Pengalaman Eksistensial
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.
Tak dapat dipungkiri,
masing-masing tokoh eksistensialisme memiliki pengertian atau pemahamannya
sendiri mengenai pengalaman eksistensial. Nietzsche misalnya, selaku pencetus
embrio pemikiran eksistensialisme-atheistik, memahami pengalaman eksistensial
manusia sebagai bentuk kesendiriannya di dunia dikarenakan kematian Tuhan.
Begitu pula, pengalaman eksistensial berupa nihilisme (ketidakbermaknaan hidup)
disebabkan oleh penemuannya akan kebenaran sejati sebagai will to power ‘kehendak akan kuasa’ (Deleuze, 2002: 214-220). Di
sisi lain, Kierkegaard memahami kesendirian berikut keterasingan manusia
dikarenakan dosa asali yang dibawanya, yakni mengacu pada riwayat kedurhakaan
Adam pada Tuhan sehingga manusia dilempar ke dunia. “Apabila kita menyeru nama Tuhan, kita akan segera disambut dengan
kesunyian pekat”, ungkap Kierkegaard (dalam Palmer, 2007: 28). Secara
sederhana, pengalaman eksistensial dapat dikatakan sebagai pengalaman subyektif
di mana individu seorang dirilah yang mengalaminya: “Bukan pengalaman ‘mereka’
atau ‘kita’, melainkan ‘aku seorang dirilah’ yang mengalami berikut
merasakannya”.
Nihilisme/Ketidakbermaknaan Hidup
Dalam pandangan eksistensialisme Sartre dan tokoh-tokoh
filsafat serupa berhalauan atheistik, kehidupan merupakan perihal yang sama
sekali tak bermakna. Bagi Sartre, segala sesuatu yang terdapat di dunia ini
adalah tanpa tujuan, matahari, bulan, awan, batu, dan lain sebagainya, mengada
begitu saja. Begitu pula manusia, dikarenakan tak ada Tuhan yang menciptakan
manusia ungkap Sartre, maka tak ada esensi dari manusia, ia mengada begitu saja
di dunia, tanpa tujuan. Hal tersebut merupakan implikasi logis dari dalil
eksistensialisme berupa “eksistensi mendahului esensi”, segala sesuatu yang
beresensi haruslah eksis terlebih dahulu. Adapun segala sesuatu yang eksis
tersebut barulah benar-benar eksis kala diperhatikan. Hal ini sejalan dengan
prinsip intensionalitas dalam fenomenologi: obyek tampak/ada karena aktor
menaruh perhatian padanya. Segera setelah obyek tersebut benar-benar eksis,
maka pemaknaan pun dapat dilakukan kemudian.
Namun demikian, dikarenakan setiap pemaknaan tersebut
dilakukan oleh manusia, maka aksioma atau kebenaran yang tak terbantahkan tak
pernah benar-benar ada. Bagi individu yang menyadarinya—eksistensialis
terutama—kesemuanya sekedar berakhir pada relativitas dan skeptisisme semata,
yang pada gilirannya, cepat atau lambat, menghantarkan manusia pada lembah
nihilisme (ketidakbermaknaan hidup). Terkait hal tersebut, Sartre (dalam Smith
& Raeper, 2004: 85) berkata, “Hukum
universal tak tertulis di langit sana”.
Sebagaimana telah mafhum
dalam masyarakat kita, terdapat beberapa dari mereka, pihak-pihak yang sengaja
“ditugaskan” untuk memberi berikut mengisi makna kehidupan anggota
masyarakatnya. Umumnya, para pengemban tugas tersebut layaknya pemuka agama, tokoh
masyarakat, kaum intelektual, hingga pada unit level terkecil—keluarga—yakni
orang tua. Faktual, merekalah yang sesungguhnya memberi seluruh makna atas apa
yang kita kerjakan, pengarah dalam perjalanan hidup kita, berikut penentu
berkualitas-tidaknya cita-cita kita (Sudiro, 1990: 57). Apabila realitas sosial
di atas dibenturkan dengan pemahaman eksistensialisme, maka sudah tentu para
eksistensialis bakal bertindak sebagai oposisi dalam meresponnya. Di samping
disebabkan oleh keyakinan syaratnya makna hidup diciptakan berikut dibentuk
oleh individu seorang, mengamini kehidupan layaknya di atas sekedar menempatkan
individu dalam kondisi yang tak otentik—mauvaise
foi—bagi kaum eksistensialis. Hal tersebut mengingat, pilihan pada hidup
yang demikian hanya akan menempatkan individu sebagai pengejawantah kehidupan
orang lain, ia tak menjalani kehidupannya sendiri, melainkan kehidupan orang
lain, begitu pula dengan pilihan-pilihannya, serta cita-cita yang diidamkannya.
Akan tetapi, satu hal yang kiranya perlu ditekankan sekali
lagi adalah, kewajiban berikut kebebasan kaum eksistensialis “Sartrean” dalam
menyusun serta menciptakan makna hidupnya sendiri bukanlah suatu anugerah
(baca: hadiah) tersendiri bagi mereka. Pasalnya, dengan tak mengakui keberadaan
Tuhan, mereka pun tak memiliki pondasi berikut sandaran yang kuat dalam
menyusun nilai dan norma hidupnya. Alhasil, mereka ajeg berada dalam kebingungan yang tak bertepi, dan kondisi yang
demikian menurut mereka—berikut segala hal yang mengada tanpa sebab serta tujuan—adalah
nausea ‘perihal yang memuakkan’.
Nyaris musykilnya penciptaan nilai dan norma yang bersifat
individual serta mapan di atas ditunjukkan melalui pernyataan Sartre (1956: 65,
412, 464; 2002: 91) akan eksistensi manusia sebagai proyek penciptaan diri yang
terus-menerus dan berulang-ulang. Pernyataan tersebut berakhir pada sebuah
penegasan bahwa tak ada manusia yang konsisten selama hidupnya. Menurut Sartre,
proyek di atas barulah rampung pasca
manusia tak lagi bernyawa, melalui kematian, seseorang menjadi is ‘adalah’. Ia tak mampu lagi melakukan
penciptaan diri yang terus berulang, atau dengan kata lain, proyeknya telah
usai. Dalam kondisi yang demikian, esensinya pun kemudian sepenuhnya ditentukan
oleh orang lain, ia tak kuasa lagi melawan atau menolak serangkaian penilaian
atau pelabelan orang lain dikarenakan dirinya yang telah menjadi is. Ini berarti, proyek penciptaan diri
manusia yang terus-menerus dan berulang-ulang selama hidupnya menjadi sama
sekali tak berarti mengingat toh pada
akhirnya esensinya ditentukan sepenuhnya oleh orang lain pasca dirinya tiada.
Dimensi ketidakbermaknaan hidup selanjutnya dalam
eksistensialisme ditunjukkan Sartre melalui eksistensi manusia sebagai kehendak
untuk menjadi Tuhan. Secara tegas, ia (1956: 566) berkata, “To be man means to reach toward being God. Or if you prefer, man
fundamentally is the desire to be God.” [“Menjadi manusia berarti adalah
upaya untuk menjadi Tuhan. Atau jika kau lebih menyukainya, secara mendasar
manusia adalah kehendak untuk menjadi Tuhan.”]. Hal tersebut dimungkinkan
dikarenakan eksistensi manusia sebagai pour
soi yang selalu memiliki celah atau kekurangan berupa ajeg-nya kehendak atau keinginan dalam diri “The existence of desire as a human fact is sufficient to prove that
human reality is lack.” [“Keberadaan nafsu/kehendak sebagai kenyataan
manusia membuktikan bahwa realitas manusia memiliki celah/kekosongan.”]
(Sartre, 1956: 87).
. Oleh karenanya, di samping menjadi pour soi, sesungguhnya manusia juga hendak menjadi en soi (being in itself) ‘berada dalam dirinya’ yang sempurna berikut tanpa
celah. Namun eksistensi yang demikian, etre
pour soi sekaligus etre en soi,
hanyalah menjadi sifat Tuhan semata. Oleh karenanya, Sartre kemudian menyatakan
keberadaan manusia di dunia tak lebih sebagai useless passion ‘hasrat kesia-siaan’.
“Each human reality is at the same time direct project to
metamorphose its own For-itself into an In-itself ... Every human reality is a
passion in that it projects losing itself so as to found being and by the same
stroke to constitute the In-itself which escapes contigency by being its own
foundation, the Ens causa sui, which religion call God … But the idea of God is
contradictory and we lose ourselves in vain. Man is useless passion.” (Sartre, 1956: 615).
[“Setiap realitas manusia pada waktu
yang bersamaan memiliki proyek untuk merubah karakter ‘berada bagi dirinya’
menjadi ‘berada dalam dirinya’ … Setiap realitas manusia merupakan hasrat pada
proyek untuk melenyapkan ‘berada bagi dirinya’ namun tetap berkesadaran dan
pada waktu bersamaan menemukan dirinya sebagai ‘berada dalam dirinya’ yang tak
memiliki pondasi kesadaran, suatu penyebab utama, di mana dalam agama disebut
sebagai Tuhan … Namun ide mengenai Tuhan bertentangan—dengan sifat manusia—dan
kita akan selalu menemukan diri kita dalam kegagalan. Manusia adalah hasrat
kesia-siaan.”]
Perihal lain yang
menunjukkan dimensi ketidakbermaknaan hidup dalam pandangan eksistensialisme
Sartre adalah tak tabunya tindakan bunuh diri sebagai salah satu bentuk pilihan
bebas kehidupan manusia. Meskipun memang, kajian yang lebih seksama atasnya
akan lebih banyak ditemui dalam eksistensialisme Albert Camus, di mana melalui
eksemplarnya, Mite Sisifus, Camus
(1999: 3) didaulat sebagai agitator tindakan bunuh diri rakyat Perancis
mengingat dalam eksemplar tersebut ia mencuplik berikut mem-filosofis-kan
pernyataan Dostoyevsky yang populer: “Apabila
hidup sudah tak bermakna, pantaskah untuk tetap dijalani?”.
Dalam Being and Nothingness sendiri, Sartre
menunjukkan betapa pilihan untuk mengakhiri hidup tak ubahnya seperti pilihan
untuk menjalani hidup. Ia menitikberatkan pada aspek tanggung jawab yang
termuat dalam setiap pilihan tersebut. Secara spesifik, Sartre (1956: 554-555)
memisalkan dengan situasi hidupnya kala menyaksikan luluh-lantahnya Perancis
saat terlibat dalam Perang Dunia II. Ia mengatakan bahwa segala penderitaan
yang dialaminya selama Perang Dunia pantas diterimanya. Hal tersebut tak lain
dikarenakan pilihan bebasnya untuk tetap terus menjalani hidup, andaikan ia
memilih untuk mengakhiri hidup, maka sudah tentu ia takkan mengalami berbagai
penderitaan selama perang. Oleh karenanya kemudian, Sartre melontarkan sebuah
pernyataan yang menuai kecaman keras banyak pihak, “Tak ada korban yang tak bersalah dalam perang”, ungkapnya.
Secara tak langsung,
perihal di atas menunjukkan pengakuan eksistensialisme Sartre akan
ketidakbermaknaan hidup, atau dalam bahasa yang khas menurut pandangan terkait,
hidup sebagai nausea. Dan apabila
entitas individu tak mampu lagi menanggung muatan nausea dalam hidupnya, maka mengakhiri hidup merupakan sebentuk
tindakan yang tak menjadi persoalan besar: individu mengada begitu saja di
dunia, tanpa sebab dan tujuan, dengan demikian tak menjadi soal bila tiada
begitu saja.
Kesendirian
Umum diketahui bahwa
eksistensialisme dikenal sebagai filsafat antisosial berikut filsafat kaum
borjuis yang individualis. Secara tak langsung, hal tersebut kian dipertegas
melalui sebuah drama besutan Sartre, No
Exit, di mana di dalamnya secara vulgar Sartre berkata, “Hell is other people!” [“Orang lain
adalah neraka!”]. Penajisan Sartre akan orang lain sebagai neraka menyiratkan
musykilnya hubungan sosial yang bersifat emansipatoris terbentuk. Sebagaimana
sempat diuraikan sebelumnya, pertemuan antarindividu (pour soi) selalu menemui bentuknya sebagai upaya saling
mengobyekkan satu sama lain dalam pandangan eksistensialisme, terlebih dengan
keharusan bagi tiap individu untuk menciptakan nilai berikut norma hidupnya
sendiri, yang dengan demikian mengeliminasi nilai berikut norma hidup bersama
sebagai media pengikat antarindividu serta pembentuk entitas sosial.
“So this is hell. I’d never have
believed it. You remember all we were told about torture chambers, the fire and
brimstone, the burning marl. Old wives tales! There’s no need for redhot
porkers. Hell is other people!” (Sartre, No Exit).
[“Jadi inilah neraka. Aku takkan pernah
mempercayainya. Kau ingat apa yang diceritakan kepada kita tentang kamar-kamar
siksaan, api dan belerang, tanah napal yang menyala. Dongengan nenek-nenek tua
belaka! Kita tak memerlukan besi yang panas-membara. Neraka adalah orang
lain!”]
Lebih jauh, hal di atas
turut ditunjukkan pengkajian eksistensialisme-Sartre akan hubungan intim antar
dua individu berupa cinta. Menurutnya, cinta merupakan keyakinan yang buruk
dikarenakan esensinya sebagai bentuk “penindasan halus” nan tak kasat mata. Di
sisi lain, ditemuinya berbagai bentuk tuntutan dalam cinta turut menunjukkan
eksistensi hubungan saling mengobyekkan antara satu sama lain. Menilik hal
tersebut, Sartre mendaulat cinta sebagai pengalaman “terjebak pada dunia orang
lain”, sedang hubungan seksual dinilainya sebagai bentuk pereduksian manusia
sebagai “daging” semata. Dapatlah dilihat, hubungan intim antar lawan jenis pun
dianggap sebagai sesuatu yang mustahil dalam pandangan eksistensialisme,
terlebih hubungan sosial berupa pertemanan, persahabatan, atau dengan banyak
orang (masyarakat).[1]
“It is in this sense that love is a
conflict. We have observed that the Other’s freedom is the foundation of my
being. But precisely because I exist by means of the Other’s freedom, I have no
security; I am in danger in this freedom.” (Sartre, 1956: 366).
[“Di sini cinta menemui bentuknya
sebagai konflik. Kita telah mengkaji bahwa kebebasan orang lain menjadi pondasi
keberadaanku. Tapi tentunya dikarenakan aku ada dalam kerangka kebebasan orang
lain, aku tak memiliki rasa aman; aku berada dalam bahaya dalam kebebasan
semacam ini.”]
“…Love the Lover wants to be ‘the whole
world’ for the beloved.” (Sartre, 1956: 367).
[“…Cinta dari seorang pecinta
menghendaki seluruh dunia seseorang yang dicintainya.”]
“…the woman in love demands that the
beloved in his acts should sacrifice traditional morality for her and is
anxious to know whether the beloved would betray his friends for her, ‘would
steal for her’, ‘would kill for her’, etc.” (Sartre, 1956: 369).
[“…wanita yang tengah jatuh cinta
menghendaki seseorang yang dicintainya mengorbankan moralitas tradisional, dan
ia ingin sekali mengetahui apakah seseorang yang dicintainya bersedia
mengkhianati temannya untuk dirinya, mencuri untuknya, membunuh untuknya, dan
lain sebagainya.”]
Ketakutan/Kecemasan
Ketakutan atau kecemasan
menurut Sartre merupakan pengalaman di mana individu merasa “di luar
kemungkinan-kemungkinan dirinya”. Dengan kata lain, individu takkan merasa
takut atau cemas bilamana segala sesuatunya, terlebih dirinya sendiri berada di
dalam kendalinya (baca: kemungkinannya), dan hal tersebut tentu akan
berkebalikan bilamana kondisi yang melingkupinya berlaku pula sebaliknya—segala
sesuatu berada dalam kendalinya. Setidaknya, Sartre mengidentifikasi beberapa
hal yang menyebabkan timbulnya pengalaman eksistensial yang satu ini. Pertama, kebebasan. Menurutnya, manusia
lebih cenderung lari dari kebebasannya ketimbang menghadapinya. Kondisi yang
demikian tak ubahnya sebagai bentuk penipuan diri atau mauvaise foi ‘keyakinan yang buruk’.
Sebagai misal, seseorang
yang jenuh dengan rutinitas kerja hariannya, sesungguhnya ketika alarm jam
kamarnya berbunyi di pagi hari, ia dapat memilih untuk menghindari rutinitasnya
sebagaimana hari-hari sebelumnya, menciptakan hari yang “mengejutkan” dan sama
sekali berbeda dengan hari sebelumnya. Namun, dengan memilih kebebasan itu, ia
sadar terdapat serangkaian resiko dan konsekuensi yang syarat ditanggungnya
nanti, semisal menuai pemotongan gaji atau dipecat dari pekerjaan. Menilik hal
tersebut, ia pun kemudian urung melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya individu tersebut takut akan kebebasannya sendiri, dan substansi
dari kebebasan dalam bingkai eksistensialisme adalah penyedia berbagai
kemungkinan yang jauh tak terbatas bagi diri individu. Tegas dan jelasnya,
kerap kali individu takut dengan kebebasannya sendiri dikarenakan terdapat
serangkaian resiko dan tanggung jawab yang syarat dipikul di baliknya. “Kesadaran adalah pusaran kemungkinan yang
besar sehingga kita dibuat takut olehnya”, pungkas Sartre. Perihal yang
kiranya cukup unik adalah, eksistensialisme sebagai filsafat yang demikian
mendewakan kebebasan manusia, faktual turut menjadikan kebebasan tersebut
sebagai salah satu sumber ketakutan dan kecemasan manusia.
“My fear is free and manifests my
freedom; I have put all my freedom into my fear, and I have chosen myself as
fearful in this or that circumstance.” (Sartre, 1956: 445).
[“Ketakutanku adalah kebebasan, dan
termanifestasikan dalam kebebasanku; Aku syarat meletakkan seluruh kebebasanku
dalam ketakutan, dan aku telah memilih diriku untuk takut dalam kondisi ini
atau itu.”]
Kedua, orang lain. Bagi Sartre, perihal yang menyebabkan individu
berada di luar kemungkinan diri tak sekedar kebebasan yang dimilikinya,
melainkan pula orang lain. Di samping orang lain menyebabkan individu berada di
luar penilaiannya sendiri (…Other is
looking at and judging), orang lain sebagai pour soi memiliki kapasitas guna menindak kita melampaui dari
sekedar tatapan mata. Hal terkait dikisahkan Sartre melalui pengalamannya kala
tertangkap basah oleh petugas hotel saat tengah mengintip kamar orang lain
melalui lubang kunci. Segera setelah tindakannya diketahui petugas hotel,
Sartre merasa cemas dan ketakutan, dalam benaknya, petugas hotel tersebut dapat
melakukan serangkaian tindakan terhadapnya, dari mempermalukannya (Sartre), mengusirnya
dari hotel, hingga menangkap dan melaporkan tindakannya pada pihak yang
berwenang. Oleh karenanya, Sartre (1956: 263) kemudian berkata, “My original fall is the existence of the
Other…” [“Orang lain adalah sebab kejatuhanku…”].
Ketiga, masa depan. Bagi Sartre, masa depan tak kalah memberikan
berbagai kemungkinan yang tak terduga bagi diri individu. Dalam Being and Nothingness, Sartre (1956: 36)
menantang setiap kita untuk berjanji pada tahun dan bulan sekian perihal hendak
menjadi apa kita kemudian, dan ungkapnya, ketakutan terbesar adalah ketika kita
tak mampu memenuhi janji tersebut. Kajian Sartre mengenai masa depan secara
khusus terangkum dalam konsepnya mengenai psikoanalisis eksistensial, yakni
psikoanalisis dalam ranah eksistensialisme yang diabdikan guna menyadarkan
individu akan dimensi kebebasan yang dimilikinya berikut menanggulangi
bentuk-bentuk mauvaise foi yang
menjangkiti diri individu. Salah satu kesimpulan yang terdapat di dalamnya
adalah betapa masa depan lebih menakutkan ketimbang masa lalu, yang dengan
demikian konsep terkait berkualifikasi guna menanggulangi individu dari
berbagai bentuk trauma masa lalu yang menderanya.
Pada kesempatan lain,
Sartre (1956: 37) memisalkan ketakutan individu akan masa depan melalui kisah
seorang penulis. Menurutnya, seorang penulis yang telah jauh-jauh hari berlatih
keras merangkai kata bisa jadi tak sempat menuliskan kata pertamanya di
kemudian hari dikarenakan ajal terlebih dahulu menjemput. Hal tersebut
menunjukkan betapa masa depan dapat menjadi teror tersendiri bagi individu dan
menyebabkan usaha kerasnya berakhir dengan kesia-siaan belaka. Sebagai
“pengobat” (baca: pereduksi) ketakutan individu akan masa depan, Sartre (2002:
69) pun mengajukan nasehat pada setiap kita untuk berbuat tanpa berharap.
Rasa Malu
Rasa malu yang umum
dialami banyak orang faktual memiliki tempat tersendiri dalam kajian
eksistensialisme Sartre. Bahkan menurut Sartre (2002: 36), cukup dengan
seseorang mengalami rasa malu, maka ia telah menjadi seorang
eksistensialis—baik disadarinya ataupun tidak. Bagi Sartre, hal tersebut
dikarenakan ditemukannya keintiman seseorang dengan dirinya sendiri akibat rasa
malu. Dengan kata lain, perasaan malu hanyalah dapat dirasakan individu semata,
bukan beserta orang lain (…shame is shame
of oneself before the Other). Dalam eksistensialisme, timbulnya rasa malu
pada individu berkaitan erat dengan pengkajian akan fenomena le regard ‘tatapan mata’. Sebagai misal,
ketika kita tengah berbicara sendiri dan mendapati tatapan mata seorang tengah
mengarah pada diri kita, maka seketika rasa malu pun muncul, guna
menghindarinya kita pun berpura-pura tengah menyanyi dan lain sebagainya.
Begitu pula, tatapan mata melotot yang tengah mengarah pada diri kita misalkan,
hal tersebut sesungguhnya menyiratkan pada kita guna melakukan penilaian atas
diri sendiri.
Bagi Sartre, hal di atas
disebabkan oleh ajeg-nya kita tampil
di hadapan orang lain sebagai obyek (benda/being
in itself). Orang lain muskyil menyelami diri kita hingga tataran esensi
yang kita buat sendiri. Dengan kata lain, orang lain memisahkan diri kita
dengan esensi kita sendiri dikarenakan dirinya yang membangun esensi bagi diri
kita—hal tersebut (membangun esensi) seyogyanya menjadi tanggung jawab diri
kita sendiri.
“I see myself because somebody sees me …
in so far as the person is an object for the Other … Other is looking at and
judging.” (Sartre, 1956: 260-261).
[“Aku melihat diriku karena orang lain
melihatku … sejauh ini sebagai obyek dari orang lain … Orang lain melihat dan
menilai.”]
“…I am guilty first when beneath the
Other’s look, I experience my alienation and my nakedness…” (Sartre, 1956:
410).
[“…Aku merasa bersalah ketika berada
dalam tatapan mata orang lain. Aku mengalami pengalaman keterasinganku dan ketelanjanganku…”]
Terkait dengan diri yang
diobyekkan dan rasa malu, Sartre (1956: 254-256) mengkisahkan dengan
pengalamannya kala tengah berada seorang diri di sebuah taman. Kala ia tengah
sendiri, bangku taman, tanaman, pepohonan, air mancur, berikut berbagai benda
yang terdapat di taman tersebut menjadi obyek penglihatannya. Kemudian
tiba-tiba seseorang hadir, kini berganti diri Sartre lah yang diobyekkan, ia
tersipu malu, orang tersebut telah merenggut dunianya. Sartre mengandaikan
tatapan mata orang lain ibarat sebuah lubang kecil yang menyedot dunia seisinya
ke dalamnya. Lebih jauh ia berkata, “Ada
pendarahan internal ketika duniaku disedot oleh dunia orang lain”. Istilah
“dunia orang lain” di sini ter-repesentasi-kan melalui tatapan mata yang dimilikinya.
[1] Sebagai implikasi lanjutan dari
pemikiran Sartre di atas, ia pun menolak eksistensi institusi
pernikahan/keluarga. Menurutnya, di samping serangkaian alasan filosofis yang
diungkapkannya, institusi pernikahan sekedar melanggengkan lembaga borjuasi.
ya, kerika saya bangun tidur, saya bertanya, siapakah saya, dan harus berbuat apa saya ? lalu bagaimana cara mengetahui siapa diri saya tanpa adanya orang lain ?
BalasHapusya, ketika saya bangun tidur, ada sebuah pertanyaan besar yang selalu ada di kepala saya, siapakah saya, apa yang seharusnya saya perbuat ? lalu bagaimanakah saya mengetahui diri saya tanpa adanya orang lain ?
BalasHapusanda bertanya pada diri saja sudah membuktikan eksistensi anda :)
BalasHapusartikelnya panjang..
BalasHapus#pusing
ane makhluk nocturnal, jam sgini baru bangun trus baca artikel ini.
overall,, bagus artikelnya...
@KataAwank