Obyek, Kecabulan dan Godaan
Telaah Ekstasi Komunikasi
Wahyu Budi Nugroho
Kecabulan: Menggoda dan
Mengusik
Kecabulan tak lagi sekedar menyoal hal-hal berbau pornografi ataupun
pornoaksi yang disajikan secara implisit: di mana ada godaan, di situ ada
kecabulan. Dalam konteks pornografi, nuansa cabul kental terasa kala kita
terusik oleh visualisasi-visualisasi seksual yang bersifat “semi”; kita diajak
menerawang dan mengetahui dimensi-dimensi visual yang disembunyikan, meskipun
pada akhirnya kita takkan pernah benar-benar tahu seluruhnya. Tegas dan jelasnya, kecabulan
selalu menggoda dan mengusik.
“Godaan justru datang dari tanda-tanda yang kosong, samar, mentok,
ngawur, dan kebetulan belaka; yang menggelincir dengan lancar sehingga mengubah
indeks pembiasan ruang.”
[Baudrillard, 2006: 51]
Kini, hampir segala sesuatunya tersaji secara gamblang, akses-akses luas
nan tak terbatas pada saluran-saluran pornografi vulgar membuat kita terbiasa
dengan tubuh-tubuh bugil, kemaluan sesama ataupun lawan jenis, juga
adegan-adegan senonoh. Berbagai hal tersebut, dengan sendirinya mereduksi kecabulan.
Segala sesuatunya telah tampak, tak ada lagi yang menarik! Lalu, apa yang
tertinggal? Kemuakan dan ke-fatal-an. Fatal, karena “godaan” telah hilang,
sedang kesenangan hanya dapat diperoleh melalui godaan. Ini seperti sifat dasar
manusia yang selalu tertarik pada teka-teki tuk dipecahkan. Jika misteri telah
hilang, lalu apalagi yang dapat dipecahkan?
“Ketika seseorang telah tertipu secara visual, maka ia akan mencari
kesenangan dengan menduga-duga, meskipun sesungguhnya tak ada tipuan untuk
membodohi … Kesenangan tidak lain adalah nafsu dingin untuk melihat, sementara
tidak ada obyek untuk dilihat; nafsu dingin untuk memandang, sementara tidak
ada citra untuk dipandang.”
[Baudrillard, 2006: 21 & 23]
Hal serupa termisal apik dalam novel Soren Kierkegaard, The Diary of A Seducer, di mana seorang
gadis muda nan ranum merupakan kekuatan penuh teka-teki, dan proses godaan
merupakan pemecahan yang juga penuh teka-teki atas kerahasiaannya yang sulit
terbongkar. Namun, apakah yang sebetulnya menjadi kunci kerahasiaan gadis muda
itu? Jawabnya mudah: “seks”. Sekali si pria yang terusik oleh teka-tekinya
berhasil melakukan hubungan seks dengannya, maka tersibaklah segala rahasia
gadis muda nan ranum itu; tak ada lagi yang menarik darinya: “Oh, begini rasanya”.
Ketiadaan teka-teki yang sekaligus menandai pemberangusan daya kreativitas
manusia guna menyibak dimensi-dimensi tersembunyi pada gilirannya berbuah pada
“perkosaan”. Kita dipaksa untuk tahu: “Oh,
‘punyanya’ seperti itu”; “Oh, seperti
ini”, demikian seterusnya. Implikasi ikutan yang ditimbulkannya jelas:
manusia tak lagi menjadi aktor, melainkan terminal tempat masifnya arus
informasi yang singgah dan pergi begitu saja, manusia pun menjadi pasif—akibat
korban perkosaan. Akan menjadi lebih bijak dan berdayaguna jika kecabulan
selamanya tetap menjadi kecabulan, teka-teki ajeg menjadi teka-teki; dengan begitu, kesenangan akan selalu ada, upaya-upaya
kemanusiaan bakal terus eksis membarenginya.
Perkosaan Media; Ekstasi Informasi
Sebuah tembok bertuliskan grafiti tentang nama seseorang dan tempat
asalnya. Secara bersamaan, orang itu sesungguhnya tak memiliki sesuatu pun untuk
dikatakan, yang terparah adalah bagi mereka yang melihatnya (baca: membacanya),
tulisan itu sama sekali tak berdayaguna bagi mereka—sampah visual. Tulisan
grafiti itu porno karena dipaksakan, meski mengandung kecabulan ganda; cabul
bagi si pembuat karena ia sendiri menerka-nerka motif dari tulisan yang dibuatnya,
dan cabul bagi pembacanya karena membuat mereka menerka maksud penulisnya—karena
tak berguna bagi mereka.
TV telah menampilkan segala sesuatunya pada kita, baik hal-hal yang kita
butuhkan maupun tidak. Sialnya, ia melakukannya secara berulang tanpa kenal
lelah. Misal termudah dapat kita temukan pada beberapa stasiun televisi swasta
tanah air yang menampilkan hasil hitung cepat pilpres beberapa tempo lalu. Quick count yang ditampilkannya aneh,
janggal; di mana jumlah prosentase perolehan suara masing-masing
capres-cawapres melampaui 100%, hil yang mustahal bagi mekanisme survei. Namun,
TV tersebut terus saja menampilkannya, oleh karenanya, kita dapat mengatainya
porno! Meski si Mpu-nya melihat itu sebagai kesenangan karena kecabulan
tindakannya, yakni motifnya tuk menggoda, mempengaruhi, dan kemudian mengetahui
respon penontonnya yang masih samar. Singkat kata, ia alpa jika tengah
memperkosa banyak orang.
Gambar Porno |
Lalu, bagaimana dengan audiens yang langsung terkena imbasnya? Sayangnya,
kecabulan dan godaan memang tak dapat dihindari. Segera setelah kita berlari
dari satu kecabulan, kita bakal menjumpa kecabulan-kecabulan lainnya; semisal
Anda berniat memindah channel TV. Mari
kita berfokus pada mereka yang bahkan untuk menghindar pun tak bisa, alih-alih
berlari—menggandrungi suatu acara TV mungkin sehingga tampilan quick count yang menggelikan tak
terhindarkan. Agaknya, kita memang kadung bergantung akut pada TV; untuk
berbuka puasa, kita lebih mempercayai TV; begitu pula guna merasakan atmosfer
ramadhan, natal, atau tahun baru; kita sangat bergantung pada TV! Inilah
ekstasi yang sesungguhnya, momen ketika segala sesuatunya terpusat pada satu
spot; mirip kerja seluruh anggota tubuh kita yang terpusat pada otak.
“Ekstasi adalah kondisi di mana seluruh fungsi diciutkan dalam satu
dimensi… Seluruh peristiwa, ruang, dan ingatan dimampatkan dalam dimensi
tunggal informasi, dan inilah kecabulan.”
[Baudrillard, 2006: 14]
Jika segala sesuatunya telah terpusat sedemikian rupa pada satu hal,
maka lagi-lagi kita akan menemui ke-fatal-an. Fatal, karena jika ia tak
berfungsi sebagaimana mestinya, lumpuhlah semua yang dikontrolnya; tak ada lagi
yang tersisa. Ekstasi sebagai biang seluruh persoalan ini, menyuntikkan teror
demi teror yang tak disadari, ia memaksa kita larut dalam dunia serba transparan,
dan sembari kita diperlakukan sebagai pengidap schizophrenia yang tercerabut
dari dunia nyata, kita menjadi lengah jikalau mimpi yang tengah kita alami mendadak
usai. Ini bagaikan epifani yang tiba-tiba menyerua dan mengungkap semua yang
dirahasiakannya selama ini. Jika sudah demikian, maka kematian mendadaklah yang
terjadi kemudian.
Obyek-obyek Cabul; Ekstasi
Sosial
Obyek-obyek cabul tak lagi menjadi monopoli obyek-obyek hidup layaknya Julia
Perez, Dewi Persik, ataupun Roro Fitria; melainkan pula pada benda-benda mati
tak bernyawa. Masukilah sebuah pusat perbelanjaan, dan kecabulan bakal segera
ditemui dimana-mana. Obyek-obyek ini, meskipun tak bernyawa, tetapi mampu
berkomunikasi dengan kita. Mereka menggoda kita untuk mencicipi, atau lebih
jauh, memiliki. Bagaimana itu menjadi mungkin? Kita sarat mengesampingkan
dimensi produksi sebagai esensi lahirnya sebuah komoditas; bagaimana jika bukan
produksi, tetapi justru “godaan” yang melatarbelakangi lahirnya komoditas. Jika
hadirnya sebuah komoditas memiliki tujuan—dalam hal ini untuk menggoda—maka ia
pun sarat memiliki takdir (goal),
yakni untuk dikonsumsi!
Roro Fitria |
Cara obyek berkomunikasi dengan kita ialah melalui makna-makna yang
tersemat padanya. Uniknya, makna obyek bernegasi dengan makna kemanusiaan.
Apabila makna kemanusiaan selalu bersifat esensial, abstrak, serta “di dalam”,
makna obyek justru bersifat eksistensial, menjadi konkret, dan “di luar”. Makna
pada obyek kemudian menjadi sesuatu yang hanya tereduksi pada tampilan luar,
dengan premis: sekedar yang terlihatlah yang bernilai bagi kita. Hal ini tak
lain disebabkan oleh strategi godaan.
“Inti strategi godaan adalah membawa segala hal pada keadaan murni
tampilan luar, membuat mereka menyebar dan jemu dalam permainan ‘petak-umpet’
tampilan-tampilan luar … karena segala sesuatu telah terperangkap dalam
kerangkeng makna, ke dasar tempat makna-makna harus ditambang, dan kemudian
ditampilkan ulang dalam tatanan apa-apa yang terlihat. Akibatnya, rahasia
kehilangan artinya dan hanya yang terlihatlah yang kemudian menjadi bernilai
bagi kita.”
[Baudrillard, 2006: 54]
Spectacle society ‘masyarakat tontonan’. Itulah kondisi sosial kita kala tampilan makna
luar mengepung di sana-sini. Apa yang menjadi lebih penting adalah tampilan
luar; yang buruk terlihat cantik, dan yang cantik tampak lebih cantik.
Masyarakat tontonan bekerja dengan prinsip “peniruan atas peniruan” sehingga kemurnian
tak lagi tampak, tertutup oleh lapis demi lapis simulasi (rekayasa) yang tak
terhingga. Dengan demikian, apa yang dihasilkan kemudian adalah “kelebihan atas
kelebihan”, sebentuk hiperrealitas: ihwal yang melampaui kenyataan. Lambat-laun,
masyarakat tontonan akan menuju pada sikon “masyarakat seremonial”; masyarakat
yang ajeg merayakan sesuatu namun tak
paham ihwal yang dirayakannya. Perayaan-perayaan ini nantinya hanya menemui
kekosongan karena segala sesuatu telah melampaui definisinya sendiri. Akhirnya,
kita pun sarat kembali pada ke-fatal-an guna menuntaskan segala bentuk ironi di
atas.
“Jika Anda lebih cantik dari saya, Anda akan mati; lebih benar dari
saya, Anda akan mati; lebih nyata dari saya, Anda akan tersimulasi; dan jika
Anda lebih tersimulasi dari saya, Anda akan mati.”
[Baudrillard, 2006: 75]
Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Agaknya, jika dunia ini memang fatal,
maka kita harus menjadi lebih fatal darinya. Apabila dunia ini tak acuh, maka ketidakacuhan
kita harus lebih besar. Jika dunia ini begitu menggoda, maka kita pun harus
lebih menggoda darinya. Dan, bila dunia ini bergerak dengan demikian cepatnya,
maka kita sarat melawan balik dengan melakukan perlambatan; penghayatan atas
dunia.
Tulisan yg terlalu indah utk tdk diberikan tanggapan. Jika tak ada lagi rahasia bagi dunia dan kehidupan, maka kematian menjadi satu-satunya rahasia yang tidk tersimulasikan. Godaan ada utk memenuhi rasa ingin tahu, tanpa rasa ingin tahu tak ada pengetahuan, tak ada teks yg harus dimaknai, tak ada puzzle yg harus dipecahkan. Saya tertarik dengan kata-kata terakhir tentang ajakan utk melakukan pelambatan. Di dalam psikologi, itu disebut dengan dishabituasi. Cara kerjanya yaitu ketika bayi diberikan stimulus berupa bunyi-bunyian dengan irama dan volume yg sama secara terus menerus, konstan maka si bayi akan memberikan respon yg semakin pasif atau bahkan mengabaikanya<--habituasi. Lalu bagaimana agar si bayi merespon lagi ? Cara yg bisa dilakukan adalah mengubah irama, volume, atau selang waktu siltimulus tadi. Maka dengan itu si bayi akan memberikan responya kembali<--dishabituasi. Hubungannya dengan perlambatan adalah kita asumsikan godaan sebagai stimulus. Ketika stimulus diberikan dengan cepat, terus menerus, dan itu-itu saja maka kita akan cepat merasa bosan. Untuk mengatasinya maka stimulus tadi haruslah diperlambat, jangan terlalu sering. Karena waktu memberikan manusia utk lupa dan mengingat kembali. Yg lebih mudah lagi dengan menggunakan dalil gossen tentang pemuasan kebutuhan manusia. Semakin sering kebutuhan manusia akan sesuatu dipenuhi, semakin dekat pada titik jenuh. Disinilah semua pihak baik sebagai produsen maupun konsumen harus mawas diri utk memberikan tempat bagi kemanusiaan itu sendiri yaitu kendali terhadap hasrat dan keinginan utk melampaui segala sesuatu bahkan di dalam batas kemampuan manusia itu sendiri. Namun disayangkan, sisipan screenshot quickcount yg mungkin ditujukan utk memberikan contoh dan ilustrasi. Publik sudah tau bahwa stasiun tv tersebut jadi terlihat bodoh ketika menayangkan quick count tersebut. Lalu anda menelanjanginya dengan melakukan penegasan, afirmasi, recalling terhadap kebodohan fakta tersebut. Dan ini menyebabkan uraian paragraf anda menjadi sama pornografiknya. Ok mungkin anda bisa mengklaim bahwa itu bertujuan emansipatoris seperti apa yg dilakukan mahzab teori kritis, namun emansipatoris utk kemanusiaan itu sendiri jauh lebih besar daripada emansipatoris terhadap konstelasi politik.
BalasHapuskomentar yang terlalu indah pula untuk dikomentari. Btw, thanks untuk komentar yang terlalu indah untuk dikomentarinya, tentunya menambah pengetahuan kita bersama :)
BalasHapus"..Jika dunia ini memang fatal, maka kita harus menjadi lebih fatal darinya. Apabila dunia ini tak acuh, maka ketidakacuhan kita harus lebih besar. Jika dunia ini begitu menggoda, maka kita pun harus lebih menggoda darinya..."
BalasHapusOh jadi gitu ya ajaran etikanya buat mengatasi realita dunia saat ini. Namun sayangnya egoku gak segede dinosaurus. Aku gak bisa bales api dengan api lagi.
itu hanya satu alternatif yg ditawarkan baudrillard, tentu banyak alternatif2 lainnya. saya sendiri lebih suka camus, 'berontak'. mungkin anda cocok dengan konsep martir ala santo santo
BalasHapus"....Mungkin anda cocok dengan konsep martir ala santo santo"
BalasHapusSanto yg mana dulu nih bung; ambrose kah ? Jerome kah ? Agustinus kah ? Atau aquinas ? Konsep martir mereka beda-beda. Camus memang rebel sejati. Dia merasa ada ketika dirinya berontak. Yg paling amannya dengan menjadi 'beda' pun kita ada. Yg jelas saya pribadi pake ajarannya nabi dan para wali plus tips utk mencapai ketenangan filosofis ala spinoza. Karena sebagai orang yg dibuang oleh peradaban dan masyarakat tempat saya tinggal, saya tdk punya kuasa utk memberontak. Hanya bisa pasrah dan iklas mau digimanain juga.
oh ya, sori kurang lengkap jawaban saya; generasi santo sebelum benediktus, karena benediktus termasuk santo yg memulai kemapanan dengan mendirikan kanonisasi lembaga gereja. ada santo yang hidup mengembara di gurun, ada yg hidup di pilar selama 40 tahun [maaf sy lupa namanya], nah yg seperti itu yg kemartirannya betul2 wahid
BalasHapus