terdapat pilihan ter-radikal atas berbagai pilihan lain, yakni “bunuh diri”.[6]
Dalam ranah sejarah, hal di atas dapat dimisalkan dengan Adolf Hitler yang membatalkan niatnya untuk bunuh diri setelah kudeta pertama yang dilakukannya gagal.[7] Begitu pula dengan Fidel Castro yang melanjutkan perjuangan revolusi setelah sempat tertangkap dan dipenjarakan rezim Batista. Apabila pemikiran kritis atasnya dilayangkan, yakni bilamana Hitler kala itu memutuskan untuk bunuh diri, atau Castro memilih hengkang dari perjuangan revolusi, maka bisa jadi dunia tidak akan menyaksikan tragedi kelam holocaust, dan boleh jadi juga dunia takkan menyaksikan negara kecil-Kuba yang tetap keukeuh berdiri di atas panji-panji sosialisme hingga kini. Oleh karenanya, psikoanalisis eksistensial Sartre mengingatkan bahwa, “Tanggung jawab yang dipikul setiap manusia jauh lebih besar daripada apa yang dipikirkannya”, ia pun menegaskan dengan pernyataan, “Ketika anda memilih, berarti anda memilih untuk seluruh umat manusia”.[8]
Di satu sisi, psikoanalisis eksistensial Sartre memiliki pandangan tentang betapa masa depan memiliki pengaruh yang lebih besar ketimbang masa lalu. Menurutnya, karena masa lalu telah terjadi dan menemui bentuknya sebagai faktisitas, maka perihal yang dapat dilakukan kemudian adalah sekedar memaknainya. Sebaliknya dengan masa lalu, masa depan belumlah terjadi, ia menjadi sesuatu yang belum menampakkan dirinya, samar dan serba tak jelas, oleh karenanya menurut Sartre masa depan lebih menakutkan ketimbang masa lalu. Ia lantas mengajukan suatu tantangan, “Bagaimana bila kita mencoba berjanji pada diri sendiri pada suatu tahun, bulan, tanggal, hari dan jam tertentu akan menjadi apa kita, dan ketakutan adalah ketika apa yang kita harapkan tak terwujud”.[9]
Penelaahan lebih lanjut atas begitu pentingnya masa depan ketimbang masa lalu dalam psikoanalisis eksistensial Sartre tampak pula melalui konsepnya mengenai “sekat-sekat sejarah”. Menurut Sartre terdapat suatu sekat yang memisahkan antara masa kini dan masa lalu di mana masa lalu sama sekali tak berpengaruh atas kondisi saat ini. Tambahnya, dalam sekat-sekat tersebut terdapat celah guna melakukan pilihan-pilihan bebas kembali sehingga manusia merupakan “proyek penciptaan diri tanpa henti”. Sebagai misal, Sartre menolak anggapan “psikologi deterministik” bahwa anak yang dibesarkan oleh seorang ayah yang “pemarah” bakal menciptakan anak yang pemarah pula suatu hari nanti. Bagi Sartre, selalu terdapat pilihan-pilihan bebas dalam kehidupan sang anak: menjadi pemarah layaknya sang ayah, atau menjadi pribadi penyayang yang sama sekali berbeda dengan sang ayah. Inilah penegasan Sartre mengenai sekat-sekat sejarah di mana berbagai pilihan bebas termuat di dalamnya.
Sebagai misal lain, Sartre mengisahkan seorang pria yang selalu “ditolak” oleh para wanita. Suatu kali, salah seorang temannya menganjurkan dirinya (pria yang selalu ditolak cintanya) untuk mengajak seorang teman wanitanya pergi berkencan, kemudian pria yang tak pernah beruntung tersebut berkata, “Aku pasti akan ditolak, lebih baik aku tak mengajaknya karena hal tersebut akan sia-sia belaka”. Melalui ucapan yang dilontarkannya, Sartre menyatakan bahwa pria tersebut memiliki mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’, karena bisa jadi nasibnya akan wanita barusan bakal berbeda dengan wanita-wanita sebelumnya (baca: diterima). Melalui hal tersebut, Sartre hendak mengatakan bahwa tak ada berbagai hukum yang mengkung-kung manusia, apa yang dialaminya dulu tak dapat dianggap sebagai apa yang dialaminya pula di masa depan, selalu terdapat kemungkinan-kemungkinan yang mengejutkan. Dengan demikian, psikoanalisis eksistensial Sartre mengajak setiap individu untuk selalu “aktif bertindak” dan bersikap optimis dalam kehidupannya, namun dengan satu catatan pula: karena manusia benar-benar tak tahu-menahu akan masa depan, maka apa yang syarat dilakukannya adalah “berbuat tanpa berharap”.[10]
Melalui berbagai penjabaran singkat mengenai psikoanalisis eksistensial Sartre di atas, dapatlah dianalisis berbagai perihal positif yang termuat di dalamnya yang mana kesemua hal tersebut begitu penting dalam upaya “menggali” berikut “mengaktualisasikan” berbagai potensi yang terdapat dalam diri manusia. Di satu sisi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pembahasan mengenai psikoanalisis eksistensial ditempatkan sebagai landas-dasar atau pijakan guna melangkah pada praksis dan relevansi konsep interaksi sosial-eksistensialisme Jean Paul Sartre lebih lanjut.
Filsafat Sosial-Eksistensialisme Jean Paul Sartre
sebagai Solusi Mengatasi Batasan-batasan Mental Manusia
“Apabila seorang guru mengatakan kepada salah seorang muridnya bahwa ia bodoh, maka murid tersebut akan benar-benar menjadi bodoh”, kira-kira demikian pernyataan labelling theory atau “teori pelabelan”. Mengapa hal tersebut dapat terjadi, tidak lain dikarenakan sang murid yang “tak memiliki kuasa” guna menolak pelabelan yang diberikan gurunya. Ke-tidakkuasa-an atau ketidakberdayaan sang murid tersebut setidaknya disebabkan oleh rangkaian beberapa hal yang memenuhi hukum kausalitas dalam sosiologi. Pertama, sang murid yang memang melakukan suatu kesalahan, kedua, tanggapan guru yang memang kurang bijak, yakni melakukan pelabelan negatif pada muridnya, dan ketiga, ketidakkuasaan sang murid menolak pelabelan tersebut diakibatkan batasan-batasan mental semisal; usia guru yang jauh lebih tua dan anggapan bahwa guru lebih tahu ketimbang murid-muridnya, serta keempat, implikasi atau dampak yang paling akut, yakni sang murid menjadi sebagaimana label yang diberikan gurunya.
Rangkaian eakleren ‘sebab-akibat’ kejadian di atas faktual dapat teratasi secara “otonom” apabila sang murid memiliki mental yang kuat. Mentalitas yang kuat tersebut sebagaimana dinyatakan pakar motivasi kenamaan Herbert N. Casson, jika setiap orang meyakini bahwa, “you are what you are thinking” (“Anda adalah apa yang Anda pikirkan”).[11] Apabila penelaahan lebih jauh atas pernyataan Casson tersebut dilakukan, maka ditemui persinggungannya dengan konsep eksistensialisme-Sartre,[12]
“…pertama-tama manusia ada, berhadapan dengan dirinya sendiri, terjun ke dalam dunia—dan barulah setelah itu ia mendefinisikan dirinya … Ia tidak akan menjadi ‘apa-apa’ sampai ia menjadikan hidupnya ‘apa-apa’ … manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri..”
(Jean Paul Sartre 2002:40-41 & 44-45)
Jelas dan tegasnya, Sartre mengatakan bahwa orang lain sama sekali tak memiliki hak dan kuasa untuk memaknai seseorang ketika pihak yang bersangkutan masih hidup, sebagaimana dikatakannya, “Other is hell!” (“Orang lain adalah neraka!”). Ketiadaan kuasa dan hak pemaknaan tersebut mengingat eksistensi manusia sebagai makhluk sui generic atau taken for granted ‘apa adanya’. Kondisi tersebutlah yang menyebabkan manusia dapat dipisahkan dengan orang lain atau masyarakatnya dalam pandangan fenomenologi Berger, serta manusia sebagai absurditas dalam pandangan Sartre. Artinya, ia sematalah yang memiliki kuasa guna menciptakan nilai, norma, tujuan hidup berikut memaknai dirinya sendiri.[13]
Menurut Sartre, penilaian dan pemaknaan orang lain pada diri kita barulah berlaku ketika kita telah tiada (baca: mati). Dalam konsepnya mengenai dead ‘kematian’ atau ‘maut’, Sartre membuat analogi antara manusia dengan sebuah lukisan. Menurutnya, sebuah lukisan tidaklah dapat dinilai dan dimaknai sebelum lukisan tersebut selesai dibuat, maka begitu pula dengan manusia, ia tidak dapat dinilai dan dimaknai orang lain sebelum “selesai” (tiada). Mengapa demikian, hal tersebut mengingat ketiadaan menandai “proyeknya yang telah selesai” dan menjadikannya “is” (“adalah”).[14] Melalui kematian, barulah orang lain bebas dan memiliki kuasa untuk menilai, memaknai serta menandai kita.
Kembali pada ranah filsafat sosial-eksistensialisme Sartre sebagai solusi mengatasi pelabelan, ia (Sartre) menganjurkan pada manusia untuk hidup secara “otentik” di mana ketika seseorang meyakini perkataan atau label yang disematkan orang lain padanya, dan merasa tak kuasa melepaskan belenggu tersebut, maka ia hidup dalam mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’. Kiranya, perlu ditegaskan sekali lagi ungkap Sartre, “Man is free, or rather, man is freedom” (“Manusia itu bebas, terlebih manusia adalah kebebasan itu sendiri”). Ia menegaskan pula, “Hukum universal tak tertulis di langit sana”. Artinya, tidak ada hukum-hukum di luar manusia yang mengatur dan memaksakannya untuk menjadi apa dan siapa, hal tersebut merupakan otoritas individu sepenuhnya.[15]
Dengan demikian, eksistensialisme memiliki kualifikasi pula guna memberikan arahan pada salah satu persoalan yang tersurat dalam Sosiologi Pendidikan bahwa, “Kita, orang tua kita, masyarakat kita, pendidikan kita, menciptakan batas-batas mental”. Dengan kata lain, seorang eksistensialis adalah mereka yang memiliki mental kuat, mampu menembus batasan-batasan yang ada, bahkan Linda Smith dan William Reaper memaknai asal kata “eksistensi” dalam eksistensialisme dengan “existo” yang berarti “berdiri tegak” sebagai, “berdiri tegak ‘melawan’ masyarakat”.[16] Secara tak langsung, dapatlah ditelisik pula bahwa seorang eksistensialis tak akan merasa sedih, gusar atau putus asa (baca: jatuh) ketika keluarga dan masyarakat melabelkan, mengucilkan, mengasingkan bahkan membuang dirinya. Eksistensialis sekedar meyakini apa yang diyakininya semata, tak ada celah sedikit pun bagi orang lain. Lebih jauh, hal tersebut akan dideskripsikan melalui berbagai pemaparan berikut.
Tokoh-tokoh Besar Dunia adalah Seorang Eksistensialis
Sebagaimana ditegaskan Sartre, cukup dengan seseorang merasa nervous, malu, terasing dan terkucil, ia telah menjadi seorang eksistensialis meskipun tak menyadarinya. Dalam subab ini, penekanan atas pribadi eksistensialis lebih menyangkut pada keterasingan dan keterkucilan yang dialaminya. Kiranya, perlu diasumsikan pula bahwa istilah keterasingan dan keterkucilan tidak serta-merta mengacu pada perihal yang negatif (buruk). Lebih jauh, guna memperjelas perihal yang dimaksud, perlu dipaparkan keterkaitan pribadi para tokoh besar dunia sebagaimana akan dibahas dalam kerangka kajian filsafat sosial-eksistensialisme Sartre berikut.
Telah disinggung sebelumnya bahwa seorang eksistensialis memiliki beberapa sifat dan karakternya yang khas; pertama, keyakinan bahwa hanya dirinya semata yang memiliki kuasa untuk memaknai dirinya sendiri dan bukannya orang lain. Kedua, keberanian dan keteguhan untuk tetap tegak berdiri melawan masyarakat bilamana memiliki keyakinan atau pola pikir yang bernegasi dengannya. Apabila penelaahan lebih lanjut terkait hal tersebut dilakukan, maka ditemui bahwa para tokoh besar dunia memiliki berbagai sifat dan karakter eksistensialis di atas, tentunya dengan satu catatan: seorang eksistensialis tak harus menyadari dirinya sebagai eksistensialis—sebagaimana penegasan Sartre.
Adolf Hitler, Fuhrer rakyat Jerman yang berhasil membangkitkan negara tersebut pasca kekalahan dalam Perang Dunia I, faktual sempat mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya; tak lulus dalam seleksi masuk Akademi Seni Vienna, bekerja serabutan, menggelandang di jalan dan hidup melalui jatah sup yang diberikan pemerintah. Di tengah-tengah masa sulit tersebut, ia berkata bahwa kelak suatu hari nanti bakal menjadi orang nomor satu di Jerman. Mendengar perkataan tersebut, sontak teman-teman “senasibnya” menertawai Hitler dan menyangkanya tak waras akibat tak mampu lagi memikul beban hidup yang terlampau berat. Namun demikian, Hitler tak ambil pusing dengan gelak tawa serta cercaan yang diterimanya, ia tetap yakin dan bersikukuh dengan mimpi dan ucapannya, ia kebal dengan berbagai pelabelan yang disematkan teman-temannya, dan dapatlah kita saksikan, mimpi dan ucapannya untuk menjadi orang nomor satu di Jerman terwujud di kemudian hari.[17]
Pernah pula, di suatu sore Benito Mussolini muda yang tak sekolah berteriak-teriak lantang di kamarnya, mendengar hal tersebut, sang ibu pun menghampiri dan bertanya padanya dengan kesal, “Apa yang kau lakukan?”, kemudian Mussolini menjawab bahwa ia tengah melatih kemampuan oratori karena yakin kelak akan menjadi pemimpin Italia. Melalui keyakinan yang dipegang teguhnya tanpa menghiraukan perkataan orang di sekelilingnya, beberapa tempo kemudian Mussolini pun dianugerahi gelar Il Duce oleh rakyat Italia.[18]
Di samping Hitler dan Mussolini, begitu pula dengan Mustapha Kemal Attaturk yang ketika berusia enam tahun ditinggal mati ayahnya, berkata pada sang ibu bahwa kelak ia akan menjadi “orang besar” di Turki.[19] Tak asing pula cerita Thomas Alva Edison yang dicap bodoh oleh sang guru, dan dengan segala daya yang dimilikinya menolak pelabelan tersebut hingga berhasil menjadi salah satu ilmuwan dan penemu penting dunia di kemudian hari. Edison pun melontarkan sebuah pernyataan yang memiripkannya dengan konsep “sekat-sekat sejarah”-Sartre, “Kebanyakan orang gagal adalah mereka yang tak menyadari betapa dekatnya titik sukses saat mereka memutuskan untuk menyerah”. Sebagaimana anjuran Sartre, manusia diharuskan untuk terus “aktif bertindak” mengingat masa depan penuh dengan kemungkinan-kemungkinan mengejutkan. Perihal yang terjadi pada masa lampau bukanlah representasi di masa sekarang atau masa depan, tak ada keterkaitan di antara kesemuanya, inilah hidup yang “otentik”.
Melalui berbagai pemaparan dan penjabaran di atas, dapatlah ditelisik lebih jauh bahwa pada hakekatnya tokoh-tokoh besar kenamaan dunia merupakan para eksistensialis meskipun mereka tak menyadarinya. Hal tersebut mengingat beberapa sifat dan karakter khas dari seorang eksistensialis yang tersematkan padanya; penolakan atas penilaian dan pelabelan yang diberikan orang lain kepadanya, keberaniannya untuk tegak berdiri melawan mentalitas serta pemikiran masyarakat yang begitu berbeda dan berseberangan dari dirinya. Dengan demikian, dapatlah dianalisis bahwa berbagai pemikiran yang termuat dalam filsafat sosial-eksistensialisme Sartre faktual dapat menjadi solusi guna mengatasi batasan-batasan mental pada manusia berikut menggali berbagai potensi yang dimilikinya.[20]
Filsafat Sosial-Eksistensialisme Jean Paul Sartre
sebagai Solusi atas One Dimensional Society
Frankfurt Schule
Berbicara mengenai one dimensional society tak dapat lepas dari Institut fur Socialforschung yang didirikan para intelektual Universitas Frankfurt atau yang kemudian lebih populer dengan sebutan Cafe Marx dan menjadi cikal bakal kelahiran Mahzab Frankfurt. Gerakan intelektual multidisipliner tersebut—sedari ranah teologi hingga filsafat—memiliki kesamaan semangat intelektual, yakni dalam upayanya mengembalikan tradisi kritis-Marx yang mulai pudar, terlebih dengan munculnya pelembagaan marxisme dalam rezim komunis Soviet. Beberapa tokoh generasi pertama Mahzab Frankfurt antara lain Herbert Marcuse, Theodore Adorno, Max Horkhaimer—terkenal dengan Dialektika Pencerahan—berikut Erich Fromm.[21]
Teori kritis—berbeda dengan “teori sosial kritis”[22]—yang ditawarkan Mahzab Frankfurt pada hakekatnya merupakan perpaduan unik antara pemikiran Hegel, Marx dan Freud yang memiliki beragam perspektif dalam memaknai istilah “kritik”. Dalam hal ini, teoretisi kritis Mahzab Frankfurt dikenal luas dengan kerapnya kritik yang mereka lancarkan atas ideologi, positivisme, postmodernisme dan kehidupan masyarakat modern. Hal tersebut tak mengherankan mengingat tradisi emansipatoris ‘pembebasan’ yang mereka bawa. Di satu sisi, tradisi emansipatoris Frankfurt Schule tak pelak memunculkan methodenstreit atas kubu positivisme yang salah satunya diwakili Sir Karl Popper. Berseberangan dengan Mahzab Frankfurt, positivisme menganggap bahwa ilmu pengetahuan haruslah bebas nilai dan sekedar bertugas menjelaskan fenomena sosial.[23] Faktual, perdebatan antarkeduanya tak jua menjumpai titik terang hingga kini.
Namun demikian, dalam perkembangannya Mahzab Frankfurt mengalami kebuntuan dalam upayanya melakukan pembebasan masyarakat. Begitu pula, di satu sisi hubungan harmonisnya dengan gerakan mahasiswa yang dikenal dengan sebutan New Left ‘Kiri Baru’ harus berakhir di tahun 1967 akibat penolakan Frankfurt Schule pada perilaku anarkis mahasiswa guna menghancurkan tatanan sistem yang hipokrit.[24] Terkait dengan kebuntuan emansipatoris masyarakat Frankfurt Schule, hal tersebut begitu erat kaitannya dengan istilah one dimensional society cetusan Marcuse.
One Dimensional Society
One dimensional society ‘masyarakat dengan kesadaran satu dimensi’ merupakan istilah yang digunakan Marcuse guna me-representasi-kan “masyarakat yang lumpuh daya kritisnya”.[25] Penelaahan kita lebih dalam atas konsep one dimensional society tak dapat lepas dari catatan sejarah dan sepak terjang kapitalisme. Kapitalisme yang menurut Marx lahir pada abad 15 melalui pertumbuhan sejarah dan proses pengambilalihan yang juga sekaligus menandai pergeseran “produksi untuk kegunaan” pada “produksi untuk pertukaran” faktual tak menemui kehancuran total sebagaimana diprediksinya akibat overproduksi sirkuit modal (U-K-U-U¹-U²...).[26] Dalam hal ini, John Maynard Keynes melalui konsep wellfare state yang ditawarkannya didaulat sebagai “dokter kapitalisme yang tengah sekarat di era 1930-an”. Di satu sisi, ekonomi keynesian tak hanya berdampak pada selamatnya kapitalisme yang tengah dirundung masa-masa kritis, tetapi juga memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yakni kelas menengah (middle class) yang dengan segera terintegrasi dalam sistem kapitalisme.[27]
Pada tahapan spat kapitalismus ‘kapitalisme lanjut’, kemampuan lebih dalam beradaptasi menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Berlalunya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa—terutama setelah Perang Dunia II—mengiringi perubahan sepak terjang kapitalisme yang kental dengan eksploitasi semena-mena dan berbagai bentuk penindasan lainnya pada “kapitalisme yang humanis”. Kapitalisme dengan wajah humanis tak segan-segan memberikan jaminan kesehatan, asuransi, bonus akhir tahun dan sebagainya guna merangsang produktivitas. Pada tahapan ini, cara-cara eksploitatif telah ditinggalkan kapitalis dan sebagai gantinya ia memunculkan apa yang disebut dengan “budaya massa” atau “budaya pop” yang seolah-olah meleburkan pertentangan kelas di dalamnya. Logika kapitalisme pun telah berubah, ia tak lagi berpikir bagaimana memproduksi barang dengan biaya semurah mungkin melainkan memproduksi berbagai kebutuhan dengan penciptaan image ‘pencitraan’ melalui iklan-iklan.[28]
Dalam kapitalisme lanjut, “nilai guna” suatu komoditas tereduksi sedemikian rupa, dalam artian, suatu barang tidaklah menjadi populer dikarenakan kegunaannya melainkan terkait bagaimana komoditas tersebut diinterpretasikan, sebagai misal anak muda yang lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli sepatu nike ketimbang sepatu cap cibaduyut karena dinilai lebih “gaul” dan sebagainya. Bagi Marcuse, masyarakat yang demikian lebih condong pada modus to have ‘memiliki’ ketimbang to be ‘menjadi’, sebagai misal, seseorang merasa telah mencapai kesuksesan bila memiliki rumah elite, mobil BMW, beberapa stel jas armani dan sebagainya, inilah esensi dari konesp one dimensional society yang dicetuskan Marcuse.[29]
Media Iklan dan Penciptaan “One Dimensional Society”
Plesetan film James Bond, Die Another Day menjadi Buy Another Day kiranya cukup merepresentasikan bagaimana peran strategis media massa dalam upaya memasarkan dan mengkonstruksi image berbagai produk kapitalis. Sebagaimana kita ketahui, dalam film tersebut James Bond menggunakan berbagai barang bermerk seperti jam Tissot, stelan jas Armani dan mobil BMW, di satu sisi hal tersebut menunjukkan keshahihan analisis Denzin terkait “sumpah” kapitalis yang bakal memasarkan berbagai produknya dengan cara yang tak diduga-duga masyarakat sekalipun, singkatnya, Denzin melihat dua “muatan besar“ yang dibawa media massa baik cetak maupun elektronik, yakni budaya perlawanan atau pemberontakan, serta budaya konsumerisme.[30]
Salah seorang sosiolog kenamaan Inggris, Anthony Giddens, berupaya meyakinkan bahwa saat ini kita hidup dalam era postmodern. Era tersebut, selain ditandai dengan dominannya peran sektor jasa—konsumsi—ketimbang produksi, terutama ditandai dengan berubahnya pola produksi manufaktur pada produksi informasi. Dengan demikian, hal tersebut berdampak pada “serangan bertubi-tubi informasi” pada individu atau masyarakat sehingga dapatlah dianalisis bahwa media memiliki peran sentral di era kontemporer, mereka yang menggenggam media memiliki kuasa penuh guna “menghinakan” atau “memuliakan” suatu isu.[31]
Terkait sentralnya peran media di era kontemporer, meskipun analisis Baudrillard menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap media—terutama di negara maju—telah jauh berkurang berkaitan dengan pemberitaan isu-isu politik, namun tidak demikian halnya dengan peran media dalam penciptaan one dimensional society seperti apa yang telah disinggung sebelumnya. Dalam hal ini, Baudrillard melalui konsep hiperrealitas yang dikemukakannya menemui fakta “efektifnya” serangan berbagai produk kapitalis pada masyarakat melalui iklan-iklan yang ada meskipun sering kali hal tersebut di luar jangkauan logika.[32]
Di satu sisi, selain berdampak pada terkonstruksinya “masyarakat dengan kesadaran tunggal”, berbagai iklan yang muncul dalam bentuk banner, plakat-plakat jalanan dan sebagainya faktual memunculkan pula apa yang disebut dengan “sampah visual”. Sampah visual merupakan kebiasaan kapitalis di mana upayanya “mencekoki” masyarakat dengan berbagai produk yang ditawarkannya justru berdampak pada kelelahan visual dan pikiran masyarakat. Bisa jadi, masyarakat yang berlalu-lalang di jalanan terpesona dan menginginkan suatu produk yang ditawarkan berbagai banner atau spanduk, namun tak dapat memilikinya karena tak mempunyai daya beli yang memadai. Di sisi lain, kelelahan visual dan pikiran masyarakat dapat pula menjangkiti, namun bukan dikarenakan ketidakmampuan daya beli melainkan ketiadaan nilai guna komoditas tersebut baginya. Lebih jauhnya, penelaahan lebih dalam atas sampah visual menghantarkan kita pada terdistorsinya public sphere ‘ruang publik’. Bagi Habermas, public sphere haruslah suatu ruang yang bebas dari distorsi, penindasan dan sejenisnya, yakni suatu ruang yang seyogyanya dapat digunakan masyarakat untuk membuang ampas-ampas, kotoran, stres, dan berbagai tekanan dalam pikirannya.[33] Kesemua hal tersebut, baik one dimensional society maupun sampah visual berikut terdistorsinya public sphere disadari atau tidak berdampak pada munculnya alienasi pada diri manusia.
Kegagalan Frankfurt Schule Mengatasi “One Dimensional Society”
Telah disinggung sebelumnya bahwa Mahzab Frankfurt mengalami kebuntuan dalam upaya emansipatoris masyarakat akan penindasan laten one dimensional society. Kegagalan Frankfurt Schule tersebut setidaknya disebabkan oleh beberapa hal; pertama, gerakan mahasiswa yang berubah anarkis dan tak mencerminkan peranannya sebaga agent of change, kedua, hubungan antara intelektual Frankfurt dengan masyarakat—terutama kelas pekerja—lebih condong pada paradigma kerja yang bersifat subyek-obyek dan ketiga, kapitalisme yang telah terlampau jauh mencengkram kehidupan masyarakat—total cooptation of capitalism.[34]
Terkait paradigma kerja yang dominan dalam hubungan antara Frankfurters dengan kelas pekerja, kesan yang timbul kemudian seolah menempatkan pekerja sebagai “objek”, di satu sisi hal tersebut dibuktikan dengan ketiadaan komunikasi yang dibangun sebelumnya antarkedua belah pihak, oleh karenanya Jurgen Habermas—generasi kedua Mahzab Frankfurt—berupaya melakukan revisi atasnya melalui paradigma komunikasi. Penyebab kedua, yakni kooptasi total kapitalisme dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat mengakibatkan samarnya penindasan yang terjadi berikut teredamnya berbagai bentuk perlawanan terhadapnya. Sebagai misal, seorang pekerja dapat menggunakan pakaian bermerk atau pergi ke gedung bioskop yang sama layaknya “Si Bos”, dengan demikian hal tersebut berdampak pada kelas pekerja yang tak merasakan bentuk-bentuk penindasan kapitalisme terhadapnya. Di satu sisi, teredamnya berbagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dapat dilihat melalui kooptasi celana jeans oleh kapitalis yang pada awalnya menjadi simbol perlawanan kaum hippies atasnya, begitu pula, dapat ditilik melalui fenomena t-shirt Marx, Che dan Lenin yang telah tersedia di butik-butik elit terdekat (distro).[35]
Harus diakui memang, kebuntuan Mahzab Frankfurt dalam upaya menghancurkan konstruksi “masyarakat dengan kesadaran tunggal” telah disusul dengan upaya keras Habermas merevisinya melalui Theory of Communicative Action,[36] namun tak dapat dipungkiri bahwa konsep tersebut masih juga belum memiliki praksis yang jelas hingga kini. Oleh karena itu, cukup bijak kiranya mempertimbangkan salah satu arus pemikiran besar filsafat yang sempat populer di era 1940-an hingga 1970-an yakni eksistensialisme sebagai solusi atas one dimensional society mengingat kentalnya muatan kuasa agensi dalam mendobrak konstruksi maupun struktur sosial yang ada.
Filsafat Sosial-Eksistensialisme Sartre versus “One Dimensional Society”
Eksistensialisme kerap dituduh sebagai filsafat kaum borjuis, namun keberadaan gelandangan, pengangguran serta kaum kumuh bantaran kota yang mengatasnamakan diri sebagai “eksistensialis” praktis menggugurkan anggapan tersebut—filsafat kaum borjuis.[37] Namun demikian, tuduhan yang dialamatkan padanya sebagai filasafat individualis dan antisosial memang tak dapat dipungkiri mengingat “penajisannya” pada orang lain sebagai “neraka”.[38] Meskipun berbagai pelabelan tersebut mewarnai catatan sejarah perjalanan eksistensialisme, namun seperti apa yang telah disinggung sebelumnya, ditemui beberapa muatan di dalamnya yang begitu potensial merevisi kebuntuan Mahzab Frankfurt dalam upaya emansipatoris “masyarakat dengan kesadaran tunggal”.
Kebebasan dan Pilihan
Dalil utama eksistensialisme, yakni “eksistensi mendahului esensi” bagi Sartre mengindikasikan ketiadaan Tuhan, oleh karenanya kabar baik bagi manusia adalah keberadaannya yang bebas “sebebas-bebasnya” di dunia ini, bahkan menurutnya manusia adalah kebebasan itu sendiri.[39] Terlebih, dengan pernyataan Sartre bahwa pertama-tama manusia “ada”, dan ia bukanlah “apa” atau “siapa” sebelum memaknai dirinya sendiri, tak ada kuasa bagi orang lain atau masyarakat memaknai dirinya karena pada hakekatnya keberadaannya adalah sui generic.
Dengan ketiadaan Tuhan, maka manusia tak memiliki patokan baku dalam penyusunan etika, nilai dan norma bagi dirinya, ia secara otonom memiliki pilihan bebas guna menentukan apa yang dianggapnya baik, dicita-citakan serta bagaimana seharusnya bertingkah laku. Dalam ranah spat kapitalismus, pemahaman yang demikian kiranya potensial menghindarkan individu pada bentuk-bentuk pencekokan nilai dan norma oleh para pemilik modal (baca: kapitalis). Dalil pertama eksistensialisme di atas faktual telah menunjukkan penolakannya yang keras akan one dimensional society, yakni masyarakat yang terseragamkan kapitalis sehingga melenyapkan keotentikan masing-masing individu. Dalam ranah praksis, dalil tersebut mengisyaratkan pada masing-masing individu untuk tak sekonyong-konyong mempercayai bahwa manusia yang utuh adalah mereka yang telah memiliki rumah elit, mobil BMW, beberapa stel jas Armani, sepatu Nike dan sejenisnya sebagaimana dikonstruksikan kapitalis melalui berbagai media film maupun iklan.
Etre En Soi & Etre Pour Soi
Pemikiran Sartre dikenal pula sebagai bentuk ontologi radikal dengan oposisi biner di dalamnya—essay on phenomenological ontology. Hal tersebut tampak melalui upaya Sartre mendikotomikan segala sesuatu ke dalam etre en soi dan etre pour soi. Bagi Sartre, etre en soi ‘berada dalam dirinya’ merupakan segala sesuatu yang tak memiliki kesadaran, sebagai misal kursi, meja dan bangunan. Berbagai benda tersebut tak memiliki tujuan atas eksistensinya, dengan kata lain tujuan keberadaannya sepenuhnya ditentukan oleh pihak lain. Namun demikian, etre en soi memiliki kelebihan yakni bahwa ia sempurna, ia tak memiliki celah atau kekosongan untuk dikritisi, ia sempurna sebagai kursi, meja, bangunan dan sebagainya.[40]
Berseberangan dengan etre en soi, bagi Sartre etre pour soi merupakan segala sesuatu yang berkesadaran, dalam hal ini manusia. Kesadaran yang dimiliki manusia mau tak mau menuntutnya untuk memaknai dan menentukan tujuan hidupnya sendiri—bukannya ditentukan pihak lain. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa etre pour soi memiliki kekurangan, yakni celah dan kekosongan yang ditandai dengan selalu munculnya berbagai keinginan pada diri manusia.
Menurut Sartre, pada hakekatnya manusia selalu ingin menjadi sempurna—tak memiliki celah dan kekosongan—serta tetap berkesadaran, yakni etre en soi-etre pour soi, namun yang demikian hanyalah sifat Tuhan semata. Oleh karena itu, secara tragis Sartre menyimpulkan, “Human is useless passion!” (“Manusia adalah hasrat kesia-siaan!”).[41]
Terkait pengkajian atas one dimensional society, bilamana setiap individu memahami eksistensinya sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’, kiranya hal tersebut bakal “menyadarkan” bahwa berjubel keinginan yang dimilikinya pada produk-produk kapitalis merupakan suatu hal yang sia-sia dan tak berkesudahan. Dengan demikian, human as useless passion diharapkan mampu meredam budaya konsumerisme di era kapitalisme lanjut, individu tak lagi terjebak pada konsumsi berdasarkan “gaya hidup”, melainkan “kebutuhan hidup”.
Mauvaise Foi
Mauvaise foi merupakan istilah yang digunakan Sartre untuk menunjukkan seseorang dengan “keyakinan yang buruk”. Eksistensialisme Sartre memberikan dua pilihan besar dalam kehidupan manusia, yakni hidup secara otentik ataukah hidup dengan mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’.[42]
Bagi Sartre, seseorang dikatakan hidup secara otentik bilamana menolak segala aturan, hukum, nilai dan norma berikut berbagai bentuk streotipe dan pelabelan yang dikenakan padanya—dengan asumsi, “Hukum universal tak tertulis di langit sana”. Singkatnya, seseorang yang hidup secara otentik adalah mereka yang menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini adalah bebas “sebebas-bebasnya”—bahkan ia adalah kebebasan itu sendiri. Sebaliknya, menurut Sartre seseorang dapat dikatakan hidup dengan “keyakinan yang buruk” bilamana menganggap dirinya terikat oleh suatu/berbagai aturan dan hukum yang ada; agama, nilai dan norma masyarakat, stereotipe, pelabelan dan lain sebagainya.
Eksistensialisme-Sartre yang menganjurkan manusia untuk hidup secara otentik memiliki signifikasi dalam upaya mendobrak berbagai konstruksi spat kapitalismus. Sebagai misal, seorang eksistensialis tak ambil pusing ketika ia dilabelkan “kuno” atau “tak gaul” karena tak menggunakan produk terbaru kapitalis, sang eksistensialis itu sendirilah yang memiliki kuasa penuh atas pemaknaan dan pelabelan atas dirinya. Secara singkat, ia memiliki pemaknaanya sendiri atas slogan-slogan “kuno” dan “tak gaul” tersebut—pemaknaan yang dilakukan melalui interpretasi pola pikirnya yang otonom.
Other Is Hell
Ide “Other is hell” (“Orang lain adalah neraka”) dalam eksistensialisme-Sarte terkait erat dengan konsepnya mengenai faktisitas. Menurut Sartre faktisitas merupakan fakta-fakta yang tak dapat dihindari manusia, seperti time ‘waktu’, past ‘masa lalu’, place ‘tempat’ dan other ‘orang lain’. Terkait other ‘orang lain’ (liyan), Sartre menegaskan bahwa keberadaan liyan selalu mengancam eksistensi diri. Hal tersebut dikarenakan eksistensi liyan yang selalu mengobjekkan diri kita, oleh karenanya tak heran Sartre menajiskan orang lain sebagai “neraka”.[43]
Secara konkret hal di atas dapat dimisalkan dengan kesendirian saya di sebuah kelas, ketika hal tersebut tengah berlangsung maka semisal kursi, meja dan papan tulis menjadi objek saya—ataupun segala sesuatu yang berada dalam jangkauan penglihatan saya. Namun, ketika orang lain datang, situasi pun berbalik di mana sayalah yang kemudian menjadi objek; saya tersipu malu, tertindas, orang tersebut telah merenggut dunia saya.
Di era kontemporer, faktisitas adalah totalisasi kapitalisme yang telah mencengkram berbagai sendi kehidupan masyarakat. Melalui berbagai gelagatnya, tampaklah jelas bahwa kapitalisme dan berbagai pihak yang telah terjerat maupun terintegrasi di dalamnya mengobjekkan individu di luar in group-nya. Mereka membuat konstruksi mengenai kebaikan, kecantikan, kemajuan, kecanggihan dan lain sebagainya. Dalam hal ini, individu yang tak memiliki kapasitas mental memadai dapat dipastikan dengan mudah terjerat ke dalam jaring penyeragamannya (kapitalis). Namun, tak demikian halnya dengan seorang eksistensialis, sebagai respon atas faktisitas tersebut ia akan segera mengalihkan perhatian, tak mengacuhkan, dan merubah struktur tersebut sebagai “neraka”.
[1] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 36.
[2] Sebagaimana eksistensialisme sendiri yang melampaui batasan-batasan keyakinan agamis, afiliasi politik dan sebagainya
[3] Selengkapnya lihat Sigmund Freud, Memperkenalkan Psikoanalisa, Gramedia, Jakarta, 1987.
[4] Jean Paul Sartre, Existentialism and Human Emotions, Philosophical Library, New York, 1948, h. 68.
[5] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Washington Square Press, New York, 1992, h. 719.
[6] Ibid., h. 69.
[7] Jules Archer, Kisah Para Dikatator, Narasi, Yogyakarta, 2004, h. 144.
[8] Artinya selalu ditemui hal-hal mengejutkan yang merubah struktur dunia di setiap pilihan hidup manusia.
[9] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, h. 73.
[10] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, h.
[11] Herbert N. Casson, You’re What You’re Thinking,
[12] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, h. 40-41, 44-45.
[13] Jean Paul Sartre, Nausea, New Directions, New York, 1964, h. 180.
[14] H. Muzairi, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 165.
[15] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, New York, 1956, h. 440-442.
[16] Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide, Kanisius, Yogyakarta, 2000, h. 76.
[17] Jules Archer, op. cit., h. 142.
[18] Ibid., h. 56. Di sisi lain, Mussolini sebagai eksistensialis dapat ditilik melalui metodenya dalam berpidato di depan massa di mana pernah suatu kali salah seorang ajudan bartanya padanya perihal pidatonya yang demikian baik dan hebat di depan ribuan orang, kemudian Mussolini menjawab, “Mereka hanyalah domba-domba!”. Dapatlah dianalisis dimensi fenomenologi Mussolini di mana ia merubah struktrur obyektif dunia ke dalam struktur subyektifnya.
[19] Ibid., h. 65.
[20] Hal terkait dipertegas dengan konsep Nietzsche mengenai ubermensch ‘manusia super’ di mana menurutnya selalu ada “segelintir” moralitas “tuan” di antara “banyak” moralitas “budak”.
[21] Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 43-44.
[22] Teori sosial kritis merupakan persamaan asumsi dari berbagai teori Eropa yang memungkinkan untuk saling bersintesis, dengan demikian memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang teori kritis. Selengkapnya lihat Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006. h. 4.
[23] Terkait “methodenstreit” baca F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1990, h. 26-29.
[24] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 45 & M. Achmad Icksan, Mahasiswa dan Kebebasan Akdemik, Hanindita, Yogyakarta, 1985, h. 35.
[25] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 194.
[26] Karl Marx, Kapital (Buku I), Hasta Mitra, Jakarta, 2004, h. 800-821.
[27] Ben Agger, op. cit., h. 164.
[28] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 193.
[29] Ibid., h. 194.
[30] Ben Agger, op. cit., h. 351.
[31] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 62-64.
[32] Ibid., h...
[33] Ibid., h. 61.
[34] Ibid., h. 195.
[35] Ibid., h. 59, 193 & 196.
[36] Ibid., h. 60 & George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, Yogyakarta, 2003.
[37] Donald D. Palmer, op. cit., h...
[38] H. Muzairi, op. cit., h. 174-175.
[39] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 179.
[40] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 74.
[41] Jean Paul Sartre, Being and Nothingness, Philosophical Library, h. 615.
[42] Donald D. Palmer, op. cit., h. 78.
[43] H. Muzairi, op. cit., h. 174-175.
ulala
BalasHapus