Sabtu, 25 Mei 2013

Katarsis.

Katarsis.


Oleh: Wahyu Budi Nugroho

…dengan lesu menyaksikan buruk wajahnya di muka cermin. Tak kuning-langsat, alih-alih putih-bersih. Hitam-pekat, sialnya tak juga manis. Tebo. Sudah sejak lama dirasakannya hidup sebagai tragedi, tepatnya ketika duduk di bangku kelas 2 SD. Teman-teman mulai memanggilnya dengan julukan itu: “Tebo”—anak genderuwo dalam bahasa Jawa. Hitam-pekat wajah dan kulitnya berpadu dengan rambutnya yang keriting, matanya yang coklat, juga tubuhnya yang pendek. Terbersit dalam benaknya, Tuhan terlampau lama menempatkannya di panggangan. Tragedi!

Wulan sekedar menghiasi angan kosongnya. Era SMP tak jauh berbeda dengan SD: julukan Tebo tetap tersemat. Ini semua gara-gara Koen, teman sekampung yang juga nyasar di SMP yang sama. Dibawanya-serta julukan “Tebo” sedari kampung. Apes nian nasib “Raja Akbar”, nama asli si Tebo.

Wulan. Gadis manis-kuning langsat ini primadona SMP Tebo. Wajahnya mirip-mirip Asmirandah, sekilas orang memandang bakal mendaulatnya “blesteran”. Padahal bukan, ia asli putri daerah—Klaten Bersinar. Nama Facebook-nya pun oke punya: “Woeland’hIngiend’hDichintha’hTag’hIngiend’hDicakithie’h”, gambaran remaja-remaji labil masa kini. Wulan bak pesona yang tak pernah redup. Semua siswa di SMP Tebo memujanya, tak terkecuali guru-guru pria, bapak kepala sekolah, hingga pakbon. Bahkan, ada juga salah seorang siswi bermimpi menjadi pacarnya, Sri namanya. Sri memang mengalami disorientasi seksual. Oalah Sri, Sri…

Layaknya teman-teman pria lainnya, Tebo memuja Wulan habis-habisan: siang dan malam, pagi dan sore, rasio dan rasa-nya dijejali W-u-l-a-n semata. Namun, semakin intens Tebo menghayatinya, semakin jelas pula bisik batinnya: “Kamu mau sama dia. Dia mau muntah”. Tabir kebenaran pun tersingkap. Cahyanya demikian terang-benderang, silaunya melampaui senyum Close Up. “Lelaki sepertiku tak mungkin mendapatkan Wulan!”, teriak batinnya.

Tebo menyerah. Sejak saat itu tak pernah lagi Wulan yang aduhai terselip di kepalanya (baca: rambut keritingnya).

Tereliminasinya Wulan sudah tentu kian melonggarkan pikir-nya. Tebo insyaf. Dalam keinsyafan itu, terpikir strategi tuk menjadi manusia mulia, bertengger di puncak puja-puji dunia. “Belajar giat! Berprestasi! Sukses! Menuai keseganan banyak orang!”, itulah yang kemudian tercetus-keras di bawah permukaan rambut keritingnya.

            Segera, era SMP menjadi tabularasa baginya. “Tak ada lagi yang boleh menghinaku!”, tegas Tebo di hatinya sekali lagi. Wah, wah, Tebo benar-benar siap menjadi manusia baru. Manusia mulia. Ubermensch, “manusia super”. Siang-malam, pagi-sore, dan rasio-rasa Tebo kini berganti dengan syahwat tak terbendungkan menjadi yang terunggul di setiap mata pelajaran, entah eksakta ataupun ilmu-ilmu sosial. Inilah momen katarsis Tebo yang pertama.

            Upaya Tebo tak sia-sia. Yang Maha Welas Asih mengganjar kesungguhannya. Dan memang, sejak dulu, DIA selalu begitu adanya. Tak peduli baik atau jahat, theis maupun atheis, Barat juga Timur, asal sedia sungguh-sungguh, hamba sahaya bakal menuai hasil setimpal, tinggal tempo singkat atau lama saja yang jadi perkara.

            Pasca larut dalam kesungguhan, Tebo pun menjadi mercusuar. Sudah tentu, teman-temannya berpikir ulang tuk kembali menghina-merendahkannya. Bagaimana tidak, nasib nilai ulangan matematika yang meledakkan kepala, pun bahasa Inggris yang me-rebonding rambut atas, tengah, juga bawah, berada di kepalan Tebo kini. Sekali saja Tuan Tebo ogah memberikan contekan, nilai mereka bakal hancur-berserak bak habis terhantam mortir.

            Dunia akademik SMP dilaluinya dengan mulus. Tebo pun menjebol-masuk SMA terfavorit di kotanya. Tak tanggung-tanggung, ia duduk di singgasana akselerasi. Era SMA menjadi lebih baik ketimbang SMP. Maklum, di era ini wajah atau kebagusan fisik menjadi ukuran yang mulai tereduksi, keenceran otak sedikit-banyak mulai memperoleh tempat.

            Selulus dari atap percepatan otak, Tebo semakin menggila. Ia kembali “menjebol-masuk”, kali ini Departemen Kedokteran Umum-UGM yang menjadi korbannya. Dengan mengambil sekursi dari departemen itu, Tebo bertanggung jawab terhadap frustasi ratusan, bahkan ribuan anak-anak mayoritas seusianya yang berangan-besar menjadi “pemenjara nyawa”—dokter. Meskipun memang, Tebo masih jauh berbeda dengan kolega-kolega se-Departemennya. Masih dengan wajahnya yang “seperti itu”, kulit hitam-pekatnya, rambut keriting, mata coklat, berikut pawakannya yang pendek. Namun, jas putih-bersih kiranya cukup menjadi kompensasinya atas kesemua itu.

            Selaksa tempo berlalu demikian cepat. Kini Tebo telah menjadi seorang dokter. “DR. Raja Akbar”, itulah papan identitas kecil yang tertanam di satu belahan dadanya kala mengenakan jas putih-putih. DR. Raja Akbar alias “DR. Tebo” tinggal menikmati buah kesungguhannya saja di masa lalu. Ia telah berdikari, tak lagi memelas rupiah pada orang tua. Mobil-motor-sepeda kayuh pun dimilikinya sendiri. Begitu juga, kebutuhannya akan lawan jenis ajeg terpenuhi. Berbekal label “DR.”, setiap betina digebetnya dengan sepele. Di era sekarang, tak kuasalah para Hawa abad 21 menolak jas-jas putih pemenjara nyawa.

            Di tengah kegarangannya mencicip satu per satu kenikmatan dunia yang bertebar, terngianglah DR. Tebo akan gadis ayu yang dahulu dipujanya mati-matian: W-u-l-a-n, tak lupa dengan identitas Facebook-nya: “Woeland’hIngiend’hDichintha’hTag’hIngiend’hDicakithie’h”. Dilacaknya kembali Wulan, namun kini nama FB-nya telah berganti: “Wulan Kurniawati”. Wulan tak lagi labil.

            Tebo, dengan senjata pamungkasnya, status kemasyarakatannya yang baru, bergegas menghubungi dan bersikeras menemui Wulan. Bak dua cambuk kusir yang bersambut, Wulan mengiyakan pintanya. Bahkan Wulan bertindak terlampau jauh. Diluluskannya genter pendek Tebo hingga “menggopek” hatinya. Wulan tak menyadari ketololannya. Tak ubahnya Hawa-hawa lain yang diperboneka Tebo. Asa Wulan betul-betul keterlaluan tingginya, Kilimanjaro pun dilampauinya tanpa sungkan, juga without permisi.

            Hitungan bulan cukup jadi bukti. Kasih yang mati. Tersimpan rapat peti. Hancur hati.

            Tebo pun muksa dari alam Wulan. Hilang. Begitu saja. Tak hiraukan kasih murni-suci yang telah berkobar dalam hati. Baginya, kekobaran itu tak ubahnya bara kompor di setiap dapur. Tebo puas tak terperi. Terlengkapilah masa lalunya. Inilah momen kedua katarsisnya. Lima tahun derita, beranak-pinak katarsis seumur-umur. Raja Akbar benar-benar telah menjadi “akbar”.

            Tebo menyeringai kecil. Menatap ke depan. Pun berlalu. Begitu saja.



Katarsis. Selayang Peringatan.
WBN, 25.12.12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar