Fetis’m
Potret Si Jalang Anwar
Wahyu Budi Nugroho
“Benda-benda
memiliki ruh. Benda-benda sangatlah manusiawi,
karena ia
berada di dunia manusia…”
[Dichter]
ADA satu hal yang sering luput dari perhatian kita
ketika menyaksikan potret Chairil Anwar di atas. Umum, kita sekedar
tertuju pada si Anwar an-Sich; inilah
yang dinamakan “sentris-m” dalam cultural
studies. Hari-hari kemarin, saat pembacaan ulang atas karya-karya Anwar kulakukan,
satu hal membuatku terhenyak sekaligus melapis kesadaran baru; bukan karena
sajak-sajaknya yang “merah”, tetapi potret Anwar yang mangapit apik sebatang
rokok!
Kita tak sadar, benda [baca: rokok] itu akan terus
lekat pada potret legendaris si Anwar, sampai kapanpun, hingga akhir zaman. Itulah
potret Anwar yang bakal s’lalu kita kenang. Aku merenung, tidakkah orang-orang berpikir
sama sepertiku, tentu bagi mereka yang memperhatikan sebatang rokok itu; Kemanakah
ia sekarang? Setelah habis dan mungkin diinjak-matikan si Anwar? Jika ia
tinggal sesenti, jadi apakah ia sekarang? Tidakkah tersisa sedikit pun? Terurai jadi apa?. Satu hal yang pasti: takkan dijumpa lagi benda yang telah kita buang dan menjadi sampah.
Ini bukan berarti kita terjebak pada pendewaan benda.
Fetisme yang kumaksud di sini bukan itu, alih-alih mengkajinya dalam kerangka social deviants. Memang, sedikit-banyak
kupinjam dari Marx, tapi hanya sampai the
metaphysics of things, bahwa setiap benda memiliki kualitas metafisik
tersendiri. Kualitas metafisik ini menyebabkan suatu benda tak hanya menjadi
suatu benda, melainkan lebih dari itu; ada ihwal yang tertanam padanya dan
membuatnya serasa spesial. Dalam bahasa Buber, relasi I-Thou ‘Aku-Engkau’. Lazimnya, relasi antara manusia dengan benda
menemui bentuknya sebagai I-It
‘Aku-Itu’, sedang relasi antarmanusia sebagai I-Thou, namun tak jarang kedua bentuk relasi ini tertukar satu sama
lain. Seorang yang begitu menyayangi gadget-nya
misalkan, menunjukkan jalinan relasi I-Thou.
Seperti itulah kutempatkan rokok si Anwar, bukan sebagai “It”, tetapi “Thou”; ia
tak lagi jadi sebuah benda, ia memiliki ruh sebagaimana Anwar: Ia manusia lain di
potret itu!
antisentris |
Rokok yang diapit Anwar memendam suatu kualitas tak
terbahasakan yang menopang eksistensinya—Anwar. Kini, rahasia begitu-mantap dan
berpengaruhnya potret itu terungkap. Ini bukan hanya soal rokok sebagai
identitas pemikir atau seniman hingga dekade 1970-an seperti kita lihat pada
potret Sartre, Barthes, atau Lacan; tetapi pemanifestasi diri Anwar sebenarnya.
Dikata Damono dalam Chairil Anwar Kita;
Anwar memang benar-benar binatang jalang, ke-jalangan-nya menjadi simbol ke-seniman-an
Indonesia!. Ia tak punya kerja tetap, gemar keluyuran, jorok, selalu kurang
uang, penyakitan, pun menjengkelkan tingkah polahnya. Anwar
tak minat mengurus diri, mengurus jasmaninya.
Kesemua itu, terangkum dalam sebatang rokok yang
disedotnya. Anwar punya banyak waktu senggang dan suka keluyuran sambil
menghisap rokok, ia menabur abu dimana-mana, menjadikan semua tempat asbak, kotor
dan jorok. Tak peduli pula ia kalau kepul asapnya mengganggu orang-orang sekitar, peduli setan! Pribadi individualis dan karakter eksistensialisnya
betul-betul tercermin lewat situ, tak heran, banyak sajaknya tak lulus-muat karena
menyalahi semangat zaman—kala itu bumi pertiwi butuh semangat
solidaritas sosial. Sebagai pelengkap keranjingannya merokok, juga begadang;
Anwar suka batuk-batuk, dan memang, ia mengidap TBC; ia manusia penyakitan. Satu
lagi, Anwar tak suka pakpung, aroma
tubuhnya apek rokok. Rokok dalam potret itu bak ruhnya yang menjelma keluar dan menampakkan diri Anwar sebenarnya: Anwar benar-benar jalang, binatang jalang!
Pertanyaannya, bagaimana serangkai analisis (baca:
tafsir) di atas menjadi mungkin?
Well, mungkin
beberapa pihak menyangka analisis ini berada di tataran semiotik. Namun, bukan
itu yang kumau dan kumaksud. Lebih suka kukatakan, ini terangkai dalam ruang
hibrid-Bakhtin. Ya! Ruang ketiga, ruang silang dimana kita tak pernah
benar-benar lepas dari masa lalu; ada keterikatan antara kini dan masa silam, juga
budaya dan artefak yang menyertainya. Aku tak mungkin mempersoalkan rokok yang
diapit Anwar jika tak tahu benda itu adalah rokok. Aku tak mungkin menulis
tentang Anwar jika tak ngeh
serba-serbi mengenainya. Dikarena Anwar t’lah terjebak dalam linearitas waktu
bersamaku, plus kita berdiri di tanah
yang sama; dan meskipun ia t’lah berpulang, aku tak pernah betul-betul
kehilangan jejaknya. Rentang tidur antardirinya dan diriku mencipta ruang ketiga, ruang
silang tempat aku mencangkokkan diri ke semestanya, dalam semesta itulah
tulisan ini menjadi mungkin.
_______
Betul
kau, War. Hidup cuma tunda kekalahan.
Kalah
dari usia benda-benda yang melampaui kita,
kalah
dari kehidupan tulisan-tulisan kita.
Verba volant, scripta manent
‘yang
terucap bakal musnah, yang tertulis bakal abadi’…
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar