Kamis, 01 September 2011

Semakin Didenda, Semakin Menjadi-jadi

Semakin Didenda, Semakin Menjadi-jadi
Studi Kasus terhadap Sepuluh Tempat Penitipan Anak di Kota Haifa, Israel

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Umumnya, setiap kita begitu alergi kala mendengar kata “denda”. Kita pun berusaha sekuat mungkin untuk menghindarinya. Selain dinilai kontraproduktif dan sekedar membuang-buang uang, tak pelak, mereka yang terkena denda turut mempertaruhkan kredibilitasnya di hadapan orang atau pihak lain.

Namun, terlepas dari premis umum di atas, fenomena aneh dan “tak umum” terjadi di sepuluh tempat penitipan anak di kota Haifa, Israel. Suatu kali, dua orang ekonom dimintai nasehat para pemilik tempat penitipan anak yang “kelabakan” menghadapi para orang tua yang kerap terlambat menjemput anaknya. Di samping menganjurkan sang pemilik untuk menetapkan denda sebesar tiga dolar jika para orang tua lebih dari sepuluh menit terlambat menjemput, kedua ekonom tersebut sekaligus menggelar riset selama dua puluh pekan di tempat itu.

Empat pekan pertama, mereka tak lantas menerapkan denda, melainkan mendata banyaknya orang tua yang terlambat menjemput anak. Dalam sepekan, kira-kira terdapat delapan kasus keterlambatan penjemputan di setiap tempat penitipan anak. Dalam pekan keenam, denda mulai diberlakukan, namun apa yang terjadi kemudian sangat mengejutkan, jumlah keterlambatan penjemputan di tiap pekan justru naik dua kali lipat! Tercatat, sedari delapan kasus keterlambatan penjemputan per pekan, kemudian melonjak drastis hingga nyaris mencapai angka dua puluh kasus per pekan.

Apakah yang sekiranya menyebabkan terjadinya perihal di atas? Pertama, kedua ekonom tersebut bersepakat bahwa denda yang ditetapkan terlampau kecil sehingga para orang tua anak sama sekali tak merasa terbebani. Namun, apabila besaran denda dinaikkan, akan timbul “kecurigaan” dari para orang tua anak, dan ini akan menjadi persoalan tersendiri. Aspek kedua adalah moralitas orang tua itu sendiri, mereka berpikir, ketimbang harus menghentikan hobi bermain tenis dengan para kolega untuk menjemput anak, lebih baik membayar sejumlah denda yang ditetapkan. Apa yang terbentuk dalam pikiran para orang tua kemudian adalah, untuk menebus perasaan bersalah mereka, sekedar dibutuhkan tiga dolar, dan itu adalah jumlah yang sangat kecil. Kemudian, mereka pun mulai berpikir bahwa terlambat menjemput anak bukanlah persoalan besar.

Apa yang lebih mengejutkan lagi terjadi pada pekan ke-17 di mana kedua ekonom tersebut mulai menghapuskan penetapan denda, dan tercatat, jumlah keterlambatan penjemputan anak sama sekali tak berkurang sebagaimana periode-periode pemberlakuan denda. Kedua ekonom tersebut pun menyimpulkan bahwa kini para orang tua menjadi tak bermoral! Mereka dapat menjemput terlambat, tak perlu membayar denda dan … tak perlu merasa bersalah...

Faktual, fenomena di atas menunjukkan bahwa pandangan umum yang telah diterima bersama: reward and punishment atau hadiah dan hukuman untuk merubah suatu perilaku, tak selamanya dapat diterapkan pada setiap kasus. Fenomena tersebut membuktikan pula kekeliruan hukum ceteris-paribus dalam dunia ekonomi di mana formulasi preposisi (teori) nyatanya tak dapat berlaku di segala situasi dan kondisi.

*****

Referensi:
  • Levitt, Steven D & Dubner, Stephen J. 2006. Freakonomics: Berpikir Jenius ala Ekonom. Yogyakarta: Baca!.   


                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar