Yang Absurd, yang Aku
Wahyu Budi Nugroho |
Aku ingin.
Mati dalam. Ketenangan. Berbalut laksa kemanusiaan sepanjang hidup. Merasa
menjadi kanak-kanak, orang muda bersemangat, dewasa yang mencerahkan, tua yang
bijak. Aku ingin, merasa menjadi, manusia seutuhnya.
Ini
aku, kumpulan masa ke masa sedari dulu. Bertitik awal di sembilan belas
delapan-delapan, di tengah tahun: Juni yang manis. Tertanggal sebelas. Aku yang
manja pada ibuku, selalu lari dari gertak-sambal ayahku, juga bising dunia. Yang
tak berdaya, itulah aku. Yang lari dari kenyataan, itulah aku.
Kapan
titik akhirku?
Aku
pernah, jadi orang, yang dicinta semua. Tapi lalu, aku bosan. Kenapa semua
orang baik padaku? Aku bosan. Aku pernah, jadi orang, yang dicinta, juga
dibenci. Lama-lama, aku pun bosan, tak hitam, juga putih.
Memang,
menjadi manusia, berarti merasa semua. Wangi keringat lawan jenis bercampur
parfum, hingga muntah-muntahan. Dari yang menggairahkan hingga memuakkan. Aku
bukan manusia jika hanya membau wewangian. Aku seekor babi jika hanya menuai
yang busuk-busuk.
Aku
pernah, belajar sekeras-kerasnya tuk jadi yang terbaik. Aku menang, aku yang
terpandai di kelas. Lalu apa?. Aku pernah, menjadi si malas, masuk urutan
sepuluh besar dari belakang. Lalu kenapa?.
Aku
pernah, kelabak ‘amburadul’ akibat jadwal kelewat padat. Di hari kemudian, aku
santai, hingga serasa jadi orang tak berguna, hanya menghabiskan nyawa. Kelabak-santai
silih berganti. Untuk apa?.
Buat
apa terbaik, terbelakang, kelabak, santai, toh akhirnya juga bakal koid. Ini
aku, berupaya jadi manusia, yang berarti merasa semua. Ingin aku, jadi manusia
utuh, merasa sebanyak-banyaknya rasa. Meski tiada guna. Cuma merasa.
Aku mati,
di usia yang sangat tua, seusia dengan Russel, kenyang segala rasa. Ah, hidup
cuma seperti ini. Di malam yang hangat, aku kembali kanak-kanak. Terbungkus
nyaman peluk-gendong ibuku. Kemana ia membawaku? Kuyakin pasti, ke tanah yang
lebih baik.
Kucampak
jasad rentaku.
Eh, hidup cuma
seperti ini.
Jogja, 13 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar