Sabtu, 22 Februari 2014

Gelombang Radikalisme Islam-Dunia

Gelombang Radikalisme Islam-Dunia


Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.

Revolusi Islam Iran
            Banyak pakar sependapat bahwa peristiwa Revolusi Islam Iran di tahun 1979 merupakan bentuk gelombang radikalisme Islam-dunia yang pertama. Keberhasilan rakyat Iran dalam mengakhiri monarki absolut Dinasti Pahlevi yang telah berlangsung selama kurang-lebih 2.500 tahun berikut mengangkat para mullah ke permukaan jelas mengejutkan dunia Internasional, terutama Barat. Hal tersebut mengingat, Iran di bawah kekuasaan Pahlevi merupakan salah satu rezim terkuat di negara dunia ketiga yang sepenuhnya ditopang oleh kekuatan negara adikuasa Amerika Serikat. Oleh karenanya, Richard Cottam menjuluki Revolusi Islam Iran sebagai “one of the greatest populist explosions in human history”. Di satu sisi, peristiwa tersebut menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi umat Islam-dunia untuk mengatur kehidupannya berdasarkan nilai-nilai Islami, sedang di sisi lain peristiwa tersebut menjadi ancaman bagi dunia Barat, yakni terkait kekhawatiran terjadinya “ekspor revolusi” pada berbagai negeri muslim lainnya di dunia. Kekhawatiran tersebut tampak dengan upaya Amerika Serikat memprovokasi berbagai negara monarki Arab untuk mengucilkan (baca: mengisolasi) Iran, bahkan provokasi tersebut berdampak pada munculnya kembali persoalan Sunni-Syi’ah yang sesungguhnya telah tak relevan (Maulana, 2003: 3, 11, 167, & 186).

FIS dan Intifadah
            Karuan, pascaperistiwa Revolusi Islam Iran 1979 berbagai gerakan Islam pun mulai muncul ke permukaan bak jamur di musim hujan, sedang beberapa gerakan Islam yang telah ada sebelumnya kian menampakkan keaktifannya. Beberapa di antaranya seperti Hizbullah di Libanon dan Suriah, Front islamique du salut ‘Front Keselamatan Islam’ (FIS) di Aljazair, Hamas dan Intifadah di Palestina, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordania serta Mujahiddin dan Taliban di Afghanistan (Maulana, 2003: 10). Hal tersebut sebagaimana ungkap Huntington (2006: 188) sebagai berikut,

“Pada tahun 1980-an dan 1990-an, gerakan-gerakan Islam mendominasi, dan tidak jarang memonopoli gerakan-gerakan oposisi di negara-negara Islam dalam menentang rezim yang berkuasa. Kekuatan mereka mampu mengalahkan kekuatan-kekuatan oposisi lainnya ... Kelompok demokrasi liberal dapat dijumpai di wilayah-wilayah muslim. Namun, biasanya terbatas pada kalangan intelektual dan mereka yang memiliki akar-akar (budaya) dan hubungan-hubungan dengan Barat.”

            Dalam periode-periode di atas, dua momentum yang kiranya patut menjadi perhatian lebih adalah kemenangan partai FIS di Aljazair serta meletusnya gerakan Intifadah di Palestina. Setelah lama larut dalam kekacauan politik yang tak berkesudahan berikut menelan korban jiwa yang tak sedikit, pada tahun 1986 Aljazair menggelar pemilu demokratis untuk pertama kalinya dan segera dimenangkan oleh partai FIS. Namun, kemenangan tersebut sontak dianulir partai nasionalis Aljazair, Front de liberation nationale (FLN) yang didukung penuh oleh kekuatan asing yakni pemerintah Perancis. Yitzak Rabin, perdana menteri Perancis kala itu, mengatakan bahwa kemenangan FIS tidaklah sah mengingat partai tersebut merupakan “anak haram demokrasi”, yakni mereka yang berupaya menggunakan jalur demokrasi untuk “membunuh” demokrasi. Tak pelak, pasca kejadian tersebut tak ditemui titik temu antara partai FIS dengan FLN dalam setiap kompromi yang digelar, hal tersebut pun kembali membawa Aljazair larut dalam kekacauan politik yang tak berkesudahan hingga kini (Turmudi & Sihbudi, 2005: 80-82; Taher, 2004: 17).           

            Setahun selang kemenangan partai FIS, tepatnya di tahun 1987, dunia kembali dikejutkan oleh meletusnya gerakan Intifadah di Palestina. Peristiwa tersebut ditandai dengan serangan masif yang dilancarkan para pemuda Palestina terhadap pasukan pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. Perihal yang membuat peristiwa tersebut fenomenal adalah keberanian para pemuda Palestina yang sekedar bersenjatakan batu dan ban-ban bekas melawan pasukan Israel yang dilengkapi dengan persenjataan mutakhir. Tak khayal, gerakan tersebut menuai simpati dunia internasional, khususnya dunia Islam, sebagian dari simpatisan secara latah menyebutnya sebagai perlawanan David atas Goliath—sedang sesungguhnya David (dalam Islam: Nabi Daud) merupakan figur sentral bagi orang-orang Yahudi, bahkan pendirian Zionisme ditujukan untuk menyiapkan kerajaan Daud di muka bumi. Kiranya, kedua peristiwa di atas dapat ditempatkan sebagai gelombang radikalisme Islam-dunia yang kedua mengingat implikasi dan cakupannya yang cukup luas—menarik perhatian berikut melibatkan campur tangan dunia internasional (Turmudi & Sihbudi, 2005: 73).

Milisi Taliban
Pada perkembangan gerakan Islam-radikal selanjutnya, di paruh awal dekade 1990-an terdapat satu momen penting yang kiranya dapat ditasbihkan sebagai gelombang radikalisme Islam-dunia yang ketiga, yakni berdirinya milisi Taliban pada Oktober 1994 di pedalaman Mandahar. Organisasi tersebut bermula dari sebuah gerakan sosial yang dicetuskan oleh para murid salah satu sekolah agama di Pakistan. Mengingat bentuknya sebagai sebuah wadah sosial, organisasi tersebut memperoleh dukungan penuh dari pemerintah Pakistan, bahkan pemerintah turut melengkapinya dengan berbagai persenjataan militer yang mumpuni. Tercatat, dalam periode-periode awal pendiriannya Taliban telah memiliki empat ratus tank serta beberapa pesawat tempur MTG-21 (Setiyanto & Sutarno, 2002: 44-45).   

            Penetrasi yang dilakukan milisi Taliban di Afghanistan sesungguhnya dilatarbelakangi oleh upayanya untuk menciptakan stabilitas sosial-politik di negara tersebut, niat itu pun disambut baik oleh rakyat Afghanistan yang telah lelah dengan konflik perebutan kekuasaan yang berkepanjangan akibat terpecahnya Mujahiddin ke dalam banyak faksi militer. Sesungguhnya, baik Taliban maupun Mujahiddin memiliki tujuan yang sama, yakni mendirikan pemerintahan Islam di Afghanistan, namun perpecahan akut pada tubuh Mujahiddin agaknya membuat tujuan tersebut kian “jauh panggang dari api”, sementara rakyat Afghanistan telah dibuat jenuh dengan nasib mereka dan negaranya yang serba tak menentu. Berbekal persenjataan militer yang lengkap berikut dukungan luas rakyat Afghanistan, pada akhirnya milisi Taliban berhasil menjatuhkan rezim Mujahiddin dan mengambil alih kekuasaan (Setiyanto & Sutarno, 2002: 46).

            Segera setelah berkuasa, Taliban menerapkan hukum Islam secara ketat, semisal hukum potong tangan bagi mereka yang diketahui mencuri, rajam bagi mereka yang berzina, berikut qishas bagi mereka yang membunuh, bahkan Taliban turut mengatur rakyatnya dalam berpenampilan: pria diwajibkan menumbuhkan jenggot, sedang wanita menggunakan cadar. Tak pelak, ketatnya hukum Islam yang diterapkan Taliban membuat sebagian rakyatnya berupaya menghindari hukum tersebut dengan bermigrasi ke daerah lain. Lambat-laun, Taliban pun kehilangan simpati rakyat Afghanistan akibat berbagai persoalan di atas. Keadaan tersebut pun dimanfaatkan oleh mereka yang anti terhadap Taliban untuk menjatuhkan pemerintahannya (Setiyanto & Sutarno, 2002: 61). Pada gilirannya, konflik yang terjadi di Afghanistan turut menyeret kekuatan asing untuk terlibat di dalamnya. Pasukan sekutu yang terdiri dari militer Amerika Serikat, Inggris dan berbagai negara lainnya, bergabung dengan pasukan lokal anti-Taliban untuk menyudahi kekuasaan milisi yang bermula dari sebuah gerakan (wadah) sosial di Pakistan itu. Meskipun rezim Taliban telah berhasil ditumbangkan, namun hingga kini pergolakan di Afghanistan masih saja terjadi, berikut tetap melibatkan pihak asing di dalamnya.

Al-Qaeda
            Gelombang radikalisme-Islam yang keempat berikut yang tersignifikan di era kontemporer adalah aksi serangan teroris pada World Trade Center (WTC) yang terjadi pada tanggal 11 September 2001. Aksi tersebut membuka mata dunia bahwa terorisme merupakan ancaman masyarakat internasional yang benar-benar nyata. Adalah Osama bin Laden selaku pemimpin Al-Qaeda yang bertanggung jawab terhadap serangan di atas. Sebelumnya, ia ditengarai pula melakukan serangkaian aksi teror seperti pengeboman kapal induk AS di Timur Tengah, peledakan gedung WTC di tahun 1993, pengeboman Oklahoma City di tahun 1995, Tragedi Luxor-1997, pengeboman sejumlah kantor kedubes AS di tahun 1998, bahkan Osama turut dianggap terlibat dalam pengeboman di Bali pada Oktober 2002 (Abimayu, 2005: 139).

            Pada mulanya, Al-Qaeda merupakan sebuah LSM yang didirikan oleh Dr. Abdullah Azzam, seorang tokoh Ikhwanul Muslimim asal Palestina. Awalnya Al-Qaeda bernama Maktab Al Khidmat lil-Mujjihedin al-Arab (MAK). Pada masa pendudukan komunis-Soviet di Afghanistan dan berbagai wilayah sekitar Rusia lainnya, Osama bekerjasama dengan militer Amerika Serikat untuk mengusir Tentara Merah di berbagai daerah tersebut, bahkan militer Amerika Serikat sempat melakukan pelatihan profesional pada para gerilyawan pimpinan Osama. Pasca berakhirnya Perang Dingin pada awal dekade 1990-an, hubungan yang terjalin antara Osama dengan pemerintah Amerika Serikat pun mengalami perubahan. Osama dengan Al-Qaeda-nya mendorong berbagai wilayah ex-pendudukan Soviet untuk menerapkan sistem pemerintahan Islam, sedang pemerintah Amerika Serikat menuntut adanya demokratisasi di berbagai daerah tersebut. Oposisi-biner kepentingan inilah yang menyebabkan pecah-kongsi antara gerilyawan Al-Qaeda dengan pemerintahan Amerika Serikat (Abimayu, 2005: 140-144).                     

            Pecah-kongsi dan perbedaan kepentingan itulah yang kemudian menyebabkan Osama ditengarai melakukan serangkaian aksi teror sebagai bentuk perlawanannya atas bentuk penjajahan ideologi-baru yang dilakukan Amerika Serikat—penyebaran ide demokrasi liberal. Serangkaian aksi teror Osama tersebut mencapai puncaknya ketika ia melihat kuatnya kepentingan pemerintah Amerika Serikat di Timur Tengah, terlebih dengan dibangunnya pangkalan militer Amerika Serikat di Arab Saudi demi kepentingan Perang Teluk. Bersamaan dengan terjadinya peristiwa September Kelabu, Osama pun mengeluarkan fatwa yang mencengangkan dunia, yakni “kewajiban untuk memerangi Amerika Serikat beserta simbol-simbolnya dimanapun mereka berada”. Di sisi lain, George W. Bush selaku presiden Amerika Serikat kala serangan 11 September 2001 terjadi, mengumumkan pada dunia untuk melakukan perang terhadap terorisme global. Bahkan, ia sekedar mengajukan dua opsi pada masyarakat dunia: “Bergabung dengan ‘kami’ (Amerika Serikat) ataukah ‘mereka’ (teroris)?” (Abimayu, 2005: 37 & 129). Tak khayal, dua pernyataan tokoh yang saling berseberangan di atas menimbulkan serangkaian gesekan yang lebih keras lagi di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar