Sabtu, 25 Mei 2013

KANCING

KANCING

Ilustrasi: Beny Nurdiansyah

Oleh: Wahyu Budi Nugroho

            Ini kisah tentang sebuah kancing. Ya, kancing baju. Ihwal yang remeh buat kita semua. Sepele. Kancing, cuma kancing. Sekopoi kancing. Sungguh nirharga.

Kurang kerjaan. Tul, kurang kerjaan! Siapa gerang hendak dengar, alih-alih baca kisah tentang kancing. Ini-aku-si penulis juga tak besar-besar amat harapnya. Tak niat jadikannya cetar-membahana, juga spektakuler. Pokoknya, yang serba biasa saja. Hanya memang, buatku utamanya, dunia bakal lebih indah jikalau menyorot tia-tiap detail darinya.

Tunai sudah niat suci-murni nan tulusku jika t’lah membagi milimeter dunia padamu. Cukup. Itu saja. Tak lebay, juga minus.

*
Berlin-Jerman, 1944

Ich habe den Befehl gegeben und ich lasse jeden füsilieren! Der auch nur ein Wort der Kritik äußert daß das Kriegsziel nicht im Erreichen von bestimmten Linien! Sondern in der physischen Vernichtung des Gegners besteht!. So habe ich, einstweilen nur im Osten, unbarmherzig und mitleidslos Mann! Nationalsozialistische Uber Alles!!!”

Terjemahan bebas:

“Wahai rakyat Jerman sekalian! Ya, aku suka nasi goreng! Bersabarlah, sebentar lagi kita akan pesta nasi goreng!. Kujanjikan padamu, berporsi-porsi nasi goreng di setiap rumah! Nasi goreng gratis! Tak ada yang tak kebagian!. Pegang janjiku ini, segera setelah kita memenangkan perang ini! Nasi goreng Uber Alles!!!”

            Aku di jas itu. Jas panjang yang dikenakan fuhrer di hampir setiap pidato-pidatonya kala gigil cuaca menerpa Bavaria. Entah kapan tepatnya, tetapi kurang-lebih, tiga tahun lalu ku disematkan perancang kenamaan Jerman di jas panjang berwarna krem itu. Aku, dan teman-temanku lainnya. Kami, yang juga berwarna krem, mungkin inilah perkara yang mempertemukan kami dengan jas itu: selarasnya kulit. Tersemat-menempel, terus, dan terus. Tiadalah yang tahu kapan selaksa kami kan’ tetap menempel, juga Hitler. Ia tak tahu apa-apa. Aku saksinya.

            Kami semua ada empat. Aku di urutan ketiga sedari atas. Pertama, ada Jigsaw. Kedua, si Jason. Keempat, Fredy Krugger. Aku sendiri, ketiga, teman-teman memanggilku Hannibal. “Hannibal Lecter”, itulah nama lengkapku. Kami semua kembar. Yah … kami semua cuma kancing berwarna krem, dengan ukuran dan bentuk yang sama. Nama-nama itulah yang menjadi pembeda semata kami. Thanks God…

            Kamilah yang tahu persis tentang fuhrer. Lagaknya di depan cermin pra-Tampil di hadapan khalayak. Kebiasaannya memakai kutang hitam berlogo swastika tuk menambah kepercayaan diri. Pun, masokhisme-nya yang tak ketulungan di atas ranjang. Jijik kami melihatnya. Aduh, berjuta aduh! Tak punyalah kami tangan tuk menutup keempat mata kami! Brontosaurus-pithecantropus-erectus!.

            Janji tinggal janji. Tak ada nasi goreng gratis buat rakyat Jerman. Sekutu berhasil menjebol-masuk Jerman. Si kikir-kapitalis dari arah Barat, sedang si dungu-komunis dari Timur. Fuhrer kocar-kacir tak karuan. Kamilah saksi injak kaki pertamanya menuju bangker, tepat di bawah taman Berlin sekarang.

            “Fuhrer-ku, kumohon! Larilah! Carilah tempat yang lebih aman. Bila kondisi telah membaik, kita lanjutkan cita-cita agung membangun Third Reich!” teriak seorang wanita sembari meronta di dada Hitler. Ia adalah Magda, istri Goebbels, menteri propaganda N4z1y—alay dikit tak apalah.
            “Tidak! Aku tetap di sini bersama kalian!”
            “Fuhrer! Kumohon! Kesetiaan kami penuh kepadamu!” kembali timpal Magda.
            “Gans, belikan aku nazi goreng… Ngutang dulu…” ucap Hitler lirih pada salah seorang ajudan tanpa menghiraukan ronta Magda yang kian menjadi.
            “ Siyaph, Bos! Eh, fuhrer-ku!”
            “*&^%$#@!”

            Jujur benar. Sedih tak karuan rasa dan pikir-ku akan peristiwa di atas. Bukan karena si fuhrer urung melarikan diri ke tempat lebih aman, itu bukan urusanku. Sedih. Tentu. Temanku, Jigsaw, ucul (baca: lepas) sewaktu si Magda yang kurang kerjaan itu memohon-meronta pada Chaplin-Jerman. Jigsaw, nestapa betul nasibmu. Entah dimana kau mendarat. Kau bisa dimana saja; di bawah kursi, meja, kolong pintu, lantai, atau dimana pun jua. Kan’ kuingat selalu momen itu, tempo terlama dalam dunia per-kancing-an, meskipun sekedar 1-2 detik lewat takar waktu homo sapiens, ketika kau jatuh-melintas tepat di hadapanku, dan segenap diriku pun berteriak-berontak: “Mboooteeen…!” (baca: “Tiiidaaak…!”). Sob, semoga nasibmu lebih oke

            “Neng Eva, dulu Abang pernah bilang kalau cuma nikah ame rakyat Jerman…”
            “Iya, Bang…?”
            “Sekarang Abang mau tarik ntu ucapan. Abang dah cerai ame rakyat Jerman”
            “Terus, Bang…?”
            “Abang mau nikahin Neng Eva. Now juga”
            “Mau banget Bang! Tapi…”
            “Eaaa, Neng???”—duh alay lagi.
            “Neng mau bikin pengakuan, Bang. Boleh ngga’, Bang?”
            “Please Neng, silakan atuh…”
            “Emm, sebetulnya Bang. Sebetulnya … Neng ntu cowok…”
            “Busyet! Yaudin Neng, it doesn’t matter, Abang udah kadung sreg n’ cinta-mati ama Neng…”

            Mereka berdua pun berciuman.

            Meganthropus-paleojavanicus! Kini benar-benarlah kupikir bila nasib Jigsaw lebih oke ketimbang kami bertiga!. Kami syarat menyaksikan dua pejantan berpeluk dan ber-cipok mesra! What the…???!!!.

            Ajal fuhrer telah pasti. 30 April 1945, dimintanya Gans membakar-hangus jasadnya (fuhrer), serta kekasihnya, Eva.

“Bruuuk!”, suara Eva ambruk pasca menenggak baygon satu liter—dari Bayer. “J’dooor…!”, sesaat terdengar letupan lurger. Pelornya masuk via mulut Hitler dan bersarang di otaknya yang mini. Fuhrer telah habis. Sial, lagi-lagi kami syarat menyaksikan momen tak mengenakkan seperti ini. Why must us, God???!.

            Inilah saat di mana Gans kudu meng-abu-kan jasad kedua pejantan yang tengah dimabuk cinta itu. Aku dan Freddy Krugger pun kena getahnya. Kami terpercik darah si Jojon-Jerman. Satu yang ada di pikiranku kala itu: “mandi besar”.

            Gans menatapku. Wajahnya kian dekat saja. Oh, Tidak…! Apakah selama ini ia mengetahui jika aku bisa berkata-kata???!!!”. Ia merengkuhku, Gans mencabutku!. Dikantonginya diriku yang bersimbah darah ini. Bersamaan dengannya, Jason dan Freddy meneriaki namaku. Tak ada yang bisa kulakukan. Ruang gelap ini telah menelanku—saku celana Gans. Aku cuma sebutir kancing.

            “Buuuzzz…!!!”. Kudengar sulut api setengah membahana. Jason … Freddy, semoga kalian diterima di sisi-Nya.

            Aku. Seorang diri. Di ruang gelap ini.

            Gans mengambilku sebagai cinderamata. Kau tolol, Gans!. Kenapa bukan topinya?! Kumis culun-nya?! Kutang hitam berlogo swastika-nya?! Dompetnya?! Atau setidaknya, Jason yang tak ternoda merah?!!!. Tetapi, betapapun juga … ketololanmu menyelamatkanku, Gans…

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar