Melacak Dimensi Eksistensialisme dalam Islam
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
...faktual dimensi
eksistensialisme dapat kita temui dalam Islam. Beberapa dari karakteristik filsafat eksistensialisme sebagaimana
diungkapkan Vincent Martin seperti subyektivitas, otentitas, kesendirian dan
keterasingan, dapat pula ditemui dalam Quran, Sunnah serta kisah perjalanan hidup
Nabi Muhammad. Terkait dengan subyektivitas, terdapat firman-Nya dalam Hadist
Qudsi yang menyatakan, “Aku (Allah)
sebagaimana yang disangkakan hamba-Ku”. Sedang, dimensi otentitas dalam Islam
dapat kita temui dalam Q.S Al-Mukmin: 60, “Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu”. Secara tak langsung, dimensi
ke-otentik-an individu dalam ayat tersebut ditunjukkan melalui kebutuhan
berikut permasalahan seorang hamba yang tentunya demikian berbeda (spesifik)
dengan hamba lainnya, dan Allah memahaminya dengan meminta hamba-hamba-Nya
untuk mengadu (baca: berdoa) kepada-Nya.
Ihwal
kesendirian yang juga sedikit banyak berkaitan erat dengan dimensi ke-otentik-an
individu adalah berulang kalinya ditegaskan dalam Quran dan Hadist bahwa
tanggung jawab atas segala tindakan berikut amalan individu selama di dunia menjadi
tanggungannya seorang di akhirat kelak. Dalam hal ini, Islam tak mengenal
pertanggungjawaban dosa secara kolektif atau turun-temurun, segala tindakan
yang dilakukan individu murni dipikulnya seorang diri nanti. Begitu pula dengan
beberapa Hadist yang ajeg
mengingatkan kesendirian manusia kala dirinya berada di alam kubur, tanpa sanak
saudara, sahabat, alih-alih masyarakat. Serangkaian hal tersebut kiranya
menunjukkan dimensi eksistensial berupa kesendirian dalam Islam. Lebih jauh,
dimensi keterasingan dalam Islam ditunjukkan melalui perkataan berikut sejarah perjalanan
hidup Nabi Muhammad. Beliau pernah berkata bahwa Islam pada mulanya lahir dari keterasingan
dan pada akhirnya akan kembali lagi pada keterasingan. Kiranya, saat inilah era
sebagaimana yang dimaksudkan nabi tiba, yakni era di mana setiap pihak
mengatasnamakan Allah namun saling berselisih satu sama lain. Tentunya hal
tersebut bakal menimbulkan kebingungan berikut sebentuk pengalaman eksistensial
tersendiri bagi individu yang benar-benar berupaya menemukan Tuhannya, dan
kebingungan tersebut barulah dapat dipecahkan ketika ia melakukan pemahaman
subyektif terhadap Tuhan.
Selanjutnya,
upaya guna mengintegrasikan filsafat eksistensialisme dengan Islam secara utuh
dapat dilakukan dengan “mengoperasikan” konsep Islamisasi pengetahuan
sebagaimana digagas oleh Ismail Raj’i Al-Faruqi (dalam Kuntowijoyo 2006: 7-8,
53-54). Konsep Islamisasi pengetahuan, berbeda halnya dengan pengilmuan Islam,
apabila pengilmuan Islam beranjak sedari teks pada konteks, maka Islamisasi
pengetahuan beranjak sedari konteks menuju teks. Ini berarti, berbagai konsep
di luar Islam layaknya filsafat Barat, faktual dapat “di-Islam-kan” sejauh
melalui serangkaian tahapan penyaringan sehingga tak lagi mengancam akidah, dan
perihal urgen yang terdapat dalam proses tersebut adalah melakukan “pemaknaan
kembali” ide-ide di luar Islam agar sesuai dengan ajaran Islam sehingga perbenturan
antar keduanya pun tak ditemui kemudian.
1 komentar:
Konsep sedari teks ke konteks dan konteks ke teks adalah konsep segar yang baru saya temui..
Thanks infonya prof.Wahyu.. 😉
Posting Komentar