“ALAYERS”: GENERASI PROGRESIF DAN REVOLUSIONER [?]*
Juara I Lomba Esai Sayembara Sospol Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia 2012
Juara I Lomba Esai Sayembara Sospol Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia 2012
“Alay gaya kayak artis, sok selebritis, norak-norak abis…”
(Lolita,
Alay [Anak Layangan])
Pendahuluan
“Progresif
dan revolusioner!”. Itulah dua kata yang kerap digunakan presiden pertama
kita, Soekarno, guna merepresentasikan suatu perubahan secara cepat dan
mendasar ke arah yang lebih baik.[1] Tak pelak, beberapa
dekade pasca sepeninggal beliau, bangsa Indonesia mengalami perubahan yang
cepat dan mendasar dalam berbagai lini kehidupan, sedari sosial, politik,
ekonomi, hingga budaya. Syarat diakui memang, penilaian akan baik-buruk serangkaian
bentuk perubahan tersebut bersifat diskursif. Artinya, berkelindan dengan ideologi
maupun sudut pandang pihak-pihak yang berkepentingan dengannya.
Satu di antara bentuk perubahan
tersebut yang agaknya kuat-mengemuka dalam beberapa tahun terakhir ini adalah penggunaan
“budaya alay” oleh mereka yang kerap dicap sebagai “generasi alay” atau alayers ‘anak-anak alay’. Diakui atau
tidak, budaya alay telah memiliki momentum tersendiri dalam sejarah
perkembangan budaya bangsa ini. Ia merupakan fakta budaya sekaligus fakta
sosial yang tak dapat dihindari, disembunyikan, alih-alih ditiadakan mengingat
telah menjadi bagian dari perjalanan masyarakat kita, utamanya generasi muda.
Lebih jauh, tulisan ini berupaya mengambil
posisi yang tegas di tengah pro-kontra yang terjadi antara sebagian pihak yang
menerima budaya alay vis-à-vis
sebagian lain yang menolaknya. Keyakinan penulis akan budaya sebagai perihal
yang lumer dan dinamis, berimplikasi pada sebentuk premis bahwa budaya alay pun
syarat dihargai dan diberikan tempat tersendiri dalam khasanah kebudayaan
bangsa. Di samping memang, besarnya potensi-agensi yang dibawa budaya alay
sebagai peretas dikotomi “budaya tinggi” dengan “budaya rendah”. Pun, peluluhlantah konservatisme budaya yang
dikukuhkan berikut dikristalkan golongan tua yang nyatanya sekedar berdampak
pada terhelatnya “pendangkalan budaya”.
Menyoal Definisi “Alay”
Tak dapat dipungkiri, hingga kini
istilah formal mengenai “alay” belumlah ditemui. Terminus terkait urung
terkategori Kamus Besar Bahasa Indonesia
sebagai salah satu kosakata yang diakui dan digunakan dalam keseharian hidup masyarakat
Indonesia. Namun demikian, berdasarkan informasi yang dihimpun melalui berbagai
sumber, setidaknya terdapat dua pengertian mengenai alay. Pertama, alay merupakan singkatan dari “anak layangan”, menunjuk
pada anak yang bergaya kampungan atau berpenampilan norak. Kedua, alay sebagai singkatan dari “anak lebay”. Istilah lebay sendiri berarti “berlebihan”.
Dengan demikian, alay sebagai “anak lebay” menunjuk pada sikap, gaya atau
penampilan anak-anak muda yang berlebihan—guna menarik perhatian pihak lain.[2]
Sejauh ini, budaya alay termanifestasikan
dalam tiga bentuk; gaya berpenampilan, gaya berbicara, serta gaya penulisan. Umumnya,
penampilan alay ditunjukkan dengan gaya rambut emo—terkadang berpadu dengan “topi kipas”, kacamata besar, pakaian
t-shirt junkies, boxer yang sengaja ditampakkan keluar, celana pensil, serta sandal converse atau sepatu model evans. Hanya saja, berbagai aksesoris
yang dikenakan para alayers terkadang
tampak sebagai “barang imitasi”—sangat mencolok bahkan. Kuat dugaan, hal
tersebut merupakan kompensasi tak terbelinya barang asli dengan harga selangit.
Di sisi lain, gaya berbicara alay
tampak dengan tinggi-rendah intonasi suara yang dibuat-buat, berikut penggunaan
serangkaian kata atau kalimat yang sengaja diplesetkan. Gaya berbicara “Fitri
Tropika”, artis kenamaan ibu kota, kiranya menjadi contoh apik bagaimana gaya berbicara alay dipraktekkan.[3] Sedang, penggunaan
kata atau kalimat yang diplesetkan dalam gaya berbicara alay agaknya sebagaimana
kerap kita dengar akhir-akhir ini: kalimat “ah,
masa sih?” menjadi “amacacih?”;
kata “serius” menjadi “ciyus”; serta kalimat “demi apa?” menjadi “miyapah?”.[4]
Terakhir, manifestasi budaya alay
dalam bentuk tulisan. Bisa jadi hal terkait merupakan perwujudan budaya alay yang
paling populer. Gaya penulisan alay ditandai dengan bentuk tulisan yang
memadukan huruf besar dengan huruf kecil, angka, bahkan juga beragam simbol
tanda baca. Sering pula, huruf-huruf pada suatu kata disubstitusikan dengan
huruf lain yang cukup mirip. Sebagai misal, kata yang sejatinya “facebook” menjadi “f4c3bv9h”. Dalam
kata tersebut, huruf “u” tergantikan dengan “v”. Contoh lain adalah kata “aku” yang kemudian menjadi “aq”. Gaya penulisan alay tak memiliki struktur
baku, yang dengan demikian menuntut “kreativitas tingkat tinggi” baik bagi
pembuat maupun penafsirnya. Kata “aku”
dalam bahasa alay misalnya, dapat dituliskan dengan beragam cara seperti; “aq”, “q”, atau “aQu”.
Tak begitu jelas sejak kapan budaya
alay menyerua ke permukaan. Namun seingat penulis, antara tahun 2005-2006 telah
banyak anak muda yang menggunakan gaya penulisan alay. Hanya saja, istilah alay
belum ditemui kala itu, sedang mereka yang menulis dengan gaya tersebut kerap
menuai predikat sebagai “anak funky”. Di satu sisi, tak dapat dipungkiri pula bahwa
perkembangan media jejaring sosial dunia maya turut andil dalam menumbuh-kembangkan
budaya alay di kalangan generasi muda tanah air. Diawali dengan friendster, kemudian facebook, hingga yang termutakhir: twitter.
Budaya Alay Patut Dihargai dan Diapresiasi[5]
Sebagaimana subjudul di atas—Budaya Alay Patut Dihargai dan Diapresiasi—kiranya
penulis tergabung dalam barisan mereka-yang menyarankan perlunya budaya alay,
khususnya yang mewujud dalam bentuk aksara atau tulisan, diberikan tempat
tersendiri dalam khasanah kebudayaan bangsa. Meskipun memang, banyak pihak
menolak gagasan tersebut dengan alasan; berlebihan, tak jelas, berikut merusak
EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dalam
bahasa Indonesia. Serangkaian alasan tersebut memang tak sepenuhnya salah. Namun,
menjadi perihal yang tak bijak pula bila menjadikannya
tameng guna mengeliminasi budaya alay
dari wacana kebudayaan kontemporer. Mengapa? Pertama, alay merupakan budaya yang murni-lahir dari kreativitas
anak bangsa, yang dengan demikian syarat dihargai dan diapresiasi keberadaannya.
Kedua,
alasan kemajuan budaya. Apabila kita cermati, faktual tren budaya yang telah
lama berkembang di negara tetangga, Malaysia, adalah budaya “kreolisasi bahasa”.
Kreolisasi bahasa menunjuk pada penyesuaian antara penulisan aksara dengan pengucapan
lidah masyarakat Malaysia terhadap kata-kata asing. Sebagai misal, penulisan kata
“facebook” melalui proses kreolisasi
bahasa akan berubah menjadi “fesbuk”,
atau kata “snack” yang kemudian menjadi
“snek”. Nyatanya, pemerintah Malaysia
tak ambil pusing dengan hal tersebut, dan hingga kini bahasa kreol telah
digunakan secara luas.
Ketiga,
terkait tuduhan bahwa bahasa alay bakal merusak EYD. Memang, apabila bahasa
alay ditempatkan sebagai perkembangan lanjutan dari bahasa Indonesia, maka ia sudah
pasti “memporak-porandakan” struktur bahasa yang telah mapan, namun sebaliknya jika
bahasa alay ditempatkan sebagai “percabangan kreatif” dari bahasa Indonesia. Penempatan
tersebut menunjuk pada posisinya sebagai bahasa alternatif yang dapat digunakan
selain bahasa Indonesia, tentunya berdasarkan konteks yang melingkupinya.[6] Apabila dapat terwujud,
bukankah hal tersebut justru menambah wawasan kebahasaan kita?. Dengan
demikian, tak ada alasan bagi para penentang gaya bahasa alay untuk
memberangusnya dari wacana kebudayaan kontemporer tanah air.
Terkait budaya penampilan alay, jika
kita amati sejauh ini, generasi muda tanah air cenderung “latah” terhadap beragam
budaya penampilan yang datang dari luar. Gaya berpenampilan ala punk, gothic, harajuku, atau K-Pop misalnya. Pertanyaannya, mengapa
serangkaian budaya tersebut dapat mendunia? Hal ini tak lain dikarenakan
sebagian besar pemuda asal negara-negara tersebut menghargai dan mengapresiasi kreasi
budaya generasinya. Pun, sesungguhnya
tak menutup kemungkinan pula bagi budaya alay untuk mendunia mengingat turut
ditemuinya beragam “ritual” di dalamnya.
Meminjam
analisis Hebdige mengenai “ritual” dalam budaya subkultur anak muda,[7] layaknya punk dengan ritual rambut lancip-tegak, atau
gothic dengan penampilan serba hitam,
kiranya begitu pula budaya alay dengan rambut emo, t-shirt junkies, boxer yang sengaja ditampakkan, berikut celana
pensil yang dikenakan—belum lagi ditambah dengan gaya berbicara dan gaya
penulisan alay. Dapatlah ditilik bahwa budaya alay justru memiliki ritual yang
jauh lebih lengkap ketimbang budaya-budaya asing di atas. Dalam pengkajian
Hebdige, semakin banyak unsur ritual dalam suatu budaya, maka semakin
berpotensi pulalah budaya tersebut berpengaruh secara luas.[8] Dengan
demikian, tinggal menanti iktikad-baik generasi muda tanah air saja untuk menjadikan
budaya alay mendunia: mendukung atau menolaknya.
Meretas “Budaya Tinggi” dan “Budaya Rendah”
Munculnya dikotomi antara “budaya
tinggi” dan “budaya rendah” tak terlepas dari konstruksi permainan modal
sosial, ekonomi, budaya dan modal simbol entitas individu atau kolektif dalam perspektif
habitus-Bourdieu.[9] Sebagai misal, kalangan
intelektual dengan modal budaya berupa tingkat pendidikan yang tinggi secara
tak sengaja gemar menikmati musik Jazz, lambat-laun hal tersebut dapat melahirkan
persepsi bahwa Jazz adalah musik kaum terpelajar. Sebaliknya, kalangan kelas
bawah yang gemar mendengarkan musik dangdut, lambat-laun dapat memunculkan
anggapan dangdut sebagai musik kaum kelas bawah. Cara kerja persepsi-persepsi
tersebut tak ubahnya seperti “streotipe”. Hal inilah yang kemudian melahirkan “distingsi”
atau jarak sosial antara satu individu/kolektif dengan individu/kolektif
lainnya. Implikasi yang ditimbulkannya pun jelas, lahirnya dikotomi antara
budaya tinggi dengan budaya rendah, berikut penciptaan segregasi sosial secara
tak kasat mata.
Meskipun pada mulanya budaya alay di-stereotip-kan
sebagai budaya rendah yang kental-melekat pada anak-anak berpenampilan norak lagi
kampungan, nyatanya berbagai korporasi kenamaan tanah air—provider telekomunikasi terutama—tak ragu memanfaatkan budaya alay guna
memasarkan beragam jenis layanan terbarunya. Hal tersebut ditambah dengan tampilnya
artis-artis papan atas di setiap iklan yang mereka buat. Secara tak langsung, fenomena
terkait menunjukkan betapa budaya alay telah melampaui diskursus ihwal tinggi-rendah
suatu budaya, ia telah diakui oleh semua kalangan dan seluruh lapisan
masyarakat.
Peluluhlantah Hagemoni dan Konservatisme Budaya
Terus menggelinding dan digunakannya budaya alay hingga detik ini, sesungguhnya
menandai kemandirian budaya generasi muda tanah air. Sudah tentu, kita patut
berbangga hati atasnya. Ini artinya, generasi muda tanah air tak sekedar membebek pada budaya asing yang tak
jelas asal-usulnya. Meskipun memang, masih ditemui beberapa unsur budaya Barat di
dalamnya, seperti; boxer, celana
pensil, atau sepatu model evans, namun
hal tersebut menemui bentuknya sebagai “hibridasi budaya” dalam perspektif cultural studies, yakni sebentuk persilangan
budaya yang nantinya menghasilkan ragam kebudayaan tersendiri—terlebih berpadu
dengan gaya berbicara dan penulisan alay yang lahir melalui kreativitas anak
bangsa.[10] Hal ini
layaknya K-Pop atau harajuku yang sedikit-banyak masih
mengandung unsur budaya Barat.
Pada ranah berlainan, cukup banyak
pula para “moralis muda” penentang bahasa alay bersenjatakan sejarah Sumpah Pemuda-1928:
“Ngaku pemuda Indonesia, tapi nggak
berbahasa satu: bahasa Indonesia. Malu-maluin!”, demikian ungkap salah satu
di antaranya.[11]
Dan seyogyanya, pelontar pernyataan tersebut mengganti ejaan kalimatnya menjadi:
“Ngakoe pemoeda Indonesia, tapi nggak
berbahasa satoe: bahasa Indonesia. Maloe-maloein!”, struktur bahasa ketika
didengungkannya Sumpah Pemuda.
Perihal tersirat yang hendak disampaikan
melalui pernyataan di atas adalah, kenyataannya bahasa Indonesia yang kini kita
gunakan telah jauh berbeda dari bahasa Indonesia kala Sumpah Pemuda
didengungkan—sejak pertama kalinya EYD diperkenalkan pada tahun 1972, kemudian
diperbaruhi kembali pada tahun 1986.[12] Disadari atau
tidak, hal tersebut menunjukkan inisiatif dan keberanian generasi pasca-Orde
Lama untuk merubah tatanan budaya berbahasa yang telah mapan, meskipun memang,
generasi yang dimaksud adalah mereka yang berlegitimasi (duduk dalam
pemerintahan). Namun demikian, masihkah relevan berbicara legitimasi di era serba-pembatasan
peran negara dewasa ini?—implikasi-ikutan dari arus globalisasi.[13]
Di sisi lain, menyeruanya budaya
alay ke permukaan menunjukkan daya dobrak generasi alay terhadap hagemoni yang
mengkungkung kreativitas. Bagi Gramsci, esensi dari hagemoni adalah bercokolnya
beragam konsensus rumusan generasi terdahulu.[14] Pertanyaannya,
mengapa hingga kini kita syarat menggunakannya? Bukankah generasi lalu telah tergantikan
dengan generasi sekarang, pun dengan
masa yang telah berganti? Tegas dan jelasnya, mengapa saat ini juga kita tak
membuat konsensus baru berdasarkan situasi dan kondisi aktual yang tengah dihadapi
bersama?.
Kesimpulan dan Penutup
Melalui berbagai uraian singkat di
atas, kiranya dapatlah disimpulkan bahwa generasi alay selaku pencetus budaya
alay merupakan generasi yang progresif lagi revolusioner. Hal tersebut setidaknya
didasarkan pada serangkaian kenyataan sebagai berikut. Pertama, generasi alay mampu menciptakan ragam budaya baru bagi
para pemuda tanah air yang selama ini cenderung mengekor pada beragam bentuk kebudayaan
asing. Kedua, budaya alay yang mereka
cetuskan faktual mampu meretas dikotomi antara budaya tinggi dengan budaya
rendah, hal ini ditunjukkan dengan mulai diakui dan digunakannya budaya alay
oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketiga,
disadari atau tidak, melalui budaya cetusannya, generasi alay menunjukkan
kapasitasnya dalam mendobrak hagemoni berikut konservatisme budaya di negeri
ini. Pada akhirnya, sekedar menjadi keputusan generasi muda tanah air untuk menjadikan
budaya alay mendunia, atau sekedar menjadikannya “cetar-membahana” di tanah air.
*****
Referensi
Buku:
Adhe
(Ed.). 2005. Belok Kiri Jalan Terus.
Yogyakarta: Alinea.
Barker,
Chris. 2009. Cultural Studies.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ir. Soekarno. 1965. Di Bawah Bendera Revolusi Djilid II. Jakarta: Panitia Penerbit Di
Bawah Bendera Revolusi.
Sardar,
Ziauddin & Borin Van Loon. 2001. Cultural
Studies for Beginner. Bandung: Mizan.
Internet:
Facebook “Persatuan Anak Alay Seluruh Indonesia” (PAASI). http://www.facebook.com/pages/PERSATUAN-ANAK-ALAY-SELURUH-INDONESIA-PAASI/241228090131
(16-11-2012).
Youtube,
Prime Time Show: De Rahma Bolos Sekolah,
http://www.youtube.com/watch?v=FRNUFesnRno
(16-11-2012).
Nugroho,
Wahyu Budi. 2011. Budaya Alay Patut
Dihargai dan Diapresiasi?. http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/263007-budaya-alay-patut-dihargai-dan-diapresiasi-
(16-11-2012).
Lain-lain:
Iklan provider XL dibintangi Omesh.
Lagu
Alay (Anak Layangan), dipopulerkan
oleh Lolita.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2000. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
* Tulisan ini didedikasikan spesial
untuk “Priyono Nyoto”, pemuda asal Blitar yang “membombardir” YouTube dengan puluhan video upload-annya.
[1] Lebih jauh lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi Djilid II,
Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1965.
[2] Terdapat pula dalam lagu Alay (Anak Layangan), dipopulerkan oleh
Lolita.
[3] Youtube, Prime Time Show: De Rahma Bolos Sekolah, http://www.youtube.com/watch?v=FRNUFesnRno (16-11-2012).
[4] Iklan provider XL yang dibintangi Omesh.
[5] Sebagian diambil dari tulisan
penulis—dengan berbagai penyesuaian. Wahyu Budi Nugroho, Budaya Alay Patut Dihargai dan Diapresiasi?, http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/263007-budaya-alay-patut-dihargai-dan-diapresiasi- (dimuat pada 10-11-2011).
[6] Digunakan dalam pergaulan atau
forum-forum informal misalkan.
[7] Chris Barker, Cultural Studies, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2009, h. 346-347.
[8] Ibid., h. 347.
[9] Pierre Bourdieu, Arena Reproduksi Kultural: Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2010, h. 318.
[10] Ziauddin Sardar & Borin Van
Loon, Cultural Studies for Beginners,
Mizan, Bandung, 2001, h. 165.
[11] Komentar Frank Kaisar Gumilang
dalam akun facebook “Persatuan Anak
Alay Seluruh Indonesia”, http://www.facebook.com/pages/PERSATUAN-ANAK-ALAY-SELURUH-INDONESIA-PAASI/241228090131 (16-11-2012).
[12] Panitia Pengembangan Bahasa
Indonesia, Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta, 2000.
[13] Ziauddin Sardar & Borin Van
Loon, op. cit., h. 162.
[14] Adhe (Ed.), Belok Kiri Jalan Terus, Alinea, Yogyakarta, 2005, h. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar