FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI INSTRUMEN PEREDUKSI RADIKALISME BERAGAMA
PENDEKATAN INDIVIDUAL-FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL
SEBAGAI ALTERNATIF PEREDAM TINDAK TERORISME
BERWAJAH AGAMIS DI ERA KONTEMPORER
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
“Iman
baru ada setelah akal mulai berhenti…”
(Soren A. Kierkegaard)
Pendahuluan
Layaknya metafora Giddens (2009:
183-184) akan laju dunia dewasa ini sebagai juggernaut,
sebuah panzer besar yang berlari kencang tanpa arah dan sewaktu-waktu dapat
terguling berikut pecah berkeping-keping. Kiranya, sulit untuk dielakkan bahwa
saat ini juga kita hidup dalam dunia-juggernaut
sebagaimana ungkap Giddens. Secara denotatif, konotasi tersebut menunjuk pada dunia
dengan beragam muatan kepentingan yang berbeda-beda tanpa ditemui titik temu di
dalamnya. Masing-masing pihak saling berupaya memaksakan kehendaknya tanpa
menghiraukan keberadaan pihak lain, berbagai bentuk batasan—koridor—yang ada
pun diterjang begitu saja tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin hadir
kemudian. Giddens memastikan bahwa dunia yang demikian cepat atau lambat bakal
menemui kehancurannya.
Dalam ranah kontemporer, bentuk-bentuk
persinggungan keras di atas salah satunya dapat dimisalkan melalui vis-à-vis antara demokratisasi dengan “teokratisasi”
yang kian intens terjadi pasca berakhirnya Perang Dingin, atau apabila hendak dikatakan
secara lebih gamblang, pertentangan antara kubu (golongan) sekular dengan
pro-Agamis. Hal tersebut, seakan mengamini
tesis Arnold Toynbee, antropolog kenamaan Amerika Serikat, yang menyatakan
bahwa pasca perang melawan komunisme usai, Barat akan menghadapi perang yang
jauh lebih besar lagi, yakni perang melawan Islam, terkait kembalinya sentimen
“Perang Salib”. Senada dengan Toynbee, Guru Besar Ilmu Politik Hardvard, Samuel
P. Huntington (2006: 381-382) menegaskan bahwa pasca-Perang Dingin masyarakat
Barat syarat menerima kenyataan bahwa mereka akan hidup dalam konstelasi
“benturan antarperadaban”, yakni sebuah tata dunia yang dijejali dengan tarik-ulur
kepentingan perebutan hagemoni antara Barat—kapitalisme—dengan Islam.
Satu hal yang kiranya menjadi persoalan
urgen dan tengah “panas” dibicarakan akhir-akhir ini terkait konstelasi dunia dalam
era benturan antarperadaban adalah meningkat signifikannya tindak terorisme di
berbagai belahan negeri muslim dunia. Bahkan, implikasi yang ditimbulkannya telah
dirasakan langsung oleh negara-negara Barat, peristiwa September Kelabu (9/11) misalnya,
yang sontak memicu ditabuhnya genderang perang melawan terorisme global.
Terkait hal tersebut, Grant Wardlaw
(dalam Abimanyu, 2005: 15) berkomentar, “Terrorism
is now an export industry” [“Saat ini terorisme telah menjadi komoditas
ekspor”]. Kiranya, persoalan takkan menjadi sepelik ini bilamana status hukum
suatu negara memang berada dalam “kondisi perang”—bukannya damai—sehingga aksi-aksi
terorisme yang dilancarkan pada lawan dapat dimaklumi, dan memang, jika suatu
negara berada dalam kondisi demikian, maka aksi perlawanan yang dilakukan tak
dapat disebut sebagai tindak terorisme. Oleh karenanya, persoalan akan menjadi
jauh berbeda jika status hukum suatu negara berada dalam kondisi damai,
aksi-aksi terorisme akan menemui bentuknya sebagai perihal yang absurd
mengingat ketiadaan sasaran yang jelas berikut jatuhnya korban sipil tak
berdosa yang tak sedikit. Tragedi Bom Bali I dan II di tanah air kiranya dapat
dijadikan misal konkret akan hal tersebut.
Sejauh ini, pendekatan yang dilakukan
guna mencegah bersemai dan tumbuh-kembangnya bibit terorisme cenderung bias
ekonomi, pun lebih berfokus pada unit
sosial berupa kelompok, komunitas, organisasi ataupun masyarakat. Kajian Esping
Anderson, seorang sosiolog asal Denmark mengenai terorisme misalnya,
menitikberatkan pada aspek kesejahteraan guna menanggulangi permasalahan
terkait. Menilik hal tersebut, kiranya diperlukan pendekatan yang lebih
komprehensif guna menangani problem terorisme yang kadung menjadi persoalan dunia internasional ini, yakni sebentuk
pendekatan yang tak sekedar berfokus pada unit kolektif, tetapi juga menyentuh unit
individu (person entity), dan kebutuhan
tersebut kiranya dapat dijawab melalui konsep “fenomenologi-eksistensial”
cetusan Soren Aebey Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis asal Denmark. Secara
ringkas, konsep terkait tak hanya menyentuh dimensi kedirian individu—unit
individu, tetapi juga menitikberatkan pada level pengalaman eksistensial
individu, yang dengan demikian jauh dari simplifikasi penghitungan matematis-ekonomi
yang diyakini besar mempengaruhi tindakan aktor. Hal ini dirasa penting
mengingat pengalaman beragama merupakan pengalaman yang bersifat eksistensial, dan
oleh karenanya diperlukan pendekatan yang bersifat eksistensial pula guna
memahaminya.
Eksistensialisme Theistik dan Fenomenologi
Eksistensial-Soren Kierkegaard
Sekilas
mengenai Eksistensialisme Theistik
Eksistensialisme
merupakan salah satu arus besar filsafat Eropa yang agaknya mulai terlupakan
dewasa ini. Adalah Jean Paul Sartre (1905-1980), selaku tokoh sentral filsafat
terkait mengingat dalam eksemplarnya, Being
and Nothingness serta Existentialism
is Humanism, ia secara eksplisit mencetuskan istilah “eksistensialisme”
dengan segenap batasan-batasannya, berikut menguraikan dengan cukup mendetail
perihal bagaimana seharusnya menjalani hidup sebagai seorang eksistensialis.
Tema-tema yang diulas dalam filsafat eksistensialisme berkutat pada seputar
permasalahan keterasingan (kesendirian) manusia, otentitas manusia, pemaknaan
individu, absurditas berikut kebebasan individu (Martin, 2003: 1-2; Lathief,
2010: 5). Perkembangan terakhir dari filsafat terkait dapat kita lacak melalui keberadaan
aliran psikoanalisis eksistensial usungan Victor Frankl serta psikologi
eksistensial besutan Carl Rogers berikut Abraham Maslow, ditilik melalui
karya-karya yang telah dihasilkan oleh kedua percabangan eksistensialisme di
atas, kiranya psikologi eksistensial merupakan percabangan konsep eksistensialisme
yang paling jauh meninggalkan induknya (Lathief, 2010: 7).
Akar
dari filsafat eksistensialisme dapat dilacak kembali melalui pemikiran filsuf
melankolis asal Denmark, Soren Kierkegaard, serta filsuf anti-Fondasionalisme
Jerman, Nietzsche. Pada gilirannya, Kierkegaard melahirkan pemikiran
eksistensialisme bercorak theistik (agamis) dengan pengikut setia layaknya Karl
Jaspers, Paul Tillich, Rodaf Batman, Gabriel Marcel, Nicolai Berdyaef serta
Martin Buber. Sebaliknya, Nietzsche kemudian melahirkan filsafat
eksistensialisme bercorak atheistik dengan para pengikutnya seperti Martin
Heidegger, Fyodor Dostoyevsky, Maurice Ponty, Albert Camus dan terutama Jean
Paul Sartre. Perbedaan mendasar antar keduanya adalah, apabila eksistensialisme
theistik meyakini keterasingan manusia disebabkan oleh “dosa asali”, dan
karenanya Tuhan meninggalkan manusia dalam kesendirian di dunia, maka
eksistensialisme atheistik beranggapan bahwa keterasingan atau absurditas
kehidupan manusia disebabkan oleh ketiadaan tujuan manusia “mengada” di dunia—manusia
ada begitu saja di dunia, ia terhempas, terbuang, tanpa sebab dan tanpa tujuan
(Palmer, 2007: 19-20 & 27-28).
Lebih
jauh, satu proyek besar yang berupaya digarap
oleh eksistensialisme theistik-Soren Kierkegaard adalah menjawab pertanyaan: “Bagaimana menjadi seorang kristiani di dalam
umat Kristen?”. Kierkegaard menganggap, dewasa ini nama Tuhan sedemikian
mudah diucapkan, setiap orang menyebut nama Tuhan dengan gampangnya. Tegas dan
jelasnya, Kierkegaard menganggap bahwa nama Tuhan telah menjadi sedemikian
sepele, murah dan tanpa kesakralan sama sekali—kiranya tak jauh berbeda dengan kondisi
yang kita hadapi saat ini.[1] Ia kemudian
menganggap bahwa upaya guna men-sakral-kan kembali nama Tuhan hanya dapat
ditempuh dengan memahami-Nya kembali secara subyektif, bukannya secara kolektif;
larut dalam keanggotaan suatu jamaah, organisasi keagamaan, sekte dan lain
sejenisnya. Guna mewujudkannya, diperlukan sebentuk metode yang sekiranya mampu
memikul beban di atas, yakni sebentuk metode yang mampu mencapai pemahaman subyektif
akan berbagai bentuk gejala yang ditimbulkan-Nya, dan satu-satunya metode
tersebut bagi Kierkegaard adalah “fenomenologi eksistensial” (Martin, 2003:
3-6).
Sekilas
mengenai Fenomenologi Eksistensial
Layaknya fenomenologi cetusan sang
mahaguru, Edmund Husserl, fenomenologi eksistensial besutan Kierkegaard tak
kehilangan kekhasan karakteristik dari fenomenologi-Husserl, yakni penggunaan epoche atau “tanda kurung” [(…)] dalam memandang
atau menafsirkan setiap fenomena. Epoche
tersebut pada gilirannya berfungsi sebagai bentuk “penangguhan sementara” agar
subyek tak seketika melakukan justifikasi atau penilaian-penilaian terhadap
gejala yang menampakkan diri di hadapannya. Dengan kata lain, epoche dalam fenomenologi berfungsi
sebagai “pengosong pikiran” agar gejala tersebut menampakkan diri sebagaimana
adanya, tak tercemar oleh asumsi atau pemikiran subyek sebelumnya. Hanya saja,
apabila Husserl menekankan tiga tahapan fenomenologi guna mencapai pemahaman
subyektif berupa; reduksi fenomenologis, reduksi eiditis serta reduksi
transendental, Kierkegaard menggantinya dengan tahapan-tahapan “lompatan iman”
berupa; tahapan estetis, tahapan etis, serta tahapan religius (Hadiwijono,
1995: 143; Palmer, 2005: 76-77; Vardy, 2005: 46).
Menurut Kierkegaard, tahapan estetis
ditandai dengan kehidupan seseorang yang penuh dengan penipuan diri, yakni ditunjukkan
melalui aktivitas seseorang yang sekedar mengejar kesenangan duniawi. Seorang
pemabuk misalkan, ia memahami benar bahwa setelah kesadarannya kembali, maka
hilanglah sudah kenikmatannya, untuk kembali mendapatkan kesenangannya, ia pun
syarat menenggak minumannya kembali, dan demikian seterusnya. Apabila sang
pemabuk di atas menyadari bahwa yang dikejarnya sekedar ke-fana-an dan
menginsyafinya, maka ia pun segera melompat pada tahapan etis. Tahapan etis,
menurut Kierkegaard, ditandai dengan pola pikir dan perilaku seseorang yang selaras
dengan masyarakat. Tegas dan jelasnya, keadaan di mana seseorang menyesuaikan
diri dengan nilai dan norma masyarakatnya. Lebih jauh, apabila kemudian ia
merasakan kehampaan dalam tahapan tersebut, dalam arti, menemui serangkaian
“ketidakberesan” dalam masyarakat, semisal kejenuhan dalam bekerja dikarenakan pola
kerja yang terlampau mekanistis, ketidakbermaknaan dalam bersosialisasi, budaya
hipokrit dan lain sejenisnya, maka dengan segera individu tersebut pun bakal mengalami
lompatan terpenting dalam hidupnya, yakni “lompatan iman” menuju pada tahapan
religius. Dalam tahapan religius, individu mulai menyadari keunikan dan
ke-spesifik-kan dirinya di hadapan Tuhan, ia pun menginsyafi bahwa dirinya tak
dapat demikian saja dileburkan ke dalam masyarakat—disamakan begitu saja. Bagi
Kierkegaard, pada tahapan ini entitas individu sekedar tunduk pada perintah dan
larangan Tuhan, bukannya masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga, organisasi,
jamaah, sekte atau lain sejenisnya (Palmer, 2005: 79-108; Vardy, 2005: 46-76).
Hal di
atas dimisalkan Kierkegaard dengan peristiwa agung Abraham—bapak segala umat—yang
dengan rela hati lagi ikhlas menyembelih putera kesayangannya, Ishak,[2] dikarenakan
perintah Tuhan melalui mimpi. Bagi pandangan masyarakat kebanyakan, tentu tindakan
yang dilakukan Abraham merupakan sebentuk “kegilaan”, bagaimana mungkin seorang
ayah menyembelih putera kesayangannya sendiri, hal tersebut tentunya di luar
akal sehat. Namun, tanpa menghiraukan nilai dan norma sosialnya, Abraham tetap
bersikukuh untuk menyembelih puteranya. Hal ini sesungguhnya menunjukkan bahwa Abraham
telah melakukan lompatan iman, di mana perihal yang diperbuatnya semata-mata
dikarenakan oleh perintah Tuhan. Namun demikian, Kierkegaard menyayangkan,
sesungguhnya dalam peristiwa di atas Abraham masih berkesempatan untuk
melakukan “penangguhan fenomenologis”, yakni dengan mendayagunakan epoche (tanda kurung), ia dapat
mempertanyakannya terlebih dahulu, apakah perintah tersebut benar-benar datang
dari Tuhan ataukah iblis. Namun, meskipun pada akhirnya Abraham tetap bersikukuh
menyembelih Ishak, Kierkegaard tetap menganggapnya telah berada pada tataran
religius mengingat ia—Abraham—menganggap perintah tersebut berasal dari Tuhan,
dan siapa jua yang mengetahui jika sebelumnya
ia telah melakukan penangguhan fenomenologis (Palmer, 2005: 109-114). Inilah
esensi utama dari konsep fenomenologi eksistensial-Kierkegaard, bahwa untuk “berkomunikasi”
dan memahami kehendak Tuhan, maka individu syarat berada pada tahapan religius,
terlepas dari ikatan sosial manapun serta menyadari sepenuhnya keunikan berikut
ke-spesifik-kan dirinya di hadapan Tuhan.
Radikalisme, Fundamentalisme dan Terorisme di Era
Kontemporer[3]
Terminus
“radikal” yang membentuk istilah “radikalisme” berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti “akar”. Dengan
demikian, “berpikir secara radikal” sama artinya dengan berpikir hingga ke
akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan
sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21). Lebih jauh, radikalisme kerap
dikaitkan dengan istilah “fundamentalisme”. Fundamentalisme sendiri dapat
diterjemahkan sebagai asas, dasar, fondasi atau hakikat. Adapun istilah
“fundamentalis” dapat dimaknai sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat
kolot dan reaksioner berikut selalu berupaya mengembalikan ajaran agama
layaknya yang termaktub dalam kitab suci (Azhar, 2001: 119).
Dalam Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism,
Roxanne L. Euben (1999: 16-17) menjelaskan bahwa pada mulanya istilah
fundamentalisme digunakan untuk menandai gerakan Kristen Protestan-Amerika
Serikat pada awal abad ke-20 yang berupaya menyuarakan kembali penafsiran bibel
secara harafiah (literally). Dalam
Islam sendiri pungkasnya lebih jauh, istilah fundamentalisme tak ditemui di
dalamnya, istilah terdekat guna me-representasi-kan perihal terkait dalam Islam
adalah usuli yang kurang-lebih
berarti “akar” atau “dasar”. Tak pelak, dewasa ini istilah tersebut kerap
diasosiasikan dengan gerakan Islam-ideologis atau Islam-politik. John L.
Eposito misalnya, menyamakan istilah Islam-politik dengan fundamentalisme
Islam, begitu pula dengan Oliver Roy yang menafsirkan Islam-politik sebagai
kelompok yang meyakini Islam baik sebagai agama maupun ideologi politik, lebih
jauh, ia menyebutnya secara spesifik sebagai “neofundamentalisme” (Huntington,
2006: 179; Turmudi & Sinbudi, 2005: v). Kiranya, peran media tak dapat
dikesampingkan pula dalam andil mempopulerkan istilah di atas.
Jalaluddin Rakhmat (dalam Azhar,
2001: 122) menguraikan adanya empat pengertian mengenai fundamentalisme Islam. Pertama, fundamentalisme sebagai gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah. Kedua, menunjuk pada gerakan penolakan keras terhadap modernisme
Islam yang dibawa kelompok Wahabiyah
dan Salafiyah—disebut pula sebagai
fundamentalisme klasik. Ketiga,
sebagai gerakan yang menentang weternisasi dalam Islam akibat arus globalisasi.
Keempat, sebuah keyakinan bahwa Islam
mampu menjadi ideologi alternatif.
Terkait dengan fundamentalisme dalam
pengertian terakhir, yakni sebagai bentuk keyakinan bahwa Islam mampu menjadi ideologi
alternatif, ditemui dua kubu Islam yang mengamininya namun memiliki metode
(cara) yang berbeda untuk mewujudkannya. Kubu pertama adalah mereka yang berupaya
mewujudkan hal di atas dengan menghalalkan segala cara, bahkan dengan cara-cara
kekerasan. Sebaliknya, kubu kedua lebih bersikap hati-hati, mereka menegaskan
bahwa cara-cara kekerasan sekedar dapat dilakukan bilamana syarat dan rukunnya
terpenuhi, yang utama dan esensial adalah apabila suatu negara (wilayah) berada
pada status hukum perang, sedang negara-negara layaknya Indonesia, Malaysia
atau Filipina, tidaklah berada dalam status demikian—dalam status damai—oleh
karenanya, cara-cara yang seyogyanya digunakan untuk menegakkan ideologi Islam
ialah melalui jalur dakwah nir-Kekerasan. Kiranya, pertentangan argumen di atas
dapat dimisalkan dengan terpecahnya suara Jamaah Islamiyah (JI) kala merespon fatwa
Osama bin Laden untuk memerangi simbol-simbol Amerika Serikat dimanapun mereka
berada. Kelompok Hambali yang terdiri dari Ali Ghufron alias Muchlas, Abdul
Aziz alias Imam Samudera serta Amrozi, mengamini fatwa tersebut, sedang Thoriqudin
dan Ahmad Roihan menolaknya (Solahudin, 2011: 228).
Lebih jauh, formulasi antara
fundamentalisme dengan peng-halal-an segala cara guna merealisasikan orientasi
tersebutlah yang nantinya melahirkan tindak terorisme. Istilah terorisme sendiri
menurut Perpu RI No.1 Tahun 2003, ialah: Tindakan
dari seseorang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara luas.
Di sisi lain, menurut Ayatollah Shaykh Muhammad Al-Taskhiri, Presiden World Moslem Cleric Organization,
terorisme adalah “…an act carried out to
achieve on in human and corrupt objective and involving threat to security of
mankind, and violation of rights acknowledge by religion and mankind”
(Abimanyu, 2005: 130-131). Dalam pembahasan terkait, tindak terorisme
sebagaimana yang dimaksudkan adalah aksi bom bunuh diri maupun non-Bunuh diri dengan
target sasaran yang tak jelas sehingga memakan banyak korban yang tak
berdosa—wilayah dengan status hukum nonperang.
Kiranya,
persoalan terorisme berwajah agamis—Islam—dewasa ini syarat ditempatkan sebagai
sebuah jejaring besar, ia merupakan pintalan jejaring yang tak hanya sebatas
pada ranah nasional, tetapi juga dunia internasional. Fakta mengenai banyaknya
pelaku tindak terorisme di tanah air yang juga sekaligus merupakan “veteran”
jihad Afghanistan agaknya kian mempertegas pernyataan tersebut. Ditambah lagi, penggunaan
berbagai instrumen canggih dari para pelaku aksi terorisme kiranya menunjukkan
bahwa aksi tersebut nyaris tak mungkin dilakukan secara perseorangan atau oleh kelompok
kecil yang tak memiliki akses (hubungan) terhadap kelompok lebih besar dan tak memiliki
kapasitas finansial yang mumpuni. Hal tersebut pun terbukti melalui serangkaian
persidangan tindak terorisme yang digelar akhir-akhir ini dengan terungkapnya sejumlah
aliran dana guna menyokong dibentuknya kamp-kamp pelatihan terorisme berikut
aksi terorisme itu sendiri. Aksi terorisme Bom Bali I pada tahun 2002 misalnya,
faktual sebagian besar pendanaannya berasal dari Osama bin Laden (Wahono, 2012).
Fenomenologi Eksistensial sebagai Peredam Tindak
Terorisme Berwajah Agamis
Peranan fenomenologi eksistensial-Kierkegaard
guna meredam tindak terorisme berwajah agamis termanifestasikan dalam dua bentuk:
bagi “calon” pelaku tindak terorisme itu sendiri,[4] serta upayanya
guna menarik persoalan agamis (ketuhanan) sedari ranah publik pada ranah privat.
Sebagaimana penelaahan Kierkegaard atas kisah bapak segala umat, Abraham, yang
rela mengorbankan puteranya, Ishak, faktual tersedia ruang guna melakukan penangguhan
fenonemologis (epoche) di dalamnya,
meskipun memang, tak diketahui dengan pasti apakah Abraham telah menggunakannya
atau tidak. Begitu pula, dalam kasus calon pelaku tindak terorisme misalnya,
selalu tersedia ruang baginya guna melakukan penangguhan fenomenologis: Apakah ini—melakukan pemboman/bom bunuh
diri—benar-benar merupakan perihal yang diinginkan Tuhan?. Kenyataannya, banyak
dari pelaku pemboman/bom bunuh diri merupakan buah dari indoktrinasi individu-individu
yang berada pada tingkat atas organisasi—penggerak sentral atau para pemimpin
organisasi. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa mantan pelaku tindak
terorisme dan organisasi terkait secara vulgar, umumnya mereka yang direkrut untuk
melakukan aksi terorisme adalah para pemuda yang sebelumnya telah diamati
tindak-tanduk dan kepribadiannya, atau dengan kata lain, mereka yang terseleksi
adalah individu-individu dengan jaminan kepribadian Islami. Dengan demikian
asumsinya, apabila nantinya mereka mati kala melaksanakan “tugas suci”, maka insyaAllah bakal “syahid” (Kusaeni,
2009).
Hal di atas kiranya menunjukkan
secara eksplisit betapa ide atau inspirasi akan aksi terorisme besar
dipengaruhi oleh kolektif di luar individu itu sendiri, pada saat yang
demikianlah fenomenologi eksistensial berperan untuk mengambil jarak dari “kepungan”
pemahaman kolektif. Dalam hal ini, fenomenologi eksistensial berkualifikasi
guna merubah struktur dunia obyektif pada subyektif, atau dengan kata lain, merubah
sedari “apa yang mereka/kita rasakan” menjadi “apa yang aku rasakan”. Melalui kondisi
yang demikian, individu secara otonom dapat menimbang berulang kali apakah aksi
peledakan bom merupakan perihal yang benar-benar diinginkan Tuhan ataukah
tidak. Secara tak langsung, hal tersebut menyiratkan pencerabutan ide dan
pemikiran individu dari kelompok atau organisasi yang menaunginya, dan memang,
apabila individu tersebut sekedar menuruti arahan berikut perkataan orang-orang
di sekitarnya, maka ia telah kehilangan keunikan atau otentitas dirinya di
hadapan Tuhan, dan itu sama halnya dengan melecehkan Tuhan. Hal tersebut mengingat,
lewat kebesaran-Nya, Tuhan menciptakan setiap manusia dengan keunikan dan
otentitasnya masing-masing.
Secara tak langsung, pemahaman
subyektif atas Tuhan di atas menghantarkan pada transformasi kehidupan agamis sedari
ranah publik pada ranah privat. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, dewasa
ini nama Tuhan diucapkan dengan demikian gampangnya, nama-Nya dilegitimasi bagi
berbagai kepentingan, Ia menjadi sedemikian murah, sepele, atau lebih tepatnya,
mengalami desakralisasi. Dan, dalam pandangan eksistensialisme
theistik-Kierkegaard, bentuk-bentuk kelompok, organisasi, jamaah berikut sekte keagamaan secara jelas me-representasi-kan hal
terkait. Guna menghindarinya, individu syarat melampaui tahapan estetis dan
etis melalui lompatan iman sehingga mencapai tahapan religius. Terkait dengan
bentuk-bentuk perkumpulan keagamaan, kiranya hal tersebut terklasifikasi dalam tahapan
etis sebagaimana ungkap Kierkegaard, mengingat terafiliasinya individu pada
suatu bentuk ikatan sosial berikut upayanya untuk menyamakan pola pikir dan
tindakannya dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam kondisi yang demikian, ia
berpikir dan berperilaku layaknya anggota organisasi atau sekte, dan bukannya sebagaimana
yang dikehendaki Tuhan.
Melalui eksistensialisme
theistik-Kierkegaard serta “gaya berpikir” fenomenologi yang dibawanya,
jangankan aksi terorisme, jaringan terorisme pun takkan pernah terbentuk.
Sekali lagi, hal tersebut disebabkan oleh diterapkannya pemahaman subyektif
atas Tuhan. Gaya berpikir tersebut akan “menghubungkan” individu secara
langsung dengan Tuhannya, tanpa perantara individu lain, alih-alih organisasi
atau sekte keagamaan, dan sebagaimana dapat kita pastikan, pemahaman keagamaan
yang bertumpu pada suatu otoritas—pihak lain—besar kemungkinan melahirkan
distorsi, penyimpangan atau penafsiran-penafsiran tunggal yang syarat
kepentingan. Hal di atas faktual turut menunjukkan betapa fenomenologi
eksistensial-Kierkegaard sejalan dengan ide penarikan kehidupan agamis pada
ranah privat, dan apabila hal tersebut benar-benar dapat diwujudkan, maka
aksi-aksi terorisme pun tak akan terjadi. Mengapa? Apabila kita amati, berbagai
instrumen yang digunakan dalam perakitan sebuah bom tak hanya bersifat
spesifik, tetapi juga berbiaya tinggi, dan hal tersebut kiranya takkan dapat terwujud
tanpa adanya jaringan yang luas serta dukungan finansial yang mumpuni.
Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya, serangkaian aksi terorisme terbukti
melibatkan jaringan yang tak hanya mencakup ranah nasional, tetapi juga
internasional (dunia).
Bisa jadi, pertanyaan yang hadir
kemudian adalah, mungkinkah fenomenologi eksistensial dapat benar-benar menjadi
salah satu alternatif guna meredam tindak terorisme berwajah agamis—Islam—di era
kontemporer? Apakah konsep eksistensialisme, khususnya fenomenologi
eksistensial turut ditemui dalam Islam? Dan, bilamana tidak, bagaimanakah upaya
yang dapat ditempuh guna mengintegrasikannya dalam Islam tanpa menerjang berbagai
koridor yang ada?
Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam
Disadari atau tidak, faktual dimensi
eksistensialisme dapat kita temui dalam Islam. Beberapa dari karakteristik filsafat eksistensialisme sebagaimana
diungkapkan Vincent Martin seperti subyektivitas, otentitas, kesendirian dan
keterasingan, dapat pula ditemui dalam Quran, Sunnah serta kisah perjalanan hidup
Nabi Muhammad. Terkait dengan subyektivitas, terdapat firman-Nya dalam Hadist
Qudsi yang menyatakan, “Aku (Allah)
sebagaimana yang disangkakan hamba-Ku”. Sedang, dimensi otentitas dalam Islam
dapat kita temui dalam Q.S Al-Mukmin: 60, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu”. Secara tak langsung, dimensi
ke-otentik-an individu dalam ayat tersebut ditunjukkan melalui kebutuhan
berikut permasalahan seorang hamba yang tentunya demikian berbeda (spesifik)
dengan hamba lainnya, dan Allah memahaminya dengan meminta hamba-hamba-Nya
untuk mengadu (baca: berdoa) kepada-Nya.
Ihwal
kesendirian yang juga sedikit banyak berkaitan erat dengan dimensi ke-otentik-an
individu adalah berulang kalinya ditegaskan dalam Quran dan Hadist bahwa
tanggung jawab atas segala tindakan berikut amalan individu selama di dunia menjadi
tanggungannya seorang di akhirat kelak. Dalam hal ini, Islam tak mengenal
pertanggungjawaban dosa secara kolektif atau turun-temurun, segala tindakan
yang dilakukan individu murni dipikulnya seorang diri nanti. Begitu pula dengan
beberapa Hadist yang ajeg
mengingatkan kesendirian manusia kala dirinya berada di alam kubur, tanpa sanak
saudara, sahabat, alih-alih masyarakat. Serangkaian hal tersebut kiranya
menunjukkan dimensi eksistensial berupa kesendirian dalam Islam. Lebih jauh,
dimensi keterasingan dalam Islam ditunjukkan melalui perkataan berikut sejarah perjalanan
hidup Nabi Muhammad. Beliau pernah berkata bahwa Islam pada mulanya lahir dari keterasingan
dan pada akhirnya akan kembali lagi pada keterasingan. Kiranya, saat inilah era
sebagaimana yang dimaksudkan nabi tiba, yakni era di mana setiap pihak
mengatasnamakan Allah namun saling berselisih satu sama lain. Tentunya hal
tersebut bakal menimbulkan kebingungan berikut sebentuk pengalaman eksistensial
tersendiri bagi individu yang benar-benar berupaya menemukan Tuhannya, dan
kebingungan tersebut barulah dapat dipecahkan ketika ia melakukan pemahaman
subyektif terhadap Tuhan.
Selanjutnya,
upaya guna mengintegrasikan filsafat eksistensialisme dengan Islam secara utuh
dapat dilakukan dengan “mengoperasikan” konsep Islamisasi pengetahuan
sebagaimana digagas oleh Ismail Raj’i Al-Faruqi (dalam Kuntowijoyo 2006: 7-8,
53-54). Konsep Islamisasi pengetahuan, berbeda halnya dengan pengilmuan Islam,
apabila pengilmuan Islam beranjak sedari teks pada konteks, maka Islamisasi
pengetahuan beranjak sedari konteks menuju teks. Ini berarti, berbagai konsep
di luar Islam layaknya filsafat Barat, faktual dapat “di-Islam-kan” sejauh
melalui serangkaian tahapan penyaringan sehingga tak lagi mengancam akidah, dan
perihal urgen yang terdapat dalam proses tersebut adalah melakukan “pemaknaan
kembali” ide-ide di luar Islam agar sesuai dengan ajaran Islam sehingga perbenturan
antar keduanya pun tak ditemui kemudian.
Kesimpulan dan Penutup
Melalui
serangkaian penjabaran dan uraian singkat di atas, kiranya dapatlah ditilik
bahwa fenomenologi eksistensial memiliki potensi guna menjadi salah satu
alternatif peredam berikut pencegah tindak terorisme berwajah agamis—Islam—di
era kontemporer. Di samping itu, konsep terkait dapat pula ditempatkan sebagai “metode
pelengkap” dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme yang sebelumnya begitu
bias dengan pendekatan ekonomi berikut kolektif. Lebih jauh, penggunaan konsep fenomenologi
eksistensial dalam Islam kiranya menjadi mungkin mengingat ditemuinya pula
dimensi eksistensialisme dalam Islam, dan upaya guna mengintegrasikannya secara
utuh untuk menghindarkan terjadinya oposisi biner di dalamnya dapat ditempuh dengan
menggunakan konsep Islamisasi pengetahuan sebagaimana ditawarkan oleh Ismail
Raj’i Al-Faruqi.
*****
Referensi:
Buku;
- Abimayu, Bambang. 2005. Teror Bom di Indonesia. Bandung: Grafindo.
- Azhar, Muhammad. 2001. Fiqh Peradaban. Yogyakarta: Ittaqa Press.
- Euben, Roxanne L. 1999. Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism: A Work of Comparative Political Theory. USA: Princeton University Press.
- Giddens, Anthony. 2009. Konsekuensi-konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Hadiwijono, Harun. 1995. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
- Huntington, Samuel. 2006. Benturan Antarperadaban. Yogyakarta: Qalam.
- Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Lathief, Supaat I. 2010. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Lamongan: Pustaka Pujangga.
- Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Palmer, Donald D. 2005. Kierkegaard untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
- Palmer, Donald D. 2007. Sartre untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.
- Solahudin. 2011. NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.
- Taher, Tarmizi [dkk.]. 2004. Meredam Gelombang Radikalisme. Jakarta: Center for Moderate Moslem & CV Karya Rezeki.
- Vardy, Peter. 2005. Kierkegaard. Yogyakarta: Kanisius.
Internet;
- Kusaeni, Akhmad, 2009, Ditawari Jadi Pelaku Bom Bunuh Diri, http://www.antaranews.com/berita/1250077726/ditawari-jadi-pelaku-bom-bunuh-diri (13/06/2012).
- Wahono, Tri, 2012, Dana Osama bin Laden Dipakai untuk Bom Bali I, http://nasional.kompas.com/read/2012/03/26/14001755/Dana.Osama.bin.Laden.Dipakai.untuk.Bom.Bali.I (13/06/2012).
[1] Termasuk bentuk-bentuk
perkataan/pernyataan yang mengatasnamakan Tuhan.
[2] Dalam agama Islam, anak Abraham
yang dikorbankan adalah Ismail.
[3] Sebagian diambil dari paper penulis—dengan
berbagai penyesuaian, Gelombang
Radikalisme-Islam di Era Globalisasi: Menilik Sisi Paradoks Globalisasi sebagai
Ajang Pertarungan antara Gelombang Radikalisme Islam vis-à-vis Demokratisasi
(2012).
[4] Calon pelaku tindak terorisme kerap
pula disebut dengan julukan “calon pengantin” di dalam organisasi.
0 komentar:
Posting Komentar