Menuju
Era “Posthuman”
Telaah Singkat Pemikiran Robert Pepperell
tentang Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi
Wahyu Budi Nugroho
“Para ‘posthuman’
telah mengatasi batasan-batasan biologis, neurologis,
dan
psikologis yang ada pada diri manusia (‘human’)”
[Pepperell, 2009: 300]
Posthuman ‘pascamanusia’.
Inilah era yang tengah kita hadapi bersama menurut Robert Pepperell. Argumen Pepperell
cukup sederhana, kini teknologi tak lagi dapat ditempatkan di bawah manusia;
teknologi sejajar dengan manusia, bahkan melampauinya. Secara ringkas,
Pepperell hendak mengatakan bahwa kini, tanpa teknologi manusia bukanlah
apa-apa. Ia mengambil misal para pengidap lemah jantung yang menanamkan alat pacu
di tubuhnya. Baginya, mereka tak lagi menjadi manusia murni, melainkan
melampauinya; manusia setengah robot, bahkan cyborg!. Pepperell menggunakan istilah “prostetik” bagi fenomena-fenomena
semacam ini. Beberapa misal lainnya seperti temuan Dr. William Dobelle yang menawarkan
penglihatan parsial bagi para penderita tunanetra lewat rangkaian elektroda
yang ditanam ke otak dan terhubung pada kamera video mini. Begitu pula Prof.
Kevin Warwick dengan chip cerdasnya
yang mampu mengartikulasikan aktivitas otak untuk menggerakkan bagian-bagian
tubuh manusia. Kesemua hal tersebut agaknya menegaskan kian tipisnya batasan
antara yang organik dengan yang mekanik.
Memang, tampak jika Pepperell berpijak di atas konsep
kemanusiaan Hobbes yang sekedar mengandaikan manusia sebagai mesin, sedang
perasaan yang bergolak di dalamnya tak ubahnya reaksi kimia semata. Pandangan manusia-mekanik
Pepperell kian terkukuhkan manakala dirinya mengutip berbagai pernyataan Dawkins
guna menjelaskan eksistensi manusia sebagai “mesin organik”. Berangkat dari penyamaan
ini, Pepperell beranjak lebih jauh pada kelebihan mesin anorganik ketimbang mesin organik. Dalam pengamatannya,
tak menutup kemungkinan jika kelak manusia-manusia cyborg bakal menggantikan keberadaan manusia-manusia organik, dan
ini sarat dilihat dari sudut kemajuan evolusi manusia—bahwa dunia cyborg itulah yang saat ini tengah kita
tuju. Dengan demikian, “pascamanusia” pun dapat didaulat sebagai proses
penggerusan mesin-mesin organik yang dinilai rentan dan sulit di-regenerasi
untuk kemudian beralih pada mesin-mesin anorganik yang kuat, mudah diciptakan,
dan selalu berada dalam pengawasan (kontrol) tanpa meninggalkan dimensi
organiknya. Tegas dan jelasnya, manusia-manusia posthuman didaulat sebagai pribadi-pribadi dengan kemampuan fisik,
intelektual, dan psikologis yang belum pernah ada sebelumnya.
Satu kajian menarik Pepperell yang tak patut
dilewatkan adalah ulasannya mengenai “kreativitas yang diotomatiskan”. Istilah tersebut
dicetuskan guna mengkaji ekspansi instrumen-instrumen teknologi (pos)modern
dalam ranah seni. Secara konkret, ini dimisalkan dengan penggunaan beragam
aplikasi komputer seperti adobe photoshop,
picasa, paint, office manager, dan
lain sejenisnya guna mencipta karya seni. Hadirnya aplikasi tersebut tanpa
disadari menggeser pengertian awal “kreativitas”. Kreativitas, yang mulanya
berasal dari kreasi langsung manusia—tangan manusia—kini menjadi ihwal yang tak
langsung dan penuh dengan simulasi (rekayasa) nonmanusia. Pepperell mengakui hal
ini sebagai kemunduran estetika dan spontanitas artistik, meski ia
menggunakan bahasa yang “berat” dan berkelit dengan pembelaan bahwa teknologi
semacam ini mampu memanifestasikan imajinasi manusia sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya, posthuman
mendaulat kematian humanisme. Dengan kata lain, ia adalah akhir dari humanisme;
akhir dari kepercayaan bahwa segala sesuatunya berpusat pada manusia
(antroposentrisme). Posthuman mengkebiri
aroganisme dan kesombongan manusia yang percaya akan kemampuannya menaklukkan
jagat semesta; keyakinan yang lambat-laun bakal terkikis seiring keinsyafan
bahwa mesin-mesin anorganik telah melampauinya.
Mann, oh Mann…!
Trima kasih atas ulasannya Pak, sangat membantu. Kebetulan sedang cari topik ini.
BalasHapus