Koen!
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Sebut saja Koen. Koen lahir tua di
kota Klaten 23 tahun silam. Ayahnya pegawai negeri sipil, sedang ibunya di
rumah saja. Koen anak tengah dari tiga bersaudara; Joen, Koen, dan Loen. Koen
kuliah di fakultas filsafat. Harusnya Koen sudah sarjana, tapi skripsinya baru
selesai setengah, setengahnya lagi entah rampung kapan. Layaknya remaja-remaji
seusianya, Koen pacaran, tapi itu juga dilakoninya setengah-setengah: “Pacaran iya, jatuh cinta enggak”,
ungkap Koen suatu waktu padaku. Oalah
Koen, Koen…
Suatu
sore, Koen
suntuk di kamar kosnya yang terbagi setengah dengan temannya, bertekad kuatlah Koen melancong ke
Pantai Goa Cemara tuk melepas penat. Di tengah jalan, motor Koen mogok, ternyata bensin
motor Koen sisa setengah dari setengahnya kala berangkat. Oalah Koen, Koen!
Beruntung pom bensin seberang jalan cuma
sejauh lemparan batu dari tempat motornya
mogok. Berjalanlah Koen menuntun
motor setengah bagus setengah jeleknya menuju pom. Sampai pom, Koen hendak mengisi tangki motor
dengan 2 liter bensin, tapi rupiahnya cuma cukup buat membayar setengahnya. Usai mengisi
bensin, tekad kuat Koen goyah. Akhirnya Koen memutuskan kembali di setengah
perjalanan menuju Goa Cemara. Oalah Koen,
Koen…
Akibat
perlancongan yang setengah barusan, badan Koen setengah wangi setengah bau. Koen
pakpung. Di tengah pakpung, hp Koen
berbunyi: tulit, tulit, tulit. Koen
segera bilas badan tuk menerima panggilan masuk. Koen lalai sikat gigi plus cuci muka pakai sabun khusus.
“Koen, inyong
butuh duit. Bayaro utangmu!”
“Oke
Bray, tapi setengah sik yow?” balas Koen.
“Djancuk
Koen! Wis tulung wulan telat, saiki mung bayar separo?!” teman Koen menggarang.
“Aku
lagi iso mbayar setengah, Bray…”
“Yawis,
suk tak tunggu neng warung Yu Sri jam telu!”
“Jam
setengah papat wae, Bray…” ucap Koen menawar.
“Yoh.
Djancuk tenan Koen!”
Sesal Koen
setengah mati menerima panggilan masuk barusan. Maklum, itu nomor tak bertuan,
tak disangkanya dari Roy yang masih berselisih hutang dengannya. Sejurus
kemudian, Koen merasa setengah lapar, ditujunya warung makan Barokah yang setengah jauh dari kosnya.
Koen memesan setengah porsi nasi pecel, namun ia sekedar sanggup menghabiskan
setengahnya, juga segelas teh hangat yang dipesannya: sekedar habis setengah. Koen
membayar setengah porsi nasi pecel dan setengah gelas teh hangat dengan
setengah hati. Berjalan pulanglah Koen dengan setengah semangat ke kosnya.
Siang menjelang sore keesokan harinya.
Koen bersiap menghampiri
warung Yu Sri tuk memenuhi temu janji dengan Roy. Sebetulnya saat itu sikon
finansial Koen tengah pas-pasan, ia
pun setengah ikhlas menyerahkan sebagian rupiahnya pada Roy, tapi hendak
bagaimana lagi, 3 bulan sudah Koen telat membayar hutang, masih untung
hutangnya tak beranak-pinak di Roy.
Koen berangkat
dengan motor setengah bagus setengah jeleknya. Lagi-lagi, di tengah jalan menuju
warung Yu Sri, motor setengah bagus setengah jeleknya mogok. Rupa-rupanya Koen lupa
isi bensin setelah semalam mengantar pacar sowan
ke rumah budhe-nya. Kali ini, Koen tak
mendapati pom bensin maupun kedai bensin eceran di sejauh matanya memandang,
baik keduanya telah jauh terlewat dari tempat motor setengah bagus setengah
jeleknya mogok. Sementara, duit di dompet Koen sengaja dipasnya dengan bilangan
hutang pada Roy—Rp 50 ribu. Karena
Koen setengah rela setengah ikhlas menyetor rupiahnya pada Roy, akhirnya Koen
memutuskan untuk pulang. Koen bungah sekaligus susah. Bungah karena tak jadi
menyetorkan rupiahnya pada Roy, susah karena syarat menuntun jauh motornya ke
pom terdekat.
Koen setengah
hidup setengah mati.
Koen iku kepriben?!
Koen.
Sepenggal Pelajaran.
WBN, 22.12.12
DISINI..!!
BalasHapusDISINI..!!
BalasHapus