Selasa, 25 Maret 2014

Gelandangan

GELANDANGAN


Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A

“But I think what’s worse is the amount of people who completely ignore me,
they just walk on by as though I don’t exist.”
(An interview with homeless man by Larkin, 1995)

            Gelandangan atau tunawisma adalah sebuah kategori sosial bagi mereka yang hidupnya demikian miskin, tak memiliki rumah serta pekerjaan, berikut hidup menggelandang di jalanan (Finnerty, 2008: 1; Kashgegian, 2008: 1). Umumnya, mereka dapat ditemui di pinggiran trotoar, emperan toko, serta berbagai tempat fasilitas umum layaknya taman kota, alun-alun, bahkan terminal hingga stasiun. Tegas dan jelasnya, gelandangan adalah mereka yang menghabiskan keseharian hidupnya di jalanan (di luar rumah) karena tak memiliki tempat berteduh dan menetap yang permanen. Berbagai kondisi yang dialami gelandangan tersebut menyebabkan Margaret Kennedy (2012: 95) menyebut fenomena terkait sebagai bentuk kemiskinan dan eksklusi sosial terekstrim dewasa ini. Mereka—gelandangan—menempati status sosial terendah dalam masyarakat, “The homeless have been described as the bilges[1] of our society” [“Gelandangan diibaratkan sebagai mereka yang menempati posisi terendah dalam masyarakat kita”], ungkap Sanford (dalam Farrington & Robinson, 1999: 176).
            Di samping dilingkupi serba kekurangan berikut kerentanan hidup, terlebih stigma negatif yang mereka terima dari masyarakat, faktual hukum formal yang seyogyanya melindungi kaum gelandangan justru bertindak sebaliknya. Di Kanada misalkan, sekelompok aktivis yang memiliki keprihatinan lebih terhadap nasib anak dan pemuda gelandangan yang tergabung dalam organisasi nonpemerintah Canadian Foundation for Children, Youth and the Law serta Canadian Homelessness Research Network, belakangan menggugat undang-undang cetusan pemerintah setempat, The Ontario Safe Streets Act (SSA) yang beresensikan pada kriminalisasi gelandangan di jalanan kota Ontario. Alasan utama pemerintah setempat mencetuskan undang-undang tersebut adalah untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat luas. Selama ini, gelandangan lekat diasosiasikan dengan berbagai bentuk tindak kriminal, begitu pula, mereka kerap kali dianggap mendistorsi ruang publik, semisal tidur atau meminta-minta di trotoar, taman kota atau toilet umum sehingga dinilai mengganggu kenyamanan bersama. Adapun sanksi yang dikenakan pada gelandangan yang terbukti melanggar aturan layaknya larangan tidur atau meminta-minta di tempat umum adalah penangkapan, kurungan hingga sanksi penjara. Tak hanya itu saja, CCTV sensorik pun turut dipasang di berbagai sudut ruang publik kota Ontario guna membatasi ruang gerak mereka (O’Grady, Gaetz & Buccieri, 2011: 7-11, 21-22).
Di Indonesia sendiri, meskipun telah termaktub jelas dalam konstitusi bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, namun kenyataannya tidaklah demikian. Di Yogyakarta misalkan, kota yang sempat populer dengan julukan “surganya gelandangan”, faktual Satpol PP setempat pun mengakui bahwa bilamana terjadi razia masif besar pada gelandangan, maka serangkaian pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Hendak diapakan mereka?; Siapkah panti sosial menerima mereka?; Siapkah badan keuangan daerah menyantuni dan mengembalikan mereka ke tempat asalnya?; Apakah lapangan pekerjaan sudah disiapkan?; Apakah rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan sanggup menampung mereka? (Priandono, 2010). Kenyataannya, serangkaian pertanyaan di atas belumlah terjawab jua hingga kini.
Disadari atau tidak, ketidaksiapan pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani permasalahan gelandangan di tanah air sekedar memperparah penderitaan kaum papa tersebut. Bagaimana tidak, kerap kali razia yang pemerintah lancarkan pada mereka hanyalah ber-ekses pada pendataan, dan bukannya pemeliharaan berikut perlindungan secara berkelanjutan. Dapatlah ditilik bahwa apa yang dilakukan pemerintah tersebut lebih mengesankan pada tindakan “lepas-tangkap” yang sama sekali tak bernilai guna serta tak menyelesaikan persoalan, melainkan sekedar memunculkan dan melipatgandakan perasaan teror pada gelandangan. Hal tersebut sudah tentu mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan.
Di satu sisi, apabila kita mencermati undang-undang cetusan pemerintah pusat maupun daerah mengenai penanggulangan (baca: pelarangan) gelandangan, maka ditemui bahwa definisi atasnya demikian mendeskriditkan kaum tersebut. Dikatakan bahwa, “Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai mata pencaharian dan tempat tinggal yang tetap, serta mengembara di tempat umum”. Kiranya, perlu digarisbawahi kalimat, “…orang-orang yang hidup dalam keadaaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak…”, persoalannya adalah, apakah kategori yang mereka—gelandangan—pikul disebabkan oleh keinginan atau kesalahannya semata. Apabila kita menilik uraian Revrisond Baswir (2003: 18-19) perihal tiga faktor penyebab kemiskinan, antara lain struktural, kultural ataukah natural, maka kemiskinan di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor struktural, yakni akibat kesalahan kebijakan pemerintah.
Terlepas dari berbagai stigma negatif mengenai kaum gelandangan di atas, argumen berseberangan yang kiranya cukup menarik hadir melalui para aktivis pembela hak-hak gelandangan di Kanada. Menurut mereka, justru para gelandangan lah yang menuai ancaman tindak kriminal berikut ketidaknyamanan yang jauh lebih besar ketimbang masyarakat luas (O’Grady, Gaetz & Buccieri, 2011: 22-23)—mereka yang memiliki tempat tinggal tetap (rumah). Sebagaimana kita ketahui, kehidupan jalanan merupakan kehidupan yang keras di mana hukum rimba berlaku di dalamnya: siapa yang kuat, dia menang. Hal tersebut diperparah dengan ketidakacuhan aparat penegak hukum yang memang telah bersandar pada undang-undang yang bernuansakan kontra kaum gelandangan. Berikut adalah petikan wawancara Larkin (dalam Farrington & Robinson, 1999: 176) dengan salah seorang gelandangan ihwal ancaman tindak kriminal berikut ketidaknyamanan yang dituainya selama hidup di jalanan,

“I hate the attitudes of some people who look down on me as if I am scum. I’ve had beer thrown at me … I woke up one morning and found that someone had pissed on me while I was asleep … But I think what’s worse is the amount of people who completely ignore me, they just walk on by as though I don’t exist.”

[“Aku membenci tingkah laku orang-orang yang melihat ke bawah ke arahku seolah aku ini sampah. Aku pernah dilempar botol bir … Aku pernah bangun di suatu pagi dan mendapati seseorang telah mengencingiku ketika aku tertidur … Tapi kupikir yang terburuk dari semuanya adalah menyaksikan banyaknya orang-orang yang tak menghiraukanku, mereka berjalan begitu saja seolah aku ini tak ada.”]

            Layaknya hal di atas, hanya saja jauh lebih ekstrim, beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2010, terdapat seorang gelandangan di jalanan kota New York yang dibiarkan sekarat bersimbah darah selama hampir dua jam dan akhirnya meregang nyawa. Gelandangan tersebut ditikam pisau berulang kali akibat menolong seorang gadis yang hendak dirampok. Baik sang gadis maupun si perampok melarikan diri kemudian. Mirisnya lagi, CCTV di tempat kejadian menunjukkan puluhan orang melintas dan menyaksikan pemandangan tersebut namun mereka sama sekali tak berbuat apapun, bahkan ada seorang pejalan kaki yang dengan sengaja mengambil gambar gelandangan tersebut melalui kamera ponsel, terdapat pula seorang pejalan kaki yang mengguncang-guncang tubuh gelandangan tersebut, namun pada akhirnya ia pun turut berlalu begitu saja (Hutapea, 2010).  
            Di Indonesia sendiri, tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum gelandangan kerap kita saksikan dalam banyak pemberitaan media cetak maupun elektronik. Umumnya, tindak kekerasan dan kriminalisasi atasnya dilakukan oleh sesamanya, orang lain atau aparat yang berwenang. Kiranya, hampir di setiap pemberitaan media massa mengenai razia gelandangan yang digelar aparat menampilkan berbagai adegan layaknya pengejaran, pemaksaan, pemukulan dan bebagai bentuk adegan kekerasan lainnya.     
            Namun demikian, menilik berbagai stigma negatif berikut pahit-getir kehidupan kaum gelandangan sebagaimana telah diuraikan di atas, satu hal yang kiranya kerap luput dari pandangan kita ialah sisi positif dari kaum papa tersebut berupa keberanian dan ketegaran diri mereka untuk tetap terus menjalani hidup. Apabila mereka menghendaki, seketika itu juga mereka dapat mengakhiri hidupnya (baca: bunuh diri), namun kenyataannya tidaklah demikian. Agaknya, terbersit sebuah tanya pada diri kita: Bagaimana mereka memaknai hidup?.
Di sisi lain, sering kita saksikan banyak individu yang dengan mudahnya mengakhiri hidup sementara taraf kehidupan mereka jauh lebih baik dan lebih mapan ketimbang gelandangan di pinggiran jalan. Aksi bunuh diri yang dilakukan seorang pegawai ditjen pajak beberapa tempo lalu misalnya, ditinjau dari segi kerentanan hidup, gelandangan di pinggiran jalan sudah tentu menghadapi dimensi kerentanan hidup yang jauh lebih besar ketimbang pegawai di atas. Begitu pula, maraknya kasus bunuh diri yang disebabkan oleh persoalan asmara dewasa ini (Pertiwi, 2011). Tegas dan jelasnya, mereka-gelandangan; sekedar hidup untuk hari ini, tanpa masa depan, tanpa akses, tanpa uang, berikut tanpa teman serta sanak-famili di sekelilingnya.



[1] Dalam bahasa Indonesia, kata bilges dapat diartikan dengan: lambung; bagian dasar dari kapal; air kotor yang tergenang di dasar kapal.  

12 komentar:

  1. solusinya mas..???

    BalasHapus
  2. berdasarkan penelitian saya [2013], pemerintah cukup menyediakan rumah singgah buat mereka, tapi bukan rumah singgah seperti yang selama ini kita kenal (terintegrasi dengan rumah penduduk), rumah yang khusus diperuntukkan bagi gelandangan. lebih 'cantik' lagi kalo mereka yg bekerja mengumpulkan rongsok diberi seragam; yang jelas, gelandangan tak perlu dieliminasi dalam kehidupan kita, karena mereka pun berjasa dalam proses daur-ulang komoditas, dan agaknya kita perlu merubah stigma ihwal gelandangan sebagai profesi yang tak terhormat.

    tengs mas anonim.

    BalasHapus
  3. Ternyata seorang gelandangan dapat menampilkan kearifan tertentu dalam kerendahan status sosialnya.

    BalasHapus
  4. uniknya, anggapan kita tentang gelandangan sebagai kelas sosial yang hidupnya menderita tak sepenuhnya benar; dari beberapa gelandangan yg sy wawancara, faktual mereka rela menggadai status sosial untuk memenuhi naluri akan kebebasan

    BalasHapus
  5. Terkadang gelandangan bukanlah status yang berdiri sendiri. Atribut-atribut profesi gelandangan biasanya mengamen, mengemis, dsb. Bila dikategorikan menurut lama tidaknya menggelandang, ada gelandangan permanen, gelandangan musiman dan gelandangan harian. Jadi secara sederhana, ada orang yang menjadi gelandangan karena faktor yang anda sebutkan diatas, ada pula yang menjadi gelandangan sebagai status penghantar profesi jalanan. Dengan kata lain tidak ada orang yang menjadi gelandangan untuk menjadi gelandangan itu sendiri  (Itupun ada pengecualian sih, kayak sidharta gautama).

    Men-generalisasikan gelandangan sebagai pelaku kriminal jalanan sepertinya terlalu prematur, karena komposisi para "penghuni" jalanan tidak hanya gelandangan semata. Namun yang paling menyebalkan bagi saya adalah pandangan para penganut teori fungsionalisme yang menyiratkan bahwa gelandangan, kaum marjinal, orang pinggiran, dsb ada dan akan tetap ada, karena memiliki 'fungsi' di dalam komposisi masyarakat yaitu sebagai "kotoran masyarakat". Tak jauh beda dengan mensubtitusikan 'takdir' dengan 'fungsi'. Seolah-olah mereka harus tetap ada karena takdir menyatakan demikian.  Apalagi dengan adanya perda yang berisi larangan memberikan sedekah pada gelandangan, maka berkurang lagi angin segar yang bisa dihirup gelandangan. Pemerintah nggak ada yg ngurusin, rakyat dilarang peduli, dianak-haramkan oleh hukum positif yang konon katanya memerintahkan agar setiap orang sama di depan hukum.

    Kalau solusi praktisnya kan sudah anda sebutkan. Solusi idealnya implementasikan keadilan sosial (sila ke-5), bukan keadilan individual. Tapi susah juga sih. Negara kita udah kepalang alergi sama yang namanya sosialisme.

    BalasHapus
  6. mantaf sekali mr/mrs anonim; tulisan di atas sekedar bagian kecil dari 130-an halaman laporan hasil penelitian saya tentang gelandangan. saya sendiri menolak istilah 'gepeng', saya berfokus pada gelandangan An-Sich. beberapa kriteria yg sy gunakan untuk subyek gelandangan adalah; tinggal di jalan selama lebih dari dua tahun, bersifat de facto [ketika ditemui berada di jalan] maka dari itu subyek ini saya treasure ketika malam, karena sekarang banyak yg jadi profesi seperti yg Anda katakan, klo udah larut ganti baju n pulang ke rumah; tidak memiliki pekerjaan tetap--tegas dan jelasnya bukan gelandangan pengamen dan gelandangan pengemis, gelandangan pemulung masuk dalam kriteria. kalo Anda berminat dengan penelitian ini silakan setor alamat email, sy meneliti gelandangan dalam perspektif fenomenologi eksistensial; salah satu hal unik yg saya temukan adalah, para gelandangan ini lebih rela menggadai status sosialnya untuk mengikuti nalurinya akan kebebasan, praktis menggugurkan argumen para strukturalis...

    Tengs :)

    BalasHapus
  7. Mas Wahyu, mau dong mas baca hasil penelitiannya, kokopandaz@gmail.com,

    makasih mas

    BalasHapus
  8. Sepertinya gelandangan versi penelitian anda mirip kaum hippies: Menggelandang bukan karena keterpaksaan, melainkan pilihan pribadi yang otonom. Hehe.
    Bagaimana menurut anda dengan fenomena orang gila yang menggelandang karena tidak ketampung RSJ ?

    Kalau boleh nanya, kenapa ya waktu eksistensialisme sartre booming banyak gelandangan yang mengaku dirinya eksistensialis, padahal dikatakan bahwa eksistensialisme adalah filsafatnya kaum borjuis? Apakah karena mereka anti-glamoritas, anti-kemapanan, dan anti-kenyamanan? Ataukah karena sikap mengeliminasikan dan mengalineasikan diri dari masyarakat?

    Law_fighter@yahoo.com

    BalasHapus
  9. haha, pada awalnya tujuan penelitian ini sekedar ingin melakukan investigasi kesadaran/kognitif gelandangan terhadap orang2 yang ditemui di jalanan, bagaimana pengalaman mereka berhadapan dengan tatapan mata sinis, merendahkan, dsj; lalu bagaimana mereka menilai diri mereka berdasarkan stimulus yg diperolehnya dari orang2 yg mengobyekkannya, pun bagaimana mereka menilai balik orang2 itu lewat pemaknaan dan manipulasinya. fortunetly, secara tak terduga subyek2 saya ini ternyata juga punya rumah (ada yg bisa numpang di rumah keluarganya klo mau), tapi mereka mengurungkan itu, ini realitas sosial yg jelas menjadi tantangan bagi strukturalisme, hehe

    itulah, nyatanya eksistensialisme bisa mengakomodasi scope kelas-kelas sosial yg lebih luas, tak seperti semisal marxisme yg berfokus pada proletar saja. gelandangan menjadi eksistensialis karena rasa malu yg dideranya; rasa malu ini menunjukkan keintiman hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. itulah kenapa kata sartre, untuk menjadi eksistensialis sangatlah mudah: cukup anda merasa malu. poin kedua, tentunya karena dimensi alienasi yg dirasakannya, mereka serasa terlempar begitu saja di dunia, mau tak mau, mereka mengada dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, hehe

    BalasHapus
  10. Terima kasih mas atas share ilmunya, yang menjadi permasalahan saat ini ketika mempertanyakan kehadiran program pemerintah bagi para gelandangan adalah ketersediaan akses mereka untuk memperoleh dokumen-dokumen kependudukan. Rata-rata dari para gelandangan ini tidak tinggal menetap disuatu daerah, bisa jadi hari ini ada di Kota A minggu depan sudah di Kota B. Hal ini yang menyebabkan intervensi program yang ada saat ini sulit untuk memasukan mereka.

    Apabila diperbolehkan bisakah saya memperoleh laporan penelitian Mas Wahyu sepertinya akan menjadi bahan diskusi yang menarik. Berikut alamat email saya radit.wahyu01@gmail.com


    Terima kasih Mas

    BalasHapus
  11. memang, jika ditelisik lebih dalam, kategorisasi gelandangan sesungguhnya sangat beragam. subyek-subyek gelandangan yang saya teliti misalnya, sebagian besar mereka memiliki rumah, hanya saja karena ada beberapa persoalan--terutama problem keluarga--mereka lebih memilih hidup mengembara di jalan.
    pun, ada gelandangan yang betul-betul mengembara dan tak mungkin kembali ke tempat yang sama, tapi ada juga mereka yang tiap malam/beberapa malam selalu kembali ke tempat yang sama.
    oke segera saya kirim, cuma jangan kaget, penelitian sy tentang gelandangan lebih menyoroti aspek kognitif mereka [eksistensial], bukan pada problem struktural-nya.

    BalasHapus
  12. roziqie@gmail.com
    saya juga ingin baca hasil penelitiannya pak wahyu..

    BalasHapus