Jangan
remehkan kata “tidak” sekecil-kecilnya, bahkan lewat gestur sekalipun. Ketika Anda
memilih, Anda memilih untuk banyak orang, hanya saja; sering kali Anda tak
menyadarinya…
TAUBATNYA BANDIT EKONOMI*
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
“Indonesia akan menjadi korban pertama saya…” [John
Perkins]
Itu, si Perkins telah lama berprofesi sebagai makelar
yang menghubungkan negara-negara dunia ketiga dengan negara maju. Profesinya
memang unik, jarang; kerap dijuluk sebagai “bandit ekonomi”. Tugasnya membuat
laporan semu pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, bolehlah dikata; dia
tulis pertumbuhan ekonomi 8% Indonesia era Soeharto pakai mata tertutup. Tugas
penting Perkins lainnya adalah membuat dan menawarkan proposal bantuan ekonomi pada para
petinggi negara dunia ketiga, proposal ini, kalau boleh dikata secara gamblang,
adalah “jebakan hutang”. Maka dari itu, para bandit bungah nian kalau-kalau
negara dunia ketiga kena bencana atau musibah. Bagi mereka, itu celah yang teramat lunak tuk memasukkan proposal hutang. Tak jarang pula, bandit-bandit
ekonomi layaknya Perkins bermain dalam perdagangan senjata, pun ekspor-impor
komoditas pangan.
Eits, jangan samakan bandit ekonomi dengan bandit
sosial. Keduanya sama-sama pakai kata “bandit”, tapi beda di hati dan tindak-tanduk.
Kalau You baca kajian Eric J. Hobsbawm
tentang Social Bandit, itu mirip-mirip
Robin Hood; merampok harta orang-orang kaya tuk dibagikan pada mereka yang
membutuhkan, baik proletar maupun lumpen-proletariat. Jadi please, jangan samakan bandit ekonomi dengan bandit sosial; bandit
sosial adalah para rompak dan begal terhormat.
SUATU KALI, saat berada di Mami Kota, Perkins berjalan-jalan—on foot—melihat sikon sekitar hotel
berbintang tempatnya menginap, waktu itu udara Jakarta belum seakut sekarang. Tak
jauh dari tempatnya melangkah, di samping kiri jalan, tampak terpal lusuh dan telah
sobek di banyak bagian sengaja dibangun menyerupai tempat berteduh—jauh dari
bentuk gubuk. Perkins terusik melihat ihwal
di dalamnya. Ia melangkah mendekat, terus, dan terus; dan … didapatinya seorang
wanita tua berambut putih kusut mengenakan pakaian compang-camping tengah
bernaung.
Terganggu oleh ketubuhan Perkins yang hadir, wanita
tua itu melancarkan tatapan garang, seakan kuat menolak menjadi “obyek tontonan” pria bule. Perkins ajeg mematung,
diamatinya terus wanita tua itu sambil dipikirnya sesuatu; sesuatu, sesuatu... Tak
dinyana, sekonyong-konyong, wanita tua
itu meludah ke arahnya; barulah Perkins terhenyak dan pergi menjauhinya.
Perkins sadar, getirnya kehidupan wanita
tua-gelandangan itu, juga tak terhitungnya jumlah gembel-gelandangan di
Indonesia, tak lepas dari ulahnya; profesinya sebagai bandit ekonomi. Bertopengkan
pembangunan-isme, trickle down effect,
dan berbagai jargon sakral neolib lainnya; bangsa wanita tua itu digiring memasuki jurang indeks
gini yang kian curam.
Perkins insyaf, akibat liur-ludah wanita tua itu.
Sementara, si wanita tua sama sekali tak tahu-menahu,
jika liur-ludahnya yang tak seberapa itu, menyadarkan bandit ekonomi pembawa
sengsara ratusan juta rakyat Indonesia.
Hanya karena ludah.
Cuma ludah.
Ludah.
Ludah.
-----
*Tulisan ini didedikasikan spesial untuk Dr. Dwi
Condro, ekonom STEI-Hamfara, Yogyakarta.
Bacaan;
Baswir,
Revrisond, 2003, Pembangunan tanpa
Perasaan, ELSAM.
Perkins,
John, 2007, Pengakuan Bandit Ekonomi,
Ufuk Press.
Slatta,
Richard W., 2004, Eric J. Hobsbawm’s Social Bandit: A Critique & Revision, A Contracorriente: Journal on Social History
and Literature in Latin America, 2004, pp. 22-30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar