Sejarah Kapitalisme
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Pengertian Kapitalisme
Kata “kapital” dalam istilah “kapitalisme” berasal dari bahasa Latin, “caput” yang berarti “kepala”. Pada abad 12-13, istilah tersebut mulai berubah makna menjadi “dana”, “sejumlah uang”, “persediaan uang atau barang” berikut “bunga uang pinjaman”. Pada perkembangannya kemudian, kapitalisme pun diartikan sebagai paham yang menempatkan uang/modal di atas segala-galanya.
Kata “kapital” dalam istilah “kapitalisme” berasal dari bahasa Latin, “caput” yang berarti “kepala”. Pada abad 12-13, istilah tersebut mulai berubah makna menjadi “dana”, “sejumlah uang”, “persediaan uang atau barang” berikut “bunga uang pinjaman”. Pada perkembangannya kemudian, kapitalisme pun diartikan sebagai paham yang menempatkan uang/modal di atas segala-galanya.
Sejarah Lahirnya Kapitalisme
Setidaknya, terdapat enam versi sejarah kelahiran kapitalisme, antara lain sebagai berikut.
Persinggungan antara Masyarakat Agraris dengan Agrikultur
Menurut beberapa pakar, kapitalisme telah eksis di era agrikultur. Perlu dijelaskan lebih jauh kiranya, masyarakat agraris adalah era di mana masyarakat mulai bercocok tanam namun belum mengenal teknologi penunjang seperti irigasi (pengairan). Dengan demikian, mereka sekedar bercocok tanam, dan ketika musim kemarau tiba, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berburu—belum mampu mengatasi tanaman yang kering akibat kemarau. Berbeda halnya dengan masyarakat agraris, masyarakat agrikultur telah mengenal teknologi penunjang bagi kegiatan bercocok tanamnya, sehingga ketika musim kemarau tiba, tak ada yang perlu mereka risaukan.
Para pakar meyakini bahwa ketika musim kemarau melanda masyarakat agraris, beberapa dari mereka diutus untuk menemui masyarakat negeri seberang yang tetap memiliki persediaan beras melimpah, mereka adalah masyarakat agrikultur. Sering, dalam transaksi yang dilakukan masyarakat agraris untuk mendapatkan beras dari masyarakat agrikultur, terjadi pertukaran yang tak seimbang dan merugikan masyarakat agraris. Kerap, satu hingga dua ekor rusa buruan sekedar ditukar dengan segenggam beras. Faktual, hal tersebut merupakan bentuk kapitalisme paling primitif di dunia.
Etika Protestan
Max Weber, sosiolog asal Jerman, memiliki sudut pandang yang berbeda atas lahirnya kapitalisme dibanding para pakar lainnya. Ia mengidentifikasi kelahiran kapitalisme melalui etika (ajaran berperilaku) Protestan. Dalam eksemplarnya yang terkenal, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism, Weber menjelaskan bahwa dahulu kala terdapat seorang pendeta Protestan bernama John Calvin yang menyerukan pada umatnya bahwa untuk beribadah kepada Tuhan mereka harus melakukan tiga hal, antara lain;
1. Bekerja keras (bekerja adalah “panggilan” Tuhan)
2. Berhemat dan bersedekah
3. Mengutamakan rasionalitas (pertimbangan untung-rugi akan konsekuensi tindakan yang diambil)
Tak pelak, ketiga maklumat Calvin di atas mampu mentransformasi kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Eropa secara signifikan. “Siapapun yang mengamalkan ketiga butir nasehat Calvin, pastilah akan menjadi kaya”, komentar John Wesley. Lambat-laun, melalui aktualisasi etika Protestan, masyarakat Eropa yang tradisional pun mulai beranjak pada era masyarakat industri. Namun patut disayangkan, waktu demi waktu dimensi etika Protestan yang terkandung di dalamnya pun turut luntur bersama kemajuan yang dibawanya. Bagi Weber, apa yang tersisa dalam masyarakat sekarang adalah kultur auri sacra fames ‘rakus untuk mendapatkan emas’. Dengan kata lain, etika Protestan sekedar menjadi jembatan bagi lahirnya kapitalisme, ia (etika Protestan) tak menjiwai lagi setelahnya.
Perubahan “Mode of Production”
Menurut Marx, kapitalisme lahir pada abad 15 melalui perubahan mode of production ‘bentuk-bentuk produksi’, yakni pergeseran sedari “produksi untuk kegunaan”, menjadi “produksi untuk jual-beli”. Dalam hal ini, produksi untuk kegunaan adalah model ekonomi “barter”, sedang produksi untuk jual-beli adalah model ekonomi “uang”. Lalu, mengapa model ekonomi terakhir ini dikatakan buruk? Menurut Marx, penggunaan instrumen uang menghasilkan beberapa masalah pelik layaknya alienasi nilai guna, nilai lebih serta sirkuit modal yang melanggengkan borjuasi dan mereproduksi kelas tertindas.[1]
Reformasi Gereja Abad 15-16
Bagi sebagian pihak, kapitalisme lahir melalui Reformasi Gereja abad 15-16. Dalam hal ini, kesewenang-wenangan gereja berikut penyimpangan akut gereja dengan memperjual-belikan surat pengampunan dosa menuai kritik keras para kaum humanis di Eropa kala itu. Beberapa tokoh sentral dalam peristiwa tersebut antara lain Erasmus, Martin Luther dan John Calvin. Pelucutan kekuasaan politik gereja—pemisahan kehidupan negara dengan agama (sekularisasi)—yang dipelopori Reformasi Gereja lambat-laun menjalar dalam ranah ekonomi dan budaya. Pemisahan kehidupan negara dengan ekonomi tersebutlah yang nantinya melahirkan laissez-faire, suatu tata kehidupan ekonomi yang sama sekali lepas dari kontrol negara dan sepenuhnya diserahkan pada “pasar”.
Revolusi Industri Abad 19
Tak heran banyak pakar mendaulat Revolusi Industri abad 19 sebagai tonggak kelahiran kapitalisme, hal tersebut mengingat dengan digunakannya mesin dalam proses produksi (mekanisasi), komoditas yang dihasilkan pun kian masif dalam waktu yang relatif singkat. Ini berdampak pada kian cepatnya individu-individu pemilik alat-alat produksi mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya, dan dampak yang ditimbulkannya kemudian jelas: mempertajam jurang kesenjangan sosial antara pemilik alat produksi dengan buruh yang bekerja dalam proses produksi tersebut.
The Wealth of Nations karya Adam Smith
Karya Smith, The Inquiry to The Nature and Causes of “The Wealth of Nations”, kerap didaulat banyak pihak sebagai tonggak lahirnya kapitalisme. Meskipun kondisi pemisahan antara kehidupan negara dengan ekonomi telah berlangsung sebelumnya, agaknya karya Smith dianggap sebagai “gong” penegasan berikut alasan-alasan ilmiah mengapa hal tersebut perlu dilakukan. Menurutnya, kehidupan ekonomi rakyat yang dibarengi dengan intervensi negara di dalamnya menyebabkan ekonomi rakyat sulit berkembang, hal ini disebabkan adanya pajak berkut upeti dari negara yang begitu memberatkan. Oleh karenanya menurut Smith, penghapusan total intervensi negara dalam kehidupan ekonomi rakyat merupakan keharusan. Tak pelak, melalui buah karyanya, Smith ditasbihkan sebagai “Bapak Kapitalisme” berikut “Bapak Pasar Bebas”.
Karakteristik Utama Kapitalisme
Sebagaimana telah diuraikan di atas, setidaknya kapitalisme utamanya dicirikan dengan “akumulasi modal tanpa batas”, atau menempatkan uang/modal di atas segala-galanya. Hal inilah yang kemudian sekedar mendudukkan manusia sebagai homo economicus semata yang tak pelak sekedar merendahkan martabat manusia berikut mengalienasi dalam pergaulan antarsesamanya.
Pro-Kontra Penerapan Kapitalisme
Tak dapat dipungkiri bahwa perdebatan mengenai pro-kontra penerapan ideologi kapitalisme belumlah berakhir hingga kini. Beberapa pihak meyakini ideologi tersebut sebagai “jembatan emas” menuju kesejahteraan masyarakat, hal ini agaknya diperkuat dengan runtuhnya rezim Komunis Soviet pada akhir 1980-an dengan puncak perayaan dihancurkannya Tembok Berlin pada tahun 1991. Salah seorang “tokoh kanan” kenamaan yang gencar melakukan propaganda atas kemenangan kapitalisme ialah Francis Fukuyama yang merayakan keruntuhan Komunisme Soviet dengan menelurkan buku The End of History and The Last Man di era 90-an pula. Baginya, “sejarah telah berakhir” yakni ditandai dengan kemenangan kapitalisme melewati berbagai periode tantangan sejarah, tegasnya kapitalisme telah menaklukkan feodalisme yang kental dengan kekuasaan atas dasar keturunan, fasisme yang kejam dan komunisme yang utopis sehingga ianya keluar sebagai “pemenang” dari sejarah dan merupakan tujuan akhir sistem kehidupan yang telah lama dicari umat manusia. Dengan kata lain, Fukuyama hendak mengatakan bahwa kapitalisme merupakan ideologi ataupun tatanan sistem terbaik yang pernah dimiliki umat manusia sepanjang sejarah perjalanannya.
Lain halnya dengan Fukuyama, Hayek, Thatcer, Reagan dan kaum kapitalis lainnya, Derrida melalui Specter of Marx berupaya menyusun antitesis atas pandangan Fukuyama di mana menurutnya berbagai peradaban lain tidaklah mati melainkan sekedar tidur, bersembunyi dan sewaktu-waktu dapat bangkit kembali.
*****
Referensi:
- Fukuyama, Francis. 2004. The End of History and The Last Man. Yogyakarta: Qalam.
- Marx, Karl. 2004. Kapital (Buku I). Jakarta: Hasta Mitra.
- Nuswantoro. 2001. Daniel Bell: Matinya Ideologi. Magelang: Indonesiatera.
- Ormerod, Paul. 1998. Matinya Ilmu Ekonomi Jilid 1: Dari Krisis ke Krisis. Jakarta: Gramedia.
- Sim, Stuart. Derrida dan Akhir Sejarah. Yogyakarta: Jendela.
- Weber, Max. 2006. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Lebih jauh baca tulisan sebelumnya, Melihat Lebih Dekat Marxisme: Ilmu Ekonomi, Antropologi dan Sosiologi dalam Marxisme.
3 komentar:
TRIMS
sama2 bung dofris
Salam Hangat,
Wahyu BN :)
Artikel yang sungguh menarik. Apakah bisa dijelaskan sedikit ringkasan dari "Specter of Marx" yang menjadi anti tesis dari Derrida ? Terima kasih sebelumnya
Posting Komentar