Gelombang Radikalisme Islam-Dunia
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.
Revolusi
Islam Iran
Banyak pakar sependapat bahwa
peristiwa Revolusi Islam Iran di tahun 1979 merupakan bentuk gelombang
radikalisme Islam-dunia yang pertama. Keberhasilan rakyat Iran dalam mengakhiri
monarki absolut Dinasti Pahlevi yang telah berlangsung selama kurang-lebih 2.500
tahun berikut mengangkat para mullah ke
permukaan jelas mengejutkan dunia Internasional, terutama Barat. Hal tersebut
mengingat, Iran di bawah kekuasaan Pahlevi merupakan salah satu rezim terkuat di
negara dunia ketiga yang sepenuhnya ditopang oleh kekuatan negara adikuasa
Amerika Serikat. Oleh karenanya, Richard Cottam menjuluki Revolusi Islam Iran
sebagai “one of the greatest populist
explosions in human history”. Di satu sisi, peristiwa tersebut menjadi
sumber inspirasi dan motivasi bagi umat Islam-dunia untuk mengatur kehidupannya
berdasarkan nilai-nilai Islami, sedang di sisi lain peristiwa tersebut menjadi
ancaman bagi dunia Barat, yakni terkait kekhawatiran terjadinya “ekspor
revolusi” pada berbagai negeri muslim lainnya di dunia. Kekhawatiran tersebut tampak
dengan upaya Amerika Serikat memprovokasi berbagai negara monarki Arab untuk
mengucilkan (baca: mengisolasi) Iran, bahkan provokasi tersebut berdampak pada
munculnya kembali persoalan Sunni-Syi’ah yang sesungguhnya telah tak relevan
(Maulana, 2003: 3, 11, 167, & 186).
FIS dan
Intifadah
Karuan, pascaperistiwa Revolusi
Islam Iran 1979 berbagai gerakan Islam pun mulai muncul ke permukaan bak jamur
di musim hujan, sedang beberapa gerakan Islam yang telah ada sebelumnya kian
menampakkan keaktifannya. Beberapa di antaranya seperti Hizbullah di Libanon dan Suriah, Front islamique du salut ‘Front Keselamatan Islam’ (FIS) di
Aljazair, Hamas dan Intifadah di Palestina, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordania
serta Mujahiddin dan Taliban di Afghanistan (Maulana, 2003: 10).
Hal tersebut sebagaimana ungkap Huntington (2006: 188) sebagai berikut,
“Pada tahun 1980-an dan 1990-an, gerakan-gerakan Islam
mendominasi, dan tidak jarang memonopoli gerakan-gerakan oposisi di
negara-negara Islam dalam menentang rezim yang berkuasa. Kekuatan mereka mampu mengalahkan
kekuatan-kekuatan oposisi lainnya ... Kelompok demokrasi liberal dapat dijumpai
di wilayah-wilayah muslim. Namun, biasanya terbatas pada kalangan intelektual
dan mereka yang memiliki akar-akar (budaya) dan hubungan-hubungan dengan Barat.”
Dalam periode-periode di atas, dua
momentum yang kiranya patut menjadi perhatian lebih adalah kemenangan partai
FIS di Aljazair serta meletusnya gerakan Intifadah
di Palestina. Setelah lama larut dalam kekacauan politik yang tak berkesudahan
berikut menelan korban jiwa yang tak sedikit, pada tahun 1986 Aljazair
menggelar pemilu demokratis untuk pertama kalinya dan segera dimenangkan oleh partai
FIS. Namun, kemenangan tersebut sontak dianulir partai nasionalis Aljazair, Front de liberation nationale (FLN) yang
didukung penuh oleh kekuatan asing yakni pemerintah Perancis. Yitzak Rabin,
perdana menteri Perancis kala itu, mengatakan bahwa kemenangan FIS tidaklah sah
mengingat partai tersebut merupakan “anak haram demokrasi”, yakni mereka yang
berupaya menggunakan jalur demokrasi untuk “membunuh” demokrasi. Tak pelak,
pasca kejadian tersebut tak ditemui titik temu antara partai FIS dengan FLN dalam
setiap kompromi yang digelar, hal tersebut pun kembali membawa Aljazair larut
dalam kekacauan politik yang tak berkesudahan hingga kini (Turmudi &
Sihbudi, 2005: 80-82; Taher, 2004: 17).
Setahun selang kemenangan partai
FIS, tepatnya di tahun 1987, dunia kembali dikejutkan oleh meletusnya gerakan Intifadah di Palestina. Peristiwa
tersebut ditandai dengan serangan masif yang dilancarkan para pemuda Palestina
terhadap pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. Perihal
yang membuat peristiwa tersebut fenomenal adalah keberanian para pemuda
Palestina yang sekedar bersenjatakan batu dan ban-ban bekas melawan pasukan
Israel yang dilengkapi dengan persenjataan mutakhir. Tak khayal, gerakan
tersebut menuai simpati dunia internasional, khususnya dunia Islam, sebagian
dari simpatisan secara latah menyebutnya sebagai perlawanan David atas Goliath—sedang
sesungguhnya David (dalam Islam: Nabi Daud) merupakan figur sentral bagi orang-orang
Yahudi, bahkan pendirian Zionisme ditujukan
untuk menyiapkan kerajaan Daud di muka bumi. Kiranya, kedua peristiwa di atas
dapat ditempatkan sebagai gelombang radikalisme Islam-dunia yang kedua
mengingat implikasi dan cakupannya yang cukup luas—menarik perhatian berikut melibatkan
campur tangan dunia internasional (Turmudi & Sihbudi, 2005: 73).
Milisi
Taliban
Pada
perkembangan gerakan Islam-radikal selanjutnya, di paruh awal dekade 1990-an terdapat
satu momen penting yang kiranya dapat ditasbihkan sebagai gelombang radikalisme
Islam-dunia yang ketiga, yakni berdirinya milisi Taliban pada Oktober 1994 di pedalaman
Mandahar. Organisasi tersebut bermula dari sebuah gerakan sosial yang
dicetuskan oleh para murid salah satu sekolah agama di Pakistan. Mengingat
bentuknya sebagai sebuah wadah sosial, organisasi tersebut memperoleh dukungan penuh
dari pemerintah Pakistan, bahkan pemerintah turut melengkapinya dengan berbagai
persenjataan militer yang mumpuni. Tercatat, dalam periode-periode awal
pendiriannya Taliban telah memiliki empat ratus tank serta beberapa pesawat
tempur MTG-21 (Setiyanto & Sutarno, 2002: 44-45).
Penetrasi yang dilakukan milisi
Taliban di Afghanistan sesungguhnya dilatarbelakangi oleh upayanya untuk
menciptakan stabilitas sosial-politik di negara tersebut, niat itu pun disambut
baik oleh rakyat Afghanistan yang telah lelah dengan konflik perebutan
kekuasaan yang berkepanjangan akibat terpecahnya Mujahiddin ke dalam banyak
faksi militer. Sesungguhnya, baik Taliban maupun Mujahiddin memiliki tujuan
yang sama, yakni mendirikan pemerintahan Islam di Afghanistan, namun perpecahan
akut pada tubuh Mujahiddin agaknya membuat tujuan tersebut kian “jauh panggang
dari api”, sementara rakyat Afghanistan telah dibuat jenuh dengan nasib mereka
dan negaranya yang serba tak menentu. Berbekal persenjataan militer yang
lengkap berikut dukungan luas rakyat Afghanistan, pada akhirnya milisi Taliban
berhasil menjatuhkan rezim Mujahiddin dan mengambil alih kekuasaan (Setiyanto
& Sutarno, 2002: 46).
Segera setelah berkuasa, Taliban menerapkan
hukum Islam secara ketat, semisal hukum potong tangan bagi mereka yang diketahui
mencuri, rajam bagi mereka yang berzina, berikut qishas bagi mereka yang
membunuh, bahkan Taliban turut mengatur rakyatnya dalam berpenampilan: pria
diwajibkan menumbuhkan jenggot, sedang wanita menggunakan cadar. Tak pelak,
ketatnya hukum Islam yang diterapkan Taliban membuat sebagian rakyatnya berupaya
menghindari hukum tersebut dengan bermigrasi ke daerah lain. Lambat-laun,
Taliban pun kehilangan simpati rakyat Afghanistan akibat berbagai persoalan di
atas. Keadaan tersebut pun dimanfaatkan oleh mereka yang anti terhadap Taliban untuk
menjatuhkan pemerintahannya (Setiyanto & Sutarno, 2002: 61). Pada gilirannya,
konflik yang terjadi di Afghanistan turut menyeret kekuatan asing untuk terlibat
di dalamnya. Pasukan sekutu yang terdiri dari militer Amerika Serikat, Inggris
dan berbagai negara lainnya, bergabung dengan pasukan lokal anti-Taliban untuk
menyudahi kekuasaan milisi yang bermula dari sebuah gerakan (wadah) sosial di
Pakistan itu. Meskipun rezim Taliban telah berhasil ditumbangkan, namun hingga
kini pergolakan di Afghanistan masih saja terjadi, berikut tetap melibatkan
pihak asing di dalamnya.
Al-Qaeda
Gelombang radikalisme-Islam yang
keempat berikut yang tersignifikan di era kontemporer adalah aksi serangan
teroris pada World Trade Center (WTC)
yang terjadi pada tanggal 11 September 2001. Aksi tersebut membuka mata dunia
bahwa terorisme merupakan ancaman masyarakat internasional yang benar-benar
nyata. Adalah Osama bin Laden selaku pemimpin Al-Qaeda yang bertanggung jawab terhadap
serangan di atas. Sebelumnya, ia ditengarai pula melakukan serangkaian aksi
teror seperti pengeboman kapal induk AS di Timur Tengah, peledakan gedung WTC
di tahun 1993, pengeboman Oklahoma City di tahun 1995, Tragedi Luxor-1997, pengeboman
sejumlah kantor kedubes AS di tahun 1998, bahkan Osama turut dianggap terlibat
dalam pengeboman di Bali pada Oktober 2002 (Abimayu, 2005: 139).
Pada mulanya, Al-Qaeda merupakan
sebuah LSM yang didirikan oleh Dr. Abdullah Azzam, seorang tokoh Ikhwanul
Muslimim asal Palestina. Awalnya Al-Qaeda bernama Maktab Al Khidmat lil-Mujjihedin al-Arab (MAK). Pada masa
pendudukan komunis-Soviet di Afghanistan dan berbagai wilayah sekitar Rusia
lainnya, Osama bekerjasama dengan militer Amerika Serikat untuk mengusir Tentara
Merah di berbagai daerah tersebut, bahkan militer Amerika Serikat sempat melakukan
pelatihan profesional pada para gerilyawan pimpinan Osama. Pasca berakhirnya
Perang Dingin pada awal dekade 1990-an, hubungan yang terjalin antara Osama
dengan pemerintah Amerika Serikat pun mengalami perubahan. Osama dengan Al-Qaeda-nya
mendorong berbagai wilayah ex-pendudukan
Soviet untuk menerapkan sistem pemerintahan Islam, sedang pemerintah Amerika Serikat
menuntut adanya demokratisasi di berbagai daerah tersebut. Oposisi-biner
kepentingan inilah yang menyebabkan pecah-kongsi antara gerilyawan Al-Qaeda
dengan pemerintahan Amerika Serikat (Abimayu, 2005: 140-144).
Pecah-kongsi dan perbedaan
kepentingan itulah yang kemudian menyebabkan Osama ditengarai melakukan serangkaian
aksi teror sebagai bentuk perlawanannya atas bentuk penjajahan ideologi-baru yang
dilakukan Amerika Serikat—penyebaran ide demokrasi liberal. Serangkaian aksi
teror Osama tersebut mencapai puncaknya ketika ia melihat kuatnya kepentingan pemerintah
Amerika Serikat di Timur Tengah, terlebih dengan dibangunnya pangkalan militer
Amerika Serikat di Arab Saudi demi kepentingan Perang Teluk. Bersamaan dengan
terjadinya peristiwa September Kelabu, Osama pun mengeluarkan fatwa yang mencengangkan
dunia, yakni “kewajiban untuk memerangi Amerika
Serikat beserta simbol-simbolnya dimanapun mereka berada”. Di sisi lain,
George W. Bush selaku presiden Amerika Serikat kala serangan 11 September 2001
terjadi, mengumumkan pada dunia untuk melakukan perang terhadap terorisme
global. Bahkan, ia sekedar mengajukan dua opsi pada masyarakat dunia: “Bergabung dengan ‘kami’ (Amerika Serikat)
ataukah ‘mereka’ (teroris)?” (Abimayu, 2005: 37 & 129). Tak khayal, dua
pernyataan tokoh yang saling berseberangan di atas menimbulkan serangkaian gesekan
yang lebih keras lagi di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar