Perbedaan Kerangka Konseptual
Metode Fenomenologi Eksistensial dengan Varian Metode Fenomenologi Lainnya
Dari Fenomenologi Edmund Husserl, Max Weber, Max Scheler,
Alfred Schutz, hingga Peter L. Berger
"Panopticum Body" by Wahyu Budi Nugroho |
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.
Semenjak diperkenalkan
oleh Edmund Husserl untuk pertama kalinya, metode fenomenologi mengalami
perkembangan yang demikian pesat setelahnya. Tercatat, beberapa di antara tokoh
yang kemudian dapat didaulat sebagai punggawa metode fenomenologi antara lain;
Max Weber, Max Scheler, Alfred Schutz, serta Peter L. Berger. Secara khusus,
subbab ini akan memaparkan berbagai bentuk perbedaan kerangka konseptual antara
metode fenomenologi eksistensial dengan beragam varian metode fenomenologi usungan
para tokoh di atas.
Fenomenologi Edmund Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam
metode fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya mempopulerkan
nama fenomenologi sebagai metode atau cara berpikir baru dalam ranah keilmuan
sosial-humaniora. Meskipun memang, jauh sebelumnya istilah fenomenologi telah
digunakan oleh G.W.F Hegel (1770-1831), Immanuel Kant (1724-1804) dan Johann
Heinrich Lambert (1728-1777), namun penggunaan istilah fenomenologi oleh ketiga
filsuf tersebut berbeda dengan sebagaimana yang dimaksudkan Husserl
(Hadiwijono, 1995: 140; Sudarminta, 2008: 31).
Secara etimologis,
istilah “fenomenologi” berasal bahasa Yunani, fenomenon, yang berarti, “sesuatu yang tampak” atau “terlihat
karena bercahaya”, sementara dalam bahasa Indonesia kerap disebut sebagai
“gejala”. Kata fenomenon atau gejala
sering dipertentangkan dengan kata “kenyataan”, atau dengan kata lain, fenomenon bukanlah hal yang nyata,
melainkan “semu”. Di sisi lain, kata fenomenon
kerap ditempatkan sebagai lawan atas “obyeknya sendiri”, sehingga fenomenon atau gejala menemui bentuknya
sebagai “penampakan”. Sebagai misal, suatu penyakit sebagai obyeknya sendiri,
menampakkan diri pada demam, batuk, pilek, dan lain sebagainya, yang mana kesemuanya
ditempatkan sebagai gejala dari penyakit terkait. Tak hanya itu saja, kata fenomenon kerap digunakan untuk
mengungkapkan berbagai peristiwa terindera, oleh karenanya, istilah fenomenon turut digunakan dalam ilmu
pengetahuan alam atau eksakta (Hadiwijono, 1995: 140).
Namun demikian, tak semua
dari istilah fenomenon di atas
digunakan dalam pemahaman fenomenologi Husserl. Menurut para fenomenolog, fenomenon tidaklah harus selalu dapat
dilihat dengan indera, tetapi dapat pula ditilik melalui perasaan (rohani).
Secara ringkas dan sederhana, fenomenon
tidaklah harus selalu berbentuk suatu peristiwa, tetapi “sesuatu yang
menampakkan diri sebagaimana dirinya sendiri” (sebagaimana adanya/apa adanya)
(Hadiwijono, 1995: 140; Zeitlin, 1995: 217).
Lebih jauh, melalui
fenomenologi besutannya, Husserl berupaya menggalakkan proyek besar filsafat
akan pencarian erlebnisse
‘kesadaran/pengetahuan murni’, yakni sebentuk pengetahuan yang tak
terkontaminasi oleh kepentingan apapun, sudut pandang orang kedua, ketiga atau
seterusnya (Sudarminta, 2008: 35)—pengetahuan sebagaimana adanya. Dalam
mencapai upaya tersebut, kritik Husserl terhadap psikologisme dan behaviorisme
pun tak terhindarkan. Melalui eksemplar Logische
Untersuchengen (1900) dan Philosophy
as Rigorous Science (1911), Husserl menyatakan bahwa baik psikologisme
maupun behaviorisme, di mana keduanya memiliki banyak kesamaan, merupakan
pemahaman yang terlampau spekulatif dan samar. Hal ini disebabkan oleh begitu
terorientasinya kedua pemahaman terkait akan simplifikasi perilaku manusia ke
dalam kerangka stimulus-respon (sebab-akibat) tanpa memperhatikan dimensi
kesadaran dan pemaknaan manusia. Dengan kata lain, kedua pemahaman di atas
sekedar berkutat pada fakta-fakta yang bersifat eksternal. Sementara, bagi
Husserl, pengetahuan yang valid sekedar dapat diperoleh dengan memasuki alam
kesadaran dan pemaknaan manusia itu sendiri. Di satu sisi, senada dengan
Immanuel Kant dan David Hume, Husserl menegaskan bahwa hukum kausalitas sekedar
dimiliki oleh dunia nature ‘alam’,
tak demikian halnya dengan dunia manusia (Zeitlin, 1995: 210-211).
Oleh karenanya, dalam
rangka mencapai pengetahuan yang valid dan akurat menurut Husserl, diperlukan lebenswelt ‘penghayatan atas dunia’, epoche serta kemampuan refleksi. Lebenswelt ‘penghayatan atas dunia’ atau
suatu dunia kehidupan yang dialami secara langsung, berkenaan erat dengan
prinsip intensionalitas yang diperoleh Husserl melalui gurunya, Franz Brentano
(Zeitlin, 1995: 216; Wahana, 2008: 35). Prinsip tersebut merupakan sebentuk
“kesengajaan” di mana obyek ada (hadir) karena kita memberikan perhatian
terhadapnya, atau dalam bahasa filsafat, “kesadaran adalah kesadaran akan
sesuatu” (Sartre, 1956: 629). Sebagai misal, kita menyadari keberadaan gelas di
hadapan kita dikarenakan kita memberikan perhatian kepadanya. Apabila jauh di
belakang gelas tersebut terdapat televisi yang tengah menyala, dan kita
memberikan perhatian terhadap televisi tersebut, maka gelas yang tadinya ada di
hadapan kita pun menjadi tiada. Dengan kata lain, prinsip intensionalitas lebih
memiripkan bentuknya sebagai permainan antara latar gambar dengan gambar depan.
Apabila kita lebih memilih untuk memperhatikan gambar depan, maka latar gambar
pun menjadi tiada, dan begitu pula berlaku sebaliknya.
Epoche. Istilah terkait berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“tanda kurung”. Dalam fenomenologi, epoche
berfungsi sebagai instrumen guna melakukan “penangguhan sementara”. Artinya,
melalui epoche, kita diharuskan untuk
terlebih dahulu menghilangkan berbagai bentuk prasangka, penilaian, serta
asumsi-asumsi terhadap obyek yang hadir di hadapan kita akibat lebenswelt ‘penghayatan atas dunia’ dan
prinsip intensionalitas di dalamnya. Menggunakan epoche dapat pula berarti menjadi seseorang yang bebas kepentingan
atau netral, di satu sisi, penggunaan epoche
bukan berarti sama sekali menolak pengalaman dan asumsi yang kita miliki,
melainkan mulai mempertanyakannya (Palmer, 2007: 35-36).
Tahapan selanjutnya
setelah penangguhan sementara dilakukan adalah melakukan refleksi. Dalam hal
ini, refleksi berbeda dengan berpikir. Sebagai misal, seorang mahasiswa yang
memperoleh nilai C dikarenakan tak sejalan dengan pemikiran dosen. Untuk
sementara waktu, mahasiswa tersebut menerimanya, ia berpikir, dirinyalah yang
terlalu sombong sehingga mengkerdilkan pemikiran dosennya. Namun, suatu waktu,
ketika peristiwa tersebut telah jauh berlangsung, ia kembali teringat dan
memikirkannya lagi. Ia pun mulai mempertanyakannya; Apakah ia pantas memperoleh nilai C hanya dikarenakan berbeda pemikiran
dengan dosennya? Bukankah perbedaan pemikiran merupakan suatu hal yang wajar,
terlebih dalam ranah intelektual? Bisa jadi, justru sang dosenlah yang sombong
dan mempertahankan status quo?.
Faktual, ketika mahasiswa
tersebut sekedar menggunakan satu perspektif saja—bahwa ia pantas mendapatkan
nilai C—apa yang dilakukannya adalah berpikir. Namun kemudian, setelah ia mulai
mempertanyakannya dan menggunakan berbagai perspektif, maka apa yang
dilakukannya tak lagi berpikir, melainkan ber-refleksi (melakukan refleksi)
(Zeitlin, 1995: 219). Berbagai pemikiran Husserl di atas terangkum dan
tersistematisasi dalam konsepnya mengenai reduksi atau “penyaringan” yang
antara lain terdiri dari: Pertama,
reduksi fenomenologis atau reduksi historis, yakni upaya untuk menyisihkan
berbagai ajaran filsafat atau ilmu pengetahuan mengingat fenomenologi tak
berminat pada pandangan orang lain, melainkan pada obyeknya sendiri; Kedua, reduksi eidetis, yakni memisahkan eksistensi individu dari obyek ke dalam
tanda kurung, dikarenakan fenomenologi sekedar mencari esensi. Pada tahapan
ini, “aku murni” dari individu ditemukan; Ketiga,
reduksi transendental, setelah sebelumnya individu dipisahkan dari obyek ke
dalam tanda kurung, maka begitu pula dengan segala sesuatu yang tak berhubungan
dengan kesadaran murni subyek (aku murni). Dengan demikian, yang tersisa
hanyalah aktivitas kesadaran itu sendiri atau erlebnisse ‘kesadaran murni’ (Hadiwijono, 1995: 143-144;
Wahana, 2008: 35).
Kesadaran murni tersebutlah yang menjadi tempat untuk
mengkonstruksi obyek yang diamati sehingga obyek datang sebagaimana adanya pada
subyek. Dalam tahapan ini, obyek mengalami dirinya sendiri, kebenaran yang
dicapai adalah kesesuaian antara apa yang ia lihat, pikirkan, alami, berikut pemaknaan
yang diberikan kepadanya (Kuswarno, 2009: 31-32). Namun, besarnya porsi
kesadaran murni yang diberikan Husserl pada konsep fenomenologi-nya menyebabkan
konsep terkait dituduh banyak pihak terlampau bias idealisme, yang dengan
demikian justru menjauhkan individu dari alam kenyataan. Bahkan secara tegas,
Zeitlin (1995: 225-226) mengatakan bahwa konsep fenomenologi Husserl
mengisolasi individu dari interaksi sosial dan keberadaan manusia lainnya,
begitu pula, konsep terkait dinilai tak mampu menjelaskan posisi individu kala
menjadi “Me” atau “aku sebagai
obyek”. Inilah salah satu alasan mengapa konsep fenomenologi Husserl kurang
sesuai guna menjelaskan dunia subyektif kaum gelandangan yang agaknya kerap
menemui momen-momen pengobjekan diri oleh orang lain.
Di satu sisi, salah satu orientasi fenomenologi eksistensial
besutan Sartre sendiri sengaja ditujukan guna mengkritik fenomenologi Husserl
(Sartre, 1956: 74; Abidin, 2003: 183). Sartre (2002: 44) dengan prinsip
eksistensialisme-nya, “eksistensi mendahului esensi”, menempatkan eksistensi
atau materi melampaui esensi atau ide/makna. Dengan kata lain, Sartre meyakini
bahwa alam materi merupakan perihal yang paling berpengaruh bagi manusia. Lebih
jauh bagi Sartre, manusia terlebih dahulu syarat menyadari keberadaannya di
dunia, yakni keberadaannya di antara beragam materi solid yang ada di
sekelilingnya, barulah setelah itu ia dapat memaknai atau menentukan siapa
dirinya.
Dalam Existentialism
and Humanism (2002: 56-57), Sartre berkata bahwa manusia modern syarat
menerima kenyataan bahwa Tuhan tidaklah ada. Pernyataan tersebut tak sekedar
menegaskan posisi ke-atheis-an Sartre, tetapi juga ajakannya untuk terlebih
dahulu menafikkan hal-hal yang bersifat abstrak, idea, dan pemikiran penuh spekulasi. Begitu pula, dalam Being and Nothingness (1956: Ixv-Ixix),
Sartre menyatakan bahwa dunia dan benda-benda yang membentuknya adalah tanpa
alasan dan tujuan. Mereka tak tercipta, tanpa alasan untuk hidup, berikut
sekedar ada begitu saja. Secara tak langsung, pernyataan tersebut menyiratkan
bahwa kehidupan manusia tak lain sekedar dilingkupi oleh benda-benda atau alam
materi. Hal inilah yang kemudiaan diistilahkan Sartre (1956: xIviii) dan
Heidegger sebagai human reality
‘kenyataan manusia’. Dengan demikian, dapatlah ditilik bahwa eksistensialisme
Sartre lebih condong pada matrealisme. Namun, pemahaman matrealisme di sini tak
selayaknya matrealisme Thomas Hobbes yang sekedar mereduksi manusia sebagai
mesin atau berperilaku berdasarkan hukum-hukum mekanik semata (Hardiman, 2004:
70; Smith & Raeper, 2004: 34), melainkan matrealisme secara pola pikir atau
epistemologi. Berikut penjelasannya lebih jauh (Hardiman, 2004: 65).
§ Idealisme: Ide à Materi
Contoh: Individu mengetahui
kegunaan kursi untuk duduk karena memikirkan bahwa benda layaknya demikian
memang dapat difungsikan untuk duduk.
§ Matrealisme: Materi à Ide
Contoh: Individu mengetahui
kegunaan kursi untuk duduk karena sebelumnya melihat individu lain dapat duduk
pada benda layaknya demikian.
Terkait dengan kritik
fenomenologi Husserl yang tak kuasa menjelaskan posisi individu sebagai obyek,
Sartre menjelaskan posisi individu sebagai subyek melalui konsep etre pour soi, dan posisi individu
sebagai obyek melalui etre en soi (Muzairi,
2002: 125-126, 170; Smith & Raeper, 2004: 87). Begitu pula, menurut Sartre,
kesadaran murni ala Husserl terlampau menyederhanakan kondisi kesadaran
manusia. Baginya, kesadaran manusia terpecah ke dalam dua bentuk, yakni
“kesadaran reflektif” dan “kesadaran nonreflektif” (Palmer, 2007: 38), sementara
kesadaran murni Husserl seolah menyiratkan kesadaran reflektif dapat sekaligus
menjadi kesadaran nonreflektif—akan dijelaskan lebih lanjut pada bab
berikutnya.
Verstehen Max Weber
Max Weber (1864-1920)
merupakan tokoh sosiologi yang paling berpengaruh dalam pemahaman nominalisme
sosiologis (Wrong [Ed.], 2003: 33). Menurutnya, kajian sosiologi yang
memfokuskan perhatian pada studi mengenai entitas masyarakat, institusi atau
lembaga-lembaga sosial bersifat abstrak dan penuh spekulasi. Bagi Weber,
satu-satunya perihal yang konkret adalah motif berikut tindakan yang dimiliki
individu, “There is no such thing as
society, merely individuals and groups entering into social relationships with
each other” [“Tak ada sesuatu yang dinamakan masyarakat, melainkan kumpulan
individu dan kelompok yang menjalin hubungan sosial satu sama lain”], pungkas
Weber (dalam Marshall, 1998: 630). Di satu sisi, pernyataan tersebut dapat
diasumsikan sebagai berikut, “Keluarkan
individu dari masyarakat, maka habislah masyarakat. Tetapi, bubarkan masyarakat
beserta lembaga-lembaganya, maka individu akan tetap ada”. Oleh karenanya,
obyek studi sosiologi Weber berfokus pada motif tindakan sosial aktor.
Dalam hal ini, tindakan
sosial memiliki beberapa karakteristik, antara lain; (1) Tindakan aktor yang
memiliki makna dan bersifat subyektif, (2) Tindakan nyata maupun yang bersifat
membatin dan sepenuhnya bersifat subyektif, (3) Tindakan yang sengaja diulang
berikut tindakan dalam bentuk persetujuan diam-diam, (4) Tindakan terkait
diarahkan pada individu maupun kolektif, serta (5) Tindakan tersebut
memperhatikan tindakan orang lain dan terarah pada orang itu (Ritzer, 2009:
39).
Lebih jauh, guna
menelisik penafsiran dan pemahaman dari serangkaian tindakan sosial di atas,
Weber mencetuskan metode verstehen.
Secara sederhana, verstehen mengajak
peneliti (ilmuwan sosial) untuk menempatkan diri dalam posisi aktor dan
berusaha memahami dunia sebagaimana yang dipahami aktor tersebut (Wrong [Ed.],
2003: 28-31). Keyakinan Weber akan tindakan aktor yang bersifat rasional dan
memenuhi hukum eakleren
‘sebab-akibat’, menyebabkannya memetakan tindakan aktor ke dalam empat tipe
rasionalitas. Pertama, werktrational
(rasionalitas nilai), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada sesuatu yang
dianggap benar, baik dan diharapkan keterwujudannya—sebagaimana pengertian
nilai pada umumnya. Sebagai misal, seseorang yang berkata jujur pada orang lain
dikarenakan menganggap kejujuran sebagai perihal yang patut dijunjung tinggi.
Kedua, zwerk rational (rasionalitas
instrumental), yakni tindakan yang didasarkan pada efisiensi dan efektifitas
tingkat tinggi dalam pencapaian tujuan. Semisal, seorang wanita muda yang
bersedia menerima pinangan duda tua nan kaya raya dengan harapan bergelimang
harta dalam waktu singkat (Zeitlin, 1995: 255-256; Ritzer, 2009: 40-41).
Ketiga, affectual action (tindakan/rasionalitas
afektif), yakni tindakan aktor yang didasarkan pada perasaan atau emosi.
Sebagai misal, seorang gadis yang berjingkrak kegirangan karena memperoleh cokelat
dari seorang pria yang disukainya. Keempat, traditional
action (tindakan/rasionalitas tradisional), yakni tindakan yang didasarkan
pada perihal yang telah dilakukan secara turun-temurun dan berulang-ulang.
Semisal, seorang pemuda yang pergi merantau dari kampung halamannya dikarenakan
hal tersebut telah menjadi tradisi dalam masyarakatnya (Zeitlin, 1995: 256-257;
Ritzer, 2009: 41).
Faktual, Weber berhasil
membawa konsep pemahaman subyektif pada pola-pola penalaran yang lebih bersifat
rigorous ‘ketat’. Namun, layaknya
fenomenologi Husserl, verstehen Weber
tak memiliki penjelasan akan posisi subyek sebagai obyek. Seolah, subyek selalu
berpikir berikut bertindak proaktif, bahkan ketika subyek “tertelan” oleh
masyarakat, semisal mengikuti nilai, norma dan tradisi yang terdapat di
dalamnya, ia tetap dalam kondisi aktif menafsirkan serta menciptakan dunia.
Secara tak langsung, ini menjadi aib
bagi konsep rasionalitas Weber mengingat dimensi irasionalitas yang turut
termuat di dalamnya (tak sepenuhnya rasional)—bertindak karena sekedar
mengikuti atau meniru. Di satu sisi, hal terkait kiranya membuat kita perlu
mengkaji ulang pernyataan Weber yang kurang-lebih berbunyi: “Seluruh tindakan manusia di dunia adalah
rasional”, yang justru mengaburkan batas-batas antara dimensi rasionalitas
dengan irasionalitas.
Hal di atas berbeda halnya dengan konsep eksistensialisme
Sartre (1956: 48) yang mengenal istilah mauvaise
foi ‘keyakinan yang buruk’, yakni kondisi ketika individu sekedar mengikuti
individu atau kolektif lainnya. Meskipun memang, Sartre menyatakan pula, “Anda memiliki keyakinan yang buruk, tapi
tak mengapa, gaya yang berbeda untuk orang yang berbeda” (Palmer, 2007:
113). Bisa jadi, pernyataan tersebut justru menunjukkan kapasitas
eksistensialisme Sartre dalam upaya menjembatani posisi individu dalam
masyarakat tanpa harus kehilangan dimensi eksistensinya. Pasalnya, bagi Sartre
pengalaman eksistensial dapat menjangkiti baik kala individu tegak berdiri
melawan masyarakat (menindak) maupun kala individu tak kuasa melawan dominasi
masyarakat (ditindak). Pengalaman terakhir ini, menunjukkan eksistensi diri
individu sebagai etre en soi, semisal
rasa malu, ter-objek-kan, pasrah, serta keharusan menilai diri sendiri
berdasarkan kerangka penilaian orang lain.
Lebih jauh, verstehen
Weber tak memuat penjelasan akan kemampuan individu dalam memanipulasi obyek,
dalam hal ini terutama orang lain dan ruang (tempat). Apabila hendak dimisalkan
dengan mudah lagi gamblang, kemampuan individu dalam memanipulasi ruang
dicontohkan dalam cuplikan film The
Pursuit of Happiness (2007)—berdasarkan kisah nyata—di mana kala tokoh
utama dalam film tersebut, Chris Gardner (diperankan oleh Will Smith), terusir
dari apartemennya dan terpaksa menggelandang di jalanan bersama anaknya sebelum
memperoleh shelter, ia pun
memanipulasi (baca: mengkonstruksikan) toilet umum subway pada anaknya sebagai goa tempat berlindung dari ancaman
beragam jenis dinosaurus di luar sana.
Fenomenologi Max Scheler
Fenomenologi Max Scheler
(1874-1928) lebih dikenal dengan sebutan “gerakan fenomenologi”. Istilah
tersebut digunakan untuk membedakan corak fenomenologi Scheler dengan Husserl,
meskipun memang, sebelumnya Scheler sempat demikian terinspirasi oleh Husserl,
namun pengisolasian diri Husserl terhadap permasalahan hidup sehari-hari
berikut kecenderungannya pada idealisme-transendental membuat Scheler syarat
mengkonstruksi konsep fenomenologinya sendiri. Di samping itu, perbedaan
mendasar antara Scheler dengan Husserl adalah, Scheler sama sekali tak tertarik
dengan persoalan fundamental ilmu pengetahuan berikut tak terobsesi untuk
mengganti terminus filsafat dengan fenomenologi. Sebagai seseorang yang
berlatar belakang praksis dan berupaya memecahkan persoalan hidup sehari-hari,
Scheler sekedar menempatkan fenomenologi sebagai salah satu alternatif guna
memecahkan persoalan tersebut (Wahana, 2008: 37).
Fokus utama dalam gerakan
fenomenologi Scheler adalah pengetahuan yang bersifat perspektif, yakni
menyangkut posisi sosial-budaya seseorang. Pada era Scheler, di mana pergulatan
antar berbagai ideologi tengah santer
bersaing untuk mendapatkan simpati rakyat—fasisme, komunisme, liberalisme,
Protestan serta Katolik—Scheler percaya bahwa hanya seorang intelektual-lah
yang mampu bersikap obyektif dan mampu memisahkan dunia politik dengan
perjuangan berbagai ideologi. Melalui sikap obyektif tersebut, Scheler meyakini
seorang intelektual akan dapat mengungkap sumber-sumber sosial dari berbagai
ideologi politik yang ada. Selanjutnya, intelektual syarat menggiring para
pemeluk ideologi untuk tak sekedar memahami ideologinya sendiri, tetapi juga
prasangka berikut kritikan ideologi-ideologi lain terhadap ideologinya. Dengan
demikian, dapatlah ditilik secara jelas bahwa fenomenologi Scheler lebih
memiripkan bentuknya sebagai sosiologi pengetahuan, dan memang, pandangan
fenomenologi-nya begitu mempengaruhi pemikiran Karl Mannheim kemudian (Zeitlin,
1995: 228-229, 231).
Ditinjau berdasarkan
konteksnya, tampaklah jelas bahwa fenomenologi Scheler berupaya menelisik motif
serta alasan pribadi seseorang dalam menganut ideologi tertentu, berikut
berupaya menyingkap pandangan ideologi lain terhadap ideologi yang dianut
seseorang tersebut sehingga tersajikan secara gamblang kelebihan berikut
kekurangan dari masing-masing ideologi yang ada. Di satu sisi, sebagaimana
fenomenologi Husserl dan verstehen
Weber, fenomenologi Scheler tak menunjukkan kemampuan subyek individu dalam
memanipulasi diri, orang lain, ruang serta waktu yang melingkupinya. Meskipun
memang, esensi dari ideologi adalah sebentuk instrumen guna memanipulasi dunia
(Nuswantoro, 2001: 60), namun manipulasi yang dilakukan individu dengan
ideologi yang dianutnya sesungguhnya tak lebih dari manipulasi ideologi itu
sendiri, bukan manipulasi subyek yang otonom.
Fenomenologi Alfred Schutz
Bisa jadi, konsep
fenomenologi Alfred Schutz (1899-1959) begitu memiripkan bentuknya dengan
konsep fenomenologi eksistensial Sartre mengingat muatan manipulasi yang
terdapat di dalamnya. Terkait hal tersebut, Schutz mengemukakan keberadaan
dunia mikro individu, yakni suatu area yang berada dalam jangkauan individu itu
sendiri: “Area ini milik saya”. Area
yang berada dalam jangkauan individu tersebut berbeda dengan area yang hadir ke
dalam jangkauannya. Oleh karenanya, area yang terdapat pada diri individu
tersebut (individu A) sesungguhnya merupakan area individu lain (individu B).
Sebaliknya, area yang dimiliki individu lain (individu B) sesungguhnya
merupakan area individu itu sendiri (individu A). Melalui kondisi yang demikianlah
manipulasi antara satu individu dengan yang lainnya dimungkinkan. Sudah tentu,
hal tersebut tak terlepas dari perbedaan perspektif, pemahaman berikut
pengalaman masing-masing individu dalam memandang suatu obyek sehingga
aktivitas bertukar pikiran pun turut dimungkinkan (Zeitlin, 1995: 261-262).
Lebih jauh, bagi Schutz,
manipulasi individu turut dimungkinkan dikarenakan individu selalu berhadapan
dengan dunia, obyek-obyek, atau realitas secara nyata. Menurutnya, individu
selalu meyakini bahwa ia berhadapan dengan realitas nyata sepanjang tak
memiliki alasan yang tepat untuk menentangnya. Keyakinan akan keberadaan
realitas nyata tersebutlah yang diistilahkannya dengan realitas puncak dan pada
gilirannya melahirkan makna puncak. Namun, manakala individu tak mampu
menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut tak sesuai dengan
harapannya, maka ia pun bakal menolak keberadaan makna puncak, dan menggantinya
dengan “makna khusus”. Dalam hal ini, makna khusus merupakan makna yang tak
terpaku pada dunia obyektif—berikut demikian berbeda dengan pemaknaan individu
lain, melainkan pendayagunaan-lebih alam kesadaran manusia terhadap realitas
nyata. Penggunaan makna khusus inilah yang kemudian menghantarkan individu
larut dalam dunia khayalan. Sebagai misal, seorang intelektual yang gagal
menjadikan dirinya terkenal dan tak kuasa menerima kenyataan tersebut, kemudian
kerap membayangkan dirinya menjadi populer, memiliki publikasi yang laris di
pasaran, serta diundang berbagai universitas dunia untuk memberikan kuliah.
Bagi Schutz, hal tersebut merupakan bagian dari kebebasan individu, hanya saja
kebebasan yang tak bertanggung jawab mengingat ketiadaan kontrol dan batasan di
dalamnya (Zeitlin, 1995: 263-265).
Di samping konsep
manipulasi individu yang memiripkan bentuknya dengan fenomenologi eksistensial,
layaknya Sartre, Schutz turut meyakini bahwa kehendak dan keinginan dalam diri
individu merupakan tanda kekosongan manusia yang memaksa individu untuk terus
bertindak. Adapun kecemasan mendasar individu menurut Schutz adalah kematian
mengingat hal tersebut selalu membayangi individu akan berbagai proyeknya yang
belum selesai selama dirinya berhadapan dengan realitas puncak (Zeitlin, 1995:
264). Hal ini sedikit berbeda dengan pandangan eksistensialisme Sartre (1956:
412) di mana kematian ditempatkan sebagai kepasrahan individu akan proyeknya
yang telah usai: kematian menyebabkan individu menjadi “is” ‘adalah’. Oleh karenanya, apa yang dapat dilakukan individu
dalam pandangan eksistensialisme hanyalah “berbuat tanpa berharap” (Sartre,
2002: 69).
Di sisi lain, perbedaan
mendasar antara fenomenologi eksistensial Sartre dengan fenomenologi Schutz
adalah anggapan Schutz bahwa kesadaran individu selalu terbagi.
Ia—kesadaran—tak pernah menjadi entitas yang tunggal, melainkan selalu terbagi
dengan individu lain; sahabat, keluarga, teman dan orang lain. Artinya,
pemahaman atau perspektif individu akan suatu hal tidak mungkin tidak
dipengaruhi oleh individu lain. Dengan kata lain, dunia individu tak pernah
bersifat pribadi sepenuhnya (Zeitlin, 1995: 259; Kuswarno, 2009: 110). Anggapan
tersebut sudah tentu mengingkari otentitas individu dalam pandangan
fenomenologi eksistensial, terlebih berkenaan dengan pemaknaan eksistensial
yang dilakukan tiap-tiap individu. Semisal pemaknaan yang dilakukan Roquentin,
tokoh utama dalam novel Sartre (Nausea)
terhadap tempat duduk trem yang
dianggapnya sebagai perut seekor keledai mati yang membengkak (Palmer, 2007:
45). Kiranya, cukup sulit mengandaikan pemaknaan individu lain yang demikian
unik layaknya Roquentin di atas. Meskipun memang, adakalanya pemaknaan antara
satu individu dengan individu lain dapat serupa.
Fenomenologi Peter L. Berger
Pengkajian fenomenologi
Peter L. Berger berkaitan erat dengan konsepnya mengenai konstruksi realitas
sosial yang dianggapnya bergantung pada posisi individu sebagai subyek. Dengan
demikian, asumsi awal pemikiran terkait layaknya struktural fungsional, hanya
saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif individu dengan dunia
obyektif (Brouwer [et.al], 1982: 64; Kuswarno, 2009: 111-112). Dalam proses
tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini eksisnya dialektika tiga momentum yang
dialami individu dalam masyarakat, yakni eksternalisasi, internalisasi dan
obyektivasi, yang mana ketiganya menunjukkan eksistensi individu sebagai produk
masyarakat dan begitu pula sebaliknya: masyarakat sebagai produk individu.
Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu lebih dominan ketimbang
masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif memproduksi nilai, norma
dan budaya bagi masyarakatnya. Sebaliknya, internalisasi adalah kondisi tatkala
individu lebih dormant ketimbang
masyarakatnya, dalam kondisi tersebut individu aktif mengadopsi nilai, norma
dan budaya yang terdapat dalam masyarakat.
Di satu sisi, obyektivasi menunjuk pada keterkaitan sekaligus
keterpisahan antara individu dengan masyarakat. Hal tersebut dijelaskan sebagai
berikut,
Sebelum individu ada, masyarakat telah
ada.
Ketika individu ada, masyarakat ada.
Ketika individu tiada, masyarakat tak
serta-merta turut tiada.
Artinya, individu dapat dipisahkan
dengan masyarakat, dan begitu pula sebaliknya.
Lebih jauh,
kontektualisasi dialektika tiga momentum di atas dapat dimisalkan dengan proses
bertransformasinya konstruksi sosial menjadi kenyataan sosial. Sebagai misal,
seorang individu yang berpengaruh dalam masyarakat pada mulanya mempraktekkan
senyum simpul kala berpapasan dengan individu lain yang dikenalnya sebagai
bentuk penghormatan. Lambat-laun, perilaku tersebut ditiru oleh individu-individu
lain dan segera berubah menjadi suatu konstruksi sosial, yakni senyum simpul
sebagai bentuk penghormatan kala berpapasan dengan individu lain yang dikenal.
Bersamaan dengannya, konstruksi sosial pun menemui bentuknya sebagai kenyataan
sosial. Sebagai misal, apabila terdapat individu yang berpapasan dengan
individu lain yang dikenalnya namun tak melancarkan senyum simpul, maka ia akan
segera mendapati cap sombong, angkuh, dan lain sejenisnya (Brouwer, 1984:
159-160; Susilo, 2008: 330-331).
Apabila fenomenologi
Berger masih mengakui keterkaitan antara individu dengan masyarakat, maka tak
demikian halnya dengan fenomenologi eksistensial Sartre yang menolaknya sama
sekali. Begitu pula, fenomenologi eksistensial Sartre menolak dimensi
internalisasi dan obyektivasi mengingat memberikan titik tolak penuh pada
kedirian individu. Secara tak langsung, hal tersebut turut menyiratkan
penolakannya terhadap konstruksi sosial sebagai realitas sosial. Dalam hal ini,
fenomenologi eksistensial Sartre sekedar meluluskan terjadinya momen
eksternalisasi, namun tak demikian halnya pada momen internalisasi dan
obyektivasi. Internalisasi sebagai bentuk pengadopsian nilai, norma dan budaya
dalam masyarakat menemui bentuknya sebagai mauvaise
foi dalam pandangan Sartre, alih-alih obyektivasi yang menekankan pada
penciptaan (persetujuan) konsensus bersama.
*****
Referensi;
Abidin, Zainal, 2003, Filsafat Manusia, Rosda.
Brouwer,
M.A.W., 1984, Psikologi Fenomenologis, Gramedia.
Hadiwijono,
Harun, 1995, Sari Sejarah Filsafat Barat
2, Kanisius.
Hardiman, F.
Budi, 2004, Filsafat Modern,
Gramedia.
Kuswarno, Engkus, 2009, Metodologi
Penelitian Komunikasi: Fenomenologi; Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian,
Widya Padjajaran.
Lathief,
Supaat I., 2010, Psikologi Fenomenologi
Eksistensialisme, Pustaka Pujangga.
Palmer,
Donald D, 2007, Sartre untuk Pemula,
Kanisius.
Poloma,
Margaret M, 2010, Sosiologi Kontemporer,
Rajawali Pers.
Ritzer,
George, 2005, Teori Sosiologi Modern,
Kencana.
Sartre,
Jean Paul, 1956, Being and Nothingness,
New York Philosophical Library.
————————,
1991, The Transcendence of The Ego,
Hill and Wang-New York.
————————,
2002, Eksistensialisme dan Humanisme,
Pustaka Pelajar.
Susilo,
Rachmad K. Dwi, 2008, 20 Tokoh Sosiologi
Modern, Ar-Ruz Media.
Wahana,
Paulus, 2008, Nilai Etika Aksiologis Max
Scheler, Kanisius.
Wrong,
Dennis [Ed.], 2003, Max Weber: Sebuah
Khazanah, Ikon.
Zeitlin,
Irving M, 1995, Memahami Kembali
Sosiologi, Gadjah Mada University Press.
mas.. terimakasih, tulisan-tulisan nya sangat menarik. kalo memungkinkan saya ingin menanyakan beberapa hal berikut:
BalasHapus1. posisi husserl ini sejatinya ada dimana mas, apa di rasionalisme descartes, spinoza, leibniz yang dirintis plato? atau sebaliknya di empirisme hobbes, locke, hume yang dirintis aristoteles?
2. sebagaimana dinyatakan mas wahyu -husserl berusaha menggalakkan proyek pengetahuan murni,- dari situ saya teringat habermas yang menyatakan kita tak lagi dapat memahami ilmu pengetahuan karena menyamakannya dengan pengetahuan (Hardiman, 2008:28). mungkin mas wahyu bisa menjelaskan lebih lanjut terkait pengetahuan-ilmu pengetahuan.
3.mengenai prinsip intensionalitas (dengan contoh televisi dan gelas), apakah ada unsur subyektif disitu, dan karena subyektif tentu mengarah ke disensus, dengan kata lain untuk mendapatkan pengetahuan akurat husserl menyarankan agar mengunci pemikiran dari pemikiran-pemikiran diluarnya, apakah begitu mas?
4. menggunakan epoche membuat bebas nilai, menurut saya pribadi -dengan mengacu 3 registrasi dasar lacan- kayaknya se ga ada yang benar-benar bebas nilai jika sudah berada dalam wilayah the symbolic. apakah juga begitu mas?
mohon maaf mas atas ketidakpahaman atau salah pembacaan saya, saya pemula, terimakasih.
*salam hangat dari kalimantan mas,
1. posisi husserl, bagi banyak pihak, lebih pada idealisme plato. fenomenologinya dituduh mengembalikan pada pola-pola pikir tersebut dan kian menjauhkan dari realitas.
BalasHapus2. pengetahuan adalah segala sesuatu yg kita peroleh dalam keseharian hidup. contoh: newton menemukan gravitasi lewat apel yg jatuh. pengetahuan, agar jadi ilmu pengetahuan, harus memenuhi 4 syarat; sistematis, analitis/ilmiah, prediktif, dan rasional. diskusi fenomenologi husserl sulit dibenturkan dengan konsep habermas karena fenomenologi lebih berpusat pada pengetahuan keseharian hidup, sementara habermas lebih pada kepentingan suatu kelompok/regime of significance.
3. memang harus subyektif, tapi uniknya subyektif yg obyektif, tanpa kontaminasi premis2 pemikiran/perspektif sebelumnya. it is what it is.
4. sudah tentu psikoanalisis radikal lacan membawa pemahaman ttg pengetahuan dan simbol lebih jauh ketimbang husserl, dkk. "gambar yang muncul, sekaligus menyembunyikan sesuatu", mirip konsep baudrillard: "presensi yg hadir bersama absensi" --> simulacrum. namun, husserl sendiri mengakui, obyek ada ketika diperhatikan, artinya ini memang berdasar pemilahan dan kepentingan individu ihwal apa yg hendak diperhatikannya. bebas nilai di sini dalam arti, tak terkontaminasi pemikiran2 sebelumnya: an sich. namun, hal tersebut emang sulit/musykil dipraktekkan. kita selalu melihat dengan 'persona'.
anda bukan pembaca pemula, sudah oke pemahaman ttg sos-hum Barat. thanks buat responnya. salam hangat juga dari jogja :)
terimakasih mas wahyu atas tanggapannya.
BalasHapusjika memungkinkan saya ingin menyelami lebih jauh poin ketiga. berdasar hal tersebut, maka husserl dengan "sistem tertupnya" mempunyai tipikal "ahistoris" dan lepas dari praxis. -saya jadi teringat teori kritis frankfurt disini- dimana horkheimer mengkritik model husserl diatas.
bagi horkheimer (dan konco-koncone) teori tidak bisa tidak harus bersifat "historis," karena jika teori Husserl ini diterapkan (dan sudah lama diterapkan saya kira, dengan sadar atau tidak sadar)kedalam keadaan sosial masyarakat maka teori menjadi penjaga status quo masyarakat, keran perubahan tersumbat. disamping itu, dengan ke-ahistorisannya, husserl seolah-olah ingin memukul rata manusia tanpa mempertimbangkan kultur budaya setempat, ada klaim universal saya pikir disini.
dengan demikian, dalam konteks ke-indonesiaan dengan capres nanti yang itu-itu saja, saya pikir pada titik ini husserl harus ditinggalkan, mungkin sejenak....
terimakasih mas wahyu, mohon maaf jika ada kekeliruan pembacaan.
klaim universal tentu, toh dalam ranah sosiologi, mengingat sifatnya yg demikian, fenomenologi ditempatkan dalam ranah modern. pukul rata saya juga setuju, maka dari itu, upaya untuk menghadapkan fenomenologi pada keseharian hidup diupayakan oleh pemikir-pemikir setelahnya. 1 yang saya kira tersolutif adalah fenomenologi realis/eksistensial-Sartre. Mengapa? Sartre sendiri mengatakan jika anak kecil terkadang lebih fenomenologis ketimbang orang dewasa, plus pengarahan fenomenologi pada kemampuan pemaknaan berikut manipulasi ruang/tempat, waktu, dan manusia, sehingga hal itu bisa menjadi instrumen tuk 'menghadapi dunia'.
BalasHapusnamun bagaimanapun juga, husserl begitu berjasa lewat konsep2nya mengenai epoche, erlebnisse, dan lebenswelt. saya curiga, justru pengetahuan yg dikonstruk frankfurters sekedar mengakomodasi pihak-pihak tertentu, dalam hal ini kaum proletar/buruh yang mengalami desublimasi represif. seyogyanya, bukankah pengetahuan itu harus mengakomodasi semua pihak; baik kelas bawah, menengah, maupun atas? Ini baru pengetahuan yang obyektif. Dan langkah awal tuk mewujudkannya bisa lewat fenomenologi husserl. melihat suatu fenomena bersih dari persepsi2---kelas, agama, ideologi, dll.
saya masih kurang paham hubungannya dengan pencapresan tahun mendatang. mohon penjelasan lebih jauh.
suka sekali dengan diskusi ini.
Salam Hangat,
Wahyu BN :)
maaf bolehkah saya bertanya... saya kurang paham dengan eksternalisasi,internalisasi,obyektivasi Peter L Berger.. bs tidak anda memberikan contoh agar lebih mudah dipahami.. terima kasih
BalasHapusinternalisasi: posisi ketika individu lebih lemah daripada masyarakat, di sini individu aktif mengadopsi nilai/norma masy.
BalasHapuseksternalisasi: posisi ketika individu lbh kuat ketimbang masyarakat; individu aktif mencipta nilai/norma buat masy. contoh; soekarno, hitler, mussolini, dll
obyektivasi: penjelasan atas kedua posisi di atas yg berganti2
maaf mas, matrealisme apakah sama dengan materialisme?
BalasHapusbeda secara ideologi, paham, dan konteks penggunaan istilahnya
BalasHapusmatrealisme;
epistimologi yang ber vis-a-vis dengan idealisme. matrealisme: pengetahuan berasal dari alam materi, idealisme: pengetahuan dari alam ideal/abstrak ~ platonis
materialisme: paham yg mementingkan kebendaan/materi [matre]
oke mas, terima kasih
BalasHapusMas, salam kenal dari mahasiswa komunikasi unpad. saya mau tanya karena pembahasan mengenai fenomenologi berkaitan dengan penelitian yg sedang saya jalani. Apakah perbedaan signifikan antara fenomenologi Husserl dan Schutz mas? makasih :)
BalasHapuskalau mbak baca secara seksama, itu sudah ada di tulisan di atas. secara ringkas, fenomenologi husserl bersifat idealis, abstrak, dan tak hadap realitas; sedang fenomenologi schutz bersifat konkret dan hadap realitas. hehe :)
BalasHapussalam kenal mas, sy mau tya klo saya mau meneliti tentang makna simbolik dan nilai pendidikan pd tata rias wayang orang sy lebih tepatnya menggunakan metode fenomenologi yang mana...nuwun
BalasHapussalam kenal juga mbak wiwik, lebih tepatnya menggunakan metode semiotik [kajian simbol], coba baca tulisan2nya roland barthes, evan sanders, umberto eco & baudrillard, tentukan sendiri semiotik mana yg lebih cocok buat kaji wayang [kalo saya lebih ke barthes & eco]
BalasHapusterimakasih sam atas tulisannya, sangat membantu dalam mengawali pemahaman atas fenomenologi. sam, saya mau tanya.. lantas apa pembedaan mendasar dari fenomenologinya Husserl dengan Schutz..? dan kenapa pula Berger dalam menyusun teorinya (konstruksi sosial) cenderung menggunakan fenomenologi Schutz ketimbang Husserl.?
BalasHapussependek pemahaman saya, fenomenologi itu kan ingin melihat apa yang ada di balik sebuah realitas, sedangkan Berger ingin melihat bagaimana realitas itu hadir. nah apakah ini tidak bertentangan sam? di mana sebenernya benang merah atau keterkaitan fenomenologi di dalam konstruksinya Berger?
mohon maaf jika ada yang keliru, karena itu sependek pengetahuan saya dari hasil membaca yang belum tuntas...
permisi..
BalasHapusjika ingin melakukan kritik atau penguatan dari tokoh lain untuk Weber tentang perbankan dan pasar keuangan sebaiknya menggunakan buku dari siapa ya?
terimakasih..
coba baca bukunya paul ormerod, matinya ilmu ekonomi jild 1 & 2, terbitan gramedia awal tahun 2000-an, mbak monica
BalasHapusmohammad fausi: saya kira tulisan ini sudah memaparkan perbedaan antara fenomenologi schutz dengan husserl. yang mendasar, husserl terjebak pada idealisme dan mengisolasi kehidupan sosial, sedang tak demikian halnya dengan schutz
BalasHapusmas mau tanya, mengapa ada yang menganggap fenomenologi sebuah metodelogi penelitian ada yang tidak menganggap fenomenologi masuk sebagai metodelogi penelitian? terima kasih :)
BalasHapus