Radikalisme, Fundamentalisme & Islam-Ideologis
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A
Terminus
“radikal” yang membentuk istilah “radikalisme” berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti “akar”. Dengan
demikian, “berpikir secara radikal” sama artinya dengan berpikir hingga ke
akar-akarnya, hal tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan
sikap-sikap anti kemapanan (Taher, 2004: 21). Lebih jauh, radikalisme kerap dikaitkan
dengan istilah “fundamentalisme”. Fundamentalisme sendiri dapat diterjemahkan
sebagai asas, dasar, fondasi atau hakikat. Adapun istilah “fundamentalis” dapat
dimaknai sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner
berikut selalu berupaya mengembalikan ajaran agama layaknya yang termaktub
dalam kitab suci (Azhar, 2001: 119).
Dalam Islamic Fundamentalism and The Limits of Modern Rationalism,
Roxanne L. Euben (1999: 16-17) menjelaskan bahwa pada mulanya istilah
fundamentalisme digunakan untuk menandai gerakan Kristen Protestan-Amerika
Serikat pada awal abad ke-20 yang berupaya menyuarakan kembali penafsiran bibel
secara harafiah (literally). Dalam
Islam sendiri pungkasnya lebih jauh, istilah fundamentalisme tak ditemui di
dalamnya, istilah terdekat guna me-representasi-kan perihal terkait dalam Islam
adalah usuli yang kurang-lebih
berarti “akar” atau “dasar”. Tak pelak, dewasa ini istilah tersebut kerap
diasosiasikan dengan gerakan Islam-ideologis atau Islam-politik. John L.
Eposito misalnya, menyamakan istilah Islam-politik dengan fundamentalisme Islam,
begitu pula dengan Oliver Roy yang menafsirkan Islam-politik sebagai kelompok
yang meyakini Islam baik sebagai agama maupun ideologi politik, lebih jauh, ia
menyebutnya secara spesifik sebagai “neofundamentalisme” (Huntington, 2006: 179;
Turmudi & Sinbudi, 2005: v). Kiranya, peran media tak dapat dikesampingkan pula
dalam andil mempopulerkan istilah di atas.
Jalaluddin Rakhmat (dalam Azhar, 2001:
122) menguraikan adanya empat pengertian mengenai fundamentalisme Islam. Pertama, fundamentalisme sebagai gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyyah. Kedua, menunjuk pada gerakan penolakan keras terhadap modernisme
Islam yang dibawa kelompok Wahabiyah
dan Salafiyah—disebut pula sebagai
fundamentalisme klasik. Ketiga,
sebagai gerakan yang menentang weternisasi dalam Islam akibat arus globalisasi.
Keempat, sebuah keyakinan bahwa Islam
mampu menjadi ideologi alternatif.
Di sisi lain, Youssef M. Choueiri (dalam
Mulkhan [dkk.], 2001: 65-66) menguraikan fundamentalisme Islam berdasarkan
ragam dan pembagiannya. Menurutnya, fundamentalisme Islam terklasifikasi dalam
tiga bentuk, yakni revivalisme, reformisme dan radikalisme. Revivalisme memiliki
beberapa karakteristik, antara lain; mengembalikan kemurnian Islam sebagai
agama tauhid berikut membersihkannya dari praktek dan pengaruh adat yang
terdapat di dalamnya, membela kemandirian berpikir (ijtihad) sekaligus menghilangkan taqlid (kepercayaan buta), mengharuskan hijrah dari negeri yang dikuasai kaum “kafir” sembari menyiapkan
serangan-balik bilamana telah mampu; serta mensyaratkan adanya kepemimpinan
tunggal dari seorang tokoh kharismatik.
Berbeda halnya dengan revivalisme,
reformisme Islam dicirikan dengan wataknya yang menonjol sebagai gerakan
terdidik masyarakat kota. Umumnya, mereka terdiri dari para pejabat negara, intelektual
atau ulama yang enggan menafsirkan Islam secara tradisional. Mereka justru
bergulat dengan tradisi filsafat dan keilmuan Barat guna mengejar
ketertinggalan Islam. Klasifikasi terakhir, yakni radikalisme, merupakan gerakan
Islam terkeras di antara ketiganya. Gerakan terkait lahir sebagai reaksi atas
beragam persoalan kehidupan modern yang termanifestasikan melalui eksistensi nation-state ‘negara-bangsa’. Pengikutnya
demikian luas, mencakup kaum migran kota, pekerja sektor publik, pengusaha, pria
dan wanita, bahkan kaum intelektual. Apabila gerakan revivalisme berupaya
“membangkitkan kembali” (revives),
sedang reformisme berupaya melakukan pembaharuan, maka radikalisme lebih pada
upayanya untuk menciptakan “dunia baru” (Mulkhan [dkk.], 2001: 66-67).
Dalam hal ini, kaum radikal Islam
memiliki metodenya sendiri dalam menafsirkan fenomena sosial, politik, budaya berikut
sejarah yang terjadi pada masyarakatnya—umat muslim. Mereka ajeg menekankan eksistensi kekuatan
eksternal yang merongrong serta “menyerang”
Islam (Mulkhan [dkk.], 2001: 67). Dengan demikian, kelompok terkait selalu
merasa bahwa Islam berada di bawah tekanan serta ancaman kekuatan-kekuatan luar
(asing). Lebih jauh, kelompok Islam-radikal terbagi dalam dua bentuk, adapun
perbedaan mendasar antara keduanya lebih pada metode atau cara dalam mewujudkan
idealismenya, yakni mendirikan negara Islam-internasional atau yang lebih sering
disebut dengan khilafah Islamiyyah—sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, “menciptakan dunia baru”.
Kelompok
Islam-radikal yang pertama memberikan batasan dan rumusan yang jelas terkait
metode yang digunakannya dalam pencapaian tujuan. Mereka menolak menyebarkan
pengaruhnya melalui mekanisme demokrasi (parlementer) karena dinilai tak
sejalan dengan nilai-nilai Islam, sebagai gantinya, mereka menggunakan
cara-cara seperti seminar, diskusi, membuat website,
buku, buletin berikut pamflet yang terbit secara berkala, dan terutama
menggelar halaqah atau liqo mingguan untuk menjaring massa, tak
sedikit pula massa yang mereka jaring melalui war of mouth atau persuasi dari mulut ke mulut. Terkait penggunaan cara-cara
kekerasan semisal berperang-angkat senjata, bom bunuh diri dan lain sejenisnya,
mereka menyetujuinya sejauh berkenaan dengan berbagai koridor yang telah
ditentukan, yakni status hukum suatu negara yang tengah berada dalam kondisi perang.
Dengan demikian, apabila status hukum suatu negara tengah berdamai—tak sedang
berperang secara fisik—maka cara-cara kekerasan layaknya di atas sangatlah
diharamkan bagi mereka. Kiranya, organisasi Islam Hizbut Tahrir dapat me-representasi-kan beragam corak gerakan Islam
terkait (HT, 2009).
Kelompok
Islam-radikal kedua tak jauh berbeda dengan yang pertama, hanya saja mereka
menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita-citanya, termasuk dengan
cara-cara kekerasan sebagaimana telah disebutkan di atas. Kelompok Islam tersebutlah
yang belakangan mendapati cap “teroris” oleh masyarakat lokal maupun internasional.
0 komentar:
Posting Komentar