Asal-mula Kata “Djancuk”
Sebentuk Kajian Singkat Antropologi Bahasa
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Saya yakin sebagian dari Anda pasti pernah mendengar kata “djancuk”,
terlebih bagi Anda yang memiliki teman dari Jawa Timur, pasti kerap bahkan tak
asing lagi mendengar kata itu. Umumnya, kata djancuk dianggap sebagai kata “makian” yang sarkas atau kasar,
bahkan sebagian menilainya tabu (baca: kotor). Namun faktual, penelusuran antropologi
bahasa membuktikan bahwa sesungguhnya kata tersebut tidaklah bermakna atau
bermaksud demikian. Malahan, pada mulanya kata tersebut memiliki makna yang sangat
baik dan sama sekali jauh dari tabu. Lebih lanjut, simak uraian berikut ini.
| | |
Alkisah, dahulu kala, di sebuah perkampungan santri Jawa Timur, suatu
malam terdapat beberapa santri yang sedang “nongkrong” di sebuah cakruk[1],
tiba-tiba mereka melihat salah seorang temannya yang juga santri tengah
berjalan dengan seorang wanita (santriwati), melihat sang teman berjalan mesra di
gelapnya malam dengan seorang wanita yang bukan muhrim, secara spontan para santri yang tengah nongkrong tersebut
pun berkali-kali mengatakan, “Ojo ngecuk!
Ojo ngecuk!” (“Jangan main perempuan!
Jangan main perempuan!”). Kalimat ojo
ngecuk yang kemudian menjadi sering dilontarkan tiap kali ditemui santriwan
dan santriwati tengah berduaan (bahkan tak harus santriwan dan santriwati),
lambat-laun, melalui proses penyederhanaan bahasa terdengar singkat menjadi djocuk, kemudian melalui proses
penyesuaian lidah (kemudahan pengucapan) berubah menjadi djancuk sebagaimana kerap kita dengar saat ini.
Melalui uraian singkat di atas, dapatlah ditilik bahwa pada mulanya kata
djancuk adalah istilah yang syarat bernuansa
“dakwah”, yakni teguran pada sesama muslim agar tak melakukan hal-hal yang
mengarah pada perzinahan. Rentang
waktu yang sangat lama berikut proses kebahasaan yang terjadi sedemikian
rupalah yang kiranya menyebabkan terjadinya perubahan makna pada kata tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena perubahan makna kata sedari
positif (baik) menjadi negatif (buruk) disebut dengan “peyoratif” sedang
sebaliknya, “amelioratif”.
*****
Referensi:
- Diskusi santai dengan Sdr. Romario Utomo, mantan ketua HMI Fisipol-UGM, saat ini tengah sibuk merampungkan skripsi.
hmmm... sebuah pemikiran yg menarik sebagai sebuah alternatif teori asal mula kata "jancuk". versi lainnya pernah ditulis oleh seorang peneliti dari Universitas Airlangga, dimana intinya kata tersebut merupakan gabungan dua kata: "jaran" dan "ngencuk". hal ini sangat menarik dan logis sekali, mengingat di beberapa daerah di jawa timur, khususnya di bagian barat, kata "jancuk" yang seringkali dilafalkan menjadi "dancuk" sering kali diiikuti/dihubungkan dengan kata "jaran". dancuk njaran.
BalasHapus