Kamis, 02 Januari 2014

Pemaknaan Eksistensial

Pemaknaan Eksistensial

Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.

            Secara sederhana, istilah makna yang membentuk terminus pemaknaan dapat diartikan sebagai maksud atau esensi akan sesuatu dan bersifat konseptual (Kattsoff, 1996: 169). Dengan demikian, istilah pemaknaan dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk menyematkan (memberikan) maksud atau esensi akan sesuatu yang pada akhirnya bakal melahirkan sebentuk konsep tersendiri. Adapun istilah konsep dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai “generalisasi empiris”. Menilik uraian singkat di atas, kiranya pemaknaan eksistensial dapat diartikan sebagai upaya pemberian maksud atau esensi pada sesuatu dalam kerangka atau koridor eksistensialisme, yakni dengan mengacu pada dalil existence precedes essence ‘eksistensi mendahului esensi’: segala sesuatu haruslah eksis (ada) terlebih dahulu agar dapat dimaknai.
            Lebih jauh, pemaknaan dalam kerangka eksistensialisme melibatkan peran penting dari kesadaran reflektif maupun nonreflektif individu. Kesadaran reflektif berperan dalam memberikan pemaknaan atas diri (internal), sedang kesadaran nonreflektif memberikan pemaknaan atas hal-hal di luar diri (eksternal). Mengingat eksistensialisme memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat “ada”, konkret atau materiil, maka tak jarang pemaknaan yang dilakukannya bersifat “langsung” dan penuh dengan metafora atau penggambaran melalui hal-hal konkret—kebendaan. Sebagai misal, pernyataan Sartre (1956: 256) bahwa dunia hanyalah sebatas mata memandang, atau tatapan orang lain padanya yang diibaratkan sebagai sebuah lubang kecil yang menyedot dunia seisinya ke dalamnya. Tak hanya itu saja, Sartre turut memaparkan contoh pemaknaan eksistensial melalui karya sastra—novel. Satu di antaranya ia paparkan melalui fenomena yang dialami tokoh utama dalam novel Nausea bernama Roquentin sebagai berikut.

“Roquentin sedang berada dalam trem listrik. Ia menatap ke luar jendela yang ada di hadapannya. Tiba-tiba ia bingung ketika yang terlihat bergerak adalah bangunan-bangunan di luar trem dan bukan trem itu sendiri. (Palmer, 2007: 45)”

            Pada kesempatan lain, Roquentin tengah bersantai di taman sembari mengamati akar pohon di hadapannya, ia pun berkata,

“...saya duduk, membungkuk ke depan ... sendirian di depan benda hitam bertutul-tutul, benar-benar buas ... membuat saya ketakutan. (Palmer, 2007: 46)”

            Fenomena pertama yang dialami Roquentin di atas menunjukkan pemaknaan eksistensial yang bersifat langsung, artinya berdasarkan apa yang seketika dan benar-benar menampakkan diri di hadapannya. Sementara fenomena kedua menunjukkan metafora Roquentin atas penampakkan akar pohon di hadapannya yang lebih memiripkan bentuknya sebagai hewan buas atau monster. Pemaknaan eksistensial yang bersifat langsung serta metaforis di atas didasarkan pada keyakinan Sartre akan fenomena mengada yang tak dapat dipikirkan melainkan dialami. Sebagai misal, apabila kita menggambar dua obyek di atas kanvas berupa; (1) Akar pohon, dan (2) “Akar pohon yang ada”, maka takkan ditemui perbedaan antar keduanya di atas kanvas. Artinya, mengada (eksistensi) selalu bersifat konkret, ia tak dapat dipikirkan melainkan sekedar dapat dialami.                             
            Di satu sisi, kentalnya hubungan antara pemaknaan dengan pengalaman dalam eksistensialisme sejalan dengan pemahaman empirisme John Locke dan David Hume di mana menurut mereka makna merupakan buah dari berbagai bentuk pengalaman (Kattsoff, 1996: 172). Hanya saja, dalam konteks pemaknaan eksistensial, ia bersifat langsung (hadap realitas), dan agaknya, seringnya penggunaan metafora oleh para tokoh eksistensialis memberikan kekhasan tersendiri bagi bentuk-bentuk pemaknaan dalam kerangka eksistensialisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar