Semakin Didenda, Semakin
Menjadi-jadi
Studi Kasus terhadap Sepuluh Tempat Penitipan
Anak di Kota Haifa, Israel
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Umumnya, setiap kita begitu alergi kala mendengar kata “denda”. Kita
pun berusaha sekuat mungkin untuk menghindarinya. Selain dinilai
kontraproduktif dan sekedar membuang-buang uang, tak pelak, mereka yang terkena
denda turut mempertaruhkan kredibilitasnya di hadapan orang atau pihak lain.
Namun, terlepas dari premis umum di atas, fenomena aneh dan “tak umum”
terjadi di sepuluh tempat penitipan anak di kota Haifa, Israel. Suatu kali, dua
orang ekonom dimintai nasehat para pemilik tempat penitipan anak yang
“kelabakan” menghadapi para orang tua yang kerap terlambat menjemput anaknya. Di
samping menganjurkan sang pemilik untuk menetapkan denda sebesar tiga dolar jika
para orang tua lebih dari sepuluh menit terlambat menjemput, kedua ekonom tersebut sekaligus menggelar riset selama dua puluh pekan di tempat
itu.
Empat pekan pertama, mereka tak lantas menerapkan denda, melainkan
mendata banyaknya orang tua yang terlambat menjemput anak. Dalam sepekan,
kira-kira terdapat delapan kasus keterlambatan penjemputan di setiap tempat
penitipan anak. Dalam pekan keenam, denda mulai diberlakukan, namun apa yang
terjadi kemudian sangat mengejutkan, jumlah keterlambatan penjemputan di tiap
pekan justru naik dua kali lipat! Tercatat, sedari delapan kasus keterlambatan
penjemputan per pekan, kemudian melonjak drastis hingga nyaris mencapai angka dua
puluh kasus per pekan.
Apakah yang sekiranya menyebabkan terjadinya perihal di atas? Pertama,
kedua ekonom tersebut bersepakat bahwa denda yang ditetapkan terlampau kecil
sehingga para orang tua anak sama sekali tak merasa terbebani. Namun, apabila besaran
denda dinaikkan, akan timbul “kecurigaan” dari para orang tua anak, dan ini
akan menjadi persoalan tersendiri. Aspek kedua adalah moralitas orang tua itu
sendiri, mereka berpikir, ketimbang harus menghentikan hobi bermain tenis dengan
para kolega untuk menjemput anak, lebih baik membayar sejumlah denda yang
ditetapkan. Apa yang terbentuk dalam pikiran para orang tua kemudian adalah, untuk
menebus perasaan bersalah mereka, sekedar dibutuhkan tiga dolar, dan itu adalah
jumlah yang sangat kecil. Kemudian, mereka pun mulai berpikir bahwa terlambat
menjemput anak bukanlah persoalan besar.
Apa yang lebih mengejutkan lagi terjadi pada pekan ke-17 di mana kedua
ekonom tersebut mulai menghapuskan penetapan denda, dan tercatat, jumlah keterlambatan
penjemputan anak sama sekali tak berkurang sebagaimana periode-periode
pemberlakuan denda. Kedua ekonom tersebut pun menyimpulkan bahwa kini para
orang tua menjadi tak bermoral! Mereka dapat menjemput terlambat, tak perlu
membayar denda dan … tak perlu merasa bersalah...
Faktual, fenomena di atas menunjukkan bahwa pandangan umum yang telah
diterima bersama: reward and punishment atau
hadiah dan hukuman untuk merubah suatu perilaku, tak selamanya dapat diterapkan
pada setiap kasus. Fenomena tersebut membuktikan pula kekeliruan hukum ceteris-paribus dalam dunia ekonomi di
mana formulasi preposisi (teori) nyatanya tak dapat berlaku di segala situasi
dan kondisi.
*****
Referensi:
- Levitt, Steven D & Dubner, Stephen J. 2006. Freakonomics: Berpikir Jenius ala Ekonom. Yogyakarta: Baca!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar