Sekilas tentang "Sosiologi Eksistensialisme"
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Apabila kita menilik ke belakang, sesungguhnya pertalian erat
antara disiplin sosiologi dengan eksistensialisme sempat terjadi, yakni ketika
Edward Tiryakian menerbitkan eksemplar Sociologism
and Existentialism pada tahun 1962. Kemudian disusul dengan dua jilid buku
karya Jack Douglas yang bernuansa sosiologis-eksistensialis pada tahun 1970, Understanding Everyday Life.
Selanjutnya, Stanford M. Lyman dan Marvin B. Scott dengan A Sociology of the Absurd. Di tahun 1977, Jack Douglas kembali
menelurkan buah karya berjudul Existential
Sociology berkolaborasi dengan J. Johnson. Pada tahun 1984, J. Kortaba dan
A. Fontana membawa studi sosiologi eksistensialisme lebih jauh melalui
eksemplar The Existential Life in Society
(Marshall, 1998: 213).
Syarat diakui memang,
studi mengenai sosiologi eksistensialisme (existential
sociology) kurang begitu berkembang, atau tak begitu menuai antusiasme para
sosiolog dunia di kemudian hari. Hal ini ditengarai oleh beberapa hal; Pertama, pengkajian sosiologi
eksistensialisme dinilai terlampau menyimpang dari orientasi awal disiplin
sosiologi. Dapatlah ditilik, apabila kita mengkaji, semisal konsep sosiologi-Marx,
maka relasi sosial yang termuat di dalamnya demikian konkret—hubungan
eksploitatif antara kaum borjuis dengan proletar, begitu pula jika kita
melakukan studi terhadap konsep patron-klien T. B. Bottomore, berikut paradigma
kerja dan komunikasi-Jurgen Habermas. Dalam hal ini, studi sosiologi
eksistensialisme membawa studi interaksi sosial pada ranah yang begitu abstrak,
halus, dan nyaris tak kasat mata. Dapatlah dimisalkan, apabila dalam ranah
makrososiologi ditemui konsep “sosiologi imajinasi” cetusan C. Wright Mills,
maka sosiologi eksistensialisme lebih menemui bentuknya sebagai “imajinasi individual kala bertemu/
berinteraksi dengan individu lain”.
Kedua, alasan kurang begitu berkembangnya studi sosiologi
eksistensialisme disebabkan oleh studi terkait yang terlampau berani menarik
kedirian individu pada ranah yang sangat ekstrem—nominalisme radikal. Apabila
dalam ranah disiplin sosiologi-murni Weber (dalam Marshall, 1998: 630)
mengemban peran di atas (meradikalkan posisi aktor dalam masyarakat) dengan
pernyataannya: “Tak ada ihwal bernama
masyarakat, melainkan kumpulan individu dengan kepentingannya masing-masing”,
maka berbagai tokoh dalam pemahaman eksistensialisme melakukan penolakan keras
terhadap keberadaan masyarakat berikut kepentingan individu terhadap individu
lain/masyarakat meskipun serangkaian keuntungan dapat dituai melaluinya.
“Penajisan” terhadap individu lain berikut masyarakat inilah yang kiranya
sedikit-banyak menyurutkan pamor eksistensialisme dalam ranah sosiologi.
Namun demikian, tidaklah
bijak jika serangkaian persoalan terkait lantas menjadi legitimasi guna
mengeliminasi (baca: mengenyahkan) eksistensialisme dalam ranah pengkajian
sosiologi, terlebih mengingat telah ditemuinya kajian serupa—sosiologi
eksistensialisme—sebelumnya (Tiryakian, 1962; Douglas, 1970; Lyman & Scott,
1970’s; Doulgas & Johnson, 1977; Kortaba & Fontana, 1984).[1]
Di sisi lain, alasan tersebut didukung pula oleh prinsip non-Cumulative ‘tak bertambah’ dari kebenaran, berseberangan dengan
prinsip kemajuan yang bersifat cumulative
‘bertambah’.[2] Dengan
demikian, cukuplah naif bila dikatakan bahwa eksistensialisme merupakan
sebentuk kegenitan intelektual semata, tren pemikiran yang telah usang,
terlebih tak lagi menemui relevansinya di era kontemporer.
[1] Sejalan dengan adagium verba volant, scripta manent ‘yang
terucap akan musnah, yang tertulis akan abadi’.
[2] Sebagai misal, hingga kini kita
masih dapat menggunakan kebijaksanaan Plato dan Aristoteles yang telah tiada
ribuan tahun silam, serta menikmati musik Beethoven atau Mozart. Sementara,
kita tak lagi dapat menggunakan konsep kedokteran Ibnu Sina, atau mobil model
“T” dari Ford.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar