KANCING
Ilustrasi: Beny Nurdiansyah |
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Ini
kisah tentang sebuah kancing. Ya, kancing baju. Ihwal yang remeh buat kita
semua. Sepele. Kancing, cuma kancing. Sekopoi kancing. Sungguh nirharga.
Kurang
kerjaan. Tul, kurang kerjaan! Siapa
gerang hendak dengar, alih-alih baca kisah tentang kancing. Ini-aku-si penulis juga
tak besar-besar amat harapnya. Tak niat jadikannya cetar-membahana, juga
spektakuler. Pokoknya, yang serba
biasa saja. Hanya memang, buatku utamanya, dunia bakal lebih indah jikalau menyorot
tia-tiap detail darinya.
Tunai sudah
niat suci-murni nan tulusku jika t’lah membagi milimeter dunia padamu. Cukup.
Itu saja. Tak lebay, juga minus.
*
Berlin-Jerman, 1944
“Ich
habe den Befehl gegeben und ich lasse jeden füsilieren! Der auch nur ein Wort der Kritik
äußert daß das Kriegsziel nicht im Erreichen von bestimmten Linien! Sondern in der physischen
Vernichtung des Gegners besteht!. So habe ich, einstweilen
nur im Osten, unbarmherzig und mitleidslos
Mann! Nationalsozialistische Uber Alles!!!”
Terjemahan bebas:
“Wahai rakyat Jerman sekalian! Ya, aku suka nasi
goreng! Bersabarlah, sebentar lagi kita akan pesta nasi goreng!. Kujanjikan
padamu, berporsi-porsi nasi goreng di setiap rumah! Nasi goreng gratis! Tak ada
yang tak kebagian!. Pegang janjiku ini, segera setelah kita memenangkan perang
ini! Nasi goreng Uber Alles!!!”
Aku
di jas itu. Jas panjang yang dikenakan fuhrer
di hampir setiap pidato-pidatonya kala gigil cuaca menerpa Bavaria. Entah kapan
tepatnya, tetapi kurang-lebih, tiga tahun lalu ku disematkan perancang kenamaan
Jerman di jas panjang berwarna krem itu. Aku, dan teman-temanku lainnya. Kami,
yang juga berwarna krem, mungkin inilah perkara yang mempertemukan kami dengan
jas itu: selarasnya kulit. Tersemat-menempel, terus, dan terus. Tiadalah yang
tahu kapan selaksa kami kan’ tetap menempel, juga Hitler. Ia tak tahu apa-apa. Aku
saksinya.
Kami
semua ada empat. Aku di urutan ketiga sedari atas. Pertama, ada Jigsaw. Kedua, si
Jason. Keempat, Fredy Krugger. Aku sendiri, ketiga, teman-teman memanggilku
Hannibal. “Hannibal Lecter”, itulah nama lengkapku. Kami semua kembar. Yah … kami semua cuma kancing berwarna
krem, dengan ukuran dan bentuk yang sama. Nama-nama itulah yang menjadi pembeda
semata kami. Thanks God…
Kamilah
yang tahu persis tentang fuhrer.
Lagaknya di depan cermin pra-Tampil di hadapan khalayak. Kebiasaannya memakai
kutang hitam berlogo swastika tuk menambah kepercayaan diri. Pun, masokhisme-nya yang tak ketulungan
di atas ranjang. Jijik kami melihatnya. Aduh, berjuta aduh! Tak punyalah kami
tangan tuk menutup keempat mata kami! Brontosaurus-pithecantropus-erectus!.
Janji
tinggal janji. Tak ada nasi goreng gratis buat rakyat Jerman. Sekutu berhasil
menjebol-masuk Jerman. Si kikir-kapitalis dari arah Barat, sedang si dungu-komunis
dari Timur. Fuhrer kocar-kacir tak
karuan. Kamilah saksi injak kaki pertamanya menuju bangker, tepat di bawah
taman Berlin sekarang.
“Fuhrer-ku, kumohon! Larilah! Carilah
tempat yang lebih aman. Bila kondisi telah membaik, kita lanjutkan cita-cita
agung membangun Third Reich!” teriak
seorang wanita sembari meronta di dada Hitler. Ia adalah Magda, istri Goebbels,
menteri propaganda N4z1y—alay dikit tak
apalah.
“Tidak!
Aku tetap di sini bersama kalian!”
“Fuhrer! Kumohon! Kesetiaan kami penuh kepadamu!”
kembali timpal Magda.
“Gans,
belikan aku nazi goreng… Ngutang dulu…” ucap Hitler lirih pada
salah seorang ajudan tanpa menghiraukan ronta Magda yang kian menjadi.
“ Siyaph, Bos! Eh, fuhrer-ku!”
“*&^%$#@!”
Jujur
benar. Sedih tak karuan rasa dan pikir-ku akan peristiwa di atas. Bukan karena si
fuhrer urung melarikan diri ke tempat
lebih aman, itu bukan urusanku. Sedih. Tentu. Temanku, Jigsaw, ucul (baca: lepas) sewaktu si Magda yang
kurang kerjaan itu memohon-meronta pada Chaplin-Jerman. Jigsaw, nestapa betul
nasibmu. Entah dimana kau mendarat. Kau bisa dimana saja; di bawah kursi, meja,
kolong pintu, lantai, atau dimana pun jua. Kan’ kuingat selalu momen itu, tempo
terlama dalam dunia per-kancing-an, meskipun sekedar 1-2 detik lewat takar
waktu homo sapiens, ketika kau jatuh-melintas
tepat di hadapanku, dan segenap diriku pun berteriak-berontak: “Mboooteeen…!” (baca: “Tiiidaaak…!”). Sob, semoga nasibmu
lebih oke…
“Neng
Eva, dulu Abang pernah bilang kalau cuma nikah ame rakyat Jerman…”
“Iya,
Bang…?”
“Sekarang
Abang mau tarik ntu ucapan. Abang dah
cerai ame rakyat Jerman”
“Terus,
Bang…?”
“Abang
mau nikahin Neng Eva. Now juga”
“Mau
banget Bang! Tapi…”
“Eaaa, Neng???”—duh alay lagi.
“Neng
mau bikin pengakuan, Bang. Boleh ngga’,
Bang?”
“Please Neng, silakan atuh…”
“Emm, sebetulnya Bang. Sebetulnya … Neng ntu cowok…”
“Busyet! Yaudin Neng, it doesn’t
matter, Abang udah kadung sreg n’ cinta-mati ama Neng…”
Mereka
berdua pun berciuman.
Meganthropus-paleojavanicus! Kini benar-benarlah
kupikir bila nasib Jigsaw lebih oke
ketimbang kami bertiga!. Kami syarat menyaksikan dua pejantan berpeluk dan ber-cipok mesra! What the…???!!!.
Ajal fuhrer telah pasti. 30 April 1945, dimintanya
Gans membakar-hangus jasadnya (fuhrer),
serta kekasihnya, Eva.
“Bruuuk!”, suara Eva ambruk pasca menenggak baygon satu liter—dari Bayer. “J’dooor…!”, sesaat terdengar letupan lurger. Pelornya masuk via
mulut Hitler dan bersarang di otaknya yang mini. Fuhrer telah habis. Sial, lagi-lagi kami syarat menyaksikan momen
tak mengenakkan seperti ini. Why must us,
God???!.
Inilah
saat di mana Gans kudu meng-abu-kan
jasad kedua pejantan yang tengah dimabuk cinta itu. Aku dan Freddy Krugger pun
kena getahnya. Kami terpercik darah si Jojon-Jerman. Satu yang ada di pikiranku
kala itu: “mandi besar”.
Gans
menatapku. Wajahnya kian dekat saja. Oh, Tidak…! Apakah selama ini ia
mengetahui jika aku bisa berkata-kata???!!!”. Ia merengkuhku, Gans mencabutku!.
Dikantonginya diriku yang bersimbah darah ini. Bersamaan dengannya, Jason dan
Freddy meneriaki namaku. Tak ada yang bisa kulakukan. Ruang gelap ini telah menelanku—saku
celana Gans. Aku cuma sebutir kancing.
“Buuuzzz…!!!”. Kudengar sulut api setengah
membahana. Jason … Freddy, semoga kalian diterima di sisi-Nya.
Aku.
Seorang diri. Di ruang gelap ini.
Gans
mengambilku sebagai cinderamata. Kau tolol, Gans!. Kenapa bukan topinya?! Kumis
culun-nya?! Kutang hitam berlogo
swastika-nya?! Dompetnya?! Atau setidaknya, Jason yang tak ternoda merah?!!!. Tetapi,
betapapun juga … ketololanmu menyelamatkanku, Gans…
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar