Mitos “Pulong Gantung” Masyarakat
Gunung Kidul
Sebuah Tinjauan Sosiologis
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Pernahkah Anda mendengar tentang mitos “Pulong Gantung”? Ya, itu adalah
sebuah mitos yang berasal dari masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Hingga
kini, keberadaan mitos tersebut masih terpelihara dengan baik, meskipun mulai
banyak dari masyarakat setempat yang tak lagi mempercayainya dengan alasan “rasional”.
Terlepas dari itu, terdapat salah seorang mahasiswi Sosiologi-Universitas
Gadjah Mada, Fransiska Romana Catur Utami yang merasa tergelitik untuk
mengangkat mitos Pulong Gantung tersebut dalam sebentuk tugas akhir (baca: skripsi) guna
memperoleh gelar sarjana.
Apakah yang Dimaksud dengan
Pulong Gantung?
Dalam sebuah kesempatan, Fransiska pernah menuturkan hasil penelitiannya
mengenai mitos di atas pada penulis. Ia mengatakan bahwa mitos Pulong Gantung telah
diwarisi secara turun-temurun sejak berabad-abad lalu. Meskipun tak jelas sejak
kapan mitos tersebut mulai muncul, namun ia mengatakan bahwa salah seorang
responden tertuanya adalah pria berusia 68 tahun, dan cerita mengenai mitos
tersebut diperolehnya dari kakek-nenek.
Pulong Gantung sendiri berwujud bola api berekor—sebagian orang menganggapnya komet—yang kerap melayang di udara, kemudian jatuh di
salah satu atap rumah penduduk. Masyarakat setempat meyakini bahwa apabila pertanda
yang dibawanya baik, maka bola api itu akan berwarna putih atau biru. Pertanda baik
itu semisal salah seorang penduduk akan memenangi perebutan kursi lurah atau camat,
bisa juga bakal memenangi lotre atau undian yang diikutinya. Namun, apabila bola
api tersebut berwarna merah, maka kesialan atau tragedilah yang akan dituai
sang pemilik rumah, tragedi itu umumnya berupa salah satu anggota keluarga yang
akan melakukan tindakan bunuh diri. Dan entah mengapa, hingga kini, Pulong
Gantung lebih kerap diasosiasikan sebagai pertanda akan adanya warga yang bunuh
diri, “Jika Pulong Gantung tampak, maka
akan ada warga yang bunuh diri”, demikian tegasnya. Sebagaimana diutarakan
Fransiska melalui informasi yang diperolehnya, Pulong Gantung untuk terakhir
kalinya tampak pada tahun 1999.
Tinjauan Sosiologis Pulong
Gantung
Dalam perspektif sosiologis, tindakan bunuh diri yang dilakukan individu
sekedar disebabkan oleh dua hal, yakni ikatan sosial yang terlampau kuat,
ataukah ikatan sosial yang terlampau lemah. Bunuh diri akibat ikatan sosial
yang terlampau kuat semisal salah satu tradisi kuno di India yang mensyaratkan
istri ikut mati bersama suaminya, atau keharusan prajurit Jepang untuk
melakukan “harakiri” guna menyelamatkan harga diri. Sedang, bunuh diri terakhir—akibat ikatan sosial yang terlampau lemah—umumnya ditemui pada berbagai masyarakat negara
maju di mana corak kehidupannya begitu individualis sehingga setiap individu di
dalamnya harus menanggung seluruh beban hidupnya sendiri tanpa ada tempat untuk
berbagi.
Menilik fenomena Pulong Gantung di atas, faktual mitos tersebut
merupakan salah satu bentuk “kearifan lokal”[1]
masyarakat yang secara tak langsung mengajak pada setiap warganya untuk tetap
menjaga budaya silaturahmi dan gotong-royong sehingga tak ditemui lagi
individu-individu yang putus asa dan melakukan bunuh diri akibat harus
menanggung segala penderitaan hidupnya sendiri. Dengan demikian, meskipun rasionalitas
kehidupan modern telah membuat mitos Pulong Gantung tak lagi diyakini banyak
orang, sudut pandang sosiologis tetap menegaskan betapa ia (mitos Pulong
Gantung) masih menemui relevansinya di era sekarang, era di mana kesulitan
hidup kian dirasakan individu/masyarakat kita dari hari ke hari.
*****
Sumber:
- Diskusi ringan dengan Fransiska Romana Catur Utami (29 Januari 2010), saat ini merupakan dosen Sosiologi ATMI-Cikarang.
- Samuel, Hanneman. 2010. Emile Durkheim: Riwayat, Pemikiran dan Warisan Bapak Sosiologi Modern. Jakarta: Kepik Ungu.
[1] Secara sederhana, “pengetahuan
yang dikonstruksi (dibuat) oleh masyarakat setempat”, biasanya penuh simbol dan
berbagai makna halus yang tersirat.
saya orang gunung kidul, tapi saya tidak percaya dengan mitos tsb mas...
BalasHapusbaguslah mas. kegaibannya memang tak perlu dipercayai lagi, tapi muatan kearifan lokal yang tersibak di baliknya lah yang tetap perlu menjadi perhatian ;)
BalasHapus