Pemaknaan Eksistensial
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.
Secara sederhana, istilah
“makna” yang membentuk terminus “pemaknaan” dapat diartikan sebagai maksud atau
esensi akan sesuatu dan bersifat konseptual (Kattsoff, 1996: 169). Dengan
demikian, istilah pemaknaan dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk menyematkan
(memberikan) maksud atau esensi akan sesuatu yang pada akhirnya bakal
melahirkan sebentuk konsep tersendiri. Adapun istilah konsep dapat
diterjemahkan secara sederhana sebagai “generalisasi empiris”. Menilik uraian singkat
di atas, kiranya “pemaknaan eksistensial” dapat diartikan sebagai upaya pemberian maksud atau esensi
pada sesuatu dalam kerangka atau koridor eksistensialisme, yakni dengan mengacu
pada dalil existence precedes essence
‘eksistensi mendahului esensi’: segala sesuatu haruslah eksis (ada) terlebih
dahulu agar dapat dimaknai.
Lebih jauh, pemaknaan
dalam kerangka eksistensialisme melibatkan peran penting dari kesadaran
reflektif maupun nonreflektif individu. Kesadaran reflektif berperan dalam
memberikan pemaknaan atas diri (internal), sedang kesadaran nonreflektif
memberikan pemaknaan atas hal-hal di luar diri (eksternal). Mengingat
eksistensialisme memfokuskan diri pada hal-hal yang bersifat “ada”, konkret
atau materiil, maka tak jarang pemaknaan yang dilakukannya bersifat “langsung”
dan penuh dengan metafora atau penggambaran melalui hal-hal konkret—kebendaan.
Sebagai misal, pernyataan Sartre (1956: 256) bahwa dunia hanyalah sebatas mata
memandang, atau tatapan orang lain padanya yang diibaratkan sebagai sebuah
lubang kecil yang menyedot dunia seisinya ke dalamnya. Tak hanya itu saja,
Sartre turut memaparkan contoh pemaknaan eksistensial melalui karya
sastra—novel. Satu di antaranya ia paparkan melalui fenomena yang dialami tokoh
utama dalam novel Nausea bernama
Roquentin sebagai berikut.
“Roquentin sedang berada dalam trem
listrik. Ia menatap ke luar jendela yang ada di hadapannya. Tiba-tiba ia
bingung ketika yang terlihat bergerak adalah bangunan-bangunan di luar trem dan
bukan trem itu sendiri. (Palmer, 2007: 45)”
Pada kesempatan lain,
Roquentin tengah bersantai di taman sembari mengamati akar pohon di hadapannya,
ia pun berkata,
“...saya duduk, membungkuk ke depan ...
sendirian di depan benda hitam bertutul-tutul, benar-benar buas ... membuat
saya ketakutan. (Palmer, 2007: 46)”
Fenomena pertama yang
dialami Roquentin di atas menunjukkan pemaknaan eksistensial yang bersifat
langsung, artinya berdasarkan apa yang seketika dan benar-benar menampakkan
diri di hadapannya. Sementara fenomena kedua menunjukkan metafora Roquentin
atas penampakkan akar pohon di hadapannya yang lebih memiripkan bentuknya
sebagai hewan buas atau monster. Pemaknaan eksistensial yang bersifat langsung
serta metaforis di atas didasarkan pada keyakinan Sartre akan fenomena mengada yang
tak dapat dipikirkan melainkan dialami. Sebagai misal, apabila kita menggambar
dua obyek di atas kanvas berupa; (1) Akar pohon, dan (2) “Akar pohon yang ada”,
maka takkan ditemui perbedaan antar keduanya di atas kanvas. Artinya, mengada
(eksistensi) selalu bersifat konkret, ia tak dapat dipikirkan melainkan sekedar
dapat dialami.
Di satu sisi, kentalnya
hubungan antara pemaknaan dengan pengalaman dalam eksistensialisme sejalan
dengan pemahaman empirisme John Locke dan David Hume di mana menurut mereka
makna merupakan buah dari berbagai bentuk pengalaman (Kattsoff, 1996: 172).
Hanya saja, dalam konteks pemaknaan eksistensial, ia bersifat langsung (hadap
realitas), dan agaknya, seringnya penggunaan metafora oleh para tokoh
eksistensialis memberikan kekhasan tersendiri bagi bentuk-bentuk pemaknaan dalam
kerangka eksistensialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar