Minggu, 15 Juni 2014

Fetis’m Potret Si Jalang Anwar

Fetis’m Potret Si Jalang Anwar


Wahyu Budi Nugroho

“Benda-benda memiliki ruh. Benda-benda sangatlah manusiawi,
karena ia berada di dunia manusia…”
[Dichter]

ADA satu hal yang sering luput dari perhatian kita ketika menyaksikan potret Chairil Anwar di atas. Umum, kita sekedar tertuju pada si Anwar an-Sich; inilah yang dinamakan “sentris-m” dalam cultural studies. Hari-hari kemarin, saat pembacaan ulang atas karya-karya Anwar kulakukan, satu hal membuatku terhenyak sekaligus melapis kesadaran baru; bukan karena sajak-sajaknya yang “merah”, tetapi potret Anwar yang mangapit apik sebatang rokok!

Kita tak sadar, benda [baca: rokok] itu akan terus lekat pada potret legendaris si Anwar, sampai kapanpun, hingga akhir zaman. Itulah potret Anwar yang bakal s’lalu kita kenang. Aku merenung, tidakkah orang-orang berpikir sama sepertiku, tentu bagi mereka yang memperhatikan sebatang rokok itu; Kemanakah ia sekarang? Setelah habis dan mungkin diinjak-matikan si Anwar? Jika ia tinggal sesenti, jadi apakah ia sekarang? Tidakkah tersisa sedikit pun? Terurai jadi apa?. Satu hal yang pasti: takkan dijumpa lagi benda yang telah kita buang dan menjadi sampah.

Ini bukan berarti kita terjebak pada pendewaan benda. Fetisme yang kumaksud di sini bukan itu, alih-alih mengkajinya dalam kerangka social deviants. Memang, sedikit-banyak kupinjam dari Marx, tapi hanya sampai the metaphysics of things, bahwa setiap benda memiliki kualitas metafisik tersendiri. Kualitas metafisik ini menyebabkan suatu benda tak hanya menjadi suatu benda, melainkan lebih dari itu; ada ihwal yang tertanam padanya dan membuatnya serasa spesial. Dalam bahasa Buber, relasi I-Thou ‘Aku-Engkau’. Lazimnya, relasi antara manusia dengan benda menemui bentuknya sebagai I-It ‘Aku-Itu’, sedang relasi antarmanusia sebagai I-Thou, namun tak jarang kedua bentuk relasi ini tertukar satu sama lain. Seorang yang begitu menyayangi gadget-nya misalkan, menunjukkan jalinan relasi I-Thou. Seperti itulah kutempatkan rokok si Anwar, bukan sebagai “It”, tetapi “Thou”; ia tak lagi jadi sebuah benda, ia memiliki ruh sebagaimana Anwar: Ia manusia lain di potret itu!

antisentris
Rokok yang diapit Anwar memendam suatu kualitas tak terbahasakan yang menopang eksistensinya—Anwar. Kini, rahasia begitu-mantap dan berpengaruhnya potret itu terungkap. Ini bukan hanya soal rokok sebagai identitas pemikir atau seniman hingga dekade 1970-an seperti kita lihat pada potret Sartre, Barthes, atau Lacan; tetapi pemanifestasi diri Anwar sebenarnya. Dikata Damono dalam Chairil Anwar Kita; Anwar memang benar-benar binatang jalang, ke-jalangan-nya menjadi simbol ke-seniman-an Indonesia!. Ia tak punya kerja tetap, gemar keluyuran, jorok, selalu kurang uang, penyakitan, pun menjengkelkan tingkah polahnya. Anwar tak minat mengurus diri, mengurus jasmaninya.

Kesemua itu, terangkum dalam sebatang rokok yang disedotnya. Anwar punya banyak waktu senggang dan suka keluyuran sambil menghisap rokok, ia menabur abu dimana-mana, menjadikan semua tempat asbak, kotor dan jorok. Tak peduli pula ia kalau kepul asapnya mengganggu orang-orang sekitar, peduli setan! Pribadi individualis dan karakter eksistensialisnya betul-betul tercermin lewat situ, tak heran, banyak sajaknya tak lulus-muat karena menyalahi semangat zaman—kala itu bumi pertiwi butuh semangat solidaritas sosial. Sebagai pelengkap keranjingannya merokok, juga begadang; Anwar suka batuk-batuk, dan memang, ia mengidap TBC; ia manusia penyakitan. Satu lagi, Anwar tak suka pakpung, aroma tubuhnya apek rokok. Rokok dalam potret itu bak ruhnya yang menjelma keluar dan menampakkan diri Anwar sebenarnya: Anwar benar-benar jalang, binatang jalang!

Pertanyaannya, bagaimana serangkai analisis (baca: tafsir) di atas menjadi mungkin?

Well, mungkin beberapa pihak menyangka analisis ini berada di tataran semiotik. Namun, bukan itu yang kumau dan kumaksud. Lebih suka kukatakan, ini terangkai dalam ruang hibrid-Bakhtin. Ya! Ruang ketiga, ruang silang dimana kita tak pernah benar-benar lepas dari masa lalu; ada keterikatan antara kini dan masa silam, juga budaya dan artefak yang menyertainya. Aku tak mungkin mempersoalkan rokok yang diapit Anwar jika tak tahu benda itu adalah rokok. Aku tak mungkin menulis tentang Anwar jika tak ngeh serba-serbi mengenainya. Dikarena Anwar t’lah terjebak dalam linearitas waktu bersamaku, plus kita berdiri di tanah yang sama; dan meskipun ia t’lah berpulang, aku tak pernah betul-betul kehilangan jejaknya. Rentang tidur antardirinya dan diriku mencipta ruang ketiga, ruang silang tempat aku mencangkokkan diri ke semestanya, dalam semesta itulah tulisan ini menjadi mungkin.

_______

Betul kau, War. Hidup cuma tunda kekalahan.
Kalah dari usia benda-benda yang melampaui kita,
kalah dari kehidupan tulisan-tulisan kita.
Verba volant, scripta manent
‘yang terucap bakal musnah, yang tertulis bakal abadi’…


*****
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar