Selasa, 25 Juni 2013

FENOMENOLOGI; Jean Paul Sartre, Edmund Husserl, Max Weber, Max Scheler, Alfred Schutz & Peter L. Berger

Perbedaan Kerangka Konseptual Metode Fenomenologi Eksistensial dengan Varian Metode Fenomenologi Lainnya
Dari Fenomenologi Edmund Husserl, Max Weber, Max Scheler,
Alfred Schutz, hingga Peter L. Berger

"Panopticum Body" by Wahyu Budi Nugroho

Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.

        Semenjak diperkenalkan oleh Edmund Husserl untuk pertama kalinya, metode fenomenologi mengalami perkembangan yang demikian pesat setelahnya. Tercatat, beberapa di antara tokoh yang kemudian dapat didaulat sebagai punggawa metode fenomenologi antara lain; Max Weber, Max Scheler, Alfred Schutz, serta Peter L. Berger. Secara khusus, subbab ini akan memaparkan berbagai bentuk perbedaan kerangka konseptual antara metode fenomenologi eksistensial dengan beragam varian metode fenomenologi usungan para tokoh di atas.

Fenomenologi Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam metode fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya mempopulerkan nama fenomenologi sebagai metode atau cara berpikir baru dalam ranah keilmuan sosial-humaniora. Meskipun memang, jauh sebelumnya istilah fenomenologi telah digunakan oleh G.W.F Hegel (1770-1831), Immanuel Kant (1724-1804) dan Johann Heinrich Lambert (1728-1777), namun penggunaan istilah fenomenologi oleh ketiga filsuf tersebut berbeda dengan sebagaimana yang dimaksudkan Husserl (Hadiwijono, 1995: 140; Sudarminta, 2008: 31).

            Secara etimologis, istilah “fenomenologi” berasal bahasa Yunani, fenomenon, yang berarti, “sesuatu yang tampak” atau “terlihat karena bercahaya”, sementara dalam bahasa Indonesia kerap disebut sebagai “gejala”. Kata fenomenon atau gejala sering dipertentangkan dengan kata “kenyataan”, atau dengan kata lain, fenomenon bukanlah hal yang nyata, melainkan “semu”. Di sisi lain, kata fenomenon kerap ditempatkan sebagai lawan atas “obyeknya sendiri”, sehingga fenomenon atau gejala menemui bentuknya sebagai “penampakan”. Sebagai misal, suatu penyakit sebagai obyeknya sendiri, menampakkan diri pada demam, batuk, pilek, dan lain sebagainya, yang mana kesemuanya ditempatkan sebagai gejala dari penyakit terkait. Tak hanya itu saja, kata fenomenon kerap digunakan untuk mengungkapkan berbagai peristiwa terindera, oleh karenanya, istilah fenomenon turut digunakan dalam ilmu pengetahuan alam atau eksakta (Hadiwijono, 1995: 140).

            Namun demikian, tak semua dari istilah fenomenon di atas digunakan dalam pemahaman fenomenologi Husserl. Menurut para fenomenolog, fenomenon tidaklah harus selalu dapat dilihat dengan indera, tetapi dapat pula ditilik melalui perasaan (rohani). Secara ringkas dan sederhana, fenomenon tidaklah harus selalu berbentuk suatu peristiwa, tetapi “sesuatu yang menampakkan diri sebagaimana dirinya sendiri” (sebagaimana adanya/apa adanya) (Hadiwijono, 1995: 140; Zeitlin, 1995: 217).  

            Lebih jauh, melalui fenomenologi besutannya, Husserl berupaya menggalakkan proyek besar filsafat akan pencarian erlebnisse ‘kesadaran/pengetahuan murni’, yakni sebentuk pengetahuan yang tak terkontaminasi oleh kepentingan apapun, sudut pandang orang kedua, ketiga atau seterusnya (Sudarminta, 2008: 35)—pengetahuan sebagaimana adanya. Dalam mencapai upaya tersebut, kritik Husserl terhadap psikologisme dan behaviorisme pun tak terhindarkan. Melalui eksemplar Logische Untersuchengen (1900) dan Philosophy as Rigorous Science (1911), Husserl menyatakan bahwa baik psikologisme maupun behaviorisme, di mana keduanya memiliki banyak kesamaan, merupakan pemahaman yang terlampau spekulatif dan samar. Hal ini disebabkan oleh begitu terorientasinya kedua pemahaman terkait akan simplifikasi perilaku manusia ke dalam kerangka stimulus-respon (sebab-akibat) tanpa memperhatikan dimensi kesadaran dan pemaknaan manusia. Dengan kata lain, kedua pemahaman di atas sekedar berkutat pada fakta-fakta yang bersifat eksternal. Sementara, bagi Husserl, pengetahuan yang valid sekedar dapat diperoleh dengan memasuki alam kesadaran dan pemaknaan manusia itu sendiri. Di satu sisi, senada dengan Immanuel Kant dan David Hume, Husserl menegaskan bahwa hukum kausalitas sekedar dimiliki oleh dunia nature ‘alam’, tak demikian halnya dengan dunia manusia (Zeitlin, 1995: 210-211).    

            Oleh karenanya, dalam rangka mencapai pengetahuan yang valid dan akurat menurut Husserl, diperlukan lebenswelt ‘penghayatan atas dunia’, epoche serta kemampuan refleksi. Lebenswelt ‘penghayatan atas dunia’ atau suatu dunia kehidupan yang dialami secara langsung, berkenaan erat dengan prinsip intensionalitas yang diperoleh Husserl melalui gurunya, Franz Brentano (Zeitlin, 1995: 216; Wahana, 2008: 35). Prinsip tersebut merupakan sebentuk “kesengajaan” di mana obyek ada (hadir) karena kita memberikan perhatian terhadapnya, atau dalam bahasa filsafat, “kesadaran adalah kesadaran akan sesuatu” (Sartre, 1956: 629). Sebagai misal, kita menyadari keberadaan gelas di hadapan kita dikarenakan kita memberikan perhatian kepadanya. Apabila jauh di belakang gelas tersebut terdapat televisi yang tengah menyala, dan kita memberikan perhatian terhadap televisi tersebut, maka gelas yang tadinya ada di hadapan kita pun menjadi tiada. Dengan kata lain, prinsip intensionalitas lebih memiripkan bentuknya sebagai permainan antara latar gambar dengan gambar depan. Apabila kita lebih memilih untuk memperhatikan gambar depan, maka latar gambar pun menjadi tiada, dan begitu pula berlaku sebaliknya.        
          
            Epoche. Istilah terkait berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tanda kurung”. Dalam fenomenologi, epoche berfungsi sebagai instrumen guna melakukan “penangguhan sementara”. Artinya, melalui epoche, kita diharuskan untuk terlebih dahulu menghilangkan berbagai bentuk prasangka, penilaian, serta asumsi-asumsi terhadap obyek yang hadir di hadapan kita akibat lebenswelt ‘penghayatan atas dunia’ dan prinsip intensionalitas di dalamnya. Menggunakan epoche dapat pula berarti menjadi seseorang yang bebas kepentingan atau netral, di satu sisi, penggunaan epoche bukan berarti sama sekali menolak pengalaman dan asumsi yang kita miliki, melainkan mulai mempertanyakannya (Palmer, 2007: 35-36).

            Tahapan selanjutnya setelah penangguhan sementara dilakukan adalah melakukan refleksi. Dalam hal ini, refleksi berbeda dengan berpikir. Sebagai misal, seorang mahasiswa yang memperoleh nilai C dikarenakan tak sejalan dengan pemikiran dosen. Untuk sementara waktu, mahasiswa tersebut menerimanya, ia berpikir, dirinyalah yang terlalu sombong sehingga mengkerdilkan pemikiran dosennya. Namun, suatu waktu, ketika peristiwa tersebut telah jauh berlangsung, ia kembali teringat dan memikirkannya lagi. Ia pun mulai mempertanyakannya; Apakah ia pantas memperoleh nilai C hanya dikarenakan berbeda pemikiran dengan dosennya? Bukankah perbedaan pemikiran merupakan suatu hal yang wajar, terlebih dalam ranah intelektual? Bisa jadi, justru sang dosenlah yang sombong dan mempertahankan status quo?.

            Faktual, ketika mahasiswa tersebut sekedar menggunakan satu perspektif saja—bahwa ia pantas mendapatkan nilai C—apa yang dilakukannya adalah berpikir. Namun kemudian, setelah ia mulai mempertanyakannya dan menggunakan berbagai perspektif, maka apa yang dilakukannya tak lagi berpikir, melainkan ber-refleksi (melakukan refleksi) (Zeitlin, 1995: 219). Berbagai pemikiran Husserl di atas terangkum dan tersistematisasi dalam konsepnya mengenai reduksi atau “penyaringan” yang antara lain terdiri dari: Pertama, reduksi fenomenologis atau reduksi historis, yakni upaya untuk menyisihkan berbagai ajaran filsafat atau ilmu pengetahuan mengingat fenomenologi tak berminat pada pandangan orang lain, melainkan pada obyeknya sendiri; Kedua, reduksi eidetis, yakni memisahkan eksistensi individu dari obyek ke dalam tanda kurung, dikarenakan fenomenologi sekedar mencari esensi. Pada tahapan ini, “aku murni” dari individu ditemukan; Ketiga, reduksi transendental, setelah sebelumnya individu dipisahkan dari obyek ke dalam tanda kurung, maka begitu pula dengan segala sesuatu yang tak berhubungan dengan kesadaran murni subyek (aku murni). Dengan demikian, yang tersisa hanyalah aktivitas kesadaran itu sendiri atau erlebnisse ‘kesadaran murni’ (Hadiwijono, 1995: 143-144; Wahana, 2008: 35).

Kesadaran murni tersebutlah yang menjadi tempat untuk mengkonstruksi obyek yang diamati sehingga obyek datang sebagaimana adanya pada subyek. Dalam tahapan ini, obyek mengalami dirinya sendiri, kebenaran yang dicapai adalah kesesuaian antara apa yang ia lihat, pikirkan, alami, berikut pemaknaan yang diberikan kepadanya (Kuswarno, 2009: 31-32). Namun, besarnya porsi kesadaran murni yang diberikan Husserl pada konsep fenomenologi-nya menyebabkan konsep terkait dituduh banyak pihak terlampau bias idealisme, yang dengan demikian justru menjauhkan individu dari alam kenyataan. Bahkan secara tegas, Zeitlin (1995: 225-226) mengatakan bahwa konsep fenomenologi Husserl mengisolasi individu dari interaksi sosial dan keberadaan manusia lainnya, begitu pula, konsep terkait dinilai tak mampu menjelaskan posisi individu kala menjadi “Me” atau “aku sebagai obyek”. Inilah salah satu alasan mengapa konsep fenomenologi Husserl kurang sesuai guna menjelaskan dunia subyektif kaum gelandangan yang agaknya kerap menemui momen-momen pengobjekan diri oleh orang lain.

Di satu sisi, salah satu orientasi fenomenologi eksistensial besutan Sartre sendiri sengaja ditujukan guna mengkritik fenomenologi Husserl (Sartre, 1956: 74; Abidin, 2003: 183). Sartre (2002: 44) dengan prinsip eksistensialisme-nya, “eksistensi mendahului esensi”, menempatkan eksistensi atau materi melampaui esensi atau ide/makna. Dengan kata lain, Sartre meyakini bahwa alam materi merupakan perihal yang paling berpengaruh bagi manusia. Lebih jauh bagi Sartre, manusia terlebih dahulu syarat menyadari keberadaannya di dunia, yakni keberadaannya di antara beragam materi solid yang ada di sekelilingnya, barulah setelah itu ia dapat memaknai atau menentukan siapa dirinya.

Dalam Existentialism and Humanism (2002: 56-57), Sartre berkata bahwa manusia modern syarat menerima kenyataan bahwa Tuhan tidaklah ada. Pernyataan tersebut tak sekedar menegaskan posisi ke-atheis-an Sartre, tetapi juga ajakannya untuk terlebih dahulu menafikkan hal-hal yang bersifat abstrak, idea, dan pemikiran penuh spekulasi. Begitu pula, dalam Being and Nothingness (1956: Ixv-Ixix), Sartre menyatakan bahwa dunia dan benda-benda yang membentuknya adalah tanpa alasan dan tujuan. Mereka tak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, berikut sekedar ada begitu saja. Secara tak langsung, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa kehidupan manusia tak lain sekedar dilingkupi oleh benda-benda atau alam materi. Hal inilah yang kemudiaan diistilahkan Sartre (1956: xIviii) dan Heidegger sebagai human reality ‘kenyataan manusia’. Dengan demikian, dapatlah ditilik bahwa eksistensialisme Sartre lebih condong pada matrealisme. Namun, pemahaman matrealisme di sini tak selayaknya matrealisme Thomas Hobbes yang sekedar mereduksi manusia sebagai mesin atau berperilaku berdasarkan hukum-hukum mekanik semata (Hardiman, 2004: 70; Smith & Raeper, 2004: 34), melainkan matrealisme secara pola pikir atau epistemologi. Berikut penjelasannya lebih jauh (Hardiman, 2004: 65).

§  Idealisme: Ide à Materi
Contoh: Individu mengetahui kegunaan kursi untuk duduk karena memikirkan bahwa benda layaknya demikian memang dapat difungsikan untuk duduk.
§  Matrealisme: Materi à Ide
Contoh: Individu mengetahui kegunaan kursi untuk duduk karena sebelumnya melihat individu lain dapat duduk pada benda layaknya demikian.

            Terkait dengan kritik fenomenologi Husserl yang tak kuasa menjelaskan posisi individu sebagai obyek, Sartre menjelaskan posisi individu sebagai subyek melalui konsep etre pour soi, dan posisi individu sebagai obyek melalui etre en soi (Muzairi, 2002: 125-126, 170; Smith & Raeper, 2004: 87). Begitu pula, menurut Sartre, kesadaran murni ala Husserl terlampau menyederhanakan kondisi kesadaran manusia. Baginya, kesadaran manusia terpecah ke dalam dua bentuk, yakni “kesadaran reflektif” dan “kesadaran nonreflektif” (Palmer, 2007: 38), sementara kesadaran murni Husserl seolah menyiratkan kesadaran reflektif dapat sekaligus menjadi kesadaran nonreflektif—akan dijelaskan lebih lanjut pada bab berikutnya.

Verstehen Max Weber
            Max Weber (1864-1920) merupakan tokoh sosiologi yang paling berpengaruh dalam pemahaman nominalisme sosiologis (Wrong [Ed.], 2003: 33). Menurutnya, kajian sosiologi yang memfokuskan perhatian pada studi mengenai entitas masyarakat, institusi atau lembaga-lembaga sosial bersifat abstrak dan penuh spekulasi. Bagi Weber, satu-satunya perihal yang konkret adalah motif berikut tindakan yang dimiliki individu, “There is no such thing as society, merely individuals and groups entering into social relationships with each other” [“Tak ada sesuatu yang dinamakan masyarakat, melainkan kumpulan individu dan kelompok yang menjalin hubungan sosial satu sama lain”], pungkas Weber (dalam Marshall, 1998: 630). Di satu sisi, pernyataan tersebut dapat diasumsikan sebagai berikut, “Keluarkan individu dari masyarakat, maka habislah masyarakat. Tetapi, bubarkan masyarakat beserta lembaga-lembaganya, maka individu akan tetap ada”. Oleh karenanya, obyek studi sosiologi Weber berfokus pada motif tindakan sosial aktor.

            Dalam hal ini, tindakan sosial memiliki beberapa karakteristik, antara lain; (1) Tindakan aktor yang memiliki makna dan bersifat subyektif, (2) Tindakan nyata maupun yang bersifat membatin dan sepenuhnya bersifat subyektif, (3) Tindakan yang sengaja diulang berikut tindakan dalam bentuk persetujuan diam-diam, (4) Tindakan terkait diarahkan pada individu maupun kolektif, serta (5) Tindakan tersebut memperhatikan tindakan orang lain dan terarah pada orang itu (Ritzer, 2009: 39).   

            Lebih jauh, guna menelisik penafsiran dan pemahaman dari serangkaian tindakan sosial di atas, Weber mencetuskan metode verstehen. Secara sederhana, verstehen mengajak peneliti (ilmuwan sosial) untuk menempatkan diri dalam posisi aktor dan berusaha memahami dunia sebagaimana yang dipahami aktor tersebut (Wrong [Ed.], 2003: 28-31). Keyakinan Weber akan tindakan aktor yang bersifat rasional dan memenuhi hukum eakleren ‘sebab-akibat’, menyebabkannya memetakan tindakan aktor ke dalam empat tipe rasionalitas. Pertama, werktrational (rasionalitas nilai), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada sesuatu yang dianggap benar, baik dan diharapkan keterwujudannya—sebagaimana pengertian nilai pada umumnya. Sebagai misal, seseorang yang berkata jujur pada orang lain dikarenakan menganggap kejujuran sebagai perihal yang patut dijunjung tinggi. Kedua, zwerk rational (rasionalitas instrumental), yakni tindakan yang didasarkan pada efisiensi dan efektifitas tingkat tinggi dalam pencapaian tujuan. Semisal, seorang wanita muda yang bersedia menerima pinangan duda tua nan kaya raya dengan harapan bergelimang harta dalam waktu singkat (Zeitlin, 1995: 255-256; Ritzer, 2009: 40-41).

            Ketiga, affectual action (tindakan/rasionalitas afektif), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada perasaan atau emosi. Sebagai misal, seorang gadis yang berjingkrak kegirangan karena memperoleh cokelat dari seorang pria yang disukainya. Keempat, traditional action (tindakan/rasionalitas tradisional), yakni tindakan yang didasarkan pada perihal yang telah dilakukan secara turun-temurun dan berulang-ulang. Semisal, seorang pemuda yang pergi merantau dari kampung halamannya dikarenakan hal tersebut telah menjadi tradisi dalam masyarakatnya (Zeitlin, 1995: 256-257; Ritzer, 2009: 41).

            Faktual, Weber berhasil membawa konsep pemahaman subyektif pada pola-pola penalaran yang lebih bersifat rigorous ‘ketat’. Namun, layaknya fenomenologi Husserl, verstehen Weber tak memiliki penjelasan akan posisi subyek sebagai obyek. Seolah, subyek selalu berpikir berikut bertindak proaktif, bahkan ketika subyek “tertelan” oleh masyarakat, semisal mengikuti nilai, norma dan tradisi yang terdapat di dalamnya, ia tetap dalam kondisi aktif menafsirkan serta menciptakan dunia. Secara tak langsung, ini menjadi aib bagi konsep rasionalitas Weber mengingat dimensi irasionalitas yang turut termuat di dalamnya (tak sepenuhnya rasional)—bertindak karena sekedar mengikuti atau meniru. Di satu sisi, hal terkait kiranya membuat kita perlu mengkaji ulang pernyataan Weber yang kurang-lebih berbunyi: “Seluruh tindakan manusia di dunia adalah rasional”, yang justru mengaburkan batas-batas antara dimensi rasionalitas dengan irasionalitas.

Hal di atas berbeda halnya dengan konsep eksistensialisme Sartre (1956: 48) yang mengenal istilah mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’, yakni kondisi ketika individu sekedar mengikuti individu atau kolektif lainnya. Meskipun memang, Sartre menyatakan pula, “Anda memiliki keyakinan yang buruk, tapi tak mengapa, gaya yang berbeda untuk orang yang berbeda” (Palmer, 2007: 113). Bisa jadi, pernyataan tersebut justru menunjukkan kapasitas eksistensialisme Sartre dalam upaya menjembatani posisi individu dalam masyarakat tanpa harus kehilangan dimensi eksistensinya. Pasalnya, bagi Sartre pengalaman eksistensial dapat menjangkiti baik kala individu tegak berdiri melawan masyarakat (menindak) maupun kala individu tak kuasa melawan dominasi masyarakat (ditindak). Pengalaman terakhir ini, menunjukkan eksistensi diri individu sebagai etre en soi, semisal rasa malu, ter-objek-kan, pasrah, serta keharusan menilai diri sendiri berdasarkan kerangka penilaian orang lain.

Lebih jauh, verstehen Weber tak memuat penjelasan akan kemampuan individu dalam memanipulasi obyek, dalam hal ini terutama orang lain dan ruang (tempat). Apabila hendak dimisalkan dengan mudah lagi gamblang, kemampuan individu dalam memanipulasi ruang dicontohkan dalam cuplikan film The Pursuit of Happiness (2007)—berdasarkan kisah nyata—di mana kala tokoh utama dalam film tersebut, Chris Gardner (diperankan oleh Will Smith), terusir dari apartemennya dan terpaksa menggelandang di jalanan bersama anaknya sebelum memperoleh shelter, ia pun memanipulasi (baca: mengkonstruksikan) toilet umum subway pada anaknya sebagai goa tempat berlindung dari ancaman beragam jenis dinosaurus di luar sana.

Fenomenologi Max Scheler
            Fenomenologi Max Scheler (1874-1928) lebih dikenal dengan sebutan “gerakan fenomenologi”. Istilah tersebut digunakan untuk membedakan corak fenomenologi Scheler dengan Husserl, meskipun memang, sebelumnya Scheler sempat demikian terinspirasi oleh Husserl, namun pengisolasian diri Husserl terhadap permasalahan hidup sehari-hari berikut kecenderungannya pada idealisme-transendental membuat Scheler syarat mengkonstruksi konsep fenomenologinya sendiri. Di samping itu, perbedaan mendasar antara Scheler dengan Husserl adalah, Scheler sama sekali tak tertarik dengan persoalan fundamental ilmu pengetahuan berikut tak terobsesi untuk mengganti terminus filsafat dengan fenomenologi. Sebagai seseorang yang berlatar belakang praksis dan berupaya memecahkan persoalan hidup sehari-hari, Scheler sekedar menempatkan fenomenologi sebagai salah satu alternatif guna memecahkan persoalan tersebut (Wahana, 2008: 37).

            Fokus utama dalam gerakan fenomenologi Scheler adalah pengetahuan yang bersifat perspektif, yakni menyangkut posisi sosial-budaya seseorang. Pada era Scheler, di mana pergulatan antar berbagai ideologi tengah santer bersaing untuk mendapatkan simpati rakyat—fasisme, komunisme, liberalisme, Protestan serta Katolik—Scheler percaya bahwa hanya seorang intelektual-lah yang mampu bersikap obyektif dan mampu memisahkan dunia politik dengan perjuangan berbagai ideologi. Melalui sikap obyektif tersebut, Scheler meyakini seorang intelektual akan dapat mengungkap sumber-sumber sosial dari berbagai ideologi politik yang ada. Selanjutnya, intelektual syarat menggiring para pemeluk ideologi untuk tak sekedar memahami ideologinya sendiri, tetapi juga prasangka berikut kritikan ideologi-ideologi lain terhadap ideologinya. Dengan demikian, dapatlah ditilik secara jelas bahwa fenomenologi Scheler lebih memiripkan bentuknya sebagai sosiologi pengetahuan, dan memang, pandangan fenomenologi-nya begitu mempengaruhi pemikiran Karl Mannheim kemudian (Zeitlin, 1995: 228-229, 231).

            Ditinjau berdasarkan konteksnya, tampaklah jelas bahwa fenomenologi Scheler berupaya menelisik motif serta alasan pribadi seseorang dalam menganut ideologi tertentu, berikut berupaya menyingkap pandangan ideologi lain terhadap ideologi yang dianut seseorang tersebut sehingga tersajikan secara gamblang kelebihan berikut kekurangan dari masing-masing ideologi yang ada. Di satu sisi, sebagaimana fenomenologi Husserl dan verstehen Weber, fenomenologi Scheler tak menunjukkan kemampuan subyek individu dalam memanipulasi diri, orang lain, ruang serta waktu yang melingkupinya. Meskipun memang, esensi dari ideologi adalah sebentuk instrumen guna memanipulasi dunia (Nuswantoro, 2001: 60), namun manipulasi yang dilakukan individu dengan ideologi yang dianutnya sesungguhnya tak lebih dari manipulasi ideologi itu sendiri, bukan manipulasi subyek yang otonom.

Fenomenologi Alfred Schutz
            Bisa jadi, konsep fenomenologi Alfred Schutz (1899-1959) begitu memiripkan bentuknya dengan konsep fenomenologi eksistensial Sartre mengingat muatan manipulasi yang terdapat di dalamnya. Terkait hal tersebut, Schutz mengemukakan keberadaan dunia mikro individu, yakni suatu area yang berada dalam jangkauan individu itu sendiri: “Area ini milik saya”. Area yang berada dalam jangkauan individu tersebut berbeda dengan area yang hadir ke dalam jangkauannya. Oleh karenanya, area yang terdapat pada diri individu tersebut (individu A) sesungguhnya merupakan area individu lain (individu B). Sebaliknya, area yang dimiliki individu lain (individu B) sesungguhnya merupakan area individu itu sendiri (individu A). Melalui kondisi yang demikianlah manipulasi antara satu individu dengan yang lainnya dimungkinkan. Sudah tentu, hal tersebut tak terlepas dari perbedaan perspektif, pemahaman berikut pengalaman masing-masing individu dalam memandang suatu obyek sehingga aktivitas bertukar pikiran pun turut dimungkinkan (Zeitlin, 1995: 261-262).

            Lebih jauh, bagi Schutz, manipulasi individu turut dimungkinkan dikarenakan individu selalu berhadapan dengan dunia, obyek-obyek, atau realitas secara nyata. Menurutnya, individu selalu meyakini bahwa ia berhadapan dengan realitas nyata sepanjang tak memiliki alasan yang tepat untuk menentangnya. Keyakinan akan keberadaan realitas nyata tersebutlah yang diistilahkannya dengan realitas puncak dan pada gilirannya melahirkan makna puncak. Namun, manakala individu tak mampu menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut tak sesuai dengan harapannya, maka ia pun bakal menolak keberadaan makna puncak, dan menggantinya dengan “makna khusus”. Dalam hal ini, makna khusus merupakan makna yang tak terpaku pada dunia obyektif—berikut demikian berbeda dengan pemaknaan individu lain, melainkan pendayagunaan-lebih alam kesadaran manusia terhadap realitas nyata. Penggunaan makna khusus inilah yang kemudian menghantarkan individu larut dalam dunia khayalan. Sebagai misal, seorang intelektual yang gagal menjadikan dirinya terkenal dan tak kuasa menerima kenyataan tersebut, kemudian kerap membayangkan dirinya menjadi populer, memiliki publikasi yang laris di pasaran, serta diundang berbagai universitas dunia untuk memberikan kuliah. Bagi Schutz, hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan individu, hanya saja kebebasan yang tak bertanggung jawab mengingat ketiadaan kontrol dan batasan di dalamnya (Zeitlin, 1995: 263-265).      

            Di samping konsep manipulasi individu yang memiripkan bentuknya dengan fenomenologi eksistensial, layaknya Sartre, Schutz turut meyakini bahwa kehendak dan keinginan dalam diri individu merupakan tanda kekosongan manusia yang memaksa individu untuk terus bertindak. Adapun kecemasan mendasar individu menurut Schutz adalah kematian mengingat hal tersebut selalu membayangi individu akan berbagai proyeknya yang belum selesai selama dirinya berhadapan dengan realitas puncak (Zeitlin, 1995: 264). Hal ini sedikit berbeda dengan pandangan eksistensialisme Sartre (1956: 412) di mana kematian ditempatkan sebagai kepasrahan individu akan proyeknya yang telah usai: kematian menyebabkan individu menjadi “is” ‘adalah’. Oleh karenanya, apa yang dapat dilakukan individu dalam pandangan eksistensialisme hanyalah “berbuat tanpa berharap” (Sartre, 2002: 69).

            Di sisi lain, perbedaan mendasar antara fenomenologi eksistensial Sartre dengan fenomenologi Schutz adalah anggapan Schutz bahwa kesadaran individu selalu terbagi. Ia—kesadaran—tak pernah menjadi entitas yang tunggal, melainkan selalu terbagi dengan individu lain; sahabat, keluarga, teman dan orang lain. Artinya, pemahaman atau perspektif individu akan suatu hal tidak mungkin tidak dipengaruhi oleh individu lain. Dengan kata lain, dunia individu tak pernah bersifat pribadi sepenuhnya (Zeitlin, 1995: 259; Kuswarno, 2009: 110). Anggapan tersebut sudah tentu mengingkari otentitas individu dalam pandangan fenomenologi eksistensial, terlebih berkenaan dengan pemaknaan eksistensial yang dilakukan tiap-tiap individu. Semisal pemaknaan yang dilakukan Roquentin, tokoh utama dalam novel Sartre (Nausea) terhadap tempat duduk trem yang dianggapnya sebagai perut seekor keledai mati yang membengkak (Palmer, 2007: 45). Kiranya, cukup sulit mengandaikan pemaknaan individu lain yang demikian unik layaknya Roquentin di atas. Meskipun memang, adakalanya pemaknaan antara satu individu dengan individu lain dapat serupa.

Fenomenologi Peter L. Berger
            Pengkajian fenomenologi Peter L. Berger berkaitan erat dengan konsepnya mengenai konstruksi realitas sosial yang dianggapnya bergantung pada posisi individu sebagai subyek. Dengan demikian, asumsi awal pemikiran terkait layaknya struktural fungsional, hanya saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif individu dengan dunia obyektif (Brouwer [et.al], 1982: 64; Kuswarno, 2009: 111-112). Dalam proses tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini eksisnya dialektika tiga momentum yang dialami individu dalam masyarakat, yakni eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi, yang mana ketiganya menunjukkan eksistensi individu sebagai produk masyarakat dan begitu pula sebaliknya: masyarakat sebagai produk individu. Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu lebih dominan ketimbang masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif memproduksi nilai, norma dan budaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, internalisasi adalah kondisi tatkala individu lebih dormant ketimbang masyarakatnya, dalam kondisi tersebut individu aktif mengadopsi nilai, norma dan budaya yang terdapat dalam masyarakat.  Di satu sisi, obyektivasi menunjuk pada keterkaitan sekaligus keterpisahan antara individu dengan masyarakat. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut,

Sebelum individu ada, masyarakat telah ada.
Ketika individu ada, masyarakat ada.
Ketika individu tiada, masyarakat tak serta-merta turut tiada.
Artinya, individu dapat dipisahkan dengan masyarakat, dan begitu pula sebaliknya.

            Lebih jauh, kontektualisasi dialektika tiga momentum di atas dapat dimisalkan dengan proses bertransformasinya konstruksi sosial menjadi kenyataan sosial. Sebagai misal, seorang individu yang berpengaruh dalam masyarakat pada mulanya mempraktekkan senyum simpul kala berpapasan dengan individu lain yang dikenalnya sebagai bentuk penghormatan. Lambat-laun, perilaku tersebut ditiru oleh individu-individu lain dan segera berubah menjadi suatu konstruksi sosial, yakni senyum simpul sebagai bentuk penghormatan kala berpapasan dengan individu lain yang dikenal. Bersamaan dengannya, konstruksi sosial pun menemui bentuknya sebagai kenyataan sosial. Sebagai misal, apabila terdapat individu yang berpapasan dengan individu lain yang dikenalnya namun tak melancarkan senyum simpul, maka ia akan segera mendapati cap sombong, angkuh, dan lain sejenisnya (Brouwer, 1984: 159-160; Susilo, 2008: 330-331).

            Apabila fenomenologi Berger masih mengakui keterkaitan antara individu dengan masyarakat, maka tak demikian halnya dengan fenomenologi eksistensial Sartre yang menolaknya sama sekali. Begitu pula, fenomenologi eksistensial Sartre menolak dimensi internalisasi dan obyektivasi mengingat memberikan titik tolak penuh pada kedirian individu. Secara tak langsung, hal tersebut turut menyiratkan penolakannya terhadap konstruksi sosial sebagai realitas sosial. Dalam hal ini, fenomenologi eksistensial Sartre sekedar meluluskan terjadinya momen eksternalisasi, namun tak demikian halnya pada momen internalisasi dan obyektivasi. Internalisasi sebagai bentuk pengadopsian nilai, norma dan budaya dalam masyarakat menemui bentuknya sebagai mauvaise foi dalam pandangan Sartre, alih-alih obyektivasi yang menekankan pada penciptaan (persetujuan) konsensus bersama.

*****

Referensi;
Abidin, Zainal, 2003, Filsafat Manusia, Rosda.
Brouwer, M.A.W., 1984, Psikologi Fenomenologis, Gramedia.
Hadiwijono, Harun, 1995, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Gramedia.
Kuswarno, Engkus, 2009, Metodologi Penelitian Komunikasi: Fenomenologi; Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian, Widya Padjajaran.
Lathief, Supaat I., 2010, Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme, Pustaka Pujangga.
Palmer, Donald D, 2007, Sartre untuk Pemula, Kanisius.
Poloma, Margaret M, 2010, Sosiologi Kontemporer, Rajawali Pers.
Ritzer, George, 2005, Teori Sosiologi Modern, Kencana.
Sartre, Jean Paul, 1956, Being and Nothingness, New York Philosophical Library.
————————, 1991, The Transcendence of The Ego, Hill and Wang-New York. 
————————, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar.
Susilo, Rachmad K. Dwi, 2008, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Ar-Ruz Media.
Wahana, Paulus, 2008, Nilai Etika Aksiologis Max Scheler, Kanisius.
Wrong, Dennis [Ed.], 2003, Max Weber: Sebuah Khazanah, Ikon.
Zeitlin, Irving M, 1995, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press. 

18 komentar:

  1. mas.. terimakasih, tulisan-tulisan nya sangat menarik. kalo memungkinkan saya ingin menanyakan beberapa hal berikut:

    1. posisi husserl ini sejatinya ada dimana mas, apa di rasionalisme descartes, spinoza, leibniz yang dirintis plato? atau sebaliknya di empirisme hobbes, locke, hume yang dirintis aristoteles?
    2. sebagaimana dinyatakan mas wahyu -husserl berusaha menggalakkan proyek pengetahuan murni,- dari situ saya teringat habermas yang menyatakan kita tak lagi dapat memahami ilmu pengetahuan karena menyamakannya dengan pengetahuan (Hardiman, 2008:28). mungkin mas wahyu bisa menjelaskan lebih lanjut terkait pengetahuan-ilmu pengetahuan.
    3.mengenai prinsip intensionalitas (dengan contoh televisi dan gelas), apakah ada unsur subyektif disitu, dan karena subyektif tentu mengarah ke disensus, dengan kata lain untuk mendapatkan pengetahuan akurat husserl menyarankan agar mengunci pemikiran dari pemikiran-pemikiran diluarnya, apakah begitu mas?
    4. menggunakan epoche membuat bebas nilai, menurut saya pribadi -dengan mengacu 3 registrasi dasar lacan- kayaknya se ga ada yang benar-benar bebas nilai jika sudah berada dalam wilayah the symbolic. apakah juga begitu mas?

    mohon maaf mas atas ketidakpahaman atau salah pembacaan saya, saya pemula, terimakasih.

    *salam hangat dari kalimantan mas,

    BalasHapus
  2. 1. posisi husserl, bagi banyak pihak, lebih pada idealisme plato. fenomenologinya dituduh mengembalikan pada pola-pola pikir tersebut dan kian menjauhkan dari realitas.
    2. pengetahuan adalah segala sesuatu yg kita peroleh dalam keseharian hidup. contoh: newton menemukan gravitasi lewat apel yg jatuh. pengetahuan, agar jadi ilmu pengetahuan, harus memenuhi 4 syarat; sistematis, analitis/ilmiah, prediktif, dan rasional. diskusi fenomenologi husserl sulit dibenturkan dengan konsep habermas karena fenomenologi lebih berpusat pada pengetahuan keseharian hidup, sementara habermas lebih pada kepentingan suatu kelompok/regime of significance.
    3. memang harus subyektif, tapi uniknya subyektif yg obyektif, tanpa kontaminasi premis2 pemikiran/perspektif sebelumnya. it is what it is.
    4. sudah tentu psikoanalisis radikal lacan membawa pemahaman ttg pengetahuan dan simbol lebih jauh ketimbang husserl, dkk. "gambar yang muncul, sekaligus menyembunyikan sesuatu", mirip konsep baudrillard: "presensi yg hadir bersama absensi" --> simulacrum. namun, husserl sendiri mengakui, obyek ada ketika diperhatikan, artinya ini memang berdasar pemilahan dan kepentingan individu ihwal apa yg hendak diperhatikannya. bebas nilai di sini dalam arti, tak terkontaminasi pemikiran2 sebelumnya: an sich. namun, hal tersebut emang sulit/musykil dipraktekkan. kita selalu melihat dengan 'persona'.

    anda bukan pembaca pemula, sudah oke pemahaman ttg sos-hum Barat. thanks buat responnya. salam hangat juga dari jogja :)

    BalasHapus
  3. terimakasih mas wahyu atas tanggapannya.

    jika memungkinkan saya ingin menyelami lebih jauh poin ketiga. berdasar hal tersebut, maka husserl dengan "sistem tertupnya" mempunyai tipikal "ahistoris" dan lepas dari praxis. -saya jadi teringat teori kritis frankfurt disini- dimana horkheimer mengkritik model husserl diatas.
    bagi horkheimer (dan konco-koncone) teori tidak bisa tidak harus bersifat "historis," karena jika teori Husserl ini diterapkan (dan sudah lama diterapkan saya kira, dengan sadar atau tidak sadar)kedalam keadaan sosial masyarakat maka teori menjadi penjaga status quo masyarakat, keran perubahan tersumbat. disamping itu, dengan ke-ahistorisannya, husserl seolah-olah ingin memukul rata manusia tanpa mempertimbangkan kultur budaya setempat, ada klaim universal saya pikir disini.

    dengan demikian, dalam konteks ke-indonesiaan dengan capres nanti yang itu-itu saja, saya pikir pada titik ini husserl harus ditinggalkan, mungkin sejenak....

    terimakasih mas wahyu, mohon maaf jika ada kekeliruan pembacaan.

    BalasHapus
  4. klaim universal tentu, toh dalam ranah sosiologi, mengingat sifatnya yg demikian, fenomenologi ditempatkan dalam ranah modern. pukul rata saya juga setuju, maka dari itu, upaya untuk menghadapkan fenomenologi pada keseharian hidup diupayakan oleh pemikir-pemikir setelahnya. 1 yang saya kira tersolutif adalah fenomenologi realis/eksistensial-Sartre. Mengapa? Sartre sendiri mengatakan jika anak kecil terkadang lebih fenomenologis ketimbang orang dewasa, plus pengarahan fenomenologi pada kemampuan pemaknaan berikut manipulasi ruang/tempat, waktu, dan manusia, sehingga hal itu bisa menjadi instrumen tuk 'menghadapi dunia'.

    namun bagaimanapun juga, husserl begitu berjasa lewat konsep2nya mengenai epoche, erlebnisse, dan lebenswelt. saya curiga, justru pengetahuan yg dikonstruk frankfurters sekedar mengakomodasi pihak-pihak tertentu, dalam hal ini kaum proletar/buruh yang mengalami desublimasi represif. seyogyanya, bukankah pengetahuan itu harus mengakomodasi semua pihak; baik kelas bawah, menengah, maupun atas? Ini baru pengetahuan yang obyektif. Dan langkah awal tuk mewujudkannya bisa lewat fenomenologi husserl. melihat suatu fenomena bersih dari persepsi2---kelas, agama, ideologi, dll.

    saya masih kurang paham hubungannya dengan pencapresan tahun mendatang. mohon penjelasan lebih jauh.

    suka sekali dengan diskusi ini.

    Salam Hangat,
    Wahyu BN :)

    BalasHapus
  5. maaf bolehkah saya bertanya... saya kurang paham dengan eksternalisasi,internalisasi,obyektivasi Peter L Berger.. bs tidak anda memberikan contoh agar lebih mudah dipahami.. terima kasih

    BalasHapus
  6. internalisasi: posisi ketika individu lebih lemah daripada masyarakat, di sini individu aktif mengadopsi nilai/norma masy.
    eksternalisasi: posisi ketika individu lbh kuat ketimbang masyarakat; individu aktif mencipta nilai/norma buat masy. contoh; soekarno, hitler, mussolini, dll
    obyektivasi: penjelasan atas kedua posisi di atas yg berganti2

    BalasHapus
  7. maaf mas, matrealisme apakah sama dengan materialisme?

    BalasHapus
  8. beda secara ideologi, paham, dan konteks penggunaan istilahnya
    matrealisme;
    epistimologi yang ber vis-a-vis dengan idealisme. matrealisme: pengetahuan berasal dari alam materi, idealisme: pengetahuan dari alam ideal/abstrak ~ platonis

    materialisme: paham yg mementingkan kebendaan/materi [matre]

    BalasHapus
  9. Mas, salam kenal dari mahasiswa komunikasi unpad. saya mau tanya karena pembahasan mengenai fenomenologi berkaitan dengan penelitian yg sedang saya jalani. Apakah perbedaan signifikan antara fenomenologi Husserl dan Schutz mas? makasih :)

    BalasHapus
  10. kalau mbak baca secara seksama, itu sudah ada di tulisan di atas. secara ringkas, fenomenologi husserl bersifat idealis, abstrak, dan tak hadap realitas; sedang fenomenologi schutz bersifat konkret dan hadap realitas. hehe :)

    BalasHapus
  11. salam kenal mas, sy mau tya klo saya mau meneliti tentang makna simbolik dan nilai pendidikan pd tata rias wayang orang sy lebih tepatnya menggunakan metode fenomenologi yang mana...nuwun

    BalasHapus
  12. salam kenal juga mbak wiwik, lebih tepatnya menggunakan metode semiotik [kajian simbol], coba baca tulisan2nya roland barthes, evan sanders, umberto eco & baudrillard, tentukan sendiri semiotik mana yg lebih cocok buat kaji wayang [kalo saya lebih ke barthes & eco]

    BalasHapus
  13. terimakasih sam atas tulisannya, sangat membantu dalam mengawali pemahaman atas fenomenologi. sam, saya mau tanya.. lantas apa pembedaan mendasar dari fenomenologinya Husserl dengan Schutz..? dan kenapa pula Berger dalam menyusun teorinya (konstruksi sosial) cenderung menggunakan fenomenologi Schutz ketimbang Husserl.?
    sependek pemahaman saya, fenomenologi itu kan ingin melihat apa yang ada di balik sebuah realitas, sedangkan Berger ingin melihat bagaimana realitas itu hadir. nah apakah ini tidak bertentangan sam? di mana sebenernya benang merah atau keterkaitan fenomenologi di dalam konstruksinya Berger?

    mohon maaf jika ada yang keliru, karena itu sependek pengetahuan saya dari hasil membaca yang belum tuntas...

    BalasHapus
  14. permisi..
    jika ingin melakukan kritik atau penguatan dari tokoh lain untuk Weber tentang perbankan dan pasar keuangan sebaiknya menggunakan buku dari siapa ya?
    terimakasih..

    BalasHapus
  15. coba baca bukunya paul ormerod, matinya ilmu ekonomi jild 1 & 2, terbitan gramedia awal tahun 2000-an, mbak monica

    BalasHapus
  16. mohammad fausi: saya kira tulisan ini sudah memaparkan perbedaan antara fenomenologi schutz dengan husserl. yang mendasar, husserl terjebak pada idealisme dan mengisolasi kehidupan sosial, sedang tak demikian halnya dengan schutz

    BalasHapus
  17. mas mau tanya, mengapa ada yang menganggap fenomenologi sebuah metodelogi penelitian ada yang tidak menganggap fenomenologi masuk sebagai metodelogi penelitian? terima kasih :)

    BalasHapus