Gangnam Style dan Fenomena “Glokalisasi”
Oleh: Wahyu
Budi Nugroho
Semenjak dirilis bulan Juli lalu, lagu
dan tarian Gangnam Style ‘Gaya
Gangnam’ kreasi Park Jae Sang, atau yang lebih dikenal dengan panggilan PSY, merajai
tangga lagu di berbagai belahan dunia. Penyanyi Korea Selatan bertubuh tambun
tersebut pun menuai popularitas internasional dalam waktu sekejap. Bersamaan
dengannya, Gangnam fever ‘demam
Gangnam’ terjadi dimana-mana, tarian Gangnam dilakukan di banyak tempat, baik
dalam acara berskala lokal maupun internasional, bahkan bakal calon presiden
Amerika Serikat dari Partai Republik, Mitt Romney, turut menampilkan aksi
tarian Gangnam di atas panggung guna menarik simpati publik Amerika Serikat.
Tak pelak, kuatnya atmosfer globalisasi pun kembali dirasakan penduduk dunia, yakni
ketika perhatian masyarakat dunia tersita oleh suatu isu yang sama.
Namun demikian, demam Gangnam
senyatanya tak sekedar menguatkan kembali saling keterhubungan antarmasyarakat
dunia (globalisasi), melainkan pula memiliki muatan “glokalisasi” di dalamnya.
Istilah glokalisasi dipopulerkan oleh seorang ilmuwan sosial asal Amerika
Serikat, George Ritzer (2006), guna menunjuk pada kemampuan budaya lokal dalam
merespon atau mempengaruhi budaya global. Budaya lokal di sini diasosiasikan
dengan budaya masyarakat Timur mengingat dalam konstelasi globalisasi, budaya
masyarakat Barat demikian dominan di dalamnya, istilah yang kerap digunakan
untuk merepresentasikan hal tersebut adalah “westernisasi” (proses pembaratan
budaya). Sejauh ini, proses westernisasi berlangsung melalui tiga lini kebudayaan;
fun, food and fashion. Fun adalah proses pembaratan budaya melalui
jalur hiburan, semisal film dan musik. Food
melalui jalur konsumsi makanan, seperti merebaknya restoran cepat saji Barat
atau rumah makan lokal yang “kebarat-baratan” dewasa ini, dan fashion melalui jalur penampilan,
layaknya gaya rambut atau mode pakaian yang tengah digandrungi.
Tak pelak, muncul dan menyeruanya
Gangnam Style merupakan bentuk perlawanan terhadap pembaratan budaya dalam segi
fun atau hiburan. Gangnam membuktikan
bahwa masyarakat Timur pun mampu menghasilkan kreasi tarian yang dapat
mempengaruhi masyarakat dunia. Bentuk perlawanan tersebut terejawantahkan lewat
format dan pola tarian Gangnam yang tak melulu
mengeksploitasi erotisme dan keseksian tubuh penarinya seperti tarian-tarian
Barat yang tampak selama ini, tarian ala Katy Perry dan Lady Gaga misalnya.
Sebaliknya, tarian Gangnam lebih menonjolkan sisi humor dan slapstick penarinya. Hal tersebut tampak
dengan ketambunan tubuh PSY dipadu dengan kelincahan geraknya yang seolah
tengah menunggangi kuda. Alhasil, bentuk koreografi tarian tersebut lebih
mendekati sebagai joking ‘candaan’
ketimbang erotis, dan nyatanya, tarian yang demikian pun dapat menuai
kegandrungan masyarakat dunia.
Apabila kita menilik ke belakang,
sesungguhnya fenomena glokalisasi tak baru kali ini saja terjadi. Sebelumnya, India
dengan produksi film Bollywood-nya cukup sukses mewarnai jagad perfilman dunia
yang selama ini didominasi oleh film-film produksi Hollywood. Jepang dengan manga (komik) dan gaya penampilan harajuku-nya mampu menyita perhatian para
remaja di Barat. Turki dengan makanan tradisional kebab yang mendunia. Bahkan,
Indonesia pun pernah andil dalam penciptaan fenomena glokalisasi, yakni ketika
cita rasa masakan rendang dan keindahan motif kain batik diakui oleh seluruh
dunia. Dan fenomena terakhir, Gangnam Style, agaknya kian memperkukuh pengaruh
K-Pop pada masyarakat dunia sekaligus menegaskan kemampuan masyarakat Timur
dalam mempengaruhi budaya global.
Namun demikian, satu hal yang perlu
kita ingat, mendunianya Gangnam Style tak terlepas dari peranan media jejaring
dunia maya. Kepopuleran yang dituai Gangnam Style dalam waktu singkat disebabkan
oleh diunggahnya video tersebut dalam situs Youtube
sehingga masyarakat berbagai belahan dunia dapat mengaksesnya. Tercatat, hingga
kini tak kurang dari 2 juta penduduk dunia telah menyaksikan video Gangnam
dalam situs tersebut. Hal ini kiranya turut menunjukkan bahwa jejaring dunia
maya tak selalu membawa muatan negatif, melainkan dapat pula mendorong
kreativitas individu maupun kolektif. Oleh karenanya, sudah sepatutnya masyarakat
Timur, khususnya masyarakat tanah air memanfaatkan peluang yang terdapat dalam
jejaring dunia maya untuk andil dalam mewarnai budaya global. Di samping
mendatangkan keuntungan materiil, pewacanaan terhadap budaya global turut mendatangkan
prestis tersendiri di mata dunia internasional.
Tegas
dan jelasnya, fenomena glokalisasi merupakan kabar baik bagi kemandirian budaya
masyarakat Timur. Artinya, di era globalisasi dewasa ini, faktual masyarakat
Timur tak hanya dapat bertindak selaku konsumen dan menerima secara pasif
berbagai budaya yang berasal dari Barat, melainkan dapat pula menjadi produsen
dan aktif menelurkan beragam budaya bagi masyarakat dunia. Tak menutup
kemungkinan pula, apabila masyarakat Timur tak henti-hentinya menelurkan
berbagai kreasi baru, maka globalisasi tak lagi berasosiasi dengan
westernisasi, melainkan “easternisasi” (proses pen-Timur-an budaya). Dan semoga
saja, adagium yang berbunyi, “Eropa
adalah masa lalu, Amerika Serikat adalah masa sekarang, dan Asia adalah masa
mendatang”, memang benar adanya.
*****
betul sekali tidak menutup kemungkinnan masyarakat timur akan menjadi setara dengan negara2 yg sudah maju atau dianggap moderen dengan keunggulan yg dimiliki oleh masyarakat timurrb baik dari fun, foot n fashion.... i like it
BalasHapusyap, semoga saja dalam waktu dekat ini :)
BalasHapusInformasi yang menarik, , , salam blog pendidikan
BalasHapussalam juga SS Belajar :)
BalasHapusthanks
betulkah? jangan2 orang di dunia memiliki kesukaan yang sama tentang gaya yang lucu, jangan2 si gangnam style terinspirasi dari barat? apakah ada karakteristik bersama yang bisa dipahami oleh berbagai masyarakat dan melampaui budaya, senyum, gerakan lucu dan sebagainya. terlalu sederhana mengatakan 'budaya' timur dalam kasus ini, mewarnai budaya dunia. tapi bila dikatakan gaya orang timur ini mewarnai gaya dunia bisa jadi.
BalasHapus